Damai Tapi Ragu

Samiaji Bintang

Tue, 22 August 2006

Warga ragu perdamaian bisa langgeng. Undang-Undang Pemerintahan Aceh banyak melanggar perjanjian Helsinki.

SAEFUDDIN sengaja ke Banda Aceh sehari sebelum peringatan damai Gerakan Acheh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia. Padahal jarak ibukota negeri Serambi Mekkah itu dari rumahnya di kecamatan Trienggadeng, Pidie, hanya sekitar dua jam

berkendaraan. Istri sudah memberi restu dan doa. Kedua anak yang masih kecil dan kebun coklatnya mesti ia tinggalkan sementara.

Saefuddin menumpang truk. Irman, teman baiknya, ikut dalam truk yang sama. Ada tujuh truk dari Trienggadeng yang berangkat ke Banda Aceh. Semua penuh!

“Kami bukan anggota GAM. Tapi kami sering jadi korban. Kalau habis kontak, GAM enak bisa lari. Kami? Mau lari ke mana?” ujar Irman. Ia agen penjualan hasil kebun.

Pidie salah satu basis GAM. Kontak senjata antara tentara Indonesia dan GAM sering terjadi di situ. Teungku Muhammad Hasan di Tiro, pemimpin tertinggi GAM, orang Pidie.

Di Banda Aceh, dua sahabat ini menginap di Universitas Syiah Kuala, Darussalam. Seperti puluhan ribu orang yang datang dari berbagai pelosok Aceh, mereka tidur di emperan kampus. Beralas semen. Berselimut sarung.

Rencana peringatan setahun perdamaian telah diberitakan berbagai suratkabar dan media di Aceh jauh-jauh hari. Wakil presiden Yusuf Kalla dan Martti Ahtissari, direktur Crisis Management Initiative (CMI) sekaligus mantan presiden Finlandia, akan hadir. Puncak perayaan bakal berlangsung di pantai Ulee Lheu.

Tapi Saefuddin tak ingin datang ke Ulee Lheu.

“Karena saya tidak begitu yakin perdamaian ini bisa panjang,” ujarnya.

“Mengapa?”  tanya saya.

“Kami sering ditipu. Pengalaman beberapa kali ada perjanjian, ternyata masih ada kontak. Sampai sekarang TNI masih suka keliling kampung, apalagi di kampung

tempat Teungku Abdullah Syafei ditembak. Tapi kita yang masyarakat biasa yang sering jadi korban.”

Almarhum Teungku Abdullah Syafei atau Tengku Lah adalah bekas panglima Angkatan Gerakan Acheh Merdeka atau disingkat AGAM. Ia dicintai banyak orang Aceh. Bahkan Bondan Gunawan, sekretaris negara di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, terkesan pada Tengku Lah. Ia memajang fotonya bersama sang panglima di meja

kerjanya. Bondan pejabat Indonesia pertama yang berhasil bertemu dan bicara dengan pihak GAM.

Tengku Lah meninggal ditembak pada tahun 2002 dalam kontak senjata di gampong Jiem Jiem, Bandar Dua. Kampung tersebut tak jauh dari Trienggadeng.

“Perdamaian yang sekarang ini bisa sampai setahun juga karena ada orang-orang Eropa itu,” sambung Saefuddin.

“Kalau saya cuma berharap perdamaian bisa berumur panjang. Biar bisa kerja, cari makan, bebas dagang ke mana-mana.” Irman menimpali.

Selasa pagi, 15 Agustus 2006, Saefuddin dan Irman bersama ratusan ribu orang jalan kaki dari tugu Darussalam ke Masjid Raya Baiturrahman. Jarak tempuh sekitar empat kilometer. Massa melewati daerah Simpang Lima di pusat kota dan markas Komando Daerah Militer Iskandar Muda.

Empat panser telah bersiaga di muka markas tentara itu. Satu peleton tentara tampak baris-berbaris di halaman. Sebagian lagi berkerumun dekat pagar tembok dan berbicara dengan sejumlah orang berambut cepak yang berpakaian sipil. Mereka menonton massa bergerak menuju Baiturrahman. Mereka agak gusar.

“Kalau mereka menyerbu ke sini, kita ambil langkah seribu saja. Nggak mungkin bisa menahan massa begitu banyak.”

“Iya, saya nggak mau pulang-pulang tinggal tengkorak.”

“Lihat itu, semua jalan diblokir, kasihan yang mau lewat. Di sana ditahan polisi, di sebelah sana ditahan orang GAM, eh di jalan sini ditahan sama kita. Sampai-sampai intel saja nggak bisa lewat. Tuh lihat…balik ke sini semua. Hahahahaha….”

Sebuah kijang bak terbuka berhenti di dekat tugu Simpang Lima. Seseorang berorasi dalam Bahasa Aceh. Suara dari megafon terdengar sayup-sayup.

“Apa kata kolap (komandan lapangan) itu?” tanya salah seorang tentara pada pria berkaos oblong yang berdiri di dekatnya.

“Dia ingin perdamaian bisa lama. Pidatonya bagus. Berbeda sama pidato yang tadi itu, memaki-maki pemerintah Indonesia. Mungkin yang tadi orang GAM,” balas yang ditanya.

Sanusi, prajurit dengan tiga strip merah di lengan seragam lorengnya, bersandar di tembok markas. Ia mengawasi  massa di kejauhan. Ia percaya bahwa massa

tak akan anarkis dan perdamaian akan tetap terjaga. Sanusi asli Aceh.

“Ini cuma peringatan setahun I love You,” ujarnya.

“Maksudnya?” tanya rekan saya, Linda Christanty.

“Eh, MoU, maksud saya.” Sanusi terbahak.

Toko-toko tutup. Kantor-kantor tutup. Pagar Rumah Sakit Umum Zainal Abidin dan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh ditutup.

Massa berkumpul di halaman Baiturrahman, bahkan sampai tumpah ke jalan-jalan sekitar masjid itu dan Pasar Atjeh. Beberapa spanduk dibentangkan di sekitar masjid. Save MoU, Selamatkan Perdamaian Lewat Revisi UU PA, AMM Harus di Aceh Sampai Terbentuk Self Government.

Massa langsung bertepuk sorak begitu pembawa acara menyebut nama Muhammad Nazar dari Sentral Informasi Referendum Aceh atau SIRA. Ia pernah dua kali dijebloskan ke penjara, karena dianggap menyebarkan kebencian pada pemerintah Indonesia. Nazar mengenakan jaket dan peci hitam. Ia mulai berpidato.

“Yang kita inginkan adalah perdamaian yang sebenar-sebenarnya! Bukan perdamaian yang penuh tipu-tipu!” Suaranya lantang.

Tujuh tahun lalu sekitar sejuta juta orang berkumpul di Baiturrahman untuk menuntut referendum. SIRA turut menggerakkan mereka.

Saefuddin dan Irman menyimak pidato Nazar. Mereka ikut bertepuk tangan dan bersorak.

“Hidup bangsa Aceh!”

Perdamaian yang sebenarnya, kata Nazar, hanya bisa diselamatkan lewat revisi Undang-undang Pemerintahan Aceh atau UU PA. Isi UU PA yang disahkan legislator di Senayan banyak yang bertentangan dengan isi perjanjian Helsinki.

“Kalau UU PA tidak segera direvisi, tidak akan yang bisa menjamin perdamaian ini bisa berumur panjang,” katanya pada saya.

Sebelum acara ditutup, Dawan Gayo, salah seorang panitia aksi membacakan petisi rakyat Aceh lewat pengeras suara berdaya sekitar 7.000  watt.

Menolak UU PA. Menuntut keseriusan Aceh Monitoring Mission (AMM) dalam mengawal perdamaian sampai terbentuk pemerintahan sendiri di Aceh. Menuntut

pemerintah Indonesia segera membebaskan tahanan politik Aceh yang masih mendekam di penjara. Itulah sejumlah tuntutan dalam petisi tersebut.

Wakil juru bicara GAM Munawarliza Zain juga berada di tengah massa.

“Kami mendukung acara ini,” ujar Munawar pada saya.

Namun, ia menyangkal GAM punya andil dalam mobilisasi.

“Kalau GAM yang bikin …” Munawarliza tak meneruskan kalimatnya. Ia kemudian tersenyum.

GAM tak puas dengan isi UU PA, terutama soal pengadilan hak asasi manusia yang tidak berlaku surut. Padahal banyak kasus kekerasan dan pembantaian terjadi justru sebelum UU PA disahkan. Selain itu, fungsi TNI sebagai pertahanan negara juga tidak dijelaskan rinci. Akibatnya, bisa bias dan mengundang masalah. Mengapa tidak ditegaskan bahwa TNI berfungsi mempertahankan negara dari serangan pihak luar, misalnya?  Kini GAM sedang membahas soal itu.

“Kami menggunakan mekanisme dispute settlement (penyelesaian sengketa) dengan mengundang ahli-ahli hukum internasional kami dan membahasnya di Kuala Lumpur. Karena sebagian mereka masih belum diizinkan ke Indonesia, seperti Damian Kingsbury,” jelasnya.

GAM akan menyerahkan hasil konsultasi tadi pada pemerintah Indonesia, CMI, dan AMM.

“Oleh sebab itu AMM  harus menyelesaikan tugasnya, sampai tuntas. Kalau tidak, itu artinya ada pihak yang tidak menepati komitmen janjinya dan tidak bertanggung jawab. Dan menurut kami, tugas mereka belum selesai.”

Selepas dzuhur, ketika sebagian orang bersiap-siap ke Ulee Lheu untuk  merayakan perdamaian, Saefuddin dan Irman melompat ke salah satu truk menuju Trienggadeng. Bagi mereka, kesepakatan bersama di Baiturrahman jauh lebih penting ketimbang pesta meriah.

*) Kontributor sindikasi PANTAU di Aceh

kembali keatas

by:Samiaji Bintang