BIN Menyewa Perusahaan Lobby Washington

Andreas Harsono

Mon, 11 September 2006

Badan Intelijen Negara (BIN) memakai yayasan sosial milik mantan presiden Abdurrahman Wahid untuk menyewa sebuah perusahaan di Washington DC sejak Mei 2005.

Badan Intelijen Negara (BIN) memakai yayasan sosial milik mantan presiden Abdurrahman Wahid untuk menyewa sebuah perusahaan di Washington DC sejak Mei 2005. Maksudnya mendekati tokoh-tokoh penting Kongres agar menghapus semua hambatan bantuan dan pelatihan militer Amerika untuk Indonesia.

Temuan ini didapatkan International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) sesudah meneliti beberapa dokumen dari kantor Foreign Agent Registration Act (FARA) di Washington DC, tempat perusahaan Richard L. Collins & Company melaporkan kegiatan mereka untuk BIN dan Gus Dur Foundation.

BIN punya sejarah panjang dalam pelanggaran hak asasi manusia dan baru-baru ini dikaitkan dengan pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir Thalib dari Kontras.

Gus Dur Foundation adalah yayasan sosial yang didirikan mantan presiden Wahid –biasa dipanggil Gus Dur. Collins & Co. menyatakan dalam laporan mereka bahwa BIN “mengarahkan dan membiayai” Gus Dur Foundation untuk menggunakan jasa Collins & Co. Namun Gus Dur dan seorang pejabat yayasan mengatakan mereka tak tahu soal kerja sama ini.

Di Amerika ada undang-undang untuk mengatur perusahaan lobby harus melaporkan kegiatan kliennya secara transparan. Semua detail dilaporkan. Dokumen-dokumen inilah yang didapatkan International Center for Journalists sebagai bagian dari liputan panjangnya tentang politik militer Amerika sesudah serangan World Trade Center 11 September 2001. Liputan ini difokuskan pada 10 negara, termasuk Indonesia, dan dijadwalkan terbit awal 2007.

Pada Mei 2005, Gus Dur Foundation meneken kontrak dan sepakat membayar Collins & Co. $30,000 per bulan guna melobby Kongres dan pemerintahan Presiden George W. Bush agar “menghapus semua hambatan legislatif maupun kebijakan soal kerja sama keamanan dengan Indonesia.”

Dalam pernyataan Collins & Co. yang dilampiri kontrak, perusahaan ini menyatakan, “For the purposes of this contract, the Gus Dur Foundation’s activities are directed and funded by the [BIN]. The nature of the activities carried out under this contract were defined in consultation with representatives from the [BIN] and the [BIN] provides the funding for this contract for the Gus Dur Foundation.”

Pada 31 Juli 2005, kontrak antara Collins & Co. dan Gus Dur Foundation berakhir dan, sejak 1 September, sebuah kontrak baru dilakukan langsung antara Collins & Co. dan BIN dengan jumlah bayaran sama. Dokumen itu menyatakan bahwa kontrak berakhir pada November 2005.

Mengatasi “Hambatan”

Kontrak pertama menegaskan bahwa misi Collins & Co. dalam konteks Indonesia adalah mengatasi “berbagai hambatan sedemikian rupa sehingga hubungan dengan Amerika Serikat, terutama di bidang militer diperbaiki … citra Indonesia, khususnya di Kongres Amerika Serikat, sangat negatif dan dinodai kejadian-kejadian di Timor Timur maupun di daerah-daerah bermasalah macam Papua dan Aceh ….”

Hambatan-hambatan ini bukan main besarnya.

Sebagai ganjaran terhadap tentara Indonesia yang menembaki dan membunuh lebih dari 100 demonstran di Timor Timur pada 12 November 1991, Kongres melarang Indonesia menerima dana dan pendidikan militer di bawah program International Military Education and Training (IMET). Program ini diawasi oleh Departemen Luar Negeri dan dijalankan oleh Departemen Pertahanan Amerika atau biasa disebut Pentagon.

Namun bantuan untuk pelatihan tentara Indonesia tetap berjalan di bawah Joint Combined Exchanged Training Program oleh Pentagon. Namun sesudah tentara Indonesia tetap main kasar terhadap demonstran pada Mei 1998, program ini pun dihentikan. Presiden Bill Clinton akhirnya melarang semua ekspor peralatan dan pelayanan militer ke Indonesia sesudah tentara Indonesia dan milisi binaannya mengamuk dan membakar habis Timor Timur gara-gara kekalahan Indonesia dalam referendum pada 1999.

Dalam Foreign Operations Appropriations Bill tahun fiskal 2000, Kongres menegaskan bahwa baik IMET maupun program Foreign Military Financing (FMF) –yang menyediakan kredit lunak untuk pembelian peralatan, jasa maupun pelatihan di bidang militer kepada negara asing– bisa dicairkan kepada Indonesia bila ada reformasi yang serius di tubuh Angkatan Darat serta perwira-perwira yang terlibat pelanggaran hak asasi manusia diadili.

Dokumen-dokumen FARA ini juga menjelaskan bahwa sebagian tugas Collins & Co. adalah mengatasi kekhawatiran Kongres atas kasus pembunuhan Munir Thalib, yang menurut dokumen pengadilan, terkait dengan BIN.

Dalam keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Munir terbukti mati karena menelan racun arsenik yang dicampur dalam bakmi goreng makanannya di dalam pesawat Garuda Indonesia penerbangan Jakarta-Amsterdam 7 September 2004. Pengadilan menghukum pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto, 14 tahun penjara karena meracuni Munir dan memalsukan dokumen perjalanan .

Pengadilan menerangkan bahwa kejahatan itu dilakukan ”secara berkawan atau berkelompok (conspiracy)” dengan cara canggih –modus, pilihan lokasi, waktu dan cara yang digunakan untuk membunuh Munir memerlukan perencanaan yang liar biasa, dengan pengetahuan, akses informasi, sekaligus kemampuan mengeksekusi dalam penerbangan internasional. Pengadilan menganjurkan aparat hukum menyelidiki beberapa orang Garuda Indonesia, termasuk Ramelgia Anwar (vice president corporate security), Oedi Irianto (pramugara) dan Yeti Susmiarti (pramugari).

Catatan pengadilan menekankan adanya 41 pembicaraan telepon yang dilakukan Pollycarpus dengan seseorang yang menggunakan nomor handphone, 0811-900978, sebelum dan sesudah pembunuhan Munir. Pemilik handphone itu adalah Mayor Jenderal Muchdi Purwopranjono, seorang deputi BIN.

Muchdi sebelumnya komandan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang terkait dengan penculikan aktivis demokrasi menjelang berakhir kekuasaan Presiden Soeharto. Dia digeser dari jabatannya beberapa saat sesudah Soeharto mundur pada Mei 1998. Kopassus juga terbukti terlibat dalam pembunuhan pemimpin Papua Theys Eluai pada November 2001.

Dalam kesaksiannya, Muchdi Purwopranjono mengakui bahwa 0811-900978 adalah nomor handphonenya. Namun dia mengatakan telepon itu sering dipakai oleh ajudan, sopir dan rekan-rekannya. Dia membantah kenal Pollycarpus.

Di Washington, Collins & Co. bekerja semaksimal mungkin meyakinkan Kongres bahwa militer Indonesia sudah mengatasi masa lalunya yang compang-camping dan kini siap mendapatkan perlakuan normal dalam program IMET dan FMF. Pilihan BIN terhadap Collins & Co. bukan kebetulan belaka: wakil presiden Collins & Co. untuk bisnis internasional, Eric Newsom, adalah mantan asisten Menteri Luar Negeri untuk urusan politik-militer yang menangani program IMET dan FMF. Newsom juga mantan pembantu Senator Patrick Leahy dari Partai Demokrat asal Vermont, seorang tokoh penting di Senat untuk urusan hak asasi manusia dan hubungan Amerika-Indonesia.

Dokumen FARA memperlihatkan bahwa antara Juni dan Oktober 2005, para pelobby Collins & Co., terkadang bersama pejabat-pejabat BIN, bertemu dengan tokoh-tokoh kunci Kongres atau pembantu mereka. Antara lain Senator Leahy, Chuck Hagel, dan Lisa Murkowski, maupun anggota parlemen Jesse Jackson Jr. dan seorang asisten dari Senator Barack Obama, keduanya dari Partai Demokrat asal Illinois.

Newsom menemani Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali dan Deputi BIN Burhan Mohammad bertemu Leahy dan pembantunya di gedung Senat pada 21 Juli 2005.

Menurut Tim Reiser, pembantu Leahy untuk urusan Komite Senat dalam kerja sama internasional (anggaran komite ini dipakai untuk mendanai IMET dan FMF), Leahy setuju bertemu As-ad selama 15 menit untuk menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pemulihan kerja sama militer Amerika-Indonesia. Leahy mengatakan kepada As’ad bahwa dia tidak percaya reformasi telah terjadi di tubuh militer Indonesia.

Lobby dari Collins & Co. tentu bukan satu-satunya unsur yang membuat kerja sama militer itu dipulihkan. Beberapa perubahan kebijakan sudah terjadi bahkan sebelum Gus Dur Foundation teken kontrak dengan Collins & Co. Dorongan guna memulihkan IMET dan FMF dimulai sesaat sesudah administrasi Bush masuk ke Gedung Putih pada 2001. Jajaran Bush serta rekan-rekan mereka di Partai Republik berpendapat bahwa keputusan administrasi sebelumnya untuk menghukum Indonesia terbukti tak berhasil ; reformasi di tubuh militer Indonesia dan peradilan terhadap para perwira pelanggar hak asasi manusia praktis jalan di tempat.

Namun suasana pasca-September 11, ketika Indonesia tiba-tiba berada dalam posisi strategis untuk memerangi “terorisme,” membuat Departemen Luar Negeri maupun Pentagon berusaha agar IMET dan FMF dipulihkan sebagai hadiah Washington kepada Indonesia atas dukungannya dalam upaya global melawan terorisme. Pada Februari 2005, Menteri Luar Negeri Condoleeza Rice menyatakan bahwa militer Indonesia sudah cukup menunjukkan upaya reformasi dan layak mendapatkan IMET lagi. Belakangan, pada bulan November, hambatan terhadap FMF dan penjualan peralatan militer juga dihilangkan.

Dalam wawancara dengan Inter Press Service, Leahy menyebut keputusan IMET itu “prematur dan tak menguntungkan.” Ia menambahkan bahwa pemulihan pelatihan militer untuk Jakarta “akan dilihat para petinggi militer Indonesia, yang berusaha menghalang-halangi terwujudnya keadilan, sebagai tepukan akrab di bahu.”

Koneksi Gus Dur

Gus Dur adalah ulama terkenal tingkat dunia. Dia sebelumnya memimpin Nahdlatul Ulama, organisasi Muslim terbesar di Indonesia dan dikenal luas sebagai tokoh Islam moderat. Dia ikut memimpin perlawanan terhadap rezim Soeharto pada 1990-an, dan pada 1999 menjadi presiden pertama Indonesia pascakediktatoran militer Soeharto.

Gus Dur disingkirkan dari jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Juli 2000 karena cara kerjanya yang keliru. Kekuasaannya beralih ke tangan Megawati Soekarnoputri. Megawati diganti oleh Susilo Bambang Yudhoyono, yang terpilih sebagai presiden pada 2004.

Ketika dihubungi di Jakarta, Gus Dur, yang secara medis buta, membantah keterlibatannya. “Saya nggak ngerti. Saya nggak tahu,” katanya. “Tolong kasih saya fotokopi. Saya mau tanya ke As-ad. Saya mau tahu dari orang yang memakai nama saya, ini apa?”

Gus Dur menambahkan bahwa dia punya hubungan dekat dengan Syamsir Siregar, kepala BIN, maupun wakilnya, As’ad Said Ali.

Sekretaris Gus Dur Foundation, Ihksan Abdullah, juga membantah keterlibatan yayasannya dengan BIN. “Saya tidak tahu, terus-terang saya tidak tahu. Masak kita punya uang begitu banyak? Uang $30.000 itu dari mana?”

Menurut Ikhsan Abdullah, yayasan ini didirikan pada Januari 2005, dua minggu sesudah tsunami Aceh, dengan tujuan mendirikan rumah yatim, perpustakaan, sekolah, dan membikin seminar ilmiah. Yayasan ini “tidak punya urusan dengan militer atau lobby internasional. Belum ada rapat untuk kerja sama dengan BIN,” katanya.

“Company di mana pun juga di dunia ini tidak mungkin bekerja sama dengan pihak luar, apalagi pihak asing, tanpa due dilligence sehingga terhindar dari orang yang mencatut nama organisasi,” kata Ikhsan Abdullah, yang juga seorang pengacara dan punya kantor pengacara sendiri. “Walau saya tidak tahu, tapi tidak mungkin Gus Dur meninggalkan kami. Saya rasa [kontrak] ini tidak sepengetahuan Gus Dur.”

Anggaran dasar yayasan ini menunjukkan bahwa Gus Dur adalah satu-satunya pendiri. Dia menunjuk Ikhsan Abdullah dan tiga orang lain untuk jadi pengurus: Aris Junaidi (bendahara), Salim Muhamad (pembina), dan Sulaiman (pengawas).

“Mereka ini orang-orang yang bener-bener dekat dengan Gus Dur. Banyak petualang politik,” kata Ahmad Suaedy, direktur eksekutif Wahid Institute, yang kantornya terletak di Jl. Taman Amir Hamzah 8 di Jakarta –alamat sama yang tercatat dalam kontrak Collins & Co. dengan Gus Dur Foundation.

Wahid Institute sebuah lembaga riset baru yang tujuannya mempromosikan “Islam yang moderat dan toleran.” Gus Dur, yang nama belakangnya dipakai organisasi ini, juga merupakan pendiri Wahid Institute. Suaedy menambahkan bahwa Gus Dur Foundation sudah pindah dari rumah ini pada Januari 2006 menyusul permintaan putri Gus Dur, Yenny –juga direktur Wahid Institute– yang kurang suka pada “para petualang politik itu.”

Muhyiddin Arubusman, seorang pendukung setia Gus Dur, menandatangani kontrak Collins & Co. atas nama Gus Dur Foundation. Arubusman anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Kebangkitan Bangsa, yang tokoh utamanya juga Gus Dur. Ikhsan Abdullah mengatakan bahwa Arubusman tak punya jabatan apapun di yayasan, walau Arubusman –maupun Wakil Kepala BIN As-ad Said Ali– seringkali hadir dalam rapat-rapat yayasan antara Januari dan Mei 2005 untuk bicara soal macam-macam isu termasuk penggalangan dana. Aris Junaidi mengatakan dalam sebuah diskusi itu disebut-sebut bahwa Gus Dur satu-satunya orang yang punya bobot untuk mempengaruhi Kongress Amerika. As-ad juga berasal dari keluarga Nahdlatul Ulama.

Arubusman sendiri berasal dari Ende, Pulau Flores, sebuah daerah mayoritas Katholik. Bandara udara Ende memakai nama paman ayahnya, Hasan Aroeboesman. Awal tahun ini, Muhyiddin Arubusman menyunting dan menerbitkan sebuah buku “Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi.” Wakil Kepala BIN As-ad Said Ali dan Gus Dur menyumbang tulisan masing-masing satu bab.

Kepada ICIJ soal bagaimana dia bisa menandatangani kontrak dengan Collins & Co., Arubusman mengatakan, “Awalnya, kecenderungan separatisme kuat saat itu. Jadi, BIN meminta bantuan bagaimana caranya agar GDF ini bisa mempengaruhi Kongres, karena cenderungnya Papua dan Aceh pisah.” GDF adalah akronim dari Gus Dur Foundation.

“[Collins & Co.] datang ke Jakarta. BIN mengatur semuanya. Saya hanya teken saja karena semangatnya sama, karena juga NKRI, juga separatisme dari Aceh dan Papua.”

Gerakan Acheh Merdeka menyatakan merdeka dari Indonesia pada Desember 1976, dan menyatakan bahwa “bangsa Acheh” jajahan Indonesia. Mereka menyatakan bahwa ”bangsa Indonesia” adalah nama samaran “bangsa Jawa.” Organisasi Papua Merdeka berdiri pada 1965 di Manokwari ketika pemerintah Belanda mendukung Papua untuk jadi negara sendiri. Indonesia menyerbu Papua dan memanipulasi Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969. Pendukung negara Indonesia berpendapat Indonesia terdiri dari semua bekas jajahan Belanda, termasuk Papua.

Arubusman terkesan berhati-hati ketika ditanya apakah ia mendapat mandat untuk teken kontrak atas nama Gus Dur Foundation atau apakah Gus Dur sendiri tahu soal kontrak. “Saya tidak bisa menjelaskan lebih lanjut lagi. Gus Dur harus saya perhatikan nama baiknya karena dia memang tidak tahu,” kata Arubusman.

Legislator Muhammad A.S. Hikam, yang kantornya di Senayan berhadapan dengan kantor Arubusman, meragukan apabila Arubusman punya kemampuan memahami seluk-beluk politik Washington, apalagi menyewa perusahaan macam Collins & Co. “Bahasa Inggrisnya saja kurang lancar,” kata Hikam.

Ketika Arubusman meneken kontrak pertama dengan Collins & Co. pada Mei 2005, tim pencari fakta bentukan Presiden Yudhoyono merekomendasikan polisi memeriksa keterlibatan BIN dalam pembunuhan Munir.

Yudhoyono juga meminta Letnan Jenderal Syamsir Siregar, kepala BIN yang menggantikan Letnan Jenderal A.M. Hendroprijono, membuka diri terhadap pemeriksaan polisi. Namun BIN berbelit-belit dan tetap menolak bekerja sama dengan tim pencari fakta maupun polisi. BIN tidak memberikan reaksi ketika dihubungi beberapa kali untuk memberikan komentar tentang laporan ini.

Enampuluh delapan anggota Kongres juga mengirim surat kepada Presiden Yudhoyono pada 27 Oktober 2005, mendesak agar Yudhoyono menindaklanjuti rekomendasi tim pencari fakta soal pembunuhan Munir. “Kami mengetahui bahwa laporan tim menganjurkan pemerintah untuk membentuk komisi baru dengan mandat meneliti bukti-bukti lebih lanjut, termasuk memaksa kerja sama dari seluruh lembaga negara, termasuk [BIN].”

Surat tersebut, yang disponsori anggota Kongres Mark Kirk dan Jim McDermott, mengatakan: “Munir menyerahkan seluruh hidupnya untuk mencari kebenaran, dan pada akhirnya menyerahkan hidupnya sendiri untuk kebenaran. Kini kematiannya jadi awal dibentuknya sebuah tim pencari fakta. Kami minta agar pemerintah Anda memenuhi janji bahwa Indonesia sudah menjadi masyarakat yang terbuka dan demokratis dengan menyebarluaskan laporan tim dan mengikuti rekomendasinya.”

Gus Dur juga mendesak pemerintah Indonesia menekan BIN. Dia bikin pertemuan pers bersama Suciwati, isteri almarhum Munir, sehari sesudah vonis pilot Pollycarpus. Gus Dur bilang Munir seorang pahlawan dan Muchdi harus ditanyai. Mantan presiden ini mengatakan kepada media bahwa ia punya niat mencari pembunuh Munir. Dia secara pribadi mengatakan kepada Suciwati bahwa As-ad “clear.”

Ikhsan Abdullah, sekretaris Gus Dur Foundation, bertanya-tanya bagaimana reaksi teman-teman dan janda Munir bila mengetahui Gus Dur Foundation terlibat dalam melobby Kongres Amerika untuk memulihkan hubungan militer dengan Indonesia.

“Gus Dur dikenal sebagai pejuang hak asasi manusia. Pengaruhnya besar di dunia. Bagaimana nanti pendapat orang Papua terhadap Gus Dur kalau dokumen ini dikeluarkan?” *

*)Andreas Harsono wartawan sindikasi Pantau di Jakarta. Susanna Hamblin dan Marina Walker Guevara memberikan kontribusi dari Washington DC. Mereka bekerja untuk Center for Public Integrity di Washington DC. Sponsor dana untuk liputan ini dari JEHT Foundation.

kembali keatas

by:Andreas Harsono