Bang Otto

Mulyani Hasan

Mon, 14 August 2006

Dia menganggap kejahatan kemanusiaan tak bisa diselesaikan dengan lobi politik, tapi pengadilan HAM. Dia tak sepakat penerapan syariat Islam di Aceh..

“SAYA  tidak pernah merasa jadi orang Aceh, semua hal yang saya lakukan untuk Aceh, karena saya merasa itulah keahlian saya,” kata Otto Syamsuddin Ishak.

Dia pertama kali menghirup aroma tanah Aceh saat berusia tiga tahun. Ketika itu tahun 1962. Aceh baru saja lepas dari perang antara Teungku Daud Beureuh serta para pengikutnya dengan pemerintah Indonesia. Mereka menuntut Aceh jadi wilayah berhukum Islam.

Pada 1977, dia kembali ke tanah Jawa untuk belajar di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Setahun sebelum itu, Teungku Muhammad Hasan di Tiro memproklamasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di salah satu gunung di kabupaten Pidie. Tiro menganggap Aceh sebagai negeri berdaulat penuh dan bukan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perang antara GAM dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pun dimulai. Akibat konflik yang makin memuncak, status Daerah Operasi Militer atau DOM diberlakukan di bumi Serambi Mekah pada 1989.  Ketika DOM dicabut pada 1998, tercatat 8.344 jiwa warga sipil melayang.  Ini belum termasuk yang hilang dan mengalami penganiayaan berat.

Di awal DOM diberlakukan itulah, dia kembali ke Aceh dan mengajar di Universitas Syiah Kuala. Dia memberi pemahaman tentang pentingnya penegakan hak-hak sipil pada kaum muda Aceh.

Dia kemudian mendirikan Cordova, organisasi yang khusus mencatat pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia atau HAM. Dia juga turut mendirikan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti Yapika, Aceh Kita dan Imparsial. Sekali waktu dia menjadi anggota adhoc Komisi Nasional HAM yang berkantor pusat di Jakarta.

Tubuhnya jangkung kurus, dibalut kaos oblong dan celana jins. Kumis melintang rapi, percis foto yang saya lihat di situs-situs internet. Selama perbincangan kami, berbatang-batang rokok silih berganti terselip di antara telunjuk dan jari tengahnya.

Bang Otto, panggilan akrabnya. Dia ayah lima anak. Istrinya, Dyah Rahmani Purnomowati, asli Jawa.

Otto mengalami berbagai teror sejak 1990-an. Semua itu terkait dengan kesaksiannya tentang Aceh.  Dia tak cuma disangka mata-mata GAM oleh TNI, tapi juga dianggap mata-mata TNI oleh GAM.

“Pernah ada seorang preman kampung disuruh intel (TNI) untuk menghabisi saya, untungnya preman itu teman main layangan waktu kecil. Eh, dia malah minta maaf, dan urung menghabisi saya,” kenang Otto, terbahak.

Pelan-pelan dia coba mengatasi rasa takut. Meski rasa takut itu juga yang membuatnya waspada. Suatu hari dia tiba-tiba merasa jiwanya terancam. Dia pun segera memusnahkan  data-data korban pelanggaran hak asasi manusia yang susah payah diperolehnya. Dia tak ingin seluruh data jatuh ke tangan militer. Dia tak ingin keluarga korban maupun para saksi ikut jadi korban. Kebanyakan kasus yang dijumpai Otto adalah pembunuhan misterius.

“Pembuangan mayat-mayat  di pinggir jalan, merupakan shock therapy yang dilakukan pihak TNI, untuk membuat rakyat Aceh ketakutan.”

Ketika dia turut mendirikan Komite Independen Pemantau Pemilu bersama 36 organisasi massa di Aceh, cap sebagai “orang GAM” diberikan tentara Indonesia padanya. Tapi itu bukan cuma terjadi pada Otto. Semua gerakan atau sosok yang kritis terhadap pemerintah Jakarta waktu itu diidentikkan dengan GAM.

“Saya bukan orang GAM. Sasaran kritik kita adalah demokrasi. Tidak ada sangkut pautnya dengan gerakan saparatis.”

Suatu hari Otto malah ditangkap sejumlah gerilyawan GAM. Otto merasa hidupnya di ujung tanduk. Ternyata dia dibawa menghadap Panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka Teungku Abdullah Syafei atau populer disebut Tengku Lah. Sang panglima menempuh cara tak lazim untuk bertemu Otto. Namun, tak ada intergosasi apalagi penyiksaaan.

Tengku Lah ingin Otto menjelaskan padanya tentang hak asasi manusia dan segala aktivitas Otto yang berkaitan dengan hal itu.

Teungku Lah terkesan pada pertemuan pertama mereka. Sejak itu dia rajin mengundang  Otto, bukan sekadar membicarakan politik atau hak asasi manusia, melainkan juga urusan pribadi dan masalah keluarga.

“Beliau menyuruh saya untuk datang ke rumahnya kapan saja saya mau. Apalagi  jika saya butuh makan atau minum.”

Kedekatan Otto dengan  Teungku Lah membuat Bondan Gunawan, menteri sekretaris negara di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, meminta bantuannya untuk mengatur pertemuan dengan panglima GAM itu.

Bondan adalah petinggi  Indonesia pertama yang bisa langsung bertemu gerilyawan  GAM. Pertemuan Bondan dan Tengku Lah merupakan embrio terbentuknya jeda kemanusiaan atau humanitarian pause.

Namun, kedekatan Otto dengan Tengku Lah tak serta-merta memupus kecurigaan pasukan GAM terhadap Otto. Ia tetap dicurigai sebagai “orang TNI”.

Dua tahun setelah pertemuan Bondan dan Teungku Lah, tersiar kabar bahwa Teungku Lah bersama istrinya Fatimah tewas dalam baku tembak dengan TNI di pedalaman Pidie.

Situasi kacau. Dan di saat bersamaan, TNI mulai mencari alibi untuk menangkap Otto.

Pada tahun 2000  Otto terbang ke New York. Keberangkatannya didukung sejumlah lembaga HAM di Jakarta maupun luar negeri. Selama enam bulan tinggal di Amerika, Otto berhasil menulis dua buku, yakni Tragedi Idi Cut dan Teungku Bantaqiah.

Di tengah masa pelarian itulah Otto menemui Hasan Tiro di Jenewa. Dia terkesan pada sikap Tiro. Meski tak sepakat dengan pemikiran politik tokoh GAM tersebut, dia menganggap Tiro sebagai orang yang tak kenal lelah menumbuhkan rasa percaya diri bangsa Aceh.

 “Ia merumuskan kembali identitas Aceh, mendidik orang-orang Aceh, bagaimana menggunakan WC kering, naik pesawat, menggunakan sendok garpu, dan ia melakukannya sendiri terhadap rakyat Aceh. Tidak ada tokoh Aceh, yang melakukan hal itu untuk rakyat umum.”

Meski mengagumi Tiro, Otto mengeritik GAM.

“GAM tidak mempunyai agenda bagaimana membangun Aceh, demikian pula dengan pemerintah Indonesia,” katanya.

Perang kini berhenti di Aceh, setelah kesepakatan damai pemerintah Indonesia dan GAM berlangsung di Helsinki pada Agustus 2005 lalu. Jusuf Kalla dan “Kelompok Bugis” sering disebut-sebut punya peran penting dalam mengupayakan kesepakatan tersebut. Popularitas Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden ikut naik. Pemerintahannya dianggap lebih punya niat baik pada bangsa Aceh.

Namun, Otto berpandangan lain.

“Perdamaian di Aceh bukan datang dari pihak-pihak ini. Perdamaian ini datang akibat tsunami. Oleh karena itu, baik pemerintah Indonesia maupun GAM tidak siap,”  katanya, tegas.

Lagipula tak semua politikus senang pada perdamaian Aceh. Megawati Soekarno, Amin Rais, dan bahkan, Abdurahman Wahid ikut berkomentar sumbang. Menurut Otto, itu ekspresi kecemburuan di kalangan elite.

“Di lain pihak, para elite tersebut pernah berada di pucuk kekuasaan ketika Aceh berdarah. Mereka juga bertanggung jawab atas tragedi di Aceh, tidak terkecuali Presiden Yudhoyono, karena ia pernah menjadi pelaksana harian Darurat Militer.”

“Gusdur memang mendorong perdamaian, tapi dia juga mengeluarkan Kepres nomor 4 tahun 2000 tentang Operasi Terpadu. Sementara Megawati juga mendorong COHA, tapi menetapkan Aceh sebagai daerah Darurat Militer.”

COHA singkatan dari Cessation of Hostilities in Aceh. Kesepakatan ini merupakan gencatan senjata antara pemerintah Indonesia dan GAM yang ditandatangani pada 9 Desember 2002. Namun, umurnya hanya dua bulan. Pada Februari 2003, TNI kembali menangkap para aktivis politik dan hak asasi manusia di Aceh atas perintah Megawati Soekarno selaku presiden.

Undang-Undang Pemerintahan Aceh pun masih belum sepenuhnya mewujudkan butir-butir kesepakatan Helsinki. Para legislator di Senayan pun tak lepas dari kepentingan eksekutif.  Masalah pembagian kekayaan dan peradilan HAM adalah poin terpenting. Namun, yang banyak disorot justru penerapan syariat Islam.

“Syariat Islam digulirkan oleh sekelompok elite untuk kepentingan politiknya. Nilai-nilai Islam sendiri  sudah ada dalam adat sebagai instrumen struktural orang Aceh. Saya tidak suka sesuatu yang harus dijiwai kemudian distrukturalkan apalagi dijadikan instrumen politik.”

Ia tegas-tegas menolak penetapan syariat Islam di Aceh. Nada bicaranya makin meninggi ketika pembicaraan kami menyentuh masalah HAM.

“Beberapa partai politik menolak adanya peradilan bagi para pelaku pelanggaran HAM di Aceh. Sebut saja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Partai politik ini menginginkan pengampunan terhadap TNI, seperti yang dilakukan terhadap GAM.”

Menurut Otto, kalau TNI atau pemerintah ingin membersihkan diri mereka dari banyak tuduhan, mereka harus menempuh jalur Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan pengadilan HAM. Lobi-lobi di Senayan adalah jalur ilegal.

Prosedur semacam itu cuma taktik cuci tangan.

“Tidak ada yang berhak untuk memberi pengampunan bagi para penjahat kemanusiaan, kecuali korban itu sendiri. Bahkan ulama sekeramat apapun tidak berhak.”

*) Mulyani Hasan adalah kontributor sindikasi Pantau di Jakarta

kembali keatas

by:Mulyani Hasan