Kesultanan Palembang Darussalam Bangkit Lagi?

Taufik Wijaya

Mon, 5 February 2007

UPAYA sejumlah orang mendirikan lagi Kesultanan Palembang Darussalam. Ujung-ujungnya dua orang menyatakan diri mereka sultan Palembang yang sah.

KESULTANAN Palembang Darussalam sudah lama bubar. Tepatnya dibubarkan penjajah kolonial Belanda pada 1825. Dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, Palembang tak tercantum sebagai daerah istimewa sebagaimana Yogyakarta atau Aceh. Namun, selama tiga tahun terakhir, ada orang-orang yang ingin menghidupkan kembali kesultanan tersebut.

Pada mulanya Raden Mas Syafei Prabu Diraja, seorang perwira polisi, menyatakan dirinya sebagai Sultan Mahmud Badaruddin III. Dia mengangkat dirinya sendiri sebagai sultan setelah menerima wangsit. Itu terjadi pada tahun 2003 lalu.

Banyak yang mempertanyakan keabsahan pengukuhan Syafei Prabu Diraja sebagai Sultan Mahmud Badaruddin III. Ada yang mendukungnya, tapi ada pula yang mencela.

Lalu, sejumlah zuriat wong Palembang yang berhimpun dalam Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam pada Oktober 2006 lalu, melakukan rapat atau pertemuan. Mereka mengukuhkan Raden Mahmud Badaruddin sebagai Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin.

Akibatnya, Palembang jadi punya dua sultan. Polemik pun terjadi di media lokal maupun di forum diskusi. Siapa sebenarnya ahli nasab Kesultanan Palembang Darussalam yang berhak menerima gelar sultan? Syafei atau Mahmud?

Semua orang akhirnya tahu bahwa keduanya bukan ahli nasab. Syafei adalah keturunan dari istri keenam Sultan Mahmud Badaruddin II, sementara Mahmud keturunan sultan sebelumnya, Sultan Mansyur Jayo Ing Lago.

Perdebatan malah melebar. Kini orang mempertanyakan siapa sultan terakhir Palembang? Apakah Sultan Mahmud Badaruddin II, Sultan Najamuddin Pangeran Ratu atau Sultan Najamuddin Prabu Anom? Posisi ini sangat penting. Jika Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan sultan terakhir Palembang, maka Syafei merasa berhak jadi sultan. Menurut Syafei dan pendukungnya, Sultan Najamuddin Pangeran Ratu maupun Najamuddin Prabu Anom adalah pengkhianat alias diangkat sultan oleh Belanda.

Mahmud Badaruddin ditunjuk sebagai sultan berdasarkan konsensus. Alasannya, Kesultanan Palembang Darussalam secara resmi sudah bubar dan bila dihidupkan kembali hanya sebagai simbol budaya. Satu-satunya legitimasi menghidupkan kesultanan sebagai simbol budaya hanya melalui sebuah kesepakatan politik, bukan wangsit.

Polemik ini membuat saya tertarik menelusuri sumber-sumber sejarah yang jadi bahan perdebatan.

KETIKA Belanda menguasai Palembang pada 1821, semua catatan atau dokumen sejarah Kesultanan Palembang Darussalam hilang. Tepatnya, setelah Sultan Najamuddin Prabu Anom, yang mencoba melawan Belanda, dibuang ke Manado bersama pengikutnya.

Demi kepentingan ilmu pengetahuan, para peneliti Belanda mencoba menelusuri kembali sejarah Kesultanan Palembang Darussalam.

Metode yang dilakukan mereka cukup sederhana. Para peneliti Belanda, dari tahun 1825 sampai 1840, melakukan wawancara dengan para priyayi yang masih hidup. Dari penuturan kaum priyayi ini sejarah Kesultanan Palembang Darussalam disusun.

Hal tadi diungkapkan M.O. Woelders, penulis buku Het Sultanaat Palembang 1811-1825, saat ditemui Djohan Hanafiah di Belanda pada tahun 1987. Woelders juga mewawancarai para priyayi Palembang untuk keperluan penelitiannya, sedangkan Djohan orang Palembang yang tertarik pada sejarah.

Tetapi pantaskah kita mempercayai semua penuturan priyayi tersebut? Sejauh mana kebenaran versi sejarah yang dituturkan mereka?

Jangan-jangan mereka selamat karena berkompromi dengan penjajah. Jangan-jangan mereka itu para pengkhianat sultan. Dan bagaimana mungkin cerita mereka bisa dipercaya? Namun, tak semua priyayi mau jadi kaki tangan Belanda. Sebagian pengikut Najamuddin Prabu Anom yang tak mau menyerah memutuskan melarikan diri ke selatan Sumatera.

Tentu saja sultan yang punya banyak keturunan adalah yang paling beruntung. Semakin banyak keturunan semakin banyak pula pencerita yang akan jadi sumber sejarah.

Setahu saya, Sultan Mahmud Badaruddin II yang punya istri terbanyak. Sembilan orang. Sebagian istri dan anaknya tetap di Palembang ketika dia dibuang ke Ternate.

SELAIN kelompok priyayi kesultanan atau lingkungan keraton, di Palembang juga ada kelompok priyayi di masyarakat, yang diberi gelar Kemas, Kiagus, dan Masagus. Kelompok priyayi ini merupakan keturunan Ki Bodrowongso atau Pangeran Bawah Manggis.

Sebelum Kesultanan Palembang Darussalam berdiri, tepatnya pada abad ke-16, berdiri kerajaan Palembang. Pendirinya adalah Ki Gede Ing Suro dan beberapa panglima perang dari Jawa, tepatnya dari Demak dan Pajang.

Sekitar tahun 1622 sampai 1643, ketika Pangeran Ratu Sultan Jamaluddin Mangkurat IV atau Pangeran Sido Ing Kenayan berkuasa, hiduplah seorang panglima perang yang bernama Ki Bodrowongso atau Ki Bagus Abdurrahman Bodrowongso bin Pangeran Fatahillah atau juga dikenal sebagai Panglima Bawah Manggis.

Selain Ki Bodrowongso, seorang panglima perang lain bernama Jaladeri cukup terkenal di masa itu.

Buku Sejarah Melayu Palembang yang ditulis R.M. Akib menyebutkan bahwa Jaladeri memiliki seorang istri dan dua anak. Sang istri, Nyi Marta, suatu hari meminta Jaladeri beristri lagi. Menurut Nyi Marta, cukup memalukan jika seorang panglima hanya memiliki satu istri.

Akhirnya Jaladeri menikahi seorang gadis cantik sebagai istri kedua. Pesta perkawinan dilangsungkan di Pedaleman atau istana Pangeran Sido Ing Kenayan atau yang dikenal sebagai Kuto Gawang, yang kini lokasinya dijadikan tempat beroperasi pabrik Pupuk Sriwijaya.

Usai pesta, istri kedua Jaladeri tidak langsung dibawa pulang. Dia ditahan di istana. Para perempuan di istana masih menaruh kekaguman atas kecantikan dan keelokan sang mempelai wanita. Mereka ingin melihat dan bercengkrama lebih lama dengannya.

Tindakan tersebut membuat Nyi Marta menaruh curiga. Dia menduga ada rencana jahat orang-orang istana terhadap istri kedua suaminya itu. Dia juga curiga raja ingin merebut madunya.

Nyi Marta menuturkan kecurigaannya pada sang suami. Hati Jaladeri terbakar. Tanpa pikir panjang, dia mengamuk di istana. Sebagian besar penghuni istana meninggal dunia, termasuk Pangeran Sido Ing Kenayan dan istrinya, Ratu Sinuhun, yang tidak memiliki keturunan. Sebelum mengamuk Jaladeri bahkan sempat membunuh kedua anaknya sendiri yang masih kecil.

Di antara mereka yang selamat kemudian ada yang melapor kepada Ki Bodrowongso. Tindakan tegas segera diambil. Jaladeri pun tewas di tangan Bodrowongso.

Meski demikian, Bodrowongso tak mau jadi raja. Dia menyerahkan kerajaan kepada kerabat Pangeran Sido Ing Kenaya. Dia tak ingin keturunannya terlibat konflik kekuasaan.

Ketika tutup usia, Ki Bodrowongso dimakamkan di Sabokingking, Palembang, satu areal dengan makam Pangeran Sido Ing Kenayan dan Ratu Sinuhun.

Bodrowongso memiliki seorang istri dan lima anak. Dari kelima anaknya, tiga menurunkan gelar untuk masing-masing keturunannya. Ki Panggung mewariskan gelar Kemas, Ki Mantuk menurunkan Masagus, dan Kiagus Abdul Gani menurunkan Kiagus. Khalifah Gemuk dan Ki Bodrowongso Mudo sama sekali tak mewariskan gelar untuk keturunan mereka. Kedua keturunan Bodrowongso ini bahkan tak muncul dalam buku sejarah Palembang yang ditulis Belanda, mungkin karena mereka tak punya gelar priyayi.

Lucunya, gelar-gelar ini membuat sebagian orang merasa derajatnya lebih tinggi dibanding yang lain. Bahkan, orang yang menyandang gelar tertentu menganggap dirinya punya derajat lebih tinggi dibanding yang menggunakan gelar lain. Kemas, misalnya, dianggap berderajat lebih tinggi dibanding Kiagus atau Masagus.

Orang-orang Palembang tanpa gelar kebangsawanan atau priyayi disebut “Palembang Buntung”, yang artinya orang biasa, rakyat jelata.

Sebagian keturunan Ki Bodrowongso percaya bahwa kakek moyang mereka menyerahkan kekuasaan kepada kerabat Pangeran Sido Ing Kenayan, dengan syarat orang yang nanti jadi raja harus menjunjung adat istiadat yang ditulis Ratu Sinuhun dalam buku Simbur Cahaya. Buku ini berisi perpaduan ajaran Islam dan kearifan bangsa Melayu.

Jika ada sultan atau raja Palembang yang melenceng dari kesepakatan ini, mereka akan mangkat dalam kehinaan.

Percaya atau tidak, dari 10 sultan yang pernah berkuasa di Palembang, hampir semuanya mangkat dalam kehinaan. Jika tidak mati diracun, ya mati dibunuh atau dibuang ke tanah pengasingan seperti yang dialami tiga sultan Palembang itu.

Lantas, untuk apa membangkitkan lagi sebuah kerajaan bila sejarahnya penuh darah, intrik, kesedihan, dan tipu-muslihat? Ketimbang membangkitkan kembali kesultanan dan bernostalgia tentang kebesaran masa lalu, lebih baik kita sama-sama memikirkan jalan keluar persoalan yang dihadapi orang dan negara Indonesia hari ini. Bagaimana mengatasi banjir, hutan terbakar, semburan lumpur, flu burung, demam berdarah, kemiskinan, kebodohan?**

*) Taufik Wijaya adalah kontributor sindikasi Pantau di Palembang.

kembali keatas

by:Taufik Wijaya