SELASA sekitar pukul 1 pagi, 4 Desember 2001. Gelap menyelimuti desa Buter, kecamatan Ketol, Aceh Tengah. Gerimis membuat udara terasa dingin. Suami-istri, Al Muradis dan Kasminah, tidur begitu lelap. Anak bungsu mereka, Budi, juga lelap di kamarnya. Hari itu bertepatan dengan milad atau ulang tahun Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke-25.

Berjarak sepuluh meter dari muka rumah mereka terdapat pos jaga. Malam itu giliran Bilal Ariga dan Sumarlin, anak pertama dan kedelapan Murad, yang tugas jaga. Ada empat warga lain yang turut berjaga bersama mereka, termasuk Suparman warga Kute Gelime. Ayah Suparman meninggal dibunuh pasukan bertopeng sekitar lima bulan lalu.

Tiba-tiba sekitar 40an orang berseragam hitam, menggunakan sebo (penutup wajah, yang hanya memperlihatkan mata si pemakai), dan senjata laras panjang mengepung pos jaga itu.

“Jangan bergerak! Kutembak kau!” ancam seorang dari mereka.

Salah seorang anggota pasukan langsung memerintahkan semua orang di pos itu berjongkok dengan dua telapak tangan di belakang kepala. Sebagian anggota pasukan mengepung rumah Murad.

Tok, tok, tok, tok!

Pintu rumah Murad diketuk. Kasminah dan Murad terjaga, lalu beranjak dari kasur. Di pos jaga, Ariga menyaksikan rumah orang tuanya dikepung. Dia cemas bukan kepalang. Sesuatu bakal terjadi dengan bapaknya. “Bapak pasti diambil,” batinnya. Apalagi ayah Suparman, teman rondanya, meninggal dunia setelah diambil pasukan serupa.

“Siapa?” tanya Kasminah, dari dalam rumah. Jarang ada orang yang bertamu lewat tengah malam.

Tok, tok, tok, tok!

“Siapa ya?” Kasminah penasaran, bercampur was was.

Tak ada jawaban dan tiba-tiba, brakk!

Pintu didobrak. Daun pintu yang terbuat dari kayu itu terjerembab ke lantai. Mereka menerobos masuk. Jumlah mereka sekitar 20an orang.

Budi terbangun begitu mendengar kegaduhan di luar kamarnya. Namun dia tak langsung keluar kamar. Firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk tengah terjadi. Dia memilih bersembunyi.

Murad berdiri dekat pintu. Dia hanya bercelana pendek selutut.“Ini Pak Murad?” kata seorang di antara mereka dengan suara tinggi. Wajah dan senapannya mengarah ke Murad.

“Iya,” balas lelaki itu.

Dia diminta duduk. Lantas empat moncong senjata laras panjang diarahkan ke muka, punggung, kiri dan kanan tubuhnya. Beberapa dari mereka masuk ke dapur dan memeriksa ke luar rumah. Bermacam barang yang ada di dapur ditendang. Kaleng kerupuk tak luput disepak hingga penyok.

Murad kemudian diseret ke luar.

“Mau dibawa ke mana bapak?” jerit Kasminah.

“Diam kamu!” Salah seorang dari mereka langsung yang mengarahkan senapannya ke Kasminah.

Mereka juga menanyakan Ariga. Tapi Kasminah menjawab, anak sulungnya itu tak ada di rumah.

“Tolong, bapak jangan dibawa!” teriak Kasminah, begitu melihat gelagat mereka akan membawa pergi suaminya.

“Jangan bawa saya, Pak. Jangan bawa, Pak!” Murad ikut memohon.

“Tutup pintu!” bentak salah seorang anggota pasukan tersebut, seraya meninggalkan rumah keluarga Murad.

“Apanya yang mau ditutup pintu sudah rusak begini,” teriak Kasminah.

Dari pos jaga, Ariga dan Sumarlin melihat sang ayah dibawa pergi. Mereka juga mendengar jeritan ibu mereka. Tapi keduanya tak berdaya membantu.

Pasukan yang mengepung pos jaga pun beranjak. Mereka mengikuti teman-temannya yang membawa Murad.

Kasminah segera berlari menuju pos begitu orang-orang bertopeng itu tak terlihat lagi. Dia mendesak Ariga agar sembunyi, menyelamatkan diri. Ariga tak membantah. Dia segera ambil langkah seribu menuju ladang tebu.

Sekitar 20 menit setelah Murad dibawa, terdengar letusan senapan. Satu kali. Jantung Ariga berdegup keras.

“Bapak sudah tak ada lagi.” Dia membatin.

Sumarlin yang masih berada di pos jaga punya perasaan serupa. Gerimis terus mengguyur. Tak ada warga yang berani keluar rumah.

Menjelang terbit matahari, pelan-pelan Ariga nekat pulang ke rumah. Dia tak bisa tidur selama bermalam di kebun tebu di bawah gerimis hujan. Mendekati rumah dia mendengar suara ibunya, Kasminah, membaca surat Yasin. Surat ini lazim dibaca di masa berkabung, ketika keluarga atau orang yang kita kenal meninggal dunia.

Sebagian tetangga berdatangan ke rumah Kasminah. Sementara Sumarlin galau. Batinnya tak tenang. Dia ingin segera mencari jasad ayahnya. Sekitar jam delapan pagi, dia bersama seorang temannya mulai bergerak.

Sekitar 200 meter dari rumah, dia dan sahabatnya melihat ilalang rebah. Arahnya menuju pekuburan. Dia menyusuri tanda-tanda ini. Tak sampai dua puluh langkah, sosok yang dia cari dalam keadaan telungkup di tanah. Tengkorak kepala bolong. Peluru menembus pelipis kiri. Di bagian perut terdapat luka-luka gores.

JEJAK sepatu masih terlihat pada daun pintu rumah almarhum Murad sampai hari ini. Ada bekas patahan di engsel bagian atas dan bawah. Paku-paku bengkak-bengkok. Di atas pintu dipasang papan kecil, berukuran 14 x 24 sentimeter persegi, bercat merah dan putih.

Murad, asli Susoh, Blang Pidie, Aceh Barat Daya. Kasminah, istrinya, orang Jawa yang sudah bertahun-tahun tinggal di dataran tinggi Gayo. Warga mengenal Murad sebagai orang alim. Dia kerap menjadi khatib Jumat di masjid Buter.

“Mana yang ndak bener dibilang sama dia blak-blakan,” kata Kasminah dengan logat Jawa yang kental. Bertahun-tahun tinggal di Gayo dan bersuamikan orang Aceh, tak membuatnya lancar berbahasa Gayo maupun Aceh. Dia sendiri menyebut suaminya sebagai ‘tukang katib’. Sebutan sebagian warga Jawa bagi orang yang memberi ceramah di masjid.

Sehari-hari lelaki kelahiran tahun 1935 itu bekerja menggarap kebun tebu. Selain tebu dia juga menanam cabai dan sayur-sayuran buat memberi nafkah istri dan menyekolahkan sembilan anaknya.

Berbeda dengan sebagian wilayah Aceh Tengah pada umumnya, tanah-tanah di daerah ini tak cocok ditanami kopi. Batang-batang tebulah yang tumbuh subur, meski hanya mengandalkan siraman hujan.

Seperti juga petani lainnya di Buter, Murad menjual tebu-tebu itu ke kilang yang ada di desa. Di kilang, batang tebu diperas untuk diambil airnya, lalu direbus dan dikeringkan sampai jadi gula, setelah itu diangkut dengan truk dan dijual ke tauke-tauke besar di Medan.

Di desa ini terdapat hampir selusin kilang tebu gurem yang menampung tebu-tebu para petani. Namun mesin pemeras batang-batang tebu di situ hanya berputar ketika musim panen, selebihnya mirip onggokan besi tua.

Jarak desa ini ke Takengon, ibukota Aceh Tengah, belasan kilometer. Akses informasi seputar Aceh dan Indonesia amat terbatas di sini. Warga yang umumnya petani tidak begitu paham isu-isu politik yang sedang berkembang. Demikian juga Murad. Tapi ceramah-ceramah Murad di masjid tetap saja membuat jantung Kasminah dag dig dug.

“Saya bilang ke bapak, kalau ceramah nggak usah yang begitu. Itu kan bikin orang panas,” ujarnya kepada saya.

Ceramah Murad antara lain berisi kritik terhadap koruptor dan menyatakan bahwa para koruptor layak dihukum seberat-beratnya. Kasminah menyangka isi ceramah itulah yang membuat suaminya dibunuh.

Murad tak mempedulikan larangan istrinya. Dia tetap saja menyampaikan apa yang disebutnya kebenaran. Kecemasan Kasminah memuncak saat Abdurrahman Wahid, yang menjabat presiden Indonesia waktu itu, menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 4 tentang Langkah-langkah Komprehensif dalam Rangka Penyelesaian Aceh pada 11 April 2001.

Di atas kertas, langkah-langkah penyelesaian meliputi beragam aspek menyangkut politik, sosial, dan ekonomi. Namun di lapangan, militer Indonesia menggelar sebuah operasi yang disebut Operasi Rajawali. Operasi ini melibatkan hampir seluruh satuan organik dari Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia. Tujuannya menumpas GAM. Penduduk di desa-desa diperintahkan melakukan jaga malam.

Beberapa bulan sebelum penculikan dan pembunuhan Murad, warga Buter menemukan lima mayat warga Blang Mancung di bawah jembatan Titi Merah. Lokasinya sekitar 500 meter dari rumah keluarga Murad.

SABTU, 28 Juli 2001. Pasukan bersebo hitam dan bersenjata laras panjang bergerak menuju rumah Abdussalam. Jumlah mereka lebih dari 20an orang.

Abdussalam tinggal di desa Kute Gelime, kecamatan Ketol, Aceh Tengah. Lelaki itu kelahiran Mereudu, Pidie. Rumahnya hampir sepuluh kilometer dari arah selatan desa Buter. Di depan rumah Abdussalam berdiri pos jaga seluas 2×2 meter persegi. Malam itu di pos sudah ada Buyung dan Sailin yang giliran jaga. Keduanya tetangga Abdussalam.

“Mana yang namanya Abdussalam Aman Melan?” tanya seorang anggota pasukan. Suaranya tegas, dalam bahasa Indonesia.

“Ada Pak? Itu di rumahnya Saleh,” kata Buyung, menunjuk rumah Saleh. Rumah itu terletak sepuluh meter di sebelah kanan rumah Abdussalam.

Buyung bergegas meninggalkan pos menuju rumah Saleh, memanggil Abdussalam. Tak lama berselang keduanya keluar dari rumah Saleh menuju pos. Abdussalam berjabat tangan dengan lelaki berbadan tegap yang mencarinya.

“Pak, kita ke pos dulu. Ada urusan penting,” kata lelaki bertopeng itu. Abdussalam tak menolak.

Suparman, anak Abdussalam, malam itu tengah melayat kerabatnya yang meninggal dunia, sejauh dua kilometer dari rumahnya. Dia baru mendapat kabar ayahnya diambil keesokan harinya. Ketika dia pulang, di sekeliling rumah sudah banyak orang berkumpul. Mereka tengah mencari Abdussalam. Suparman, anak ketujuh dari delapan bersaudara ini, cemas.

Warga sudah paham. Bila ada anggota keluarga dibawa, yang kembali hanya jasad.

Alamsyah, geuchik Kute Gelime mengumumkan agar warga mencari jasad Abdussalam. Suparman segera ikut mencari. Beberapa ratus meter dari rumah, dia menemukan pisau milik ayahnya. Matanya segera mencurigai ilalang yang rebah, seperti bekas dilewati banyak orang. Dia mengikuti jejak itu hingga ke bibir jurang, 20 meter dari jalan. Dari atas jurang terlihat sosok berjaket hijau dan bercelana pendek hitam. Suparman kenal betul jaket itu, jaket yang biasa dikenakan ayahnya.

Suparman segera turun ke jurang sedalam lima meter itu. Dia mengucap istighfar sembari memeluk tubuh sang ayah yang terbujur di semak-semak. Di kulit Abdussalam ada bercak-bercak darah dan luka sobek akibat sayatan benda tajam. Leher nyaris putus.

“Apa salah dan dosa bapak?” Suparman bertanya-tanya.

Selama hidup, Abdussalam tak pernah ikut kegiatan politik macam-macam. Dia hanya petani kebun tebu, bukan simpatisan GAM. Umurnya juga sudah nyaris kepala tujuh. Suparman terus menuntut keadilan bagi ayahnya.

MENURUT Asiah, koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh (Kontras Aceh), korban pelanggaran Hak Hak Asasi Manusia atau HAM memiliki hak-hak yang mesti ditunaikan pemerintah.

Hak-hak itu juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Setiap korban pelanggaran HAM berat dan atau ahli warisnya, seperti disebut di pasal 35, dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi itu dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM.

“Korban juga berhak atas pengungkapan kebenaran. Ini penting untuk meluruskan sejarah masa lalu. Tujuannya untuk menghilangkan kecurigaan di masyarakat. Karena itu harus ada pemulihan nama baik, misalnya kepada korban yang dituduh terlibat GAM. Keluarga korban berhak tahu siapa penculik atau pembunuh, dan negara wajib memfasilitasi ini,” urai Asiah.

Kontras Aceh tengah giat melakukan survei dan pendataan korban-korban pelanggaran HAM selama pemerintah Jakarta menetapkan darurat sipil dan darurat militer di Aceh. Mereka mendatangi korban-korban pelanggaran HAM di berbagai kabupaten di Aceh.

Pasalnya, Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 2001 tentang Langkah-langkah Komprehensif dalam Rangka Penyelesaian Aceh telah meningkatkan jumlah kasus kekerasan dan kematian warga sipil di Aceh. Hanya dalam sebulan, sejak 1 Mei hingga 5 Juni 2001, 102 orang warga tewas. Dua belas diantaranya diculik sebelum dibunuh.

“Korban yang kami data umumnya menginginkan proses hukum. Tapi mereka tidak tahu bagaimana caranya mendapatkan keadilan lewat jalur hukum,” ujar Asiah.

Ada dua jalur hukum yang dapat diterapkan di Aceh untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, yaitu melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) atau Pengadilan HAM.

Menurut Asiah, jalur KKR dianggap memenuhi rasa keadilan bagi korban. Selain itu, KKR tidak menitikberatkan pada bukti-bukti dan fakta. Banyak kasus pelanggaran HAM tak bisa dituntut, karena barang-barang bukti telah hilang atau sengaja dihilangkan. Selain itu memang ada upaya pihak tertentu untuk mengubur kasus-kasus tersebut.

“Pengungkapan kebenaran ini penting. Karena rekonsiliasi tidak bisa terjadi dengan melupakan masa lalu. Itu tidak akan membuat jera pelaku, dan kasus pelanggaran bisa terulang lagi di masa datang,” kata Asiah.

Salah satu negara yang dianggap berhasil menerapkan penyelesaian hukum lewat KKR adalah Afrika Selatan. Berpuluh tahun negeri ini dikuasai rezim apartheid, sebuah sistem politik yang hanya memberikan hak-hak politik secara penuh kepada warga kulit putih. Warga kulit hitam tak boleh mengenyam pendidikan di sekolah kulit putih.

Komisi ini digagas Nelson Mandela yang kemudian dikukuhkan lewat Nation Unity and Reconciliation Act 34 pada Desember 1995. Uskup Desmond Tutu kemudian menjadi pemimpin komisi. Tugasnya mendapatkan catatan selengkap-lengkapnya soal sebab, dampak, dan inti pelanggaran HAM di Afrika Selatan yang terjadi selama 1960 hingga 1994.

Lembaga ini juga ditugaskan mengungkap individu, institusi pemerintah, lembaga, partai politik, dan lain sebagainya yang bertanggung jawab atas kasus pelanggaran HAM. Setelah itu mereka membuat rekomendasi untuk pemerintah agar dapat mencegah pelanggaran HAM serupa di masa datang, dan memberi hak rehabilitasi dan reparasi kepada korban pelanggaran HAM. Tak hanya itu, komisi ini juga memfasilitasi pemberian amnesti kepada individu-individu pelaku pelanggaran HAM.

Sejak April 1996 hingga Juni 1997, KKR Afrika Selatan membuka kesempatan kepada korban-korban pelanggaran HAM untuk memaparkan pengalaman kekerasan yang mereka alami.

Di lain pihak, sederet petinggi rezim apartheid ikut dimintai keterangan oleh tim yang dipimpin peraih Nobel bidang perdamaian itu. Pieter Willem Botha, misalnya. Dia sempat menjabat sebagai perdana menteri pada 1978 hingga 1984 dan presiden pada 1984 sampai 1989. Lalu penerus Botha, mantan presiden Frederik Willem Clerk yang berkuasa pada 1989 hingga 1994, juga dimintai keterangan. Kepala Angkatan Bersenjata Magnus Malan tak luput dari sasaran tim KKR. Hasilnya, pada Oktober 1998, komisi menerbitkan laporan setebal lima jilid yang diberi judul “The Report of the Truth and Reconciliations Commision”.

DALAM Perjanjian Helsinki, KKR disebut sebagai bagian dari upaya penegakkan hukum, begitu pula dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Namun pembentukannya, seperti tercantum pada bab HAM, bergantung pada qanun di Aceh dan peraturan perundang-undangan.

Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Sayangnya, awal Desember 2006 lalu Mahkamah Konstitusi membatalkan undang-undang yang bakal memberi keadilan bagi korban pelanggaran HAM itu.

Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie, seperti diberitakan www.tempointeraktif.com pada Sabtu, 9 Desember 2006, menyatakan bahwa pembatalan itu disebabkan pasal amnesti yang mempengaruhi seluruh norma undang-undang dibatalkan. Sebaliknya jika undang-undang itu disahkan, dia beralasan, tujuan rekonsiliasi bakal sulit dicapai karena “tidak ada insentif bagi orang untuk mengaku.”

Pemerintahan Aceh di bawah pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar punya niatan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh.

Tetapi Irwandi, sebagaimana yang dikutip harian Kompas edisi Sabtu 24 Maret lalu, mengaku tidak berdaya akibat pembatalan undang-undang KKR oleh Mahkamah Konstitusi. “KKR di Aceh,” kata Irwandi, “sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (UU Pemerintahan Aceh) merupakan bagian tidak terpisahkan dari KKR (secara nasional).”

Jimly berpendapat sebaliknya. Dia menyatakan bahwa KKR Aceh tak berkaitan dan berpedoman pada undang-undang KKR yang berlaku nasional.

“Ini kan KKR yang beda. Tidak terkait dengan UU KKR tapi UU Pemerintah Aceh sendiri,” ujar Jimly.

Asiah malah mengeritik pemerintahan Irwandi-Nazar yang hanya menjual kata-kata.

“Hingga sekarang belum ada tindakan nyata dari pemerintahan yang baru. Kami belum mendengar persiapan apa saja yang mengarah ke pembentukan KKR. Padahal itu sudah diamanatkan Perjanjian Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh,” katanya.

Lantas bagaimana dengan Sumarlin, Kasminah, Suparman, dan ribuan korban pelanggaran HAM yang tetap berharap keadilan bakal ditegakkan?

“Kalau tahu siapa pelakunya, mau langsung kubunuh,” kata Sumarlin kepada saya.

Tetapi itu hanya ungkapan sesaat dari rasa sedih yang dalam. Sumarlin kemudian melanjutkan bahwa dia kini berharap ada proses hukum yang lebih baik ketimbang hukum rimba. Pasukan bertopeng yang menculik dan membunuh ayahnya, mesti diganjar hukuman seberat-beratnya setelah ada proses pengungkapan kebenaran.

“Cuma kita ini kan orang kampung, nggak tahu apa-apa,” tambah Kasminah, sang ibu.

Selama konflik di Aceh, warga tak tahu ke mana mesti mengadukan tindak kekerasan yang mereka alami. Kehadiran tentara di bawah payung Operasi Rajawali saat itu justru meresahkan warga. Banyak penculikan. Banyak mayat ditemukan di desa-desa. Dan tak pernah terungkap siapa pelaku pembunuhan-pembunuhan itu.

Aparat kepolisian yang semestinya menjadi tempat perlindungan bagi warga sipil justru tak bisa diharapkan.

“Brimob (Brigadir Mobil) pun sama saja,” kata Sumarlin.

Kini, setelah undang-undang KKR dibatalkan Mahkamah Konstitusi, para korban tak hanya kehilangan tempat melapor. Kematian orang tua, kerabat, dan orang-orang terdekat mereka hanya akan jadi masa lalu dan siap dilupakan. Kekerasan yang dialami orang Aceh dan kematian ribuan warga Serambi Mekah selama masa konflik dianggap tak penting oleh negara Indonesia, dianggap tak pernah ada.*

*) Samiaji Bintang adalah kontributor sindikasi Pantau di Banda Aceh.

by:Samiaji Bintang