KETIKA malam mulai menyelimuti Alue Naga, waktu seperti merambat. Seluruh kawasan nyaris gelap pekat. Nyala lampu teplok seperti noktah cahaya di samudera hitam.

“Setiap malam ya begini,” ujar Hendri Syahputra, pemilik warung. Dia pemuda berusia 18 tahun yang hanya tamat sekolah menengah pertama. Ibu dan ayahnya hilang ditelan gelombang tsunami.

Hendri bergantian dengan kakaknya, Juniati, menjaga warung mereka. Tapi tak banyak yang tersedia di warung yang terbuat dari papan usang sisa tsunami itu. Dagangan utama mereka adalah kopi dan teh, ditambah beberapa renteng makanan ringan yang digantung di dinding papan.

“Sudah berbulan-bulan listrik tidak masuk-masuk. Padahal kampung kami masih di kota Banda Aceh, tidak jauh dari kantor gubernur. Tuh, lihat,” ungkap Hendri. Telunjuknya mengarah ke bangunan besar dengan gemerlap lampu, sekitar tujuh kilometer dari utara kampung.

Listrik dalam kampung itu hanya dinikmati dua rumah. Itu pun menggunakan generator listrik berbahan bakar solar. Rumah penduduk lainnya, termasuk warung Hendri, terpaksa seperti hidup di zaman pra kemerdekaan. Penerangan andalan mereka di malam hari hanya pancaran lampu minyak atau lilin.

Warga berulang-ulang menuntut agar listrik segera masuk kampung. Tapi hasilnya nol. Akibatnya tak banyak kegiatan yang bisa dilakukan ketika malam tiba.

“Penduduk di sini seperti dianaktirikan,” ujar Hendri.

Nama kampung Alue Naga konon diambil karena letak kampung itu berada di muara sungai yang berkelok-kelok menyerupai tubuh naga.

“Konon katanya dulu tempat ini malah jadi tempat keluar-masuknya naga,” kisah Tuanku Hamzah. Dia geuchik atau kepala desa baru Alue Naga. Geuchik sebelumnya, Tuanku Zulfakar, tak lain kakak kandung Hamzah. Dia meninggal karena tsunami.

“Ya, memang bisa saja dulu di kampung ini ada naganya. Tapi pastinya sampai sekarang saya tidak tahu mengapa kampung ini dinamakan Alue Naga,” kata Azhar, yang pernah menjabat geuchik sementara sebelum Hamzah dilantik.

Tapi itu cuma dugaan. Tak bisa dibuktikan.

Alue Naga terdiri dari empat dusun: Buenot, Musafir, Kutaran dan Po Diamat. Letak Buenot agak menjorok ke laut dan banyak ditumbuhi nyiur. Ratusan pohon itu masih tegak, meski gelombang dahsyat menghantam Aceh pada Desember dua tahun lalu.

Dusun Musafir, dari arah laut, berada di belakang Buenot. Jumlah penduduknya lebih padat. Namun, tsunami mengubah seperlima daratan di dusun ini jadi ceruk air atau kolam. Kutaran lebih parah. Lebih sepertiga daratannya terendam air.

Kutaran dan Po Diamat terpisah sebuah kanal banjir. Dulu ada jembatan yang menghubungkan kedua dusun itu dengan Musafir dan Buenot, tapi kemudian jembatan tersebut hancur kena tsunami.

Menurut catatan Azhar yang masih tersisa, total penghuni Alue Naga sebelum tsunami mencapai 7.000 jiwa. Kini tinggal sekitar 1200-an jiwa.

Warga yang selamat mengungsi ke tenda-tenda darurat. Beberapa bulan kemudian mereka dipindahkan ke barak-barak dekat bekas kampung mereka, antara lain di Neheun dan Tibang. Ratusan warga masih menempati barak-barak itu hingga kini.

“CRS memang lambat!” kata Azhar, ketus. CRS adalah singkatan Catholic Relief Sevices, sebuah lembaga bantuan internasional milik gereja Katolik.

Dia tengah sibuk membereskan lembar-lembar kertas dan mesin ketik tuanya ketika saya mendatangi kediamannya, di sore hari bulan Agustus lalu. Rumah panggung. Dinding kayu pinus dengan rangka logam. Letaknya di tepi kanal banjir Banda Aceh. Rumah tersebut bantuan dari International Federation of Red Cross and Red Crescent.

Di hadapan lelaki berkaus singlet putih itu ada beberapa orang warga Alue Naga. Mereka meminta Azhar membuatkan surat keterangan untuk melancarkan urusan penyaluran bantuan. Ketika itu dia masih menjabat geuchik sementara Alue Naga.

Kerjanya gila-gilaan. Nyaris 24 jam! Padahal dia juga punya kewajiban mengajar di Sekolah Dasar Negeri 55 Lam Gugop, kecamatan Syiah Kuala. Di rumah maupun di kantor desa sementara, dia harus selalu siap sedia menemui warga. Mulai urusan surat-menyurat tanah hingga, dia bilang, “menerima macam-macam curhat persoalan rumah tangga”.

Tapi upah sebagai geuchik tak seimbang dengan kerja beratnya. Sebulan dia hanya dibayar Rp 850 ribu. Itu pun baru dia nikmati selama empat bulan terakhir. Sebelumnya, uang yang dia terima paling banyak Rp 750 ribu. Kadang malah Rp 650 ribu.

Awal Maret 2006, setelah CRS datang menjanjikan bantuan rumah kepada warga Alue Naga, Azhar harus bolak-balik mengurus administrasi proses bantuan. Dia juga harus hadir dalam rapat-rapat yang diadakan CRS di meunasah. Berminggu-minggu dia mengumpulkan data tanah warga Alue Naga. Dia ingin warga segera mendapat bantuan rumah.

“Karena saya juga bolak-balik ditanyakan warga, kapan rumah mereka dibangun. Dan itu berulangkali saya sampaikan ke CRS.”

Hasilnya bak menggantang asap.

“Data profil desa diberikan, tapi satupun tidak ada yang dibangun sampai sekarang. Ya, kecewa juga ngomong dengan mereka.”

Sebaliknya, sebagian warga mulai mencibir kerja keras Azhar. Dia dianggap tak becus sebagai geuchik. Bahkan sebagian warga menudingnya telah menyelewengkan bantuan.

“Bantuan hanya dibagikan ke keluarganya sendiri dan orang-orang yang dekat dengannya. Kalau yang jauh dengan dia, macam saya ini, bantuannya entah lari ke mana,” komentar Abdul Muthalib, warga Kutaran, Alue Naga.

Azhar tak mampu mengelak tuduhan ini. Tapi dia tak terbakar emosi.

“Geuchik itu ibarat mon broek. Ibarat sumur busuk, semua sampah dimasukkan ke dalam sumur. Jadi geuchik harus siap mental, harus pikir-pikir resikonya. Sebab gampang kena fitnah. Korupsilah, pungut uang administrasi, segala macam…,” katanya.

NOVEMBER 2005, CRS datang ke Alue Naga. Mereka menawarkan rehabilitasi jangka panjang untuk kampung itu. Pertemuan dengan tokoh masyarakat dan sejumlah warga digelar di meunasah. Kendati mayoritas muslim, warga menyambut bantuan dari lembaga Katolik ini.

Setelah melalui beragam dialog, CRS dan tokoh masyarakat di Alue Naga pun sepakat membuat Momerandum of Understanding (MoU) atau kesepakatan bersama. CRS berkomitmen membangun kembali empat dusun yang ada di Alue Naga.

“Masyarakat usul supaya akhir Mei sudah ada peletakan batu pertama,” ujar Azhar.

Penandatanganan MoU dilakukan pada tanggal 23 Mei 2006. Jadwal kerja CRS pun ditempel di papan pengumuman di muka kantor desa sementara, di Jalan Tengah, Tibang. Di situ tertera tabel berisi jenis kegiatan dan target penyelesaian, termasuk waktu serah terima rumah kepada warga.

Jumlah rumah yang dijanjikan bakal dibangun CRS berjumlah 554 unit. Selain rumah, CRS berjanji membangun meunasah yang ambruk, kantor desa, jembatan yang putus, dan memperbaiki jalan-jalan di kampung yang hancur.

“Dalam satu pertemuan, CRS menawarkan tiga model rumah. Tipe 36A, 36B, dan 36C,” ungkap Imran Thalib, salah seorang warga. Dia hadir dalam pertemuan di meunasah.

“Warga minta dibangunkan rumah yang tipe 36B. Tapi ternyata mereka sendiri yang bilang tidak mampu.”

Di lain pertemuan, CRS bersama beberapa tokoh dan warga membahas tanah untuk pembangunan kantor desa. Lahan untuk mendirikan kantor masih belum jelas. Akhirnya mereka sepakat menggunakan lahan bekas meunasah yang hancur di dusun Musafir.

CRS pun menunjuk Zero to One Foundation sebagai kontraktor untuk pembangunan kantor desa itu.

“Saat itu tidak ada masalah. Semua yang hadir tidak ada yang menolak,” kata Azhar.

Masalah muncul beberapa hari kemudian.

“Tanah itu tanah waqaf khusus,” ujar Mahmudyah. Dia imam sekaligus penjaga tanah waqaf Alue Naga, atau nazir. Lelaki yang tinggal di Musafir ini kerap jadi tempat berkonsultasi soal hukum tanah hingga perkawinan warga setempat.

Di Alue Naga, berdasar catatan Mahmudyah, ada tujuh tanah waqaf. Seperti tanah meunasah dan pemakaman di Musafir, serta balai desa di Buenot. Lalu ada tanah masjid Al Munawar, kuburan, dan pesantren di Kutaran. Itu semua tanah waqaf khusus. Sedangkan tanah waqaf umum adalah lapangan bola. Masing-masing tanah waqaf itu memiliki sertifikat.

“Dalam hukum fiqih Islam, tanah waqaf khusus tidak bisa dialihkan untuk dibangun yang lain-lain selain yang berhubungan dengan meunasah,” ujar Mahmudyah.

Hampir semua warga Alue Naga menolak rencana pembangunan kantor desa itu. Jalan keluar pun dicari. Akhirnya, mereka sepakat meminta Mahmudyah membuat semacam fatwa. Mahmudyah segera membuat surat keputusan soal tanah waqaf khusus tersebut, mengizinkan penggunaannya untuk kepentingan umum.

Surat itu ditembuskan ke CRS, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias atau BRR, camat, geuchik, kepala dusun, dan beberapa lembaga lain. Salinan surat ditempel di papan pengumuman di muka kantor desa sementara.

Sementara itu sebagian warga yang mengungsi di bantaran sungai mulai tak sabar. Mereka kesal, karena wujud rumah yang dijanjikan CRS tak kunjung tampak.

Pada Selasa, 30 Mei 2006, warga mengadakan rapat di meunasah. Mereka sepakat menolak CRS. Daftar kepala keluarga yang menolak bantuan pun dibuat. Daftar itu segera dikirim ke kantor CRS.

“Mereka hanya janji-janji saja!” ujar Tuanku Hamzah, geuchik baru Alue Naga.

“Saya ikut tanda tangan karena sebagian besar warga juga ikut menolak CRS,” timpal Mahmudyah. Tanda tangannya terletak paling akhir.

Masalah belum selesai sampai di sini.

Suara warga terbelah. Meski warga Musafir dan Buenot meminta CRS angkat kaki dari dusun mereka lantaran kecewa, sebagian warga Kutaran bertekad terus menagih janji pada CRS. Warga Po Diamat malah sudah dapat perhatian dari lembaga bantuan lain, yaitu Caritas, lembaga internasional milik gereja Katolik Jerman.

SELASA, 27 Juni 2006. Sebuah pertemuan digelar di kantor CRS di Lam Ara, kecamatan Banda Raya. Kantor yang nyaman. Halaman luas. Ada gazebo di tengah kolam. Tujuan pertemuan ini untuk menanggapi protes warga Alue Naga. Wakil Alue Naga yang hadir antara lain Tuanku Hamzah, Mahmudyah, Afifudin, dan Manan. Dari CRS ada David Shields, David Murphy, dan beberapa staf lain.

CRS menolak disebut ingkari janji. Scott Campbell, direktur CRS Aceh, dalam keterangan persnya menyatakan bahwa lembaganya tetap memiliki komitmen untuk merekonstruksi dan merehabilitasi rumah warga Alue Naga sesuai MoU yang sudah dibuat.

Tapi akibat kasus tanah waqaf itu, mereka punya pertimbangan lain. Mereka menghentikan sementara rencana pembangunan di Alue Naga. Pembangunan akan dilakukan dengan syarat khusus. Scott menerbitkan syarat itu dalam surat nomor 104/CRS-BA/PROG/VI/2006 pada tanggal 29 Juni 2006.

“Hanya jika CRS mendapat persetujuan resmi dari perangkat desa dan persetujuan dari masyarakat untuk keputusan yang diambil oleh desa,” tulisnya.

Surat itu ditempel di papan pengumuman kantor desa sementara.

Ternyata protes terhadap kelambanan CRS tak cuma datang dari Alue Naga. Warga Pulo Aceh, Aceh Besar, juga menuntut seluruh personel lembaga tersebut angkat kaki dari kampung mereka. Selama hampir tiga bulan, seperti diberitakan harian Serambi Indonesia pada 30 Agustus lalu, CRS tak kunjung membangun rumah bantuan di Pulo Aceh.

“CRS tetap terus berkomitmen untuk membangun rumah yang telah dijanjikan. Masalahnya, kita tidak bisa mengontrol semua pihak yang terlibat, terutama pihak ketiga,” kata Scott di hadapan seratusan warga Pulo Aceh yang mendatangi kantornya, sebagaimana yang dikutip Serambi.

Dalam sebuah surat elektronik pada saya, Gita Modgil, Communication Officer CRS, menyatakan bahwa mereka kekurangan tenaga untuk rekonstruksi di Pulo Aceh dan alat transportasi ke tempat tersebut terbatas. Gita juga menyatakan bahwa CRS tak bisa membangun rumah di atas tanah bermasalah seperti di Alue Naga. Selain itu, letak Alue Naga di tepi pantai dan sebagian daratan telah tergenang air.

CRS bukan lembaga bantuan kelas teri. Lembaga itu berdiri tahun 1943. Penggagasnya sejumlah uskup Katolik di Amerika Serikat. Tujuan awal CRS ialah membantu pengungsi korban perang, dengan nama ketika itu War Relief Services atau WRS.

Setelah mendapat dukungan komunitas Katolik dan pemerintah Amerika, lembaga ini memperluas jaringan kerja. Nama WRS resmi diganti jadi CRS pada 1955. Sepuluh tahun kemudian jangkauannya meluas sampai benua Afrika, Asia, negara-negara Amerika Latin, dan kawasan Timur Tengah.

Mereka memberi bantuan makanan, pakaian dan obat-obatan. Tapi jenis bantuan pun terus berkembang. CRS mulai memberi bantuan kesehatan, pendidikan gizi, usaha kecil, dan pertanian.

Setelah terjadi pembantaian massal dalam konflik etnik di Rwanda pada 1994, relawan CRS masuk ke wilayah konflik dan kawasan yang berisiko tinggi, termasuk daerah-daerah bencana.

Salah satu bencana terbesar di milenium ini adalah tsunami yang menyapu sebagian besar Aceh dan Nias. Untuk memulihkan Aceh, CRS mendapat sumbangan dana dari jutaan warga Amerika.

Sampai saat ini mereka telah menyerahkan lebih dari 370 rumah permanen kepada korban tsunami.

“Dan kami akan membangun hampir 6.000 rumah lagi,” tulis Gita Modgil dalam surat elektroniknya. Dia menolak diwawancarai langsung.

Program pembangunan rumah CRS akan selesai pada 2007. Namun, keseluruhan program akan berakhir pada 2009. Total anggaran sebesar 128 juta dolar atau Rp 1,125 triliun.

Rumah bantuan CRS didesain tahan gempa dan mengikuti standar kualitas konstruksi internasional. Tiap rumah berdinding bata, terdiri dari dua kamar tidur, ruang tamu, dapur, dan kamar mandi.

Di Meulaboh, lembaga ini membangun rumah tipe 45. Mereka punya target membangun lebih 2.600 rumah. Dari jumlah tersebut, baru 317 unit yang selesai dan diserahkan pada warga.

Tapi kehadiran CRS mengundang kritik dari lembaga bantuan lokal, seperti Jaringan Relawan Kemanusiaan atau JRK.

“Gara-gara mereka membangun rumah tipe 45, banyak warga yang menolak bantuan rumah kami,” ungkap Hengky Irawan dari JRK, awal Agustus lalu. Saya menemuinya bersama Marco Kusumawijaya, konsultan perumahan yang bekerja untuk United Nation Habitat.

Padahal JRK lebih dulu masuk ke desa-desa dan menggelar musyawarah dengan warga. Sebagian rumah bantuan bahkan sudah rampung.

JRK juga milik Katolik. Pemimpin lembaga ini Romo Sandyawan Sumardi, seorang pastor. Selain di Meulaboh, daerah kerja JRK sampai ke Kuala Tuha dan Kuala Tadu, kecamatan Kuala, kabupaten Nagan Raya. Selain JRK, ada beberapa lembaga bantuan lain yang bekerja di desa-desa itu, umumnya milik gereja, seperti Samaritan Purse, Solidaritas, CRS, dan Church World Services.

JRK berencana membangun 125 unit rumah. Rumah bertipe 36 itu terdiri dari dua lantai dan diperkirakan aman serta nyaman untuk warga pesisir. Tapi pada Juli 2005 target diciutkan jadi 93 unit. Maret tahun ini, ketika rumah selesai dibangun jumlah warga yang bersedia menempati rumah JRK hanya 44 kepala keluarga.

“Yang lain menolak walau sebenarnya itu merupakan hasil persetujuan mereka sendiri. Mereka minta dibangunkan rumah CRS.”

Kehadiran CRS, menurut Hengky, mengubah karakter warga. Sebelum CRS datang, warga antusias datang ke tiap rapat atau musyawarah dengan JRK. Namun, lama-kelamaan warga malas-malasan. Pasalnya, rapat JRK tak menyediakan ‘amplop’.

“Saya pernah melihat orang CRS membagikan amplop berisi uang kepada warga waktu mereka bikin musyawarah di meunasah,” ungkap Hengky.

“Tapi itu bukan salah warga juga. Persoalannya memang tidak ada aturan yang melarang untuk itu,” tukas Marco.

DI barak khusus bagi warga Po Diamat, saya bertemu Zuwariyah. Barak ini terpisah dari barak-barak lain, karena rata-rata warga dusun tersebut menderita lepra atau kusta.

“Hampir dua tahun kerja saya cuma duduk-duduk di barak. Kaki dan tangan sampai lumpuh,” keluh Zuwariyah. Usianya 53 tahun.

Dia tak betah lama-lama tinggal di barak Tibang, Syiah Kuala. Dia ingin bekerja seperti biasa.

Saya agak ragu ketika mewawancarai Zuwariyah di muka biliknya. Jari-jari tangan tertekuk. Kuku-kuku nyaris habis.

“Sudah tidak menular. Karena saya sudah lama sembuh,” katanya, memupus kecemasan saya.

Sejak masa penjajahan Belanda, dusun Po Diamat jadi tempat isolasi atau bahkan penjara bagi penderita lepra. Mereka dikucilkan, karena dianggap menderita penyakit akibat kutukan dan bisa menular.

Lepra disebabkan sejenis bakteri bernama mycobacterium leprae dan merupakan infeksi menahun yang ditandai kerusakan saraf perifer atau saraf otak bagian luar dan medulla spinalis, kulit, selaput lendir hidung, buah zakar, dan mata. Proses penularannya belum diketahui pasti. Bakteri bisa dibawa oleh armadillo, kutu busuk dan nyamuk. Bersin penderita lepra dapat menyebabkan orang lain tertulari penyakit tersebut dengan rasio 50:50.

Lebih lima juta penduduk dunia telah terinfeksi lepra dan beberapa di antara mereka berada di Po Diamat.

“Saya kena cacat gara-gara penyakit ini sejak umur 10 tahun,” ungkap Zuwariyah.

“Kalau saya waktu umur 13 tahun,” timpal Abu Bakar, tetangga sebelah kamar Zuwariyah.

Semula ayah empat anak ini mengira gatal-gatal di kulitnya hanya panu biasa. Gatal-gatal itu berubah sepuluh tahun kemudian. Sendi-sendi jari tangan dan kaki Abu Bakar tertekuk dan seperti digerogoti binatang. Kulit tangan kering. Sebagian mengelupas.

Seperti Zuwariyah, lelaki yang berusia 80 tahun itu sudah bebas lepra.

Cacat tubuh tak menyurutkan semangat hidup mereka. Abu Bakar dan Zuwariyah punya usaha sebelum tsunami. Zuwariyah berdagang dan menjahit. Abu Bakar dan suami Zuwariyah, Rustam, sama-sama mengelola ternak ayam kampung. Jumlah ayam masing-masing mencapai 150-an ekor. Telur-telur ayam tersebut mereka jual ke agen sebelum dibawa ke Pasar Peunayong.

“Tapi sekarang suami saya tidak kerja apa-apa. Mau cari modal, tapi cari ke mana?” ujar Zuwariyah.

Hidupnya sejak tsunami benar-benar berubah total. Dia hanya menunggu bantuan beras, minyak goreng, dan mi instan dari lembaga bantuan. Dia dan warga Po Diamat bahkan belum dapat kembali ke kampung mereka. Hingga akhir September lalu dusun mereka masih hamparan tanah. Tak satu pun rumah sementara dibangun di atasnya.

Tak hanya Po Diamat. Pemandangan serupa terlihat di Kutaran. Hampir dua tahun setelah bencana, baru empat keluarga yang kembali ke situ.

“Yang lain masih tinggal di barak,” kata Abdul Muthalib, salah satu kepala keluarga yang kembali.

Thalib memboyong istri dan seorang anaknya ke rumah sementara bantuan Moslem Aid. Rumah dia bangun sendiri dalam sepekan. Thalib bekerja sebagai sopir becak mesin, yakni kombinasi becak dan sepeda motor. Sepeda motornya dia beli secara angsuran. Setoran per hari Rp 30 ribu.

“Bukannya saya tidak bisa melaut, tapi saya sudah tidak punya boat dan alat-alatnya lagi. Tak ada bantuan pinjaman dari mana-mana. Motor itu juga saya dapat lewat bantuan teman.”

Sebelum tsunami, 90 persen mata pencarian warga Alue Naga bertumpu pada laut.

Dia juga kecewa pada CRS.

“Sudah lama mereka janji mau bangun rumah untuk kami, adakan rapat-rapat. Lalu bilang mau timbun tanah dulu. Tapi sampai sekarang belum ada apa-apa,” kata Thalib.

“Sebenarnya kami terima siapa saja yang mau bantu. CRS terima. NGO lain ya juga kami terima. Yang penting cepat,” lanjutnya.

*) Samiaji Bintang adalah kontributor sindikasi Pantau di Banda Aceh.

by:Samiaji Bintang