Bisnis Pemantauan di Aceh

Samiaji Bintang

Sat, 25 November 2006

UNTUK pertama kalinya pemilihan kepala pemerintahan lokal di Indonesia dipantau lembaga asing. Ada yang berkantong tebal, ada yang cekak.

MOBIL-mobil kabin ganda berjejer di areal parkir dan di depan Swiss-Belhotel, Banda Aceh. Di kanan-kiri pintu mobil terlihat stiker biru bergambar dua belas bintang yang membentuk lingkaran. Itulah lambang persekutuan negara-negara Eropa.

Pada Sabtu, 19 November 2006, mobil-mobil tersebut siap mengantar para penumpangnya ke 20 kabupaten atau kota di Aceh. Tujuan perjalanan itu bukan untuk tamasya atau berdagang, melainkan untuk misi khusus sekaligus penting: memantau proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.

Jumlah anggota tim Uni Eropa lebih dari 80 orang. Mereka berasal dari 22 negara Eropa, antara lain Inggris, Jerman, Perancis, Spanyol, Italia, Belanda, Swedia, Denmark, dan Republik Ceko.

“Karena ini amat terkait dengan proses perdamaian di mana kami telah terlibat di dalamnya,” ujar Antonio Reis yang saya wawancarai di ruang kerjanya di lantai empat Swiss-Belhotel.

Reis adalah wakil ketua pemantau Uni Eropa di Aceh. Dia mantan wartawan Reuters dan telah menjalankan tugas semacam ini sejak tahun 1990-an.

Pemilihan lokal secara langsung untuk memilih kepala pemerintahan Aceh ini merupakan salah satu hasil kesepakatan Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia di Helsinki.

Perjanjian mengamanatkan agar pemilihan dilangsungkan pada bulan April. Namun pelaksanaannya mundur delapan bulan.

Pemantau asing diundang untuk mengamati langsung proses tersebut. Dalam Perjanjian Helsinki, aturan soal pemantau luar negeri juga tercantum. Aturan itu mempersilahkan pihak luar memberi bantuan teknis.

Delapan utusan inti Uni Eropa tiba di Banda Aceh Oktober lalu. Mereka dikomandoi Glyn Ford.

Ford orang Inggris. Dia anggota Komite Kebijakan Luar Negeri, Hak Asasi Manusia, Pertahanan dan Keamanan di parlemen Eropa. Ford juga yang memimpin timnya memantau pemilihan umum legislatif dan presiden di Indonesia pada tahun 2004 lalu.

Sejak tahun 2002, lembaga ini telah melakukan misi pemantauan di lebih dari 20 negara. Beberapa di antaranya adalah Pakistan, Kamboja, Timor Leste, Rwanda, Sierra Leone, Afghanistan, Lebanon, Uganda, dan Sri Lanka. Rata-rata negara yang mereka pantau memiliki sejarah konflik politik, seperti Indonesia.

Tapi proyek mereka dikritik David Bloss, wartawan Amerika Serikat yang mengajar jurnalisme di Fakultas Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry, Banda Aceh. Menurut Bloss, lama-kelamaan program pemantauan ini tak lebih dari proyek bisnis.

Bloss pernah mengikuti proses pemilihan umum di Kamboja pada 2002 silam. Pemantau Uni Eropa ikut hadir di negeri tersebut. Mereka menginap di hotel kelas satu sebulan lebih. Tiap anggota hilir-mudik dengan kendaraan kabin ganda, dilengkapi sopir dan penerjemah.

Di akhir penghitungan suara, mereka hanya akan memberi pernyataan yang sama. “Pemilu di negeri Anda berlangsung free and fair, but… Bla..bla..bla… Itu sebabnya ini memang bisnis yang bagus sekali,” ujar David kepada saya.

“INI adalah misi pemantauan pemilihan terbesar Uni Eropa untuk memantau sebuah proses pemilihan tingkat provinsi. Biasanya kami hanya memantau pemilihan umum nasional sebuah negara,” ujar Reis dalam jumpa pers di ruang media center Komisi Independen Pemilihan, pertengahan November.

Pemantauan meliputi proses pemilihan, penyelenggara pemilihan, peran negara dan partisipasi warga. Selain itu, tim Uni Eropa akan memantau perilaku media khususnya milik pemerintah, pemungutan hingga penghitungan dan tabulasi suara.

Dalam proses kerjanya mereka akan dibantu sekitar 150 staf lokal, belum termasuk yang nasional. Ford memperkirakan, keseluruhan staf yang terlibat sekitar 250 orang.

Kantor Uni Eropa berada di lantai empat Swiss-Belhotel, hotel termewah di Aceh. Mereka menyewa lebih dari empat kamar di situ. Salah satu kamar berfungsi sebagai ruang kerja Reis. Ini baru untuk kantor, belum termasuk kamar untuk menginap para anggota.

Swiss-Belhotel adalah hotel bertaraf internasional dan ada di seluruh dunia. Berbintang empat. Markas regionalnya untuk Asia berada di Hongkong. Tahun depan, hotel serupa akan dibangun di Medan, Balikpapan, Samarinda, Semarang. Nusa Dua, dan Jayapura.

Proyek pembangunan Swiss-Belhotel beradu cepat dengan pembangunan rumah bantuan untuk korban tsunami. Hanya dalam tempo kurang dari enam bulan, hotel lima lantai ini sudah tinggi menjulang. Satu setengah bulan sebelum tim pemantau Uni Eropa datang, Swiss-Belhotel diresmikan.

Jumlah kamar 159. Di lantai satu tersedia pusat kebugaran, sebuah ballroom yang mampu menampung 600 orang, dan tiga ruang pertemuan ukuran kecil. Di lantai yang sama terdapat Swiss Cafe yang menyediakan masakan Barat maupun lokal. Saban malam akhir pekan di ruang Oasis Lounge digelar hiburan musik instrumental daerah. Sebelah lounge ada kolam renang dihias air mancur.

Tarif bervariasi. Dari Rp 960 ribu per malam untuk kelas deluxe hingga Rp 3,66 juta per malam untuk presidential suite.

“Tingkat okupansi kami minggu ini mencapai sembilan puluh lima persen,” ungkap Bustamar Koto, manajer pemasaran dan penjualan Swiss Belhotel, kepada saya.

“Enam puluh lima persen orang asing yang bekerja di NGO dan pemantau asing. Sisanya orang-orang perusahaan dari Jakarta dan pemerintah pusat,” katanya, lagi.

Keamanan? Jangan khawatir. Begitu melewati pintu masuk, seorang petugas akan memeriksa barang bawaan Anda dan Anda sendiri dengan metal detector.

Tim pemantau Uni Eropa, menurut Bustamar, bakal tinggal lama di hotel ini. Ada yang sebulan, ada yang dua bulan, ada pula yang kurang dari sepekan. Alasan para tamu sederhana, “Ini hotel internasional pertama di Aceh dengan fasilitas lengkap dan prestisius,” ujar Bustamar.

Bustamar berharap hotelnya bersedia menambah 15 kamar lagi. Pesanan meningkat tajam, sehingga membuat kamar jadi terbatas. Harapan Bustamar amat realistis. Untuk dana operasional saja tim Uni Eropa telah menghabiskan 2,5 juta euro atau sekitar 2,9 miliar rupiah. Dana untuk dua setengah bulan itu didapat dari European Initiative for Democracy and Human Rights. Sebuah lembaga yang didirikan sejumlah parlemen Eropa pada tahun 1994.

Selain pemantau dari Uni Eropa, hotel ini juga jadi tujuan menginap beberapa pemantau asing lain, seperti National Democratic Institute (NDI) dan International Republican Institute.

Kedua lembaga tersebut sama-sama berasal dari Amerika Serikat. Sama-sama punya misi mempromosikan dan meningkatkan sistem demokrasi di seluruh dunia. Bedanya, yang satu didanai Partai Demokrat, dan lain dimodali Partai Republik yang konservatif.

KEDATANGAN pemantau asing tiba di Aceh terbilang agak telat. Ketua Kelompok Kerja Pemantauan Komisi Pemilihan Independen, Ikhwanussufa, menyayangkan hal tersebut. Mereka mestinya datang lebih awal agar dapat memantau proses pendaftaran kandidat dan pemilih hingga akhir penghitungan suara. Masalah politik rupanya jadi penyebab.

“Deplu (Departemen Luar Negeri) kesulitan memproses visa untuk pemantau yang berasal dari Asia Selatan, seperti Pakistan dan Sri Langka,” ujar Ikhwanussufa kepada wartawan.

Menurut kabar yang dia peroleh ketika ke Deplu, warga yang berasal dari negara-negara itu mendapat cap ‘diwaspadai’ oleh pemerintah Indonesia.

“Kami tidak menghambat. Prosesnya adalah mereka mengajukan permohonan, lalu kami undang. Mereka sebutkan nama-nama anggota timnya. Dan tidak ada (pemantau asing) yang diseleksi khusus,” terang Dwatmaji. Dia anggota tim fasilitator seksi pendaftaran pemantau asing dari Direktorat Jenderal Departemen Luar Negeri.

Bahkan, menurut Dwatmaji, Deplu tidak melarang pemantau asing yang berasal dari negara-negara yang baru merdeka. Para pemantau itu mendapat visa kunjungan sosial budaya.

“Pemantau dari Timor Leste juga akan datang. Mereka tergabung di tim pemantau IRI (International Republican Institute).”

Salah satu pemantau asing yang anggotanya dari Asia Selatan adalah Asian Network Free Election (ANFREL). Anggota mereka datang dari Thailand, Sri Lanka, Bangladesh, Filipina, Malaysia, Korea Selatan, Pakistan dan India.

Di Aceh, mereka hanya sepuluh orang. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibanding tim Uni Eropa. Untuk pemantauan hingga ke pelosok kampung, tim ANFREL bekerja sama dengan lembaga pemantau nasional, Komite Independen Pemantau Pemilu. ANFREL punya pengalaman memantau di India, Pakistan, dan Afghanistan.

“Kami ini miskin, tidak punya banyak uang. Karena kami juga harus membagi program pemantauan di negara-negara lain,” kata Somsri Hananuntasuk, koordinator pemantauan Aceh di ANFREL.

Pada pemilu legislatif dan presiden dua tahun silam, lembaga ini ikut melakukan pemantauan di tujuh provinsi di Indonesia. Somsri mendapat tugas di Sulawesi Tenggara.

Dana pemantauan untuk Aceh diperoleh ANFREL dari Finlandia.

“Hanya dari Finlandia, tidak ada yang lain,” ujar Somsri. Terbatasnya anggaran membuat mereka tidak memilih hotel berbintang, macam tim Uni Eropa. Mereka memilih Hotel Medan sebagai kantor dan tempat menginap. Hotel lumayan tua. Letaknya tak jauh dari Pasar Peunayong.

“Sekarang semua negara di Asia sedang mengamati pemilihan di Aceh. Jika hasilnya positif maka akan menjadi langkah awal pembangunan demokrasi di Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia,” ujar Somsri.

“Kami minta agar pemerintah Indonesia tidak perlu khawatir dengan kehadiran kami. Please trust us, international observer and NGO,” lanjutnya.*

*) Samiaji Bintang adalah kontributor Sindikasi PANTAU di Banda Aceh.

kembali keatas

by:Samiaji Bintang