Bagai Meniti di Air Pasang

Ayi Jufridar

Mon, 2 October 2006

Waktu persiapan Pilkada di Aceh sangat pendek. Keputusan presiden tentang tender surat suara terpaksa dilanggar dan seluruh anggota KIP terancam masuk bui.

SUASANA kantor Komisi Independen Pemilihan (KIP) Provinsi Aceh lebih sibuk belakangan ini. Rabu, 20 September 2006 lalu, sejumlah pegawai sudah hadir pada pukul 08.00. Tiga orang satpam sudah bersiaga di balik meja panjang di lobi. Tiga kotak putih seukuran kardus mi instan terletak di atas meja itu.

“Masih kosong,” kata salah seorang satpam, sembari menggoyang-goyang sebuah kotak.

Kotak itu berisi saran serta masukan dari warga tentang 11 pasangan calon gubernur-wakil gubernur Provinsi Aceh periode 2006-2011.

Setengah jam kemudian Zainal Abidin, ketua kelompok kerja Pencalonan, datang. Dia terlihat berbincang dengan seorang staf sekretariat, lalu naik ke lantai dua melalui tangga di belakang meja satpam. Setelah itu anggota KIP lainnya mulai berdatangan dan menuju kantor mereka di lantai dua.

Tak berapa lama mereka sudah berduyun-duyun ke lantai satu, memasuki sebuah ruangan yang di daun pintunya tertera tulisan “DILARANG MASUK”.

Di ruang itulah empat anggota KIP dibantu sejumlah staf sekretariat menyeleksi fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) para pendukung lima pasangan bakal calon gubernur-wakil gubernur Aceh. Fotokopi KTP itu syarat wajib bagi pemilih calon yang maju melalui jalur perseorangan atau independen. Pendukung enam pasangan calon dari partai politik atau gabungan partai politik yang minimal punya 15 persen kursi di dewan provinsi tak perlu menyetor fotokopi KTP mereka.

Pemilihan kepala daerah atau Pilkada di Aceh benar-benar berbeda dengan Pilkada di seluruh Indonesia dengan adanya pasangan calon yang maju melalui jalur independen. Dengan sistem ini, siapa pun berhak mencalonkan diri menjadi gubenur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, atau walikota dan wakil walikota. Syaratnya, mereka harus memperoleh minimal tiga persen pendukung dari jumlah peduduk. Untuk bisa maju sebagai calon gubernur dan wakil gubernur, misalnya, pasangan tersebut harus menerima fotokopi KTP pendukung sebanyak 120.948 lembar.

Ini bukan jumlah sedikit. Lagipula tidak berlaku otomatis. Selembar fotokopi KTP tidak serta merta bernilai satu suara. Menurut sejumlah anggota KIP provinsi, sebagian besar fotokopi KTP yang mereka terima belum memenuhi syarat.

Keabsahannya diragukan. Contoh kasus: tanda tangan pada daftar dukungan terlihat ditandatangani satu seorang. Daftar pendukung semacam ini akan langsung didiskualifikasi atau disingkirkan dari penghitungan. Tanda tangan beda, tapi hasil rekayasa pun bernasib sama.

Selembar fotokopi KTP untuk sepasang calon. Bila ditemukan fotokopi KTP yang sama untuk memberi dukungan pada calon pasangan berbeda, maka suara si pendukung tidak diperhitungkan.

Proses selanjutnya adalah anggota KIP akan melakukan verifikasi administrasi terhadap satu persen fotokopi KTP dukungan, lalu melaksanakan verifikasi faktual untuk 25 persen fotokopi KTP yang sudah melewati tahap sebelumnya.

Contohnya, dari 120.948 lembar fotokopi KTP yang masuk, hanya 1.209 lembar yang terkena verifikasi administrasi. Di tahap verifikasi faktual hanya 302 lembar yang dibutuhkan.

Tiga ratus dua lembar untuk satu provinsi?

“Memang sedikit. Tapi satu orang yang kita faktual gagal, akan mengakibatkan 100 orang lainnya gugur. Demikian juga sebaliknya, satu orang yang difaktualkan sesuai dengan data, maka 100 lainnya juga dianggap sesuai data. Begitulah kalau yang diambil hanya sampel,” papar Nyak Arief, seorang anggota KIP.

Selain pasangan yang maju melalui jalur independen, keistimewaan Pilkada Aceh juga terlihat dengan keikutsertaan mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Hasbi Abdullah mencalonkan diri jadi wakil gubernur. Dia adalah saudara kandung Zaini Abdullah, petinggi GAM yang bermukim di Swedia. Hasbi berpasangan dengan Humam Hamid. Pasangan Humam-Hasbi dicalonkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Poster dan spanduk mereka, dengan istilah H2O (Humam-Hasbi Oke), terlihat hampir di semua kabupaten atau kota di Aceh.

Di luar pasangan Humam-Hasbi, ada pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar yang maju melalui jalur independen. Irwandi masih menjabat ketua representatif GAM di Aceh Monitoring Mission (AMM). Sedangkan Nazar ketua Sentral Informasi Referendum Aceh. Keduanya sempat ditahan pemerintah Indonesia sebelum Kesepakatan Damai di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005 lalu.

Namun, sejumlah orang yakin bahwa kemunculan dua calon, Hasbi dan Irwandi, yang sama-sama berlatar belakang GAM ini bisa membuat suara pendukung mereka terpecah.

Tak hanya di provinsi, di seluruh kabupaten atau kota juga terdapat wakil GAM. Di Lhokseumawe, misalnya, ada Suadi Harun. Dia termasuk tokoh GAM yang populer di kota itu. Di Aceh Utara, ada Teungku Amni Ahmad Marzuki, tokoh GAM Wilayah Pase.

Apa tanggapan pasangan calon lain terhadap keterlibatan mantan tokoh GAM di ajang Pilkada?

“Saya mendukung. Dengan demikian, GAM sudah menunjukkan komitmennya untuk berjuang melalui jalur politik,” sahut Tarmizi A. Karim, seorang calon bupati di Aceh Utara. Tarmizi dicalonkan 11 partai politik, termasuk PPP dan Partai Demokrat.

Anehnya, kendati ada wakil GAM yang maju, mantan panglima GAM Muzakkir Manaf justru hadir dalam deklarasi pasangan Tarmizi A. Karim dan Teungku Amirullah. Dalam banyak kesempatan, Tarmizi sering terlihat bersama Muzakkir, termasuk ketika panglima GAM itu berjumpa dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY. Ada yang menyebut Tarmizi sebagai orang kepercayaan SBY di Aceh.

Di tengah persiapan Pilkada di Aceh, keraguan dan rasa khawatir muncul di benak para penyelenggara, terutama di kabupaten atau kota.

Keraguan itu bukan saja dipicu sempitnya waktu yang tersedia, tetapi juga konsekuensi hukum yang akan mereka terima.

Dalam rapat ketua KIP seluruh Aceh, semula tanggal 20 Desember disepakati sebagai hari pencoblosan. Tapi kemudian diubah jadi tanggal 11 Desember.

“Penentuan jadwal itu sampai di-voting oleh seluruh ketua KIP. Ini konyol sekali. Seharusnya KIP menentukan langsung jadwalnya, tak perlu di-voting,” ujar Ketua KIP Aceh Utara Muhammad Abdul Manan, yang saya temui di kantornya pada Kamis, 21 September lalu.

Alasan perubahan itu adalah izin tinggal AMM di Aceh akan berakhir pada 15 Desember 2006. Kalau ingin AMM ikut memantau, jadwal Pilkada harus dipercepat. Alasan ini sama sekali tidak dapat diterima Manan. Menurutnya, pemerintah Indonesia dapat memperpanjang izin tersebut kalau AMM memang ingin memantau pelaksanaan Pilkada di Aceh. Andai izin tidak diberikan pemerintah, masih banyak pemantau lain yang bisa melakukan tugas tersebut.

“Jangan hanya karena AMM, KIP memperberat kerjanya sendiri,” lanjut Manan.

Manan juga punya argumentasi lain.

Undang-Undang Nomor 11 Tentang Pemerintahan Aceh baru disahkan pada 11 Juli lalu. Butuh waktu untuk mensosialisasikan kepada warga. Aturan Pilkada yang ada dalam Qanun atau peraturan daerah Nomor 7 Tahun 2006, belum sepenuhnya dipahami penyelenggara, termasuk anggota KIP.

“Konon lagi masyarakat,” katanya.

Keterbatasan waktu bisa memicu pelanggaran hukum, terutama pelanggaran Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tentang Pengadaan Barang. Sesuai aturan tersebut, pengadaan barang di atas Rp 50 juta harus melalui tender. Berdasarkan kondisi sekarang ini, hampir dipastikan bahwa aturan tadi harus dilanggar.

Bagaimana tidak? Penentuan calon Pilkada ditetapkan pada 8 November mendatang. Otomatis pencetakan surat suara baru bisa dilakukan setelah pasangan calon ditetapkan. Untuk tender, perlu waktu sampai dua bulan. Padahal dari 8 November sampai 11 Desember tidak sampai dua bulan.

“Masalah ini harus ada kejelasan dari sekarang. KIP harus diberi payung hukum. Jangan sampai Pilkadanya sukses, tapi anggota KIP-nya masuk penjara karena melanggar Keppres. Ketua dan anggota KPU Pusat sudah merasakannya,” tutur Manan.

Benar-benar seperti meniti di air pasang.

Tak hanya KIP, Bupati Aceh Utara Teuku Pribadi pun pening. Dia tak tahu bagaimana memperoleh dana untuk membuat seragam anggota perlindungan masyarakat atau disingkat Linmas, yang akan mengamankan Pilkada bersama pihak kepolisian.

“Untuk membuat seragam Linmas, menghabiskan dana sampai Rp 2,2 miliar,” katanya.

Ridwan Hadi, anggota KIP Kota Lhokseumawe, menuntut Menteri Dalam Negeri Mohammad Ma’ruf segera mengeluarkan ketentuan hukum. Kebutuhan Pilkada yang tidak bisa ditender karena keterbatasan waktu, bisa dipermudah prosedurnya dengan langsung menunjuk perusahaan pencetak surat suara.

“KIP harus menjumpai Mendagri agar masalah itu bisa segera diselesaikan,” usul Ridwan, yang sudah menyampaikan gagasan itu dalam rapat KIP di Banda Aceh.

*) Ayi Jufridar adalah kontributor Pantau di Lhokseumawe. Dia juga bekerja sebagai anggota Komisi Independen Pemilihan di Aceh.

kembali keatas

by:Ayi Jufridar