Equator Memecat Empat Redaktur

Andreas Harsono

Sun, 29 October 2006

PONTIANAK — DJUNAINI KS, direktur utama harian PT Kapuas Media Utama Press, merangkap pemimpin umum dan pemimpin redaksi harian Equator, memecat empat redakturnya: Yusriadi, Tanto Jacobus, Hairul Mikrad dan Asriyadi Alexander, Jumat malam. Alasannya, empat wartawan itu ikut membuat "mosi tidak percaya" terhadap Djunaini awal Oktober ini. Djunaini memakai kata "dinonaktifkan" saat mengusir keempatnya secara lisan.

PONTIANAK — DJUNAINI KS, direktur utama harian PT Kapuas Media Utama Press, merangkap pemimpin umum dan pemimpin redaksi harian Equator, memecat empat redakturnya: Yusriadi, Tanto Jacobus, Hairul Mikrad dan Asriyadi Alexander, Jumat malam. Alasannya, empat wartawan itu ikut membuat "mosi tidak percaya" terhadap Djunaini awal Oktober ini. Djunaini memakai kata "dinonaktifkan" saat mengusir keempatnya secara lisan.

Menurut beberapa saksi, mula-mula Djunaini berteriak memanggil, "Alex, Yusriadi, Dek berdiri! Kalian keluar! Alex, Yusriadi, Dek, Tanto, kalian keluar!"

Banyak orang di ruang redaksi terpana. Dek adalah nama panggilan Hairul Mikrad. Menurut Alex, dia sempat menunjuk Djunaini dan bertanya, "Apa alasan Anda memecat saya?"

Djunaini menjawab, "Surat yang Anda tulis ke Jawa Pos. Saya adalah direksi di sini dan saya berhak."

Djunaini kemudian menelepon Zainal Muttaqin, CEO Jawa Pos, yang memiliki saham mayoritas Equator. Namun, telepon Djunaini tak dijawab. Djunaini langsung memanggil Rido Ibnu Syahrie, mantan koresponden Equator di Singkawang yang baru pindah ke Pontianak, untuk mengambil alih pekerjaan editing. Suasana tegang. Djunaini terlihat emosi sampai lupa memasang gigi palsunya.

Keempat wartawan itu pun keluar dari kantor Equator. Alex dan Yusriadi duduk di depan kantor. Mereka melihat beberapa orang tak dikenal, kelihatannya orang keamanan, ditempatkan Djunaini di pintu masuk. Orang-orang itu memberi ultimatum: tak boleh ada wartawan luar masuk ke Equator. Malam itu beberapa wartawan datang dari Pontianak Post, Kompas, Antara, TV7 serta Muhlis Suhaeri dan saya dari Pantau.

Pemecatan ini buntut dari mosi yang ditandatangani 32 karyawan Equator. Mereka mengirim surat kepada Zainal Muttaqin dan intinya minta penggantian Djunaini selaku direktur dan editor. Jawa Pos memiliki saham 67.5 persen Equator. Djunaini 2.5 persen dan karyawan 30 persen.

Dalam mosi itu, karyawan menilai Djunaini sering mencampur urusan Equator dengan bisnis non-media (Djunaini terlibat dalam usaha perkebunan kelapa sawit), sering melarang berita-berita tertentu (antara lain, protes masyarakat terhadap kebun sawit), sering tak masuk kantor, mempraktikkan nepotisme (kedua putranya dilibatkan dalam Equator) dan mem-black-list 13 politisi dan organisasi dari pemberitaan Equator.

Mereka yang masuk daftar hitam Djunaini, termasuk Bupati Kabupaten Landak Cornelis, kandidat Gubernur Kalimantan Barat Akil Mochtar, ketua DPRD Pontianak Gusti Hersan Asli Rosa, ketua Yayasan Bhakti Suci Lie Kie Leng serta organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Aliansi Masyarakat Adat. Dua organisasi ini dinilai Djunaini anti perkebunan kelapa sawit. Mosi tersebut dilampiri berita-berita Equator yang tak dimuat karena intervensi Djunaini.

Para karyawan juga mengeluh soal ketiadaan genset (listrik Pontianak sering mati), komputer sudah tua, tenggat waktu berita sering dilanggar, tiadanya transparansi pembangunan gedung baru Equator, kontrak kerja tak jelas, dan karakter Djunaini temperamental. Fakun dari bagian grafis juga mengeluh Djunaini kurang menghargai upaya perbaikan tata letak Equator sesudah mereka mendapat pelatihan dari Georgia Scott, desainer harian The New York Times. Djunaini sering bilang, "Bantai, bantai saja," ketika orang grafis tengah teliti bekerja untuk membuat tata letak tampil lebih baik.

Saya mengenal banyak karyawan Equator. Saya kira mereka yang dipecat relatif wartawan berprestasi dan punya niat meningkatkan mutu suratkabar itu.

Yusriadi wartawan yang ahli bahasa. Dia sering jadi tempat bertanya rekan-rekannya. Dia mendapatkan gelar doktor dari Universiti Kebangsaan Malaysia di Kuala Lumpur. Dia menulis buku, bersama rekannya Hermansyah, Orang Embau: Potret Masyarakat Pedalaman Kalimantan.

Riset dan penulisan buku ini dibimbing Prof. James T. Collins, ahli Borneo dari Universiti Kebangsaan Malaysia. Collins memuji buku tersebut karena membongkar stereotip Borneo bahwa orang Melayu selalu Muslim dan tinggal di daerah pesisir, sedangkan orang Dayak tinggal di pedalaman.

Yusriadi orang Embau, sebuah komunitas Dayak Muslim, kadang disebut Melayu, yang tinggal di sepanjang Sungai Embau di jantung Kalimantan. Etnisitas adalah isu penting di Pontianak. Berbagai buku menyebut pulau ketiga terbesar dunia ini selalu penuh dengan masalah keragaman etniknya.

Alex dan Tanto orang Dayak. Hairul orang Bugis. Alex juga seorang penyair. Dia pernah diundang ke Sarawak, Malaysia karena puisi-puisinya. Alex, Hairul dan Tanto juga anggota Aliansi Jurnalis Independen, sebuah organisasi wartawan, yang giat kampanye anti-amplop.

Djunaini sangat berani memecat langsung empat dari lima redakturnya. Nur Iskandar, redaktur pelaksana, yang ikut memotori mosi tersebut, tak ikut dipecat namun disingkirkan dengan halus lewat penunjukan Rido. "Saya memutuskan tidak bekerja Sabtu ini," katanya.

Rido Ibnu Syahrie, yang menggantikan Nur Iskandar, mulanya ikut rapat-rapat dan menandatangani mosi tak percaya Djunaini. Entah bagaimana dia bersama delapan karyawan lain kemudian berbalik arah dan membuat surat tandingan. Mereka tetap minta perbaikan manajemen, tapi tak menggugat status kedirekturan Djunaini.

Saya minta komentar Rido tentang surat tandingan itu, namun tak dijawab. Nur Iskandar mengatakan bahwa sesudah pemecatan, Djunaini, Rido dan kawan-kawan mengadakan rapat serta makan-minum. Mereka tertawa-tawa.

Anton Perdana, koresponden Sanggau yang ikut barisan Rido, mengatakan mereka bisa memahami keputusan penonaktifan keempat rekan mereka, "Itu kebijakan pimpinan, kami ikut. Kami hanya ingin menyelamatkan tempat kami makan."

Mohamad Qadhafy, putra bungsu Djunaini yang menangani bagian event Equator, menolak tuduhan nepotisme. Dia menyebutkan bahwa dia sudah menulis untuk Equator sejak 2003. "Saya mulai bisa nyari duit dengan menggarap event sebelum bekerja di harian Equator," katanya.

Barisan Djunaini-Rido kebanyakan didukung koresponden Equator di luar kota Pontianak. Mereka termasuk Adrianus Jumadi (Landak), Darussalam (Ketapang), Indra Nova (Melawi), Yuni Kurnianto dan Ramdan (Singkawang). Seorang reporter baru, Aulia Marti, juga ikut gabung gerakan mendukung Djunaini ini.

Gerakan Djunaini-Rido dimulai dari rumah Djunaini di daerah Parit Haji Husin pada hari Rabu, Lebaran kedua. Pertemuan mendukung Djunaini diadakan di situ. Ketika Jumat malam saya hubungi, Djunaini menolak memberi komentar, "Maaf, internal."

Menariknya, Djunaini sempat memberi tahu saya akan memecat ”yang tak suka” padanya hari Kamis siang, sehari sebelum peristiwa Jumat. Ketika itu saya ikut beberapa karyawan Equator bertamu ke rumahnya. Sapariah Saturi, tunangan saya, pernah bekerja untuk Equator. Sapariah mengajak saya ke sana untuk diperkenalkan dengan "Boss Djun."

Kami berbasa-basi saja. Djunaini bicara soal mempersiapkan gedung baru sebelum dia "lengser." Dia mengatakan dirinya sebagai "owner Equator dan kuasa Jawa Pos." Dia juga cerita akan ”mempersilahkan” orang yang tak suka padanya untuk keluar dari Equator.

Rumahnya dua tingkat, perabotan baru, mengkilat, desain modern, kitchen set rapi dan sebagainya. Di halaman banyak koleksi bonsai. Saya tak melihat ada rak buku namun di meja tamu tergeletak novel Tom Clancy, The Bear and The Dragon.

Rumah Djunaini kontras dengan kantor Equator di kawasan pertokoan Nusa Indah. Kantor kumuh. Perabotan bobrok. Komputer tua. Wartawan miskin. Alex sering bergurau bahwa tiga mobil yang sering parkir depan kantor Equator cuma mobil Djunaini, Mohamad Iqbal dan Mohamad Qadhafy: ayah dan dua anaknya.

Jumat malam, ketika baru dipecat, Hairul Mikrad langsung memacu sepeda motornya keliling kota Pontianak. Dia sempat menerima pesan pendek dari nomor 0858-22059993, yang berbunyi, ”Kau te dari mani anjing hitam yang kancut mak kau.” Artinya, ”Kamu itu asalnya dari air mani anjing hitam yang menyetubuhi ibu kamu sendiri.”

Menurut Hairul, kalimat ini khas dialek Melayu Ketapang. Kemungkinan itu nomor instant dan dikirim seorang kroni Djunaini.

"Saya tidak sedih atau gundah dinonaktifkan, tapi saya sedih dengan kawan-kawan yang tidak komitmen," kata Hairul. Mayoritas pendukung mosi balik badan ketika melihat keempat rekan mereka dipecat. Nur Iskandar mengatakan mayoritas takut kehilangan pekerjaan.

Yusriadi pucat sekali. Dia tidak biasa diperlakukan kasar. Dia sempat mengungkapkan kegeramannya pada Anton Perdana dengan menyebut Anton sebagai "tim suksesnya" Djunaini. Anton menolak tuduhan Yusriadi.

Menurut Tanto Jacobus, dia sudah punya firasat akan kehilangan pekerjaan. "Saya pikir, jangan-jangan ini hari saya terakhir kerja di Equator." Dia juga sudah menyiapkan isteri dan kedua anaknya untuk menghadapi perubahan situasi. "Kami biasa hidup miskin, tidak apa-apa," katanya.

Tanto menambahkan, "Kalau Bang Djun tetep mimpin Equator, suatu saat Equator pasti mati. Sekarang oplah turun drastis, dari 6,000 jadi 3,600."*

***

Disclosure: Asriyadi Alexander, Hairul Mikrad dan Nur Iskandar pernah ikut kursus jurnalisme sastrawi Yayasan Pantau di Jakarta dengan instruktur Janet Steele dari Universitas George Washington dan saya.

kembali keatas

by:Andreas Harsono