Dimulai dari Sebuah Genta

Samiaji Bintang

Mon, 16 October 2006

Orang Tionghoa datang ke Aceh setelah ekspedisi Laksamana Cheng Ho. Mereka turut menggerakkan roda ekonomi Aceh. Banyak yang jadi korban saat tsunami. Budha Tzu Chi, sebuah lembaga bantuan internasional, membangun rumah untuk mereka, meski tak luput dari kritik.

A LUNG sibuk membereskan kardus-kardus berisi onderdil mobil. Sekejap kemudian dari balik kacamata minusnya, lelaki berusia 58 tahun itu mengamati stok barang di rak dan wadah-wadah yang berserak di lantai. Jari-jari tangannya belepotan  minyak pelumas bercampur debu.

“Sebelum kena tsunami dagangan kita lebih banyak lagi,” tutur lelaki bernama lengkap Chen Weng Lung ini pada saya, awal Oktober lalu.

Dia anak keempat dari 20 bersaudara.  Dia lahir di Penang, Malaysia. Orangtuanya membawa dia merantau ke Banda Aceh ketika dia masih belia.

A Lung kecil dibesarkan di Kampung Baro, Banda Aceh. Almarhum bapaknya, yang kerap dipanggil Toke Moli, pernah punya usaha jasa ekspor-impor dan berdagang mesin jahit.

Seperti buah yang jatuh tak jauh dari pohon, darah pedagang sang bapak menurun ke A Lung. Dia memulai usaha suku cadang kendaraan bermotor pada usia 28 tahun. Tokonya terletak di Jalan Kyai Haji Ahmad Dahlan, Banda Aceh. Tak jauh dari Pasar Atjeh.

Namun, gelombang tsunami pada Desember 2004 membuat dunia A Lung seperti kiamat. Istri, seorang anak, dan keponakannya hilang dan tak pernah ditemukan lagi. Seluruh isi rumah-toko atau ruko berpapan nama “Dunia Motor” milik A Lung pun benar-benar hilang dari dunia.

“Dalam dua menit,” kata lelaki yang mengenakan celana pendek dan kaos oblong putih itu, seraya membetulkan  posisi kacamatanya.

Padahal saat itu usaha A Lung sedang maju pesat. Jumlah pelanggan lumayan banyak.

Bersama sepuluh warga Tionghoa yang selamat dari bencana, A Lung menggagas pendirian Perhimpunan Sosial dan Pemulihan Tionghoa Aceh. Organisasi ini berdiri sepuluh bulan setelah tsunami dan berkantor di Jalan Panglima Polem.

“Misinya sosial. Kita hanya ingin membantu penyaluran bantuan ke warga Tionghoa dan sesama korban lain.”

Seorang lelaki berkulit hitam legam datang ke toko. Lelaki itu bertanya tentang onderdil mobil dalam bahasa Aceh.

“Padum (berapa)? Saboh (satu)?” tanya A Lung kepada si pembeli.

Dia fasih berbahasa Aceh.

“Sejak kapan bisa berbahasa Aceh?” tanya saya, penasaran.

“Sejak kecil. Kakek-nenek saya lama di Meulaboh. Toke Moli lama tinggal di Sigli sebelum pindah ke sini (Banda Aceh). Sehari-hari, cakap dengan pegawai pakai bahasa Aceh. Lama-lama akhirnya, ya bisa juga.”

KONON Aceh merupakan akronim dari Arab, Cina, Eropa, dan Hindia (India). Di masa silam wilayah ini jadi tempat pertemuan pedagang dari berbagai negeri. Menurut sejarawan Denys Lombard yang mengutip sebuah buku tentang sejarah raja-raja Cina, orang-orang Cina menyebut Aceh dengan kata A-ts’i. Lombard menulis tentang ini dalam bukunya, Kerajaan Aceh: Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Tahun 1405, seorang laksamana negeri Tiongkok, Zheng He atau yang dikenal Cheng Ho, melakukan ekspedisi ke samudera yang berada sebelah barat Laut Cina Selatan. Dia tangan kanan kaisar Yongle, kaisar ketiga Dinasti Ming.

Cheng Ho membawa armada raksasa, 62 kapal besar dan belasan kapal kecil. Awak kapalnya 27.800 orang. Cheng Ho berada di kapal berlambung besar yang dinamakan kapal pusaka. Ini kapal terbesar di abad itu. Panjang 138 meter, lebar 18 meter, dan berbobot hingga 2.500 ton!

 

Rombongan berangkat seusai sholat di sebuah masjid tua di kota Quanzhou, provinsi Fujian, langsung menuju pulau dan negeri-negeri di Asia Tenggara, seperti Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Jawa.

Jejak orang Tionghoa di Aceh pun mulai tercetak di masa itu. Cheng Ho singgah di Samudera Pasai. Dia menyerahkan sebuah genta raksasa kepada sultan. Genta besi itu dinamai Cakra Donya.

Cakra Donya juga menjadi nama kapal Sultan Iskandar Muda ketika bertempur dengan pasukan Portugis di Malaka. Genta raksasa hadiah dari Cheng Ho digantung di kapal sultan. Setelah itu, Cakra Donya dipindahkan dari kapal dan digantung dekat Masjid Raya Baiturrahman. Kini genta tersebut diletakkan di muka Museum Aceh, Banda Aceh. Tinggi genta 1,25 meter. Diameter satu meter, dengan ketebalan sekitar lima sentimeter. Beratnya mungkin lebih setengah ton. Ukiran tulisan Arab dan Cina di permukaan genta sudah memudar oleh usia dan karat.

Museum Aceh tak jauh dari pendopo gubernur. Tempat ini tak banyak dikunjungi orang. Itu sebabnya saya menduga tak banyak warga Tionghoa di Aceh yang mengetahui sejarah genta Cheng Ho, apalagi melihatnya.

“Itu kan hadiah dikirim utusan Cina, Cheng Ho,” ujar A Lung.

Ternyata dia tahu!

“Banyak orang kita yang tahu,” lanjutnya.

Ekspedisi Cheng Ho ke Samudera Pasai membuka hubungan dagang negeri Cina dan Aceh. Banyak orang Cina yang kemudian berdagang di Aceh. Mereka menjual, antara lain porselen, kertas, tembakau, teh, dan kipas.

Menurut Lombard, jumlah pedagang Cina di Aceh pada abad ke-17 sudah cukup banyak. Umumnya para pedagang itu mempunyai rumah yang amat dekat dengan laut dan pelabuhan. Selain menjadi tempat tinggal, di situ pula mereka menyimpan barang yang akan mereka jual.

Daerah itu kemudian dikenal sebagai perkampungan Tionghoa. Salah satu yang terkenal adalah kawasan Peunayong, Banda Aceh. Deretan toko dan ruko ada di kanan-kiri jalan.

Para pedagang asal Tiongkok ini dikenal kehebatannya sebagai pedagang yang ulet dan tekun. Ini juga diakui para pedagang dan pengusaha Aceh. Tak jarang kehebatan itu menimbulkan rasa iri. Tahun 1981 sempat terjadi gelombang anti-Cina di Banda Aceh.

Hasil penelitian Irchamni Sulaiman yang dibukukan dengan judul Perdagangan, Pengusaha Cina, dan Perilaku Pasar  dan diterbitkan Pustaka Grafika Kita pada 1987, mengungkapkan bahwa baik pedagang Cina maupun Aceh sama-sama punya anggapan negatif satu sama lain.

Pengusaha Aceh menganggap pengusaha Cina bertabiat licik, ingin cepat untung, dan menghalalkan segala cara. Sementara itu, pengusaha Cina menilai pengusaha Aceh sangat boros, santai, dan ceroboh.

Gelombang anti-Cina di Banda Aceh juga pernah terjadi pada kisaran tahun 1965 dan 1966. Peristiwa tersebut terjadi hampir di seluruh Indonesia. Akibatnya, banyak pengusaha keturunan Cina lari ke Medan, ibukota Sumatera Utara.

Pada masa itu, tulis Pasifikus Ahok dalam laporannya yang berjudul Kembalinya Pengusaha Cina di Banda Aceh,  pengusaha Cina menguasai sebagian besar roda perdagangan dan jasa di Banda Aceh. Usaha mereka meliputi bahan makanan, hotel, ekspor-impor, angkutan umum hingga jasa makelar.

Ketika peristiwa Gerakan 30 September terjadi, tulis Ahok, orang Aceh menganggap orang Tionghoa di Banda Aceh mendukung Partai Komunis Indonesia atau PKI. Pasalnya, ketika itu PKI berhubungan cukup dekat dengan Beijing. Prasangka dan kebencian memuncak jadi gelombang anti-Cina. Aksi massa anti-Cina dipelopori Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia di Banda Aceh sejak April hingga Agustus 1966. Kedua organisasi ini didukung militer.

Namun, berangsur-angsur setelah tragedi yang menewaskan hampir tiga juta orang itu, orang-orang Tionghoa yang lari ke Medan kembali ke Banda Aceh dan terlibat lagi dalam menggerakkan roda perekonomian di ibukota Serambi Mekah ini.

“SAYA harus bangun usaha ini lagi dari nol,” ungkap A Lung ketika menceritakan perjuangannya menghidupkan kembali bisnis onderdilnya yang dihantam tsunami.

“Tidak dapat bantuan modal usaha dari NGO (nongovernment organization)?” Saya bertanya.

“Mana ada?” A Lung menggeleng.

A Lung berusaha mencari pinjaman lunak dari pemerintah daerah. Hasilnya nihil. Tapi dia pantang mundur.

“Saya juga cari modal sampai ke Medan.”

Duit utangan itu segera dia belanjakan aneka barang di Medan dan dia gunakan untuk merehabilitasi tokonya.

“Berapa banyak dana yang dipinjam?”

“Banyak. Tidak tahu sudah berapa banyak,” ujarnya.

Usaha milik Fi Fong lebih mengenaskan. Baru setahun setengah dia berdagang makanan dan minuman di Sekolah Methodist, Pocut Baren, tiba-tiba tsunami datang. Dagangan dan kekayaan perempuan berusia 42 tahun itu habis tak berbekas. Suami dan dua dari tujuh anaknya ditelan gelombang.

“Yang selamat cuma baju yang dipakai aja, loe.” Logat Tionghoa Fi Fong masih kental.

Sebelum bencana,  Fi Fong menyewa rumah di bilangan Keudah. Tepat di belakang asrama Brigadir Mobil, Banda Aceh. Dia tinggal di situ bersama suami dan anak-anaknya. Rumah itu rata tanah setelah bencana.

Ketika gelombang lembaga bantuan nasional dan internasional datang ke Aceh, Fi Fong meminta bantuan mereka untuk membangun rumah. Pada September 2005 dia menyerahkan salinan kartu tanda penduduk dan kartu keluarga kepada tim Yayasan Budha Tzu Chi.

“Tiga bulan sudah dapat rumah,” kisahnya, senang.

Rumah Fi Fong berada di Perumahan Cinta Kasih, Pantee Riek, Lueng Bata. Atap seng biru. Tipe 45. Halaman rumput di muka rumah cukup luas.

Fi Fong tinggal bersama tiga putri dan seorang cucu. Putri pertama ikut suami. Putra kelima mendapat bantuan pendidikan dan sekolah di Jakarta. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dia berdagang makanan dan aneka minuman di dalam rumahnya.

“Nggak cukup, loe. Mau juga cari modal ke NGO, tapi nggak tahu ke mana,” tuturnya.

CARI modal usaha tak terbayang dalam benak Suwardi. Bersama Erina dan anaknya yang berumur dua tahun, lelaki itu kini tengah menggantung harapan kepada Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias atau BRR.

“Barak habis bulan dua belas ini, tapi sampai sekarang belum ada bantuan rumah,” ujar Suwardi kepada saya.

Dia dan keluarganya menempati salah satu barak di Peunayong sejak 15 Maret tahun lalu. Tanggal itu dia catat dengan spidol pada pintu tripleks baraknya. Dia bukan warga Tionghoa yang beruntung, bukan berasal dari kalangan berada.

Almarhum bapaknya, Sie Min, tukang jam di Pasar Atjeh. Ketika meninggal tahun 1992, Sie Min tak meninggalkan harta untuk keturunannya.

“Waktu kita mau ambil barang, toko sudah dijarah. Nggak tahu siapa yang jarah,” kenang Suwardi.

Meski dia tamatan sekolah menengah atas, mencari kerja bukan perkara mudah. Selama bulan puasa ini Suwardi bekerja di sebuah pabrik cingcau di Kampung Laksana. Tak jauh dari toa pe kong atau rumah ibadah pemeluk Kong Hu Cu di Jalan Panglima Polem. Bisnis macam begini amat tergantung kondisi cuaca. Pesanan bakal jeblok jika hari hujan.

“Kita bisa pulang lebih cepat,” katanya.

Ramadhan tinggal 15 hari ketika saya menemui Suwardi. Itu artinya, setelah Lebaran dia mesti kembali bekerja dengan Tiger bututnya dan mencari kaleng-kaleng bekas minuman ringan. Dia menamai sepedanya, Tiger. Si Tiger ini pula yang setia menemani Suwardi berkeliling ke sudut-sudut kota hingga ke Krueng Raya, 33 kilometer ke barat Banda Aceh.

“Kita jual ke penadah besi tua di Pocut Baren. Punya orang Aceh. Satu kilo dibeli delapan ribu.”

Sebelum tsunami, Suwardi menyewa rumah di Kampung Laksana.

Seperti Suwardi, A Ta juga bekerja sebagai pemulung kaleng bekas. Usia 40 tahun. Tubuh tambun. Kulitnya lebih gelap dari Suwardi. Ke mana-mana dia bercelana pendek. Dan, sambil tersenyum, kepada saya dia mengaku masih bujangan! A Ta kerap kongko-kongko bersama Suwardi di barak Peunayong.

“Ditinggal mati sama pacarnya.” Suwardi membuka rahasia temannya.

“Dia kena tsunami,” A Ta menegaskan.

“Sudah dapat yang baru?” tanya saya.

“Belum… belum ada lagi.” A Ta tersenyum.

Meski seprofesi, A Ta lebih beruntung. Dia sudah meninggalkan barak Peunayong lebih dari sebulan lalu. Oxfam, sebuah lembaga bantuan internasional, memberi bantuan rumah di bekas rumah orangtuanya yang hancur di Kampung Mulia.

“Saya pernah sepuluh kali mengajukan permohonan bantuan rumah ke Budha Tzu Chi. Tapi nggak dikasih juga. Mereka kan semboyannya ‘Cinta Kasih’, tapi mana? Kita nggak dikasih bantuan rumah,” keluh Suwardi.

“Iya. Cinta kasih, kasih mati,” timpal A Ta.

“Waktu Jackie Chan datang kasih bantuan, kami juga datang ke toa pe kong. Dengar-dengar sampai 40 miliar. Tapi kita juga nggak dapat,” imbuh Suwardi.

 

Jackie Chan adalah aktor laga terkenal asal Hongkong.

Dia lantas memutuskan minta bantuan ke organisasi Tionghoa Aceh yang dipimpin A Lung. Dia menyertakan kartu identitas dan sejumlah surat keterangan sebagai korban tsunami. A Lung segera menyerahkan berkas-berkas tersebut ke BRR.

“Mereka (BRR) bilang akan segera dikerjakan dalam tempo satu-dua minggu ini,” ujar A Lung.

Dua hari setelah bertemu Suwardi, saya mengkonfirmasi pengurus Yayasan Budha Tzu Chi.

“Kami tidak membeda-bedakan. Kalau memenuhi syarat berdasarkan verifikasi di lapangan, siapapun bisa dapat bantuan rumah. Dan dia (Suwardi) mungkin bisa kami bantu. Tapi kami prioritaskan yang benar-benar korban, anggota keluarganya hilang, dan rumahnya hancur. Sedangkan dia hanya masalah sewa rumah,” kata Aida Angkasa.

Aida koordinator tim seleksi bantuan perumahan Budha Tzu Chi untuk Aceh. Saya menemui Aida di kantornya, di salah satu rumah di Perumahan Cinta Kasih di daerah Pantee Riek, Lueng Bata.

Bukan sekali-dua dia mendapat kritik dan makian dari warga Tionghoa yang tidak mendapat bantuan Budha Tzu Chi.

“Saya juga orang etnis (Tionghoa), dan kami sering dimaki orang, ‘sesama Cina kok nggak bantu Cina?’ Tapi kami tidak membeda-bedakan, semua diseleksi, sama.”

Dia dan timnya ingin bantuan tersebut tepat sasaran.

Aida mengambil bundel berisi arsip permohonan bantuan. Kepada saya dia menyodorkan salinan dokumen dan formulir pengajuan bantuan rumah milik Suwardi. Antara lain berisi fotokopi kartu tanda penduduk, kartu keluarga, dan surat keterangan dari pejabat setempat. Di bundel itu bukan hanya Suwardi yang belum dikabulkan permohonan bantuan rumahnya. Lembaga ini benar-benar menyeleksi calon penerima bantuan mereka dengan ketat. Bundel tersebut juga menunjukkan betapa rapi sistem administrasi lembaga ini.

Tiga warga datang secara bergiliran ke kantor itu saat saya mewawancarai Aida. Mereka minta bantuan rumah, mengaku korban bencana. Salah satu di antaranya adalah lelaki tua berpakaian dinas pegawai negeri sipil yang bekerja di Dinas Kebudayaan provinsi. Dia mengaku mendapat rekomendasi seorang pejabat di kantornya. Namun Aida menolak.

“Rekomendasi dari gubernur atau walikota sekalipun, tak akan berlaku jika tidak memenuhi syarat,” katanya.

Budha Tzu Chi merupakan lembaga bantuan kemanusiaan, pendidikan, dan kesehatan internasional yang bermarkas di Taiwan. Pendirinya seorang biksu bernama Master Chen Yen Sthavira.

Lembaga ini berdiri pada 14 April 1966. Master Chen Yen terketuk hatinya begitu mengunjungi seorang pengikutnya yang terkapar di rumah sakit. Di situ dia melihat banyak orang sakit dan terluka yang umumnya dari kalangan tidak mampu. Pertolongan untuk mereka bahkan sering ditunda, karena tak ada jaminan uang. Pasien yang harusnya bisa selamat sering meninggal dunia akibat rumah sakit menelantarkan mereka. Ini juga terjadi di rumah-rumah sakit di Indonesia. Ada uang nyawa selamat, tak ada uang nyawa melayang.

Kemudian Master Chen Yen menggagas pendirian sebuah lembaga bantuan sosial dan kemanusiaan. Mereka punya misi memberi dan membantu kaum papa. Sekarang cabang Budha Tzu Chi sudah tersebar ke lebih 40 negara, seperti Jepang, Hong Kong, Malaysia, Singapura, Indonesia, Philipina, Thailand, Vietnam, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Inggris, Austria, Kanada, Amerika Serikat, Brazil, Argentina, Paraguay, Laos, Lesotho, dan masih banyak lagi.

Di Indonesia, yayasan ini berpusat di Jakarta. Mereka juga memiliki sejumlah kantor penghubung, contohnya di Bandung, Makassar, Batam dan Medan.

Sumber dana bantuan hampir 90 persen dari donatur di seluruh dunia. Selebihnya dari hasil penggalangan dana di negara bersangkutan.

Sehari setelah peringatan setahun tsunami, pada  27 Desember 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan Perumahan Cinta Kasih di Pantee Riek, Lueng Bata. Di situ Budha Tzu Chi membangun rumah tipe 45 sebanyak 710 unit. Sebanyak 500 unit sudah mulai ditempati. Sisanya dalam tahap penyelesaian.

Yang menempati perumahan di Pantee Riek tak hanya keturunan Tionghoa, melainkan siapa saja yang memiliki kesamaan nasib. Sama-sama korban bencana. Dan lebih dari separuh pengungsi Tionghoa yang sebelumnya menempati barak di Peunayong telah dipindahkan ke perumahan tersebut.

Mereka juga tengah menyelesaikan proyek pembangunan 850 unit rumah bantuan di Neuheun, Aceh Besar. Di Meulaboh lebih banyak lagi, 1.100 unit. Menurut penilaian tim United Nation Habitat dan Universitas Syiah Kuala, biaya per unit mencapai Rp 40 juta.

Di tiap perumahan tersedia fasilitas sekolah dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah pertama, juga ada ruang serbaguna, klinik, dan mushala. Jalan-jalan di dalam perumahan menggunakan paving block. Seperti di Pantee Riek, warna atap rumah bantuan Budha Tzu Chi di tempat-tempat lain juga biru.

Dana yang dikeluarkan untuk membangun perumahan tersebut berasal dari jutaan donatur. Sejumlah konglomerat Cina ikut menyumbang. Contohnya Sinar Mas Group yang memberi Rp 15,6 miliar. Pemilik kelompok usaha ini adalah Eka Tjipta Wijaya. Dia adalah orang nomor tiga terkaya di Indonesia, menurut versi majalah Forbes edisi Asia. Total kekayaannya US$ 2 miliar.  Bidang usaha Sinar Mas meliputi sekuritas, properti, pulp, telekomunikasi, dan keuangan.

“Kami punya target membangun rumah 3.700 unit,” papar Aida.

Untuk memenuhi target rumah itu, biaya yang diperlukan amat besar. Budha Tzu Chi mengeluarkan dana hingga US$ 27 juta. Tanah disediakan pemerintah daerah.

Untuk menangani proyek bantuan raksasa itu, Budha Tzu Chi hanya punya sepuluh relawan, termasuk Aida! Tim ini mengerjakan banyak hal. Istilah Aida, dari A sampai Z. “Dari urusan verifikasi penerima bantuan, negosiasi dengan pejabat pemerintah daerah, pengontrolan sampai pembangunan,” ujar Aida. Tiap keputusan dikeluarkan lewat rapat.

“Di antara kami juga ada yang tidak digaji. Karena prinsip dari Master kami, orang kasih bantuan lewat kami bukan untuk kepentingan pribadi atau kantor. Uang sumbangan harus dikembalikan sepenuhnya kepada yang membutuhkan.”

POPULASI warga Tionghoa di Banda Aceh sebelum tsunami, menurut catatan A Lung, mencapai 5.000 orang. Lebih dari 1.000 orang hanyut dan tenggelam saat bencana datang. Umumnya mereka tinggal di kawasan padat, seperti Peunayong dan Pasar Atjeh.

 

Mereka hidup berdampingan dengan pedagang dan warga Aceh. Toleransi antar warga terjalin cukup baik.

“Karena kita dari kecil sampai besar memang tinggal di sini,” ujar A Lung.

Sejak diberlakukan syariat Islam, menurut A Lung, dia belum pernah mendengar ada perempuan Tionghoa yang ditangkap oleh polisi syariah gara-gara tak mengenakan jilbab atau kerudung.

 

“Tapi kami menghormati hukum Islam di sini. Kami tidak pakai pakaian yang seksi, seperti rok mini,” timpal Lina. Dia istri A Lung yang baru dinikahi beberapa bulan usai tsunami. Mereka bertemu ketika sama-sama mengungsi ke Medan.

Menjelang pemilihan kepala pemerintahan Aceh pada 11 Desember nanti, jumlah warga keturunan Tionghoa berpotensi mendongkrak perolehan suara buat para kandidat. Tapi itu tergantung bagaimana keinginan politik para kandidat.

Lebih dari itu, jika para kandidat berhasil merangkul mereka, bukan mustahil dukungan materi buat kampanye bisa diraih. Asal tahu saja, tidak sedikit pengusaha keturunan Tionghoa yang berhasil di Banda Aceh.

“Belum tahu mau pilih siapa,” ujar A Lung.

 

“Maunya yang perhatian sama orang-orang seperti kita,” kata Suwardi.

Tapi apakah mereka juga punya hak untuk dipilih? Bukankah syarat jadi calon eksekutif di pemerintahan Aceh harus bisa membaca Alquran dan artinya, beragama Islam?

Muhammad Jafar, Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP), mengatakan bahwa semua penduduk Aceh berhak dipilih dan memilih dalam pemilihan nanti, tidak terkecuali warga keturunan Tionghoa.

“Di UU PA (Undang-undang Pemerintahan Aceh) dan qanun tidak ada diskriminasi. Semua punya kesempatan yang sama. Syarat-syarat seperti membaca Alquran tentunya hanya untuk yang beragama Islam. Yang bukan beragama Islam tentu ada syarat lain, yang sesuai dengan agama masing-masing,” kata Jafar pada saya.

Legislator yang juga mantan ketua panitia khusus rancangan UU PA, Ferry Mursyidan Baldan, berpendapat serupa. Undang-undang yang mereka godok di Senayan tidak menutup kesempatan bagi warga minoritas di Aceh.

“Undang-undang yang kita buat membuka ruang bagi siapa saja untuk berpartisipasi. Terbuka bagi siapa saja,” ujarnya, ketika mengunjungi KIP Media Center di Banda Aceh di awal Oktober.

“Apa ada kemungkinan Perhimpunan Sosial dan Pemulihan Tionghoa Aceh

masuk ke bidang politik?” tanya saya kepada A Lung.

“Tidak. Kami hanya lembaga sosial.”

“Bagaimana jika generasi muda Tionghoa di Aceh berminat terjun ke politik?”

 

“Bisa saja. Tapi kalau orang-orang zaman (tua) seperti kita kan sudah tidak mungkinlah. Memang kita harapkan ke depan ada kesempatan (hak politik) yang sama.”

Meski begitu A Lung punya harapan besar terhadap pelaksanaan pesta demokrasi dan perdamaian di Aceh menjelang akhir tahun ini. Soalnya, roda perekonomian akan berhenti berputar jika Aceh kembali dilanda konflik.

“Siapapun pemimpinnya, yang penting aman. Usaha jadi bisa maju. Jangan ada konflik lagi,” katanya, sungguh-sungguh.

*) Samiaji Bintang adalah kontributor sindikasi Pantau di Banda Aceh.

kembali keatas

by:Samiaji Bintang