Akhir Misi Meneer Pieter

Samiaji Bintang

Mon, 11 December 2006

AMM segera meninggalkan Aceh. GAM akan bubar tahun depan setelah membentuk partai lokal.

MUHAMMAD Yusuf kaget mendengar kabar itu. Padahal media massa nasional dan lokal sudah dua hari berturut-turut memberitakan rencana besar Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di tahun baru nanti.

“Partai? Belum, saya belum tahu soal partai politik lokal,” kata lelaki berusia 40 tahun ini.

Yusuf mantan Tentara Negara Aceh (TNA). Pria bertubuh tinggi kekar ini tinggal di kampung Alue Gampong, kecamatan Tanah Luas, Aceh Utara. Dia pernah menjabat Komandan Operasi Daerah III Tengku Chik Paya Bakong yang berada di wilayah Pase. Dia membawahi empat panglima sagoe, antara lain sagoe Cut Meutia, Jeram Manyang, Murtada, dan Paya Peu.

Setelah perjanjian damai GAM dan pemerintah Indonesia ditandatangani setahun silam, dia sudah tak lagi angkat senjata. Tapi bebannya bukan makin enteng. Dia kini aktif membantu Komite Peralihan Aceh (KPA) di wilayah Pase. Di luar jam dinas di KPA, kadang dia turun ke sawah warisan orangtuanya yang seluas hampir 2.000 meter persegi di Alue Gampong.

Lain waktu, dia bersama sejumlah eks anggota TNA menggarap proyek bernilai jutaan untuk pembangunan infrastruktur milik pemerintah daerah Aceh Utara dan kota Lhokseumawe. Dia jadi kontraktor untuk proyek pengerasan jalan kampung-kampung di kecamatan Tanah Luas. Hasil lumayan.

“Sebagian hasil pendapatan proyek kami sisihkan untuk anak-anak yatim korban konflik,” ujar Yusuf.

Sebagian besar mereka adalah putra-putri anak buah Yusuf yang tewas di medan perang saat Darurat Militer. Anak-anak malang itu berjumlah ratusan orang. Kini mereka menjadi bagian tanggung jawab Yusuf, dari urusan perut hingga persoalan pendidikan. Yusuf juga mesti membantu kehidupan para janda yang ditinggal mati suami mereka ketika perang. Itu sebabnya Yusuf enggan memikirkan persoalan politik apalagi urusan partai politik.

“Saya tidak tahu soal politik. Tapi itu terserah mereka (petinggi GAM) dan ketua-ketua KPA. Saya tidak sanggup politik yang tinggi-tinggi. Saya berpolitik di ekonomi saja,” katanya.

KEPUTUSAN politik GAM diumumkan Ketua Aceh Monitoring Mission (AMM) Pieter Feith pada awal Desember lalu. Hari itu merupakan hari terakhir rangkaian pertemuan Commission on Security Arrangements (COSA) antara pemerintah Indonesia dan GAM. Yang hadir dalam pertemuan di Pendopo Gubernur Aceh itu antara lain Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil, Perdana Menteri GAM Malik Mahmud, ketua perwakilan Indonesia di AMM Mayor Jenderal Bambang Dharmono, dan Gubernur Aceh Mustafa Abubakar.

“GAM mulai bertransisi ke partai politik. Mulainya sebelum akhir tahun, dan setelah peraturan pemerintah tentang partai lokal diundangkan. Enam bulan kemudian GAM akan berbentuk parpol. Dan berdasarkan pemahaman pribadi saya, segera setelah itu GAM secara praktis akan bubar,” urai Feith.

Sofyan Djalil mendukung Feith. Dia menegaskan pemerintah Indonesia tak akan berlama-lama untuk menerbitkan peraturan tentang partai politik lokal.

“Agar kepentingan politik GAM disalurkan ke partai lokal,” katanya.

Malik Mahmud membenarkan adanya rencana strategis GAM pada tahun 2007. GAM akan mengikuti peraturan yang dibuat pemerintah Indonesia soal partai lokal. Menurut Malik, peraturan tersebut bagian dari amanat perjanjian damai di Helsinki.

Persiapan GAM mendirikan partai lokal sudah dilakukan sejak akhir tahun lalu di Swedia. Ini dipertegas dengan hasil Ban Sigom Donya atau pertemuan GAM sedunia yang digelar pada 20 hingga 23 Mei 2006 di Banda Aceh yang diikuti petinggi GAM di Swedia, perwakilan GAM di luar negeri, dan petinggi majelis GAM di wilayah di Aceh.

Selain berencana mendirikan partai politik, rapat petinggi dan majelis pemimpin GAM itu juga membahas pokok-pokok strategi politik GAM, penguatan struktur organisasi, majelis, dan elemen sipil. Mereka membahas agenda menjaga dan melestarikan perdamaian. Namun, tak ada agenda membahas pembubaran GAM.

Malik pun segera membentuk tim khusus untuk pendirian partai lokal ketika pertama kali pulang ke Aceh April lalu setelah 40 tahun di pengasingan. Malik orang Aceh yang terdaftar sebagai warga negara Singapura. Kini dia tengah berupaya mendapat status kewarganegaraan Swedia.

Lantas kapan pastinya GAM bubar? Apa benar mereka bakal bubar dalam tempo enam bulan setelah partai GAM dibentuk seperti yang diyakini Feith?

“Itu pendapat pribadi Mister Pieter. Menurut saya pribadi, (pembubaran GAM) tergantung pada keadaan yang memungkinkan. Perlu waktu yang cukup membentuk partai politik,” komentar Malik.

Malik masih punya pertimbangan lain. Kendati beberapa poin perjanjian damai sudah dipenuhi pemerintah Indonesia, seperti pengesahan Undang-undang Pemerintahan Aceh dan penyelenggaraan pilkada Aceh secara langsung pada 11 Desember, masih ada beberapa masalah yang mesti diselesaikan GAM dan pemerintah Jakarta sebagai pihak utama yang terlibat dalam perjanjian damai. Termasuk penerbitan qanun-qanun untuk memuluskan pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Aceh.

Gubernur Mustafa Abubakar mengungkapkan, jumlah qanun yang masih harus dibuat diperkirakan berjumlah 60an. Dalam bahasa Indonesia, qanun adalah peraturan tertulis atau undang-undang. Di Aceh, qanun setingkat peraturan daerah yang dimiliki pemerintahan provinsi di Indonesia.

Meski begitu Malik tak menutup mata atas kerja berat AMM untuk mengawasi proses pelaksanaan perjanjian damai di tanah rencong selama setahun lebih.

“Terimakasih kepada Tuan Pieter dan anggota pemantau AMM yang telah berhasil memantau implementasi nota kesepahaman Helsinki.”

ACEH Monitoring Mission atau populer disebut AMM ditetapkan oleh negara-negara Uni Eropa dan sejumlah negara dalam Association of South East Asian Nations (ASEAN). Pembentukan AMM merupakan amanat salah satu butir isi kesepakatan damai GAM dan pemerintah Indonesia.

Tugas lembaga ini antara lain, memantau demobilisasi GAM dan penyerahan semua persenjataan, reintegrasi anggota GAM aktif, relokasi satuan-satuan militer dan polisi non-organik. Selain itu, AMM juga mesti memantau situasi hak asasi manusia dan mengatur kasus-kasus perselisihan menyangkut pelaksanaan nota kesepahaman.

Misi AMM dipimpin langsung Pieter Feith, seorang diplomat asal Belanda. Dia belajar ilmu politik di University of Lausanne, Swiss. Dia lulus tahun 1970 dari Fletcher School of Law and Diplomacy, Massachusetts, Amerika Serikat.

Kariernya sebagai diplomat di Perserikatan Bangsa Bangsa dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO/North Atlantic Treaty Organization), cukup cemerlang. Tahun 1995 hingga 1997, dewan NATO menunjuk Feith sebagai penasehat politik di Bosnia-Herzegovina. Agustus 1998 hingga Oktober 2001 dia bekerja sebagai direktur Crisis Management and Operations Directorate untuk staf internasional di NATO dan menduduki jabatan ketua di Balkans Task Force.

Misi NATO di Balkan berhasil menghentikan pembunuhan dan pertumpahan darah di bekas negara Yugoslavia itu. Namun secara politik, kerja mereka berdampak pada pembentukan negara-negara kecil baru, seperti Bosnia-Herzegovina, Kroasia, Serbia, Slovenia, Macedonia, dan Montenegro. Sedangkan Kosovo, yang juga menjadi bagian misi NATO bersama Uni Eropa, diperkirakan bakal menyusul menjadi provinsi yang merdeka dari Serbia pada tahun 2007.

Di Aceh Feith dibantu 130 personel dari Uni Eropa, seperti dari Norwegia dan Swiss. Sebanyak 96 utusan dari ASEAN, seperti Brunei, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand ikut membantu. Laporan pemantauan tim ini langsung disampaikan ke Javier Solana, sekretaris jenderal Dewan Uni Eropa.

Sejalan dengan tahapan misi mereka, berangsur-angsur jumlah personel AMM dikurangi. Tanggal 15 Maret lalu, sebanyak 125 personel AMM kembali ke negara asalnya. Jumlah mereka menjadi 85 orang pada 15 Juni, dengan tugas memantau proses pembahasan RUU Pemerintahan Aceh dan pemilihan kepala daerah atau pilkada di Aceh.

Undang-Undang Pemerintahan Aceh berhasil disahkan bulan Juli. Sedangkan pilkada langsung disepakati pada 11 Desember 2006. Kini anak buah Feith tinggal sekitar 50-an orang.

Meski demikian, misi pemantauan perdamaian yang dikomandani Feith tak bebas hambatan. Kekerasan dan pelanggaran masih terjadi di beberapa daerah. Sebagai contoh insiden penembakan di kompleks militer Paya Bakong. Lokasi itu hanya beberapa kilometer dari rumah Muhammad Yusuf di Alue Gampong.

Seorang eks TNA bernama Muslem bin Abdul Samad tewas. Seorang aparat kepolisian, Brigadir Dua Muhammad Satria, dan Rasyidin, anggota KPA ikut tertembus peluru. Utusan AMM, Jorma Gardemaster, berada dalam lokasi ketika insiden terjadi. Kendaraan dinas yang ditumpanginya tak luput dari tembakan.

Tapi wakil senior pemerintah Indonesia di AMM Mayor Jenderal Bambang Dharmono menyatakan, Muslem tewas karena dicekik. Pernyataan Bambang didapat dari hasil otopsi oleh tim yang didatangkan pemerintah Indonesia dari Jakarta.

Kasus pelanggaran bukan hanya di Paya Bakong. Berdasar laporan yang dikumpulkan AMM, Pieter menyatakan ada lebih dari 20 kasus kekerasan serius selama setahun timnya bekerja. Tapi, kata dia, itu semua akan menjadi tanggung jawab aparat kepolisian dan penegak hukum Indonesia.

Proses reintegrasi yang dipantau AMM juga tak mulus. Sampai hari ini ribuan mantan gerilyawan GAM belum menerima dana reintegrasi. Namun Ketua Badan Reintegrasi Aceh Yusni Saby berani memastikan, sebanyak 3.000 mantan gerilyawan itu bakal menerima uang Rp 25 juta per orang sebelum AMM pergi.

“Paling lambat dana itu sudah mereka terima tanggal 4 Desember,” ujarnya.

BUAH perdamaian dirasakan Yusuf di Alue Gampong. Dia dan penduduk lain di kampungnya sudah bebas bolak-balik ke kota Lhokseumawe tanpa dihantui rasa takut. Selain tak lagi harus bergerilya di hutan-hutan, Yusuf merasa lega karena bisa kembali berkumpul dengan anak dan istrinya.

“Orang sudah bisa jalan malam-malam. Dulu waktu milad (ulang tahun GAM) sebelum damai, masih di hutan.”

Menurut Yusuf, dia dan warga kampung lainnya kini merasa lebih bebas. Termasuk dalam soal pilihan politik dalam pemilihan kepala pemerintahan Aceh 11 Desember ini.

Beberapa elite GAM juga menikmati iklim kebebasan ini. Mereka yang sebelumnya bergerilya, diburu dan dipenjara, kini menjadi kandidat gubernur maupun bupati. Irwandi Yusuf, bekas penasehat militer GAM dan wakil senior GAM di AMM, mencalonkan diri sebagai gubernur. Munawarliza Zain, wakil juru bicara GAM, ikut bersaing dalam pemilihan walikota Sabang. Sedangkan Tengku Usman Muda yang juga dikenal dengan nama Muchsalmina, ikut bersaing di Aceh Besar.

Menjelang hari pencoblosan, mereka sibuk berkeliling Aceh, berkampanye untuk meyakinkan warga bahwa merekalah yang pantas memimpin Aceh selama lima tahun ke depan.

Sayangnya kebebasan berpartisipasi di politik ini menimbulkan riak di tubuh GAM. Petinggi GAM di Swedia mendukung kandidat yang berbeda dengan kandidat yang didukung sejumlah petinggi KPA. KPA merupakan organisasi di bawah GAM yang terdiri dari bekas anggota TNA.

Petinggi GAM mendukung pasangan Ahmad Humam Hamid dan Hasbi Abdullah atau dikenal sebagai H2O. Pasangan ini juga didukung Partai Persatuan Pembangunan. Sedangkan juru bicara GAM Bakhtiar Abdullah dan juru bicara KPA Sofyan Dawood mendukung pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar.

Senin, 27 November, Ketua KPA Muzakkir Manaf pun terpaksa mengeluarkan pernyataan bahwa KPA tidak mendukung salah satu kandidat pun dalam pilkada. Dalam konferensi pers siang itu, Bakhtiar Abdullah dan Sofyan Dawood yang duduk mengapit Muzakkir pun menarik dukungan terhadap Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar atas nama KPA.

“KPA menarik dukungan untuk H2O dan semua kandidat,” kata Muzakkir.

“Tapi secara pribadi boleh mendukung salah satu calon,” timpal Sofyan.

Sofyan tampil dalam kampanye puncak pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar di Lapangan Blang Padang, 6 Desember ini. Untuk pertama kali, petinggi militer GAM di Aceh itu berdiri di atas panggung dan berorasi dalam bahasa ibunya. Massa yang mendengarkan bertepuk-sorak diselingi tawa.

“Apa Anda sudah terdaftar sebagai pemilih?” tanya saya di sela kampanye.

“Belum, belum terdaftar. Banyak anggota GAM juga belum terdaftar.”

“Andai Anda terdaftar, siapa yang bakal dipilih?”

“Pribadi saya mendukung pasangan ini (Irwandi-Nazar). Dia calon independen dan bekas kombatan.”

“Kalau mereka kalah?”

“Kita akan ikut siapa yang menang.”

Medan politik rupanya tak sama dengan medan perang. Tak ada garis komando soal pilihan politik. Itu sebabnya dia berani menjadi juru kampanye pasangan Irwandi-Nazar kendati organisasi KPA tempatnya bernaung menyatakan tidak memihak salah satu kandidat.

Tapi menurut Malik Mahmud, yang terpenting adalah menjaga agar pesta demokrasi di Aceh berlangsung damai. Soal perbedaan politik dan cekcok antara elite GAM di Swedia dan Aceh bukan persoalan besar.

“Apa-apa yang terjadi selama ini adalah normal dalam tubuh organisasi. Apalagi dalam kondisi yang memanas dalam pilkada,” ujar Malik.

TANGGAL 4 Desember hari ulang tahun atau milad GAM ke-30. Yusuf bersama bekas anggota TNA lainnya di Alue Gampong ikut menggelar milad. Dia mengumpulkan ratusan anak-anak di lapangan bola Alue Gampong. Tapi bukan untuk upacara atau mengerek bendera berlambang bulan sabit dan bintang dengan warna merah, hitam, dan putih.

“Kami hanya membagikan sarung dan uang tiga puluh ribu kepada 800 anak yatim. Itu uang hasil kami mendapatkan proyek pembangunan,” ujarnya.

Walaupun Aceh kini lebih bebas ketimbang dua tahun lalu, kesulitan ekonomi masih menghinggapi sebagian besar warga di kampung-kampung yang dilanda konflik selama hampir 30 tahun. Namun, dia punya pandangan sendiri tentang kebebasan.

“Sekarang kebebasannya masih terbatas, bukan yang sesungguhnya. Masih banyak orang miskin.”

Saat ini Yusuf hanya berharap perdamaian bakal berumur panjang.

Sementara itu, tugas Feith dan anak buahnya bakal berakhir tiga hari setelah hari pencoblosan. Dia optimis masa damai di Aceh berlangsung lama. Dia yakin tak akan ada konflik lagi setelah dia dan timnya meninggalkan Aceh.

“Tidak akan ada lagi misi pemantauan (di Aceh),” kata Feith.

*) Kontributor Sindikasi PANTAU di Banda Aceh.

kembali keatas

by:Samiaji Bintang