Dari Penjara ke Pilkada

Samiaji Bintang

Thu, 21 September 2006

Anak guru madrasah yang hobi membaca buku. Jadwal rutinnya di masa konflik: dua bulan di kampus, dua bulan di hutan. Kini mencalonkan diri jadi gubernur Aceh lewat jalur independen.

SEJAK usia tujuh tahun dia sudah gemar melahap buku-buku, termasuk milik ayahnya, seorang guru madrasah di Bireuen.

“Buku pertama yang saya ambil dari tong buku bapak saya berjudul Singa Aceh. Penulisnya Zainuddin… apa gitu. Saya lupa (nama) lengkapnya. Dia orang Aceh. Buku itu sudah tidak diterbitkan sejak lama. Tapi mungkin masih bisa dicari di museum-museum,” kenangnya.

Singa Aceh mengungkap kejayaan kerajaan Aceh sampai masa penjajahan Belanda. Dia membacanya sampai tamat.

Selain melahap buku-buku sejarah, dia juga tertarik membaca buku ilmu falak. Dari buku tersebut, katanya, ia mengetahui penyebab gerhana matahari, gempa, dan fenomena alam lain.

“Walau saya masih kecil, waktu terjadi gerhana matahari saya sudah tidak takut-takut lagi melihat matahari. Padahal waktu itu banyak anak-anak seusia saya yang menyangka dunia sudah kiamat.”

Bacaan lain yang berkesan dalam adalah sebuah novel yang berkisah tentang anak-anak gelandangan di Jakarta. Anak-anak itu pindah dari stasiun trem yang satu ke stasiun trem yang lain. Mereka mengemis untuk ibunya yang pemadat. Sang bapak meninggal di Aceh waktu perang melawan kolonial Belanda.

“Sampai sekarang kisah perjalanan anak jalanan itu masih saya ingat. Tapi tidak ingat judul dan penulis novelnya.”

Dia lahir pada Agustus 1960. Masa kanak-kanak sampai sekolah menengah dihabiskannya di Bireun. Pada tahun 1975, dia melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pendidikan Pertanian Negeri (SPP) di Saree, Aceh Besar. Pengetahuan kemiliteran pertama dia peroleh di sini. Direktur sekolahnya berasal dari kalangan tentara, Letnan Kolonel Rusli Yusuf.  Rusli memberi dia teladan betapa penting sikap disiplin.

Selepas dari SPP, dia kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Dia lulus tahun 1987. Kehidupan akademisnya tak berhenti di situ. Dia kemudian memperoleh beasiswa untuk tingkat master di Oregon State University, Amerika Serikat.

Dia melangsungkan pernikahan dengan Darwati Gani di masa ini. Mereka dikarunia lima anak: Teguh Agam Meutuah, Lathifa Dara Meutuah, Putroe Sambinoe Meutuah, Rania Intan Meutuah, dan Mashita Mutiara Meutuah. Anak pertama laki-laki, selebihnya perempuan.

Dari negeri  adikuasa itu pula dia mulai rajin berkirim surat elektronik ke sejumlah rekan sesama dosen di almamaternya. Mereka saling bertukar pikiran dan gagasan seputar nasib bangsa Aceh. Semula cuma diskusi biasa. Lama-kelamaan diskusi tersebut memberi gagasan yang lebih terang. Dia tidak bisa hanya bersikap kritis lewat kata-kata. Mungkin suatu hari dia harus bertindak.

“Tahun 1998 saya bergabung dengan GAM setelah Soeharto jatuh. Boleh dikatakan, kantor markas GAM pertama adalah di rumah saya, di Banda Aceh. Sedangkan komandonya dari Tengku Abdullah Syafei di Pidie. Hal lain seperti aksi mogok, press release itu keluar dari saya,” ungkap Irwandi Yusuf pada saya, Juli lalu.

Dua tahun sesudah itu, dia diangkat sebagai penasihat militer Angkatan Gerakan Acheh Merdeka atau disingkat AGAM. Sejak itu dia tak lagi menetap di Banda Aceh. Jadwal kesibukannya lumayan ganjil bagi dosen-dosen lain. Dua bulan mengajar di kampus, dua bulan gerilya di hutan.

“Pernah menembak orang?” tanya saya.

“Dalam perang kita bukan menembak manusia, kita menembak target,” jawabnya.

Dia diringkus tentara di rumah seorang teman di daerah Pisangan, Jakarta Timur.  Ketika itu tahun 2003 dan status Darurat Militer tengah diberlakukan presiden Megawati Soekarno di Aceh. Para juru runding GAM yang terlibat dalam Cessation of Hostilities Agreement yang difasilitasi lembaga Henry Dunant Center sudah ditangkap lebih dulu. Mereka ditahan di Kepolisian Daerah Banda Aceh.

Setelah mendekam sebentar di tahanan Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya,  dia diterbangkan ke Aceh dan ditahan di tempat yang sama dengan para juru runding itu. Selama dua bulan di tahanan polisi, dia mengalami pendarahan otak. Sebelas bulan dia terkurung di situ.

Sel terakhirnya ada di Lembaga Pemasyarakatan Keudah. Dia tak mengalami penyiksaan lagi di sini. Istri dan anak-anaknya yang masih kecil kerap menjenguk.

Anak-anak sangat rindu pada ayah mereka.

“Kenapa bapak nggak pulang-pulang?” sungut Putroe Sambinoe Meutuah, putrinya yang kala itu berusia enam tahun.

Dia sendiri tidak tahu kapan bisa berkumpul kembali dengan anak-anaknya. Dia juga harus berbohong demi menenangkan perasaan anak-anak.

“Bapak sibuk kali, banyak kerjaan di sini (penjara). Lihat tuh, banyak kali orang di sini,” katanya, dengan hati terenyuh.

Namun, musibah pada Minggu pagi, 26 Desember 2004, telah memberi dia  kebebasan. Penjara jebol akibat gelombang laut maha dahsyat. Ratusan tahanan meninggal. Dia selamat.

“Ketika terjadi gempa saya tidak panik. Karena saya pernah baca buku ilmu falak waktu kecil. Terus nampak burung. kemudian saya mendengar suara gemuruh, gedebak-gedebuk. Saya sudah menduga, ‘ini tsunami’. Saya naik ke bangunan masjid,” kisahnya.

Istri dan anak-anaknya juga mujur. Mereka luput dari amukan tsunami.

Dunia internasional sibuk memberi bantuan ke Aceh. Aparat turut panik dan pontang-panting. Sebelum perhatian militer tertuju pada tahanan GAM, dia memilih  hengkang ke Jakarta, Bandung, dan negeri jiran Malaysia.

“Di Bandung saya menjenguk teman-teman, seperti Pon Man. Mereka sempat kaget, ‘bagaimana bisa sampai ke sini?’ Nah, itulah kelebihan saya,” tuturnya, terkekeh.

Pon Man tak lain Teuku Kamaruzzaman, mantan petinggi GAM yang kini sekretaris Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Kepulauan Nias.

DUA hari menjelang perayaan ulang tahun kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke-60, GAM dan pemerintah Indonesia sepakat damai di Helsinki. Crisis Management Initiative jadi penengah. Direktur lembaga ini Martti Ahtisaari, mantan presiden Finlandia.

Dia hadir dalam perundingan tersebut. Di sela-sela perundingan, dia sempat mengunjungi Hasan Tiro, pemimpin tertinggi GAM yang tinggal di Swedia.

Sepulang dari Eropa, dia ditunjuk sebagai wakil senior GAM di Aceh Monitoring Mission (AMM). Pemerintah Indonesia menunjuk Mayor Jenderal Bambang Dharmono . sebagai wakil mereka. AMM punya tugas cukup berat dan bejibun, seperti memantau demobilisasi GAM dan relokasi satuan militer dan satuan polisi non-organik, memantau proses reintegrasi, hingga menyelidiki dan mengatur pengaduan tuduhan pelanggaran terhadap isi perjanjian.

Pertemuan-pertemuan di AMM yang dinamai COSA, Commission on Security Arrangements, kerap dihadirinya. Dia kini mirip selebriti, selalu disorot media massa. Sebagai elit di AMM, apakah dia sudah makmur?

“Selebriti, mungkin saja. Tapi gaji saya Rp 3 juta. Di sini (Banda Aceh) saya menginap di salah satu kamar di rumah Muzzakir (Manaf). Malah sering tidur di sofa kantor KPA. Istri dan anak-anak tinggal di Bireuen.”

Dia dapat jatah kendaraan dinas di AMM. Jatah dari pemerintah Indonesia. Tapi dia menolak.

“Karena pelat merah, daripada penyak-penyok dihajar orang-orang waktu masuk ke kampung-kampung.”

Meski proses perdamaian di lapangan berjalan lambat dan sebagian warga kecewa pada AMM, dia tetap optimistis.

“Tak ada jalan untuk berputar, musti sukses! Kita jelas tak punya ide untuk keluar dari MoU,” tegasnya.

DIA mengenakan pakaian adat Aceh lengkap. Baju koko, kain sarung melilit dari pinggang hingga lutut, dan pantalon hitam. Sebilah rencong terselip di pinggang kiri dan meukeutop, tutup kepala tinggi berornamen itu, membuat penampilannya makin gagah. Senyum tak lepas dari bibir.  Berkali-kali bidikan kamera terarah kepadanya.

Minggu petang di bulan Agustus lalu, dia hadir di hadapan sekitar tiga ratus tamu di kantor pusat KPA dan GAM di Lamdingin, Banda Aceh. Para tamu terdiri dari aktivis lembaga swadaya masyarakat, ulama, anggota dewan, dan bekas gerilyawan.

Pada hari tersebut dia sepakat mencalonkan diri sebagai orang nomor satu di Aceh. Pendampingnya adalah Muhammad Nazar.  Pasangan ini cukup populer di kalangan warga. Irwandi salah satu petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Nazar adalah ketua Dewan Presidium Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA). Mereka berdua mengambil jalur independen untuk masuk ke bursa pemilihan.

Peresmian pasangan ini dibuka dengan doa serta pembacaan ayat Al Quran. Sofyan Dawood, bekas panglima gerilya yang kini menjabat juru bicara Komite Peralihan Aceh (KPA), menjadi pemimpin acara. Dia juga yang membacakan surat pengesahan bagi pasangan Irwandi-Nazar.

“Dengan mengucapkan Bismillahirrohmanirrohim dan berpegang pada tali Allah kami mendeklarasikan secara resmi bahwa dokter hewan Irwandi Yusuf em es ce (master of science) dari GAM dan Muhammad Nazar es a ge (Sarjana Agama) dari SIRA sebagai bakal calon kepala dan wakil kepala Pemerintah Aceh yang akan ikut secara independen,” ucap Sofyan lewat pengeras suara.

Sekitar 15 ketua dan wakil ketua KPA dari seluruh Aceh membubuhkan tanda tangan dukungan. Beberapa anggota majelis pusat GAM juga membubuhkan tanda tangan. Bachtiar Abdullah, salah satu petinggi GAM di Swedia, mengirimkan salinan surat dukungan secara tertulis yang dibuat sehari sebelum perjodohan Irwandi-Nazar.

“Kedua bakal calon ini kami beri nama dengan pasangan perjuangan dan perdamaian,” lanjut Sofyan.

Mereka pun bisa disebut pasangan dadakan.

Hasil konvensi GAM seluruh dunia yang dilangsungkan pada Mei silam menjagokan pasangan Tengku Nashiruddin bin Ahmad dan Muhammad Nazar. Tapi di tengah jalan Tengku Nas, sapaan akrab Nashiruddin, tiba-tiba berubah pikiran. Dia mundur. Nazar tinggal seorang diri.

“Akhirnya kami cari alternatif lain yang masuk ke dalam list. Ada banyak pilihan waktu itu. Seperti Tengku Hasbi Abdullah yang kemudian menolak bergandeng dengan Nazar. Kami juga sempat bincang-bincang dengan Nurjuli dan Irwandi. Akhirnya dengan kebulatan tekad kami memilih Irwandi untuk menjadi pendamping Nazar,” urai Munawarliza Zain, wakil juru bicara GAM.

Alasan lain?

“Dia salah satu anggota tim perunding di Helsinki. Aceh yang saat ini menjalankan MoU Helsinki harus dipimpin oleh orang yang benar-benar memahami isi perjanjian itu. Kalau orang lain ditakutkan mereka tidak memahami itu. Sehingga nantinya tidak sempurna dalam menjalankan pemerintahan.”

“Dia juga sudah banyak berhubungan dengan administrasi pemerintah daerah maupun pusat,” timpal Sofyan.

Sofyan menampik kabar perpecahan di tubuh GAM. Sebelumnya, diberitakan ketua KPA Muzakkir Manaf mendukung pasangan calon Hasbi Abdullah dan Humam Hamid.

“Muzakkir mendukung (pasangan Irwandi-Nazar). Tidak akan ada lagi calon independen dari GAM selain Irwandi dan Nazar. Karena pasangan ini sudah mendapat dukungan 15 ketua wilayah. Saya pikir tidak akan ada lagi. Itu sudah 90 persen dari total wilayah GAM, ” kata Sofyan.

SIRA turut mendukung penuh pencalonan Irwandi-Nazar. Koalisi ini strategis.

“Harus kita akui GAM sekarang ini sudah bertransformasi dari gerakan bersenjata ke gerakan politik. Dan mereka juga punya visi dan misi yang baik untuk Aceh, maka SIRA menganggap ini sebuah peluang baik untuk bekerja sama,” tegas Ruslan Razali, sekretaris Dewan Presidium SIRA.

Undangan bersorak. Tepuk tangan gemuruh. Irwandi dan Nazar duduk berdampingan di kursi empuk berukir. Mereka sama-sama menebar senyum pada hadirin.

“Apa ada strategi khusus untuk mengalahkan pasangan calon yang lain?” tanya saya pada Irwandi pada petang itu.

“Saya tidak punya niat untuk mengalahkan yang lain. Kalau kalah sendiri… ya bukan salah saya.” Dia terkekeh.

*) Samiaji Bintang adalah kontributor sindikasi Pantau di Banda Aceh.

kembali keatas

by:Samiaji Bintang