BANGUNAN itu sudah tak beratap. Tingginya dua setengah meter, lebar 15 meter, panjang 20 meter. Dindingnya dari batako: sebagian sisi dilapis semen, sebagian lagi dibiarkan telanjang. Ia terdiri dari tiga bagiankanan, tengah, dan kiri serta tersekat jadi delapan ruang. Ruang paling luas ada di tengah.

Pada bangunan itu terdapat delapan pintu dan sepuluh jendela. Tapi daun-daun pintu dan jendelanya sudah lenyap. Kusen-kusen dan kayu-kayu penyangga atap juga tak lagi ada.

“Sebagian terbakar, sebagian diambil orang-orang sini,” kata Yopinus, “Daripada tidak dipakai, kan?”

Bekas-bekas kebakaran masih bisa dilihat. Beberapa bagian tembok menghitam.

“Malam sebelum ada kabar Pak Michael jatuh dari helikopter, kantor terbakar,” lanjut Yopinus.

Di halaman muka, rerumputan tumbuh meninggi dan menyemak. Rumpun-rumpun putri malu bagai hamparan karpet duri di tanah. Dari jalan setapak menuju bukit, bangunan itu terlihat seperti rumah hantu.

Begitulah wajah bekas kantor Bre-X, perusahaan penambangan dari Kanada yang antara tahun 1992 sampai 1997 melakukan eksplorasi emas di bukit Busang yang terletak di desa Mekar Baru, kecamatan Busang. Dari Samarinda, ibukota Kalimantan Timur, perjalanan ke Busang membutuhkan waktu 14 jam; delapan jam lewat darat, enam jam lewat sungai.

“Mungkin, orang juga tidak pernah menoleh ke bekas kantor itu,” kata Yopinus dengan nada bercanda.

Keadaan ini jauh berbeda dengan potret-potret pada kalender yang dibuat Bre-X untuk tahun 1997. Dalam kalender, kompleks perkantoran Bre-X tampak tertata rapi. Jalanan lebar dan bersih. Yopinus masih memiliki kalender tersebut. Dia memasangnya di dinding ruang tamu rumahnya.

“Selain kalender, saya juga simpan dua lembar peta drilling (pengeboran),” ujar Yopinus. “Saya simpan buat kenang-kenangan. Hahaha…”

Yopinus adalah bekas surveyor supervisor di Bre-X. Ia bekerja selama lima tahun, mulai dari kantor itu buka sampai tutup. Setelah Bre-X tutup, Yopinus bekerja di kantor desa Mekar Baru sebagai kepala urusan pemerintahan desa.

Lelaki 43 tahun ini punya seorang isteri dan empat anak. Ia orang Dayak Kenyah. Sebagaimana penduduk Mekar Baru lainnya, Yopinus juga meladang, dan kadang, berburu binatang.

“Pak Michael” yang sempat disebut Yopinus tadi, tak lain adalah Michael Antonio Tuason de Guzman, alias Michael de Guzman, alias Mike de Guzman. Ia geolog senior Bre-X, sekaligus manajer eksplorasi untuk situs Busang. “Pak Michael” dikabarkan bunuh diri, terjun dari helikopter dalam perjalanan dari Samarinda menuju Busang, pada hari Rabu, 19 Maret 1997.

Sepuluh tahun setelah kejadian tersebut, tepatnya pada hari Kamis, 26 April 2007, saya bersama dua rekan wartawan asal KanadaSuzanne Wilton dan Ted Rhodesberkunjung ke Busang. Kami mendaki bukit Busang, ditemani Yopinus dan temannya yang bernama Bendan.

Tamen Lim adalah sebutan untuk Bendan di Mekar Baru. Dalam bahasa Dayak Kenyah, Tamen berarti bapak. Bendan punya anak bernama Lim. Jadi Tamen Lim artinya ayah Lim. Kami menginap dua malam di rumah Bendan. Ia juga ketua RT setempat.

Di Mekar Baru tak tersedia air ledeng. Kebutuhan air warga diperoleh dari sumur pompa dan sungai. Tak ada telepon rumah. Tak ada sinyal telepon seluler. Tak ada aliran listrik Perusahaan Listrik Negara atau PLN. Untuk keperluan listrik, penduduk desa menggunakan generator atau genset.

“Tidak setiap hari orang sini menghidupkan genset,” kata Bendan.

“Harga bensin mahal sekali,” lanjutnya.

Media lokal maupun nasional tak sampai ke Mekar Baru.

“Kadang seminggu sekali saya ke kantor kecamatan, mengambil koran minggu lalu atau bulan lalu. Kemudian satu koran itu dibaca beberapa orang atau bergantian,” ujar Yopinus.

“Puskesmas di sini juga mati,” kata Yopinus. Bidan yang ditugaskan tidak betah. Bidan tersebut lebih sering pulang ke kota asalnya, Samarinda.

“Makanya, beberapa orang yang sakit parah ada yang mati sebelum sampai di rumah sakit di Samarinda,” tambahnya.

Mekar Baru merupakan desa paling hulu atau paling ujung di sepanjang Sungai Atan. Tak ada permukiman lagi sesudahnya, hanya hutan dan ladang saja. Panjang sungai Atan, menurut catatan pemerintah kabupaten Kutai Timur, sekitar 280 kilometer. Sungai itulah satu-satunya penghubung antara Mekar Baru dengan desa-desa lain di Busang, juga dengan desa-desa di wilayah kecamatan lain dan dengan kabupaten atau kota lain di Kalimantan Timur. Tak ada jalur darat.

Sampai tahun 2005, jumlah penduduk desa ini 700 orang, atau sebanyak 300 kepala keluarga. Dari angka itu, beberapa puluh orang merantau ke luar desa. Namun, sebagian besar menetap di desa, bekerja di ladang, berburu, atau membuka warung. Di desa ini, semua rumah model panggung. Tak ada bangunan yang lantainya menempel di tanah.

KAWASAN eksplorasi Bre-X di bukit Busang terbagi jadi tiga, yaitu Busang I, Busang II, dan Busang III. Busang I berada di bagian tengah bukit, Busang II di sisi timur, dan Busang III di sebelah barat. Sepengetahuan Yopinus, hanya areal Busang I yang sudah digarap, yaitu sekitar 85.500 hektare. Busang II baru akan dikerjakan dan Busang III bahkan belum sempat disurvei.

“Setelah ada berita Pak Michael bunuh diri, areal Busang I langsung ditutup,” kata Ian, yang juga bekas pekerja Bre-X.

Semasa perusahaan tersebut masih beroperasi, lelaki 32 tahun ini bekerja untuk PT. TICOperusahaan dari Australia, kontraktor Bre-X untuk bagian pengeboran. Yopinus yang mempertemukan saya dengan Ian. “Ian itu pekerja drilling (pengeboran) terbaik di Bre-X,” katanya suatu ketika.

Soal kondisi kantung ketika masih bekerja di tambang, Ian berkisah, ”Gaji saya Rp 350 ribu per bulan. Menurut saya, itu sudah cukuplah. Lagipula, saya waktu itu masih belum nikah, jadi cukup sajalah.”

“Itu juga masih ditambah macam-macam tunjangan, uang kesehatan, uang makan, belum lagi uang-uang bonus yang saya dapat,” lanjutnya.

“Saya sama Bre-X dulu digaji Rp 400 ribu sebulan. Itu sudah banyak buat saya. Makanya, saya tidak pernah minta gaji dinaikkan. Rp 400 ribu itu sekitar tahun 94, lho! Jadi nilainya masih tinggi, kan?” sahut Yopinus.

“Sama Pak Cesar dan Pak Jerry, saya pernah dibawa ke Irian, ke Freeport. Di sana saya kerja bantu drilling selama setengah tahun. Sekitar 6 bulan lebihlah. Saya juga pernah diajak ke Sangir, Manado, Jawa Barat, Sumatera sama Pak Cesar. Pokoknya, saya waktu itu enaklah. Masih bujang, tapi banyak duit saya,” kenang Ian.

“Pak Cesar” adalah Cesar Puspos. “Pak Jerry” adalah Jerome “Jerry” Alo. Keduanya geolog dan ahli metalurgi yang bekerja untuk Bre-X. Mereka warga negara Filipina.

Yopinus dan Ian juga menceritakan kejadian yang menurut mereka, mencurigakan. Mereka menduga, apa yang mereka lihat dan dengar pada waktu itu merupakan upaya “salting” atau peracunan pada sampel emas dari bukit Busang yang akan diperiksa di sebuah laboratorium di Balikpapan. Peracunan adalah istilah untuk upaya meninggikan kandungan emas dengan proses kimia tertentu.

“Saya pernah lihat Pak Cesar beli emas dari penambang-penambang kecil di sungai sama di bukit. Saya tahu betul itu. Saya lihat langsung,” kata Ian.

“Tapi setelah itu, saya tidak tahu, karena Pak Cesar sama temannya membawa emas-emas itu ke ruangan tertutup di kantor Bre-X. Temannya Pak Cesar itu orang Filipina juga. Tapi saya tidak tahu namanya. Saya tidak tahu emas-emas itu diapakan di ruangan tertutup itu. Baru setelah itu saya diberitahu sama teman saya, emas itu dibawa ke laboratorium di Balikpapan,” lanjut Ian.

“Kalau soal ada orang Bre-X yang membeli emas dari penambang tradisional, saya tidak tahu langsung. Saya hanya pernah mendengar itu dari penambang-penambang tradisional,” kata Yopinus.

“Tapi saya mungkin bisa percaya. Buat apa orang-orang penambang kecil bohong, kan? Mereka bilang ke saya, ada orang Filipina yang mau beli emas dengan harga tinggi. Orang Filipina yang mereka bilang itu orang Bre-X katanya,” sambung Yopinus.

“Soal emas yang dibawa ke ruang rahasia itu, (saya) tahu dari teman saya. Dia lihat, yang masuk ruangan itu cuma Pak Cesar dan Pak Jerry. Mereka bawa emas hasil drilling sama emas yang dibeli dari penambang tradisional,” katanya, lagi.

SEHARI setelah peristiwa bunuh diri yang dilakukan Michael de Guzman, para pekerja Bre-X maupun pekerja di perusahaan kontraktornya, tidak diizinkan memasuki areal Busang I. Mereka diperintahkan untuk pindah lokasi ke areal Busang II.

“Saya heran, areal Busang I itu yang terbanyak kandungan emasnya. Jadi itu yang mestinya terus dikerjain. Mengapa para pekerja malah disuruh menggarap Busang II yang sedikit emasnya?” kata Ian.

“Karena saya orang drilling yang bekerja setelah orang surveyor, jadinya saya tahu persis apakah suatu areal itu ada kandungan emasnya atau tidak,” lanjutnya.

“Dari tanah dan batu di areal Busang II, saya tahu persis bahwa di situ memang tak ada emasnya. Kalau ada, itu sedikit. Batuan dan tanah di sana banyak lumutnya, jadi tidak mungkin ada emasnya,” kata Ian, lagi.

“Malam hari sebelum kabar Pak Michael terjun dari helikopter, kantor Bre-X terbakar. Atasan kami bilang, itu karena korsleting listrik. Tapi saya tidak percaya begitu saja. Karena tak ada kerjaan apa-apa di kantor malam itu,” kenang Yopinus. “Semua arsip-arsip dari semua departemen ikut terbakar habis.”

“Saya tidak tahu, ada permainan apa di balik ini semua. Tapi pasti permainan politik orang tinggilah,” Ian geleng-geleng kepala.

Peristiwa bunuh diri de Guzman tak menyakinkan sejumlah orang.

”Ada isu kalau Pak Michael itu sebenarnya tidak bunuh diri. Ceritanya, dia kan punya masalah sama orang Freeport, terus sama banyak orang di Kanada. Dia tidak bodoh, kan? Biar bisa menghindar, bisa saja dia pura-pura mati biar semua urusan beres, iya kan?” tutur Yopinus.

Apa yang diutarakan Yopinus serupa dengan yang ditulis Bondan Winarno dalam buku Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi, di halaman 118. Menurut Bondan, pada hari ketika Michael de Guzman dinyatakan jatuh dari helikopter, orang-orang Freeport tengah berada di base camp Busang. Mereka terdiri dari Vice President Exploration PT. Freeport Indonesia David Potter, dan Senior Vice President Exploration Freeport-McMoRan Steve van Noort, bersama enam anggota timnya.

Orang-orang Freeport ingin tahu letak emas di Busang.

Sebenarnya, orang yang ditunggu tim Freeport adalah John Felderhof, orang nomor 1 di Bre-X. Nama Bre-X singkatan dari Brett Exploration. Brett nama putra Felderhof.

Michael de Guzman hanyalah utusan Felderhof. Yang jadi pertanyaan, mengapa de Guzman memilih melakukan bunuh diri ketimbang menjelaskan keberadaan emas di bukit Busang yang tak ditemukan Freeport? Inilah yang masih jadi misteri.

“Waktu itu ada kabar kalau Pak Michael membeli mayat seharga Rp 200 juta. Banyak, kok, yang bilang itu. Ya, saya agak percaya. Karena, masa sih, Pak Michael bunuh diri?” kata Ian.

Yopinus juga mendengar kabar itu, meski tak tahu siapa yang pertama kali menyebarkannya.

“Tapi banyak sekali orang yang bilang Pak Michael beli mayat harganya Rp 200 juta,” katanya.

Yopinus menyatakan bahwa ia kenal baik dengan Edi Tursono, pilot yang mengemudikan helikopter yang dinaiki de Guzman saat itu.

“Setelah kejadian itu, Edi tidak pernah nongol lagi. Sama sekali saya tidak pernah ketemu dia,” papar Yopinus. “Semua pilot Bre-X saya kenal. Semuanya ada 18 pilot. Kenal semua saya.”

Beberapa hari sebelum keberangkatan saya ke Busang, Siti Munawaroh, wartawan Bisnis Indonesia mengirim pesan ke telepon seluler saya. Bunyinya: “Aku tadi ketemu Edi Tursono, pilotnya de Guzman. Tapi dia tidak mau ngomong. Aku malah disuruh ke Polres Tenggarong atau ke kantornya di Jakarta sana. Payah kan, dia?”

Dulu Yopinus sering bertemu de Guzman di kantor Bre-X. Ia menyebut de Gusman “galak dan pendiam”. Dua sifat itu yang paling diingatnya.

“Beda dengan Pak Cesar dan Pak Jerry. Mereka ramah, jadi mudah akrab sama anak buahnya. Semua bos Filipina itu bahasa Indonesianya lancar. Makanya saya jadi gampang akrab,” tuturnya.

Kesan Ian tentang de Guzman tak jauh beda. “Jarang senyum. Tapi sebenarnya dia baik, tidak pelit sama anak buah,” kenang Ian.

De Guzman juga tipe lelaki flamboyan.

“Saya pernah lihat Pak Michael bawa isterinya dari Filipina ke kantor. Pak Michael juga pernah bawa Lilis ke kantor. Tapi, wanita yang dibawa Pak Michael ganti-ganti. Saya tidak ingat berapa kali Pak Michael bawa wanita ke kantor. Yang jelas, ganti-ganti,” kata Yopinus, lagi.

Lilis, nama perempuan yang disebut Yopinus, adalah salah satu isteri Michael de Guzman. Ia kelahiran Ujungpandang, Sulawesi Selatan. Tahun ini, umurnya genap 32 tahun.

Lilis tak punya keturunan dari de Guzman. Ketika melamarnya, de Guzman mengatakan ia sudah menduda. De Guzman mengaku telah menceraikan isterinya di Manila pada Lilis.

Tak jelas dengan keberadaan dan nasib de Guzman, Lilis menikah lagi dengan seorang pria bernama Rieki. Dari perkawinan ini, Lilis memiliki empat anak. Mereka kini tinggal di Perumahan Temindung Permai, Samarinda.

DALAM buku Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi, di halaman 132, Bondan mengutip berita di harian Kompas untuk menjelaskan penemuan jenazah de Guzman. Di situ disebutkan bahwa penemu mayat tersebut bernama Martinus, dan temannya, Tahir.

Saya belum sempat menyebut nama-nama itu ketika Yopinus berkata, “Yang menemukan mayat itu teman saya juga. Dia anak buah saya di bagian survei, namanya Martinus. Agak lama setelah Martinus nemu mayat itu, saya sempat menanyai dia, apa benar yang kamu temukan itu betul-betul mayat Pak Michael?”

Menurut Yopinus, ketika itu Martinus menjawab bahwa ia tidak melihat wajah si mayat. Sebab posisi mayat tertelungkup.

“Dia tinggal di Long Nah, di Ancalong. Dia sudah punya anak dua sekarang. Saya belum lama ketemu dia. Belum sebulan ini. Dia seperti saya juga, kerja di ladang,” kata Yopinus mengenai Martinus.

Desa Long Nah terletak di kecamatan Muara Ancalong. Desa ini, sebagaimana Mekar Baru, berada di pinggir sungai Atan. Bedanya, kalau Mekar Baru di hulu, Long Nah berada di hilir sungai. Waktu tempuh dari Mekar Baru ke Long Nah kira-kira empat setengah jam naik ketinting (perahu mesin).

Yopinus bersedia menemani saya menemui Martinus. Kami menggunakan ketinting milik Bendan. Tapi Bendan tidak turut. Yopinus pegang kemudi.

Setiba di desa itu, kami langsung menuju sebuah rumah panggung. Dinding-dindingnya terbuat dari kayu yang tak dipoles cat. Atapnya seng, yang sebagian berkarat.

“Itu rumah Martinus,” kata Yopinus. “Gampang dicari. Dia di sini terkenal.”

Seorang perempuan, duduk di teras, menyusui anak yang digendongnya. Seorang anak lagi yang berumur sekitar lima tahun, bermain-main di dekat mereka.

Menurut Yopinus, ketiga orang yang saya lihat itu adalah isteri dan anak-anak Martinus.

“Nus, tamu,” kata Yopinus kepada Martinus sambil mengarahkan jari telunjuknya pada saya.

Martinus tersenyum. Ia menyalami kami dan menyilahkan kami masuk.

Martinus berusia 34 tahun. Ia bekerja sebagai surveyor untuk Bre-X selama empat tahun, sejak 1993 sampai 1997.

“Waktu kejadian itu, saya sama kawan saya. Namanya Tohir, anak surveyor juga. Ada beberapa orang pekerja Bre-X juga yang ikut mencari. Kalau tidak salah, lima atau enam oranglah,” Martinus membuka cerita.

“Kami dijemput pakai helikopter sama Tim SAR. Ada tentaranya juga. Kami pakai empat helikoper. Perlengkapan mereka komplit!” katanya.

Martinus menceritakan bahwa selanjutnya ia dan kawan-kawannya diterbangkan ke sebuah hutan di wilayah kecamatan Muarakaman, kabupaten Kutai (kini, Kutai Kartanegara).

“Katanya, Pak Michael jatuhnya di sekitar situ. Ada helipad di Muarakaman. Itu hutan milik perusahaan Sumalindo, jadi ada helipad untuk bosnya mungkin,” kenang Martinus.

Martinus tidak menyangka akan ditunjuk menjadi salah seorang yang diberi tugas masuk hutan mencari jasad “Michael de Guzman”.

“Itu mendadak sekali. Saya dan Tohir saja yang hanya bawa super mie dan air putih. Orang-orang Tim SAR dan tentara itu sudah siap dengan jaket parasit, kotak-kotak yang isinya makanan, obat-obatan, minuman. Pokoknya seperti mau kemah itu, deh! Seperti mau perang!“ Ia terbahak.

Saya menyodorkan fotokopi buku Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi. Kepada Martinus, saya perlihatkan halaman 132 sampai 135. Martinus tersenyum. Dan senyum itu kemudian terlihat semakin lebar. Ia lantas tertawa.

“Saya jadi ingat yang dulu-dulu, Mas,” kata Martinus pada saya.

Seingatnya, ia pernah tiga kali didatangi wartawan berkaitan dengan kasus bunuh diri de Guzman. Tetapi, belum sekalipun Martinus membaca hasil wawancara dengan wartawan-wartawan itu.

“Baru kali ini, Mas, saya baca tulisan tentang saya,” lanjutnya. “Wah, ternyata saya terkenal, ya?” Ia tertawa lagi.

Isteri Martinus menghidangkan tiga cangkir teh. Sepiring kue untuk-untuk–terbuat dari terigu, berbentuk bulat, berisi parutan kelapa–disuguhkan kemudian. Martinus menyalakan rokoknya. Yopinus makan untuk-untuk.

“Waktu saya dan Tohir menemukan mayat, saya langsung yakin itu Pak Michael. Kausnya dan celananya, saya tahu. Sepatunya juga saya tahu,” Martinus meneruskan cerita.

“Kausnya warna putih ada gambar kembang-kembang. Tapi sudah robek-robek. Celananya juga robek-robek.. Tapi saya tidak melihat wajahnya karena telungkup itu mayat. Rambutnya sudah lepas dari kepala. Yang saya lihat, itu sudah busuk. Baunya, ampuuun… ” katanya.

“Saya sama Tohir teriak-teriak, tapi tidak ada orang dengar. Tidak ada balasan. Yang saya dengar, ya suara saya dan Tohir sendiri, karena di hutan kalau kita teriak suaranya balik ke kita lagi. Seperti diulang-ulang suara kita,” lanjut Martinus.

Martinus, sebagaimana kebanyakan lelaki pedalaman, sudah terbiasa masuk hutan sejak kecil.

“Tapi waktu mencari mayat Pak Michael, itu mungkin yang paling berat,” katanya.

“Rawa-rawa yang tidak pernah diinjak orang harus saya lewati. Terus, daun-daun di hutan itu tajam-tajam. Belum lagi duri-durinya.”

“Makanya, waktu itu tangan saya jadi seperti kena silet, tergores-gores. Pokoknya perih, terus gatal sekali. Itu belum lagi pacetnya. Pacet daun, terus pacet tanah yang besar-besar, banyak yang nempel di badan saya. Saya sampai lemas sekali. Banyak darah saya yang hilang karena dihisap pacet-pacet itu. Belum lagi yang luka kena daun dan duri,” kisahnya.

Ia diangkut ke rumah sakit di Samarinda dengan helikopter. Tubuhnya lemas. Tenaga tak ada lagi.

PENUTUPAN Bre-X mengecewakan para pekerja seperti Yopinus, Martinus, dan Ian. Selain sumber nafkah hilang, beberapa fasilitas untuk penduduk Mekar Baru yang pernah dijanjikan perusahaan itu tak pernah terealisasi. Dan orang-orang Mekar Baru, tak mau berharap lagi.

“Dulu pernah ada rencana mereka bangun SMP (sekolah menengah pertama) di sini. Tapi, karena tutup ya, tidak jadi,” kata Yopinus.

Setelah itu Yopinus mencoba berkebun coklat, tapi gagal. Ian dan Martinus juga mengalami hal serupa. Kelihatannya para mantan penggali tambang ini tak punya bakat bercocok tanam.

Sekarang Yopinus mengandalkan hidup dari padi. Berburu pun sudah tak bisa menghasilkan banyak uang.

“Paling-paling dapat satu, dua ekor. Sebagian dimakan sendiri. Tapi kadang ada juga yang mau beli. Daging payau sekilo laku 15 ribu di sini,” katanya.

Payau dalam bahasa setempat, artinya rusa.

Gaji Martinus sebagai pegawai kantor desa pun tak seberapa. Hanya Rp 200 ribu yang diterimanya tiap bulan, secara teori.

“Tapi paling cepat saya terima gaji enam bulan sekali. Malah pernah satu tahun baru terima gaji,” keluhnya.

“Saya bisa pusing sekali karena ada anak saya masih sekolah di Samarinda. Perempuan, kelas satu di SMK (sekolah menengah kejuruan). Ada anak laki di Samarinda juga, tapi masih belum dapat kerja,” kisahnya pada saya.

Di saat-saat seperti itulah, kadang Yopinus tak pulang ke rumah. Ia tidur di gubuk kecil yang dibangunnya di tengah ladang. Kami sempat melewati ladang itu saat menuju bukit Busang. Letaknya di kanan jalan setapak yang menghubungkan desa dan bukit tersebut.

“Ya, sekarang keadaan jadi begini saja. Berkebalikan dari yang dululah. Kalau dulu selalu cukup, sekarang harus iritlah,” kata Martinus. “Mungkin seperti ibarat orang, dari tambang, turun ke ladang.”*

by:Sahrudin