Mengapa Saya Masih di Aceh?

Linda Christanty

Mon, 15 January 2007

TEMAN Aceh saya yang pertama bernama Dewi Sartika. Ia mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Padjadjaran, Bandung. Perkenalan itu terjadi karena keadaan. Kami tinggal satu asrama. Penghuni asrama rata-rata mahasiswa atau pegawai, kecuali saya dan satu teman yang masih belajar di sekolah menengah. Kami sering disebut “anak bawang” di situ, artinya pendapat kami jarang didengar gara-gara umur belum matang dan pengalaman kurang.

TEMAN Aceh saya yang pertama bernama Dewi Sartika. Ia mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Padjadjaran, Bandung. Perkenalan itu terjadi karena keadaan. Kami tinggal satu asrama. Penghuni asrama rata-rata mahasiswa atau pegawai, kecuali saya dan satu teman yang masih belajar di sekolah menengah. Kami sering disebut “anak bawang” di situ, artinya pendapat kami jarang didengar gara-gara umur belum matang dan pengalaman kurang.

Dewi gemar menggunakan masker bengkoang. Putih. Tebal. Masker itu membuat wajahnya seperti patung kayu dan yang menandai kehidupannya hanyalah sepasang bola mata yang berketap-ketip di kedua rongga topeng itu.

Saya selalu berpapasan dengan Dewi di gang menuju kamar mandi setiap pagi. Tangan kirinya menenteng ember kecil berisi sabun, sampo, pasta gigi, sikat gigi, pisau cukur, sebotol lulur, dan entah apa lagi, sedang di tangan kanannya tersampir sehelai handuk. Tubuhnya yang mungil dibalut kimono mandi merah jambu. Langkahnya pendek-pendek dan bergegas. Wajah seputih cat tembok. Ia sangat berambisi melenyapkan seluruh jerawat yang betah menghuni wajahnya dan berkembang biak tanpa menyisakan lahan kosong itu. Jarang sekali saya melihat wajah di balik topeng tersebut. Dewi mengenakan topeng hampir sepanjang hari. Pagi, siang, sore, malam. Wajah asli ditampilkan untuk urusan dinas belaka, yaitu kuliah. Ia bagai punya kehidupan ganda, dengan dua wajah.

Kamar saya dan Dewi sederetan, tapi dipisah sebuah pintu yang membagi rumah induk dan rumah belakang. Kamar saya berada di bagian utama rumah, kamar Dewi di bagian luar. Tarif kamar sama. Tinggal di bagian belakang justru lebih nyaman. Tak harus berbasa-basi dengan suami-istri penjaga asrama yang usil. Atau bisa keluar masuk kamar jam berapa saja, tanpa takut mengganggu penghuni lain dengan dering bel di malam buta atau subuh hari.

Dewi sering pulang subuh. “Urusan praktikum,” katanya. Saya memanggilnya “mbak”, meski ia bukan bangsa Jawa dan ia senang-senang saja dipanggil begitu. Oh, ya, Dewi Sartika juga nama pejuang perempuan asal Jawa Barat yang ingin memajukan perempuan lewat pendidikan. Entah kenapa Dewi tidak diberi nama pahlawan perempuan Aceh oleh orangtuanya, seperti Malahayati atau (Cut) Meutiah.

Entah kenapa, orang tak menolak dipanggil “mbak” atau “mas” ketika mereka berada di Jawa, meski mereka bukan orang Jawa. Mungkin mereka menjalankan pepatah “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Artinya, orang rantau harus pandai menyesuaikan diri. Mungkin ada juga yang ingin menolak dipanggil “mbak” atau “mas”, tapi tak mau berdebat panjang atau malas memberi alasan. Mungkin untuk cari aman. Mungkin Jawanisme telah menyusup lewat jalan yang seolah-olah tak politis, seolah damai, yang tak menunjukkan pertentangan pusat (Jawa) dan pinggiran (wilayah atau pulau di luar Jawa). Tapi penerimaan terhadap kata-kata sapaan itu justru menunjukkan relasi kuasa tersebut. Saya sendiri yang asal Sumatra ini menyapa orang dengan “mbak” atau “mas” ketika saya berada di Lombok atau Bali, misalnya. Dan sebaliknya, orang-orang di pulau luar Jawa itu memanggil saya, “mbak”.

Suatu hari tersiar kabar, Dewi tergila-gila pada seorang pria. Meski pria itu menolak cintanya mentah-mentah, ia pantang menyerah. “Maklum, orang Aceh, pantang menyerah seperti Cut Nyak Dien,” komentar salah seorang penghuni asrama, menyebut nama pejuang Aceh yang lain.

Dewi sempat bercerita tentang Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tapi sekilas. Gerakan itu hanya ada di pedalaman, di desa-desa yang jauh. Di tempat-tempat itu, pembangunan nyaris tak ada, kemiskinan merajalela. Orang-orang kecewa, lalu mengangkat senjata. Mereka melawan Jakarta, melawan Jawa.

Saya memiliki sejumlah teman dari beragam bangsa. Batak, Riau, Palembang, Bugis, Buton… Rata-rata mereka tak suka Jawa. Sebab Jawa ada di mana-mana (karena transmigrasi) dan karena ulet (ini kata beberapa teman non-Jawa. Sebab setahu saya, banyak juga bangsa Jawa yang malas), bangsa Jawa bisa lebih kaya dari penduduk setempat.

Namun, pemerintah Suharto punya andil besar membakar sentimen bangsa lain di negara kepulauan ini terhadap bangsa Jawa. Suharto berambisi men-Jawa-kan Indonesia. Di masa pemerintahannya, gubernur seluruh provinsi harus bangsa Jawa dan militer pula. Sentralisme dijalankan ketat. Tentu saja, ini bagai menyulut api di bawah tumpukan jerami. Di Aceh, GAM melawan apa yang disebut Hasan Tiro, pencetus kemerdekaan Aceh, sebagai kolonialisme Jawa.

Di lain pihak, teman Jawa saya ada yang tak suka orang Batak. Ketika menyuapi anaknya makan, ia berkata, “ Kalau nggak mau makan, biar Ibu panggilkan orang Batak ke sini.” Anak dalam buaian menangis keras. Si anak baru berhenti menangis setelah si ibu meyakinkan bahwa orang Batak tak jadi dipanggil asal ia mau menelan makanannya. Seperti apa Batak di benak anak usia dua setengah tahun itu, sehingga ia menangis sampai tersengal-sengal begitu?

Sejak kapan kebencian suatu bangsa terhadap bangsa lain ditanamkan? Mungkin jauh sebelum negara Indonesia ada. Ketika itu kepentingan ekonomi pihak yang kuat ingin menghalangi orang-orang yang ditindas bersatu melawan mereka. Kebencian pada ras atau bangsa tertentu bukanlah hal yang terberi sejak kita lahir, melainkan diajarkan dan diwariskan oleh hal yang lebih besar atas nama kepentingan untuk berkuasa. Turun-temurun.

Ketika masih kanak-kanak, saya benci bangsa Yahudi. Alquran menyebutkan bahwa mereka itu bangsa yang dilaknat Allah, sehingga layak dibenci. Di kehidupan nyata, negara Israel merampas tanah bangsa Palestina. Kebencian saya pun jadi bertubi-tubi terhadap Yahudi. Suatu hari, setelah menyaksikan perang antar kedua bangsa ini yang tanpa henti di televisi, saya jadi berpikir: apakah jalan keluar dari perang ini adalah pemusnahan salah satu bangsa? Apakah jalan keluarnya adalah Palestina harus memusnahkan Yahudi? Saya kira, kejam sekali jalan keluar seperti ini. Saya tak bisa menerima pemusnahan bangsa Yahudi, meski saya benci pemerintah Israel. Hati saya tak membenarkan pemusnahan bangsa apa pun di muka bumi, termasuk bangsa jin. Andaikata semua agama menghalalkan pemusnahan manusia, saya memilih menciptakan agama saya sendiri. Saya pikir, apa salahnya tanah yang diperebutkan Palestina dan Israel itu dibagi sama rata, dalam pengertian adil pula untuk pembagian wilayah subur dan gersang, kaya dan miskin sumber daya alam. Pembagian aset ini pun harus disesuaikan dengan jumlah penduduk masing-masing negara berikut tingkat ekonomi mereka. Dengan demikian, perang berakhir.

SAYA kemudian berpisah dengan Dewi setelah lulus sekolah. Saya meninggalkan Bandung, lalu kuliah di Jakarta. Kami tak pernah bertemu lagi. Kadang-kadang, saya bertanya-tanya dalam hati: masihkah dikenakannya topeng dari sari bengkoang itu sepanjang hari? Dua puluh tahun sudah lewat. Mudah-mudahan, ia sehat walafiat.

Ketika mahasiswa, saya rajin membaca berita-berita tentang GAM di majalah maupun suratkabar. Tentu saja, GAM selalu buruk di situ. Tak ada narasumber GAM yang dikutip wartawan. Semua narasumber tentara atau berasal dari pemerintah Indonesia. Suatu hari, pemerintah dan militer memberi julukan khusus pada organisasi atau gerakan anti-Jakarta ini: Gerakan Pengacau Keamanan atau GPK. Sebuah kelompok pengajian di Lampung yang tak mau minta izin pada pemerintah dan militer setempat untuk menyelenggarakan kegiatannya dicap GPK Lampung atau GPK Warsidi, nama sang pemimpin pengajian. Ratusan warga yang ikut pengajian tersebut dibantai dalam sebuah operasi militer, yang kemudian dikenal dengan tragedi Talangsari. GAM di Aceh lantas disebut GPK Aceh atau GPK Hasan Tiro.

Teman Aceh saya yang kedua bernama Helmi Mahadi. Ia salah seorang sahabat terbaik yang pernah saya kenal. Kami bertemu di Yogyakarta tahun 2001. Ia membuat penerbitan dan menerbitkan buku-buku teman-temannya sendiri. Helmi punya cita-cita mulia. Ia ingin usaha penerbitan itu berumur panjang, tanpa harus berkutat di soal laba.

“Kalau perlu, aku mau beternak ayam untuk menyokong penerbitan,” katanya.

Cita-cita mulia berbenturan dengan keinginan orangtua. Mereka mendesak Helmi segera menikah. Mereka ingin Helmi pulang ke Aceh.

“Kalaupun aku harus pulang ke Aceh, aku akan minta mereka menyiapkan aku sepatu bot dan seragam yang ada lambang GAM, tentu ukuran istimewa, karena postur tubuhku di bawah rata-rata. Seragam biasa pasti kebesaran,” tuturnya, bergurau.

Suatu hari seorang teman mengabarkan Helmi depresi. Ia dimasukkan ke rumah sakit jiwa di Yogyakarta, lalu dibawa pulang ke Aceh oleh keluarganya. Ia sempat ditahan dua minggu oleh tentara Indonesia gara-gara mengaku sebagai anggota GAM. Aceh masih berstatus darurat militer saat itu. Aceh masih tertutup.

Aceh menjadi lebih terbuka ketika saya bergabung dan menulis untuk majalah Pantau pada tahun 1999. Saya bertemu penulis dari Aceh, seperti Chik Rini. Meski ia berdarah Jawa (ibu)-Palembang (ayah), tapi tumbuh dan besar di Aceh. Rini menulis Aceh dengan sudut pandang yang berbeda dari media-media Jakarta. Sumber-sumbernya lebih beragam. Rini tak suka GAM. Tapi ia tak berat sebelah. Ia mewawancarai GAM, tentara, dan warga. Tulisannya sama sekali tak menghakimi.

Suatu hari, setelah tsunami melanda Aceh, saya ditugaskan ke Aceh. Saya harus mendirikan kantor berita, memantau lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan, dan perdamaian. Bukan pekerjaan mudah, apalagi seorang diri. Saya menelepon adik laki-laki saya untuk meminta pendapatnya.

“Kakak pergi saja. Kakak jangan takut. Leluhur kita pernah ke Aceh, Syekh Yusuf pernah belajar di Kutaraja dengan beberapa ulama. Ia juga bertemu Syiah Kuala, lalu mereka bersahabat dan satu perguruan di Mekkah. Jadi Aceh adalah kampung halaman kakak yang kedua,” katanya.

Syekh Yusuf Al Makassari atau Maulana Yusuf adalah ulama dan panglima perang Kerajaan Banten. Ia ditangkap Belanda dan diasingkan ke Sri Lanka pada 1683, lalu dibuang ke Cape Town, Afrika. Dalam pohon keluarga kami, saya keturunan Yusuf yang ke-8, dari garis ayah.

Saya tiba-tiba merasa bahwa saya akan pulang kampung. Saya jadi mencintai Aceh sebelum melihatnya.

Kini hampir setahun saya di Aceh. Saya merasa belum banyak yang telah saya lakukan di sini. Rekonstruksi dan rehabilitasi pascakonflik dan pascatsunami masih tersendat-sendat. Pembangunan rumah warga masih jauh dari target selesai. Masih puluhan ribu korban tsunami tinggal di barak. Perdamaian pun belum sepenuhnya berjalan. Tentara menembak warga hingga tewas di muka utusan Aceh Monitoring Mission (AMM), tim yang mengawasi penerapan Kesepakatan Helsinki, pada awal Juli 2006. Menurut Pieter Feith, yang memimpin tim AMM, peristiwa Paya Bakong (Aceh Utara) itu hanya salah satu dari sekitar dua puluh kasus kekerasan yang melibatkan militer Indonesia pasca Perjanjian Helsinki.

Angka kejahatan lebih tinggi ketimbang di masa perang. Pengangguran kian meningkat. Harga barang melambung, karena uang berlimpah.

Orang-orang dari beragam bangsa berkumpul di Aceh. Mereka bekerja sebagai sukarelawan, staf, atau direktur lembaga bantuan. Bisnis berkembang di satu sisi karena kehadiran mereka, tapi hidup serba kekurangan masih dialami banyak warga.

Bagaimana dengan hukum syariah? Terus-terang, penerapan hukum ini hanya menyengsarakan bangsa Aceh. Hukum abad ke-7 ingin dipaksakan untuk hari ini. Polisi syariah sibuk mengejar orang-orang yang berbuat maksiat, tapi mereka menonton adegan tersebut. Bukankah itu dosa, menurut agama? Bagaimana mereka menghukum diri mereka sendiri? Saya ingin tahu seperti apa kehidupan pribadi polisi syariah itu, satu per satu? Benarkah mereka tak berdosa seperti bayi? Saya ingin tahu. Lebih dari itu, saya ingin tahu seperti apa kehidupan dan latar belakang pribadi para pencetus atau pendukung hukum syariah di Aceh ini.

Saya masih ingat kisah Nabi Muhammad waktu ia menghancurkan berhala yang dipuja nenek moyangnya. Untuk apa menyembah patung, yang tak bisa bicara dan bahkan, tak bisa menolong diri-sendiri? Muhammad sangat cerdas, pemberani, dan luar biasa. Pengalaman Muhammad menunjukkan bahwa agama bukan ideologi mati, melainkan terbuka terhadap koreksi atau bahkan, pembaruan. Agama harus mampu mendatangkan ketentraman dan kesejahteraan bagi umatnya, bukan menyebabkan rasa takut dan tertekan. Aceh hari ini adalah rasa takut dan tertekan itu. Konflik, bencana, lalu hukum agama…

Belum lama ini, Yayasan Insan Cinta Madani, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Aceh, ingin mengetahui pendapat warga Aceh tentang penerapan syariah Islam. Mereka melakukan riset, menyebar angket. Selama ini undang-undang dan hukum di Indonesia diberlakukan tanpa meminta pendapat warga. Hukum syariah terlanjur diterapkan, tapi apa salahnya mengetahui isi hati warga yang terdalam. Namun, Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh menyerukan agar orang Aceh tidak mengisi angket itu. Mengapa? Bagaimana kalau riset itu menunjukkan bahwa orang Aceh memang tak menghendaki syariah? Apakah lantas sebuah lembaga ulama bisa menuduh mereka menentang Islam dan menetapkan mereka sebagai calon penghuni neraka? Tentu saja, tidak bisa dan memang tidak bisa. Dalam Alquran telah disebutkan, surga dan neraka rahasia Allah, urusanNya. Surga dan neraka tidak ditentukan sekelompok manusia, bukan hak manusia.

Udara Banda Aceh, ibukota Aceh, kini sangat berdebu. Banyak pohon tumbang, karena tsunami. Penahan debu tak memadai lagi. Penyerap air berkurang. Banjir pun melanda Lhokseumawe, Aceh Utara, dan Tamiang, yang berbatasan dengan Sumatera Utara. Di satu sisi, pohon harus ditebang untuk membangun kembali rumah warga yang hancur kena gempa dan tsunami, sedang di lain sisi, ekosistem yang rusak mendatangkan bencana baru.

Selokan-selokan kota penuh sampah. Mungkin orang Aceh tak punya konsep tentang kebersihan, pikir saya. Mungkin kemiskinan dan perang yang panjang membuat orang tak punya waktu mengurus diri-sendiri. Ketika pertama kali mendeklarasikan GAM pada tahun 1976, Hasan Tiro tidak hanya mengajarkan orang Aceh mengokang senjata melawan negara Indonesia. Ia juga berusaha keras mendidik mereka agar paham kebersihan. Tiro mengajarkan orang Aceh berpakaian rapi dan bersih serta menyikat gigi sehabis makan.

Ya, orang Aceh harus belajar menata kehidupan mereka sejak sekarang. Mengatur hal besar, harus dimulai dari hal kecil, yaitu diri-sendiri. Sifat pantang menyerah harus diterapkan untuk membersihkan rumah, membersihkan selokan, membersihkan sungai, membersihkan pantai, dan bekerja keras untuk masa depan. Kita harus jadi tuan sekaligus pembantu untuk diri-sendiri.

Saya ingin tinggal lebih lama di Aceh. Saya ingin menyaksikan wilayah ini bangkit dari puing-puing perang dan bencana, karena inilah kampung halaman saya yang kedua. Saya juga ingin mencari Helmi, sahabat saya. Kabar tentang dia masih simpang-siur. Ada yang mengatakan ia selamat dari tsunami, tapi kemudian menghilang. Saya juga mendapat informasi bahwa ia mengajar di sekolah yang didirikan Republika, sebuah suratkabar Jakarta. Saya pasti menemukannya.*

Banda Aceh, Desember 2006

*) Linda Christanty adalah direktur sindikasi Pantau, tinggal di Aceh.

kembali keatas

by:Linda Christanty