Datang, Coblos, dan Lupa

Samiaji Bintang

Fri, 20 October 2006

WARGA Lhoong tak tahu soal Pilkada di Aceh. Belum ada petugas pendataan pemilih yang datang. Jalan di kecamatan itu rusak berat. USAID menganggarkan dana Rp 2,2 triliun untuk memperbaikinya, tapi realisasinya belum ada sampai hari ini.

WARGA Lhoong tak tahu soal Pilkada di Aceh. Belum ada petugas pendataan pemilih yang datang. Jalan di kecamatan itu rusak berat. USAID menganggarkan dana Rp 2,2 triliun untuk memperbaikinya, tapi realisasinya belum ada sampai hari ini.

“Kami lupa nama mereka, karena mereka juga melupakan kami,” kata Zulfikar

Mereka yang dimaksud lelaki ini adalah orang-orang di pemerintahan. Zulfikar bahkan tak ingat nama bupati Aceh Besar periode lalu, Zaini Aziz. Nelayan dusun Lhokseudu itu bercerita bahwa sang bupati tak pernah berkunjung ke situ.

“Memangnya siapa yang mau datang ke sini? Gampong kita ini gampong jelek,” kata Syamsiah, ketus. Gampong dalam bahasa Aceh berarti kampung atau desa dalam bahasa .

Usia Syamsiah 53 tahun. Dia dan Zulfikar bertetangga.

Sebelum tsunami menggulung Lhokseudu, gerak pembangunan di dusun ini pun tak tampak. Kini, setelah hampir dua tahun bencana berlalu, sebanyak 213 warga yang selamat masih belum menikmati listrik. Informasi jadi barang mewah.

“Radio tidak ada. Koran harus beli ke kota , jauh. Ongkos L-300 mahal,” sahut Faisal, tetangga Zulfikar yang lain. Tangan pemuda berumur 25 tahun ini tengah sibuk merajut jaring ikan.

L-300 adalah jenis minibus yang menjadi angkutan umum utama antar kota kabupaten di pesisir pantai barat Aceh. Sebelum tsunami, ongkos dari Lhokseudu ke Banda Aceh Rp 5.000 sekali jalan. Kini melonjak lebih dari dua kali lipat.

“Tapi Abang sudah tahu ‘ kan tanggal 11 Desember nanti ada pemilihan gubernur dan bupati baru?” tanya saya lagi.

Faisal terdiam. Dia kemudian menggeleng.

“Di kedai-kedai nggak ada yang cakap-cakap soal pemilihan kepala daerah, Bang?” Saya setengah tak percaya dengan jawaban pria ini.

“Nggak ada.” Dia bersungguh-sungguh.

“Memangnya kapan ada pemilihan lagi?” Syamsiah malah balik bertanya kepada saya.

Zulfikar hanya diam.

Lhokseudu merupakan satu dari empat dusun yang berada di gampong Layeun, kecamatan Lhoong, Aceh Besar. Tiga dusun lainnya, dusun Teungoh, Ujong, dan Singgahan. Letak dusun-dusun itu persis di bibir pantai dan dilalui jalan utama Banda Aceh–Meulabaoh. Gundukan bukit berada di belakangan pemukiman warga.

Jarak tempuh dari Banda Aceh ke Lhokseudu memakan waktu satu jam. Kondisi jalan rusak berat. Gundukan tanah yang sengaja ditinggikan atau polisi tidur mencegah setiap kendaraan melaju seenaknya. Jalanan berdebu ketika panas dan becek begitu disemprot hujan.

Lebih tiga bulan silam United State Agency for International Development (USAID), lembaga bantuan milik Amerika Serikat, berjanji memperbaiki jalan yang menghubungkan kota Banda Aceh dan Meulaboh tersebut. Panjang jalan 247 kilometer. Nilai proyek ini Rp 2,2 triliun. Namun di kecamatan Lhoong, tempat di mana jalan tersebut melintas, wujud janji tersebut tak ada.

Teuku Bukhari, kepala dusun Lhokseudu, membenarkan betapa minim informasi yang dapat diakses warganya akibat prasarana yang buruk. Kabar tentang pemilihan kepala daerah atau Pilkada juga terdengar sayup. Bahkan, sampai pekan kedua bulan Oktober lalu belum ada petugas yang mendata calon pemilih di kampungnya.

“Cuma dengar cerita-cerita saja, tapi belum tahu kapan pastinya. Gampong kami kurang diperhatikan,” kata Bukhari. Dia sudah enam tahun jadi kepala dusun.

Dia juga tak ingat kalau Zaini Aziz pernah menjabat bupati Aceh Besar.

KETIKA pemilihan umum atau pemilu digelarkan di Aceh pada 1999, partisipasi pemilih tak lebih 30 persen dari total penduduk. Ini bentuk boikot warga Tanah Rencong terhadap pemerintah Jakarta yang masih menetapkan Aceh sebagai Daerah Militer. Ribuan nyawa tewas selama militer menggelar operasi mereka.

Jutaan warga Aceh tidak tertarik dengan pemilu. Warga justru menuntut pelaksanaan referendum, seperti yang diberikan pemerintah Jakarta kepada Timor Leste. Grafiti bertuliskan ‘referendum’ lebih semarak ketimbang lambang dan bendera partai politik. Aksi menuntut referendum jauh lebih banyak dihadiri warga ketimbang panggung kampanye partai.

Pada pemilu 2004, persentase partisipasi pemilih di Aceh dilaporkan meningkat hingga 94 persen. Si pelapor adalah Jenderal Ryamizard Ryacudu. Ketika itu dia menjabat Kepala Staff Angkatan Darat (Kasad) Tentara Nasional Indonesia (TNI). Menurut Ryamizard, partisipasi warga meningkat berkat peran TNI serta pihak kepolisian dalam mengamankan pelaksanaan pemilu.

Laporan Ryamizard ditampik sejumlah lembaga swadaya masyarakat nasional. Imparsial, salah satunya. Lembaga ini dipimpin Munir, aktivis hak asasi manusia yang mati diracun di atas pesawat Garuda menuju Amsterdam dari Jakarta . Badan Intelijen Negara diduga berada di balik pembunuhan keji ini.

Selain Imparsial, lembaga lain seperti Centre for Electoral Reform, Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan, Aceh Election Watch, Aceh Working Group, dan Jari ikut menolak laporan Ryamizard.

Menurut mereka, angka tersebut mustahil bisa dibuktikan dan dipercaya. Pasalnya, Aceh masih dalam keadaan darurat. Bisa jadi orang ikut pemilu di bawah tekanan atau paksaan. Komisi Pemilihan Umum saat itu pun tidak mengeluarkan pernyataan resmi soal pemilih di Aceh.

Setahun setelah perjanjian damai Helsinki , wajah Aceh jauh lebih baik. Salah satu buah dari perjanjian itu adalah Pilkada.

Komisi Independen Pemilihan (KIP) jauh-jauh hari sudah menetapkan tanggal 11 Desember 2006 sebagai waktu pencoblosan. Selain memilih pasangan gubernur dan wakil gubernur, pada hari itu juga warga di 19 kabupaten dan kota bakal mencoblos pasangan bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota.

Menurut catatan KIP, jumlah pemilih sementara hingga pertengahan September kemarin sebanyak 2.556.020 orang dan tempat pemungutan suara diperkirakan berjumlah 8.603. Anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 17,25 miliar. Besar dana untuk Aceh Besar Rp 2,043 miliar.

Ini akan jadi pesta demokrasi terbesar dalam sejarah Aceh. Komisi Uni Eropa dan beberapa negara asing sudah berencana menurunkan tim pemantau selama proses pemilihan berlangsung. Pilkada ini amat menentukan nasib dan masa depan Aceh.

Tetapi Yunus sama sekali tak berharap banyak pada Pilkada. Dia warga dusun Meunasah. Hampir setahun setelah bencana, lelaki berusia 43 tahun itu membuka warung kecil di muka rumah panggung berdinding kayu bantuan American Red Cross.

“Kita ini cuma orang gampong. Ikut memilih karena orang lain ikut memilih. Memilih atau tidak, sama saja,” katanya kepada saya.

“Apa abang tidak berharap gampong abang berubah lebih maju kalau dipimpin bupati baru?”

“Nggak tahu. Saya nggak tahu apa nanti ada perubahan atau tidak.”

“Tapi seandainya nanti ada calon bupati yang kampanye ke gampong abang, harapan apa yang pertama kali mau tanya ke dia?”

“Tidak ada.”

“Harapan? Mungkin ada harapan yang mau abang sampaikan?

“Tidak ada harapan apa-apa.”

Pelan-pelan saya mulai memahami sikap pasrah Yunus. Istri dan dua anaknya ditelan tsunami. Adiknya yang nomor tiga, Salbini, ditembak orang tak dikenal sebulan sebelum perjanjian Helsinki .

Dusun Meunasah berada di gampong Pasi. Letaknya diapit perbukitan dan laut. Setelah tsunami, hanya 336 jiwa yang selamat dari 1.200 jiwa penduduk yang pernah ada. Lebih separuh daratan menjelma kolam. Mata pencaharian penduduk rata-rata berladang dan menangkap ikan.

Di masa konflik, daerah itu ajang kontak senjata. Penduduk yang memiliki ladang di bukit sulit bekerja. Sewaktu-waktu mereka bisa jadi sasaran pihak yang bertikai. Korban yang jatuh tak sedikit.

“Pagi masih ketemu wajah, sore sudah ditemukan mati di pinggir sungai,” ungkap Muhammad Hatta, keuchik Pasi.

Bahkan di hari pencoblosan pemilu 2004, Hatta sempat mendengar suara tembakan yang mengarah ke tempat pemungutan suara.

“Asalnya dari bukit,” kisahnya.

“Keamanan waktu itu memang agak sulit,” sahut Abdullah, seorang warga. Ketika itu dia berstatus anggota Keamanan Rakyat (Kamra) yang mengamankan Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kini Abdullah menjadi Panitia Pemilihan Gampong (PPG) Pasi. Tugasnya mendata, menyebarkan informasi, hingga menyiapkan perangkat dan logistik.

Namun, Abdullah lebih optimistis sekarang. “Dibandingkan sebelumnya, sekarang InsyaAllah sudah jauh lebih aman,” katanya.

*) Samiaji Bintang adalah kontributor sindikasi Pantau di Banda Aceh

kembali keatas

by:Samiaji Bintang