Jaringan Kiemas Terlibat Lobi Washington

Fahri Salam

Thu, 31 May 2007

TAUFIK Kiemas minta beberapa pengusaha Jakarta menyumbang uang ke yayasannya guna melobi Kongres Amerika. Ini setelah istrinya Megawati Sukarno jadi presiden Indonesia kelima. Uang tersebut dikumpulkan pengusaha Yohanes Hardian Widjonarko dan ditaruh dalam rekening Yayasan Kawula Alit Nusantara, yayasan yang dibentuk Kiemas. Widjonarko bendahara yayasan ini. Ketuanya Kiemas dan direkturnya Tjahjo Kumolo, ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P).

TAUFIK Kiemas minta beberapa pengusaha Jakarta menyumbang uang ke yayasannya guna melobi Kongres Amerika. Ini setelah istrinya Megawati Sukarno jadi presiden Indonesia kelima. Uang tersebut dikumpulkan pengusaha Yohanes Hardian Widjonarko dan ditaruh dalam rekening Yayasan Kawula Alit Nusantara, yayasan yang dibentuk Kiemas. Widjonarko bendahara yayasan ini. Ketuanya Kiemas dan direkturnya Tjahjo Kumolo, ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P).

Yayasan Kawula Alit Nusantara kemudian menyewa Alston & Bird, salah satu firma hukum termahal di Washington untuk melobi Kongres. Tujuannya adalah mencairkan bantuan militer pemerintah Amerika untuk Indonesia.

Hasilnya tak main-main. Militer Indonesia pun menerima dana US$5 juta dari Departemen Pertahanan Amerika berkat lobi ini dan dana tersebut merupakan bantuan militer terbesar di dunia untuk negara yang mendukung apa yang disebut Washington sebagai upaya global melawan terorisme sesudah serangan World Trade Center 11 September 2001.

Ada sembilan juru lobi Alston & Bird yang bekerja untuk Yayasan Kawula Alit Nusantara. Mereka itu antara lain Jonathan Winer, mantan wakil asisten sekretaris negara untuk pelaksanaan hukum internasional dan Thomas Boyd, yang memimpin Biro Pengembangan Kebijakan Departemen Kehakiman di bawah presiden George Bush.

Kemudian ada Michael Marshall, bekas juru bicara Bob Dole; John Schall, mantan penasihat senior Bush; Cameron Lynch, bekas asisten senator John Ashcroft; serta Atiqua Hashem, pengacara yang nantinya keluar dari kantor Alston & Bird di Atlanta. Tim ini dipimpin Bob Dole, bekas ketua senat dari Partai Republik dan ia pernah dicalonkan sebagai presiden Amerika pada tahun 1996.

Kontrak mereka dimulai pada 1 Desember 2003 untuk selama setahun dan ditandatangani Frank (Rusty) Conner III, rekanan Alston & Bird LLP, dan Widjonarko. Kontrak juga ditandatangani Dole dan di dalamnya dijelaskan secara rinci bahwa Dole yang akan mengatur upaya lobi untuk Widjonarko dan orang yang ditunjuk mewakilinya. Para juru lobi dibayar masing-masing US$200.000 per bulan. Ada juga tambahan lainnya sebesar US$2.500 per bulan untuk biaya perjalanan, makan, maupun pengeluaran administratif macam keperluan foto kopi dan riset.

Perjanjian kontrak ini menyatakan Dole ”terlibat secara aktif dan mengawasi pekerjaan hari demi hari di bawah kesepakatan itu. Semua pekerjaan dikoordinasikan dari kantornya.” Dokumen Foreign Agent Registration Act (FARA) juga menyebutkan kontrak ini mesti diakhiri begitu Susilo Bambang Yudhoyono dilantik sebagai presiden pada 2004.

Tindak lanjut dari perjanjian ini adalah tiga minggu kemudian, tepatnya pada 18 Desember 2003, pemerintah Indonesia lewat surat Laksamana Sukardi meminta Dole jadi pengacara pribadi kasus hukum jutaan dollar di tubuh perusahaan minyak negara Pertamina. Sukardi adalah politisi PDI-P sekaligus menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat itu.

Dokumen FARA menunjukkan usaha-usaha tim Dole dalam mendekati para pejabat pemerintah Amerika. Dari departemen keamanan dalam negeri hingga Penasehat Keamanan Nasional Condoleza Rice. Dari lembaga hubungan internasional macam Masyarakat Amerika Serikat-Indonesia hingga para pegawai Departemen Negara, seperti Ralph Boyce, duta besar Amerika untuk Indonesia saat ini.

Dalam dokumen itu tercatat bahwa Dole bersama Atiqua Hashem terbang ke Jakarta pada Desember 2003 dan mereka terbang lagi ke Jakarta untuk kedua kalinya pada Maret 2004 bersama Jonathan Winer.

Di Capitol Hill, tim Dole melakukan kontak dengan Senator Patrick Leahy dan John Kerry, keduanya dari Partai Demokrat, dan juga dengan banyak anggota Kongres beserta staf lainnya. Mereka tak sebatas mengajukan pencairan bantuan militer, melainkan juga menegaskan Indonesia sebagai negara muslim terbesar dan terlibat aktif mendukung perang melawan teror yang dicanangkan pemerintah Bush.

Total biaya kontrak untuk lobi itu, menurut dokumen FARA, sebesar US$1.044.147. Perinciannya, dari 1 November 2003 sampai 30 April 2004, Alston & Bird menerima uang US$846.163 dari Widjonarko. Sisanya dibayar pada 1 Mei 2004 sampai 20 Oktober 2004.

Dari mana datangnya uang sebanyak itu?

Jonathan Winer menulis dalam dokumen FARA bahwa “Widjonarko bertanggung jawab atas keuangan dan mengatur urusan ini…. Meskipun pekerjaan ini mungkin dari waktu ke waktu juga diatur oleh masing-masing orang dalam pemerintahan Indonesia, yang saya ketahui, Mr Widjonarko tidak diawasi, dimiliki, diatur, dibiayai, atau disubsidi oleh pemerintah luar, partai politik luar, atau pihak luar lainnya.”

Namun, Dokumen FARA juga menyebut nama P. Sondakh, tentu saja merujuk pada Peter Sondakh, pengusaha paling berpengaruh di Rajawali Group, perusahaan yang bergerak di industri rokok hingga semen. Dokumen tersebut juga memuat keterangan dua narasumber yang minta nama mereka dirahasiakan, yaitu seorang eksekutif Rajawali Group dan diplomat Indonesia di Washington.

Saat dimintai komentarnya tentang siapa saja pihak Indonesia yang terlibat dalam kontrak ini, Winer mengatakan bahwa kebijakan firmanya adalah melarang memberikan catatan hasil pekerjaan mereka kecuali atas izin klien.

Widjonarko pun tak mau menanggapi soal keterlibatannya. Namun, sebuah komentar lain justru membenarkan adanya lobi yang dilakukan Keimas dan orang-orangnya. Muhammad S. Zulkarnaen, anggota kelompok pendukung Megawati di kubu Kiemas, mengatakan lobi tersebut berakhir nyaris tanpa hasil.

Tapi, pada Februari 2005, beberapa bulan setelah menjabat sekretaris negara pemerintah Amerika, Condoleza Rice menyatakan militer Indonesia sudah cukup menunjukkan upaya reformasi dan layak mendapatkan IMET (International Military Education and Training) lagi. Dengan kata lain, peristiwa penembakan dan pembunuhan lebih dari 100 demonstran di Timor Timur pada 12 November 1991 oleh tentara Indonesia, awal pemicu dihentikannya IMET, telah diabaikan. Pada bulan November, embargo senjata terhadap militer Indonesia resmi dicabut pemerintah Bush.

Tetapi, siapa Yohanes Harian Widjonarko, bendahara Yayasan Kawula Alit Nusantara sekaligus orang Kiemas yang membayar tim pelobi Dole?

Ia adalah teman Mayor Jenderal Muchdi Purwopranjono, deputi Badan Intelijen Negara atau BIN, yang disebut-sebut terlibat kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir Thalib dari Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan.

Purwopranjono pemilik nomor telepon seluler 0811-900978. Dalam catatan pengadilan ada 41 pembicaraan telepon yang dilakukan Pollycarpus Budihari Priyanto dengan nomor itu, sebelum dan sesudah pembunuhan Munir. Namun, dalam kesaksiannya, Purwopranjono mengatakan telepon selulernya sering dipakai ajudan, sopir dan rekan-rekannya. Ia juga membantah kenal Pollycarpus.

Purwopranjono sebelumnya adalah komandan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang terkait penculikan aktivis demokrasi menjelang berakhir kekuasaan Presiden Soeharto. Ia pensiun dari militer pada 1999. Kopassus juga terbukti terlibat dalam pembunuhan pemimpin Papua Theys Eluai pada November 2001.

Sedangkan Pollycarpus tak lain dari pilot Garuda Indonesia yang ikut terbang sebagai penumpang bersama Munir. Dalam keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Munir terbukti meninggal dunia akibat diracun dengan arsenik yang dicampur dalam bakmi gorengnya di dalam pesawat Garuda Indonesia dengan rute Jakarta-Amsterdam pada 7 September 2004. Dan Kongres Amerika menekan pemerintah Indonesia untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan politik ini.

Pengadilan kemudian menvonis Pollycarpus 14 tahun penjara karena meracuni Munir dan memalsukan dokumen perjalanan. Tapi hukuman itu dibatalkan Mahkamah Agung. Ia hanya dijerat pasal pemalsuan dokumen. Tetapi pada April 2007, polisi menemukan dua tersangka baru untuk kasus ini.

Purwopranjono sempat dihubungi untuk meminta pendapatnya soal kontrak lobi ini, tetapi ia mengatakan bahwa pihak BIN tidak mau menanggapinya. Ia juga mengakui bahwa Widjonarko memang temannya.

Pemulihan kembali bantuan pemerintah Amerika terhadap militer Indonesia ini menandai pengabaian terhadap berbagai kejahatan hak asasi manusia yang dilakukan militer Indonesia, mulai dari Aceh sampai Papua.*

*) Laporan selengkapnya bisa dibaca dalam liputan Andreas Harsono dari Yayasan Pantau di bawah judul “A Lobbying Bonanza”. Ia diluncurkan Center for Public Integrity, sebuah lembaga nirlaba di Washington, pada 31 Mei 2007. Laporan ini berdasarkan dokumen-dokumen dari kantor Foreign Agent Registration Act (FARA) di Washington DC, tempat Alston & Bird melaporkan kegiatannya. Dokumen-dokumen didapatkan International Center for Journalists dan diteliti International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ). Indonesia termasuk satu dari 10 negara yang secara khusus menjadi fokus liputan tentang politik militer Amerika pasca-11 September 2001.

kembali keatas

by:Fahri Salam