Perang dan Candu

Samiaji Bintang

Fri, 1 September 2006

Kumpulan esei ini tak hanya sekadar renungan. Ia juga menunjukkan pola-pola kekerasan di Aceh. Istilah “OTK” dan “petrus” di masa DOM kini muncul lagi.

SETAHUN perdamaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia dirayakan meriah pada 15 Agustus lalu di Banda Aceh. Ratusan ribu warga dari seluruh pelosok Aceh berkumpul dan melakukan aksi damai di muka masjid Baiturrahman, dari pagi hingga siang hari. Di pantai Ulee Lheue perdamaian menjadi pesta hiburan. Penyanyi dari Jakarta dan tari-tarian Aceh menghibur warga yang datang berduyun-duyun. Direktur Crisis Management Initiative Martti Ahtisaari, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan Perdana Menteri GAM Malik Mahmud hadir di situ.

Di salah satu rumah di jalan Ateuk Jawo, Kampong Ateuk, Otto Syamsuddin Ishak meluncurkan buku baru pada hari yang sama. Namun, tak ada sorak-sorai, tepuk tangan,  dan pidato berkumandang. Para tamu terdiri dari sahabat lama serta teman dekat. Laki-laki, perempuan. Profesi mereka macam-macam, seperti aktivis, pengacara, dan pegawai pemerintah.

Sekitar 15 orang duduk di karpet ruang depan. Rata-rata anak muda. Kopi, teh, kue apem, pie, timpan—penganan khas Aceh dari ketan, dan martabak tersaji di meja. Sesekali terdengar gelak tawa atau saling sapa. Akrab.

Otto seorang aktivis hak asasi.  Ia mendirikan  Cordova, organisasi yang khusus mencatat kasus pelanggaran hak asasi manusia atau HAM. Ia pun turut mendirikan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti Imparsial, Yappika, dan Aceh Kita. Sekarang ia memimpin tabloid Acehkita.

Acara petang itu lebih mirip renungan terhadap berbagai peristiwa yang sudah terjadi di Aceh masa lalu dan setahun setelah Perjanjian Helsinki.

Sagoe, Mosaik Aceh begitulah judul buku yang diluncurkan. Sebuah kumpulan esei. Tiap minggu Otto menulis untuk rubrik “Bandar” di mingguan Acehkita. Dua puluh dua esei kemudian dipilih dari situ, disunting, lalu diterbitkan kembali dalam bentuk buku oleh penerbit Acehkita. Jumlah halaman 130. Format buku saku.

Sebelum Sagoe, Otto telah menulis beberapa buku, seperti Sang Martir, Teungku Bantaqiah. Buku ini mengisahkan pembantaian seorang ulama beserta keluarga dan jamaahnya di masa konflik. Pelakunya militer Indonesia. Tetapi komandan lapangan pembantaian tersebut menghilang dan tak tersentuh hukum sampai hari ini. Dua buku lain yang ditulis Otto, masing-masing Dari Maaf ke Panik Aceh: Sebuah Sketsa Sosiologi Politik dan Peristiwa Idi Cut, Aceh: Dari Tragedi ke Impunitas.

“Di Indonesia ada banyak kasus pelanggaran HAM, namun tidak ada satu pun abdi negara, baik sipil maupun militer yang diputuskan oleh pengadilan sebagai penjahat kemanusiaan. Ajaib, ada korban tetapi tidak ada penjahatnya,” tulis Otto dalam “Pilih Martabat atau Ambil Martabak”, salah satu esei di Sagoe.

Otto tak berteori. Kekerasan di Aceh tetap terjadi, bahkan ketika perdamaian sudah disepakati.

Awal Juli kemarin, misalnya. Muslem, seorang mantan Teuntra Neugra Acheh tewas ditembak di kompleks militer Tentara Nasional Indonesia di Paya Bakong, Aceh Utara. Penembakan berlangsung di depan utusan Aceh Monitoring Mission (AMM). Penembaknya tak pernah ditahan. Hasil penyelidikan tak jelas. AMM bungkam.

Kekerasan meningkat justru di masa damai. Warga sipil selalu jadi sasaran. Pada akhir Juli lalu, Muhammad Nasir, guru agama di gampong Masjid Utu, Pidie, ditembak di depan meunasah tempat ia mengajar orang-orang mengaji Quran. Aparat mengidentifikasi pelaku sebagai ‘orang tak dikenal’ alias OTK. Istilah OTK amat populer di masa konflik dulu.

Dalam esei “Kriminal dan Kriminalisasi”, Otto menyatakan bahwa istilah OTK sengaja dipropagandakan untuk mencipta suasana mencekam serta mengkondisikan masyarakat agar tetap was was.

“Tujuannya untuk menciptakan teror, ketakutan, kepanikan dan ketertutupan sosial. Aksi petrus (penembakan misterius) merupakan tahap awal dari penetapan Aceh berstatus DOM (Daerah Operasi Militer),” katanya.

Ia pun memperingatkan kita soal elit tentara yang menginginkan perang kembali, dalam “Damai Maujud, Muncul Sakit Gigi”. Mereka kecanduan perang. Mereka tak peduli apakah ada alasan atau tidak untuk perang.

“Ketika perang telah menjadi candu, maka hal utama yang selalu harus diciptakan terus-menerus adalah musuh, dari bentuknya yang paling materialis hingga yang paling abstrak,” tulisnya.

“Saya hanya ingin menunjukkan pola-pola itu dalam buku ini,” tutur Otto.

Sejurus kemudian ia menerangkan riwayat pemilihan judul bukunya pada tamu yang hadir. Sagoe dikaitkannya dengan kebiasaan orang-orang tua di masa lampau.

“Orang tua dulu punya kebiasaan meletakkan barang tidak begitu penting di pojok ruangan. Tetapi suatu waktu barang itu bisa diambil kembali.”

Falsafah tersebut diterapkan Otto ketika menulis. Ia kerap merujuk pada sejarah bangsa Aceh atau “sesuatu yang diletakkan di pojok” tadi dalam setiap tulisannya. Ia mengatakan bahwa Aceh sulit dilepaskan dari segitiga agama, sejarah, dan politik. Satu sama lain saling berkait dan menjadi sumber perlawanan yang tak pernah kering bagi rakyat Aceh selama berabad-abad, sejak masa penjajahan kolonial Belanda hingga operasi militer Indonesia.

“Militer pun mencoba mempelajari segitiga ini dengan menerapkan Operasi Cinta Meunasah, meski tindakan di lapangan sama sekali jauh dari sikap mencintai.” Ia terbahak.

Perjanjian Helsinki, menurut Otto, memiliki padanan historis. Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid perjanjian serupa ini disebut Jeda Kemanusiaan dan Kesepakatan Penghentian Permusuhan, juga melibatkan pihak luar sebagai penengah.

Dua tahun kemudian, pada tahun 2001, Megawati Soekarno yang menggantikan Wahid sebagai presiden memberlakukan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-undang tersebut tak jauh beda dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang baru saja disahkan. Isinya menetapkan kenaikan penerimaan daerah dari hasil alam, pemberlakuan hukum Islam, dan pemilihan kepala daerah secara langsung.

Tak sampai dua tahun setelah undang-undang itu diberlakukan, Megawati justru menetapkan status Darurat Militer di Aceh. Tentara Indonesia menangkap ratusan warga yang dicurigai sebagai anggota GAM. Juru runding GAM dibuang dan dijebloskan ke penjara di Jawa.

Pengalaman perang tak berkesudahan, mau tak mau, membuat orang Aceh sulit mempercayai itikad baik pihak agresor. Sejarah perang selalu penuh tipu daya.

Sagoe berhasil memetakan dengan baik hubungan masa lalu dan masa kini Aceh. Namun, pembaca yang minim pengetahuan tentang sejarah Aceh harus rajin menggali sendiri informasi tentang pelaku sejarah di masa kolonial yang disebut-sebut penulis atau penggunaan metafora atau lompatan gagasan maupun kesimpulan di buku ini.

Andaikata esei-esei tadi dikelompokkan dalam topik-topik tertentu, maka akan lebih membantu. Pasalnya, tak jarang dua atau tiga tulisan memiliki topik sama. Pengelompokan berdasarkan topik membuat pembaca lebih nyaman mengikuti alur pemikiran si penulis.

Seperti filosofi “pojok” yang diyakini Otto, sewaktu-waktu Sagoe dapat dibaca dan diambil manfaatnya oleh pembaca. Esei-esei di situ ibarat refleksi di tengah perayaan setahun perdamaian.

*)Kontributor sindikasi Pantau di Banda Aceh

kembali keatas

by:Samiaji Bintang