STIKER CARE menempel di pintu depan rumah keluarga Syafi’i Johan di Lorong Kelapa, Lambaro Skep. Delapan telapak tangan membentuk lingkaran. Warna selang-seling. Kuning, oranye.

Dinding rumah darurat itu terbuat dari papan-papan usang. Beratap seng karatan. Angin atau tempias hujan bisa menerobos kuda-kuda atap yang bolong. Sisa semen lantai telah bercampur pasir. Di situ Syafi’i tinggal bersama istrinya, Ruhati, dan dua anaknya, Nurbaya dan Aswadi.

Rumah mereka berbeda dengan rumah bantuan CARE International umumnya, yang bercat krem dan ditandai stiker CARE.

Sumur, dapur, dan kasur tidur menyatu di satu ruang. Pengap dan panas. Bau busuk meruap tiap pagi, siang, dan malam. Ketika saya masuk, comberan tempat nyamuk berbiak cuma berjarak tiga langkah dari tempat tidur mereka.

“(Rumah) ini saya bikin dari hasil mengumpulkan kayu dan seng sisa-sisa tsunami,” ungkap lelaki berusia 64 tahun ini kepada saya, awal Agustus 2006 lalu.

Ruhati malah mengira saya orang CARE. Dia meminta rumah bantuan yang dijanjikan CARE segera dibangun. Dia sudah tak tahan tinggal di rumah darurat buatan suaminya.

“Sudah tidak tahu lagi mau mengadu ke mana,” ujar Ruhati, lirih.

Tiba-tiba air mata perempuan itu berderai.

“Tolong bilang sama CARE, ya, Dik.” Dia terisak.

Hampir setengah tahun, CARE hanya menumpuk batu bata di lahan bekas reruntuhan rumah mereka. Meski sudah dilindungi terpal bekas tenda, batu-batu tetap lapuk akibat hujan dan panas. Batu di tumpukan dasar bahkan telah berlumut.  

“Mereka janji, ‘iya Pak, dua minggu lagi’. Sudah lewat dua minggu, ‘sabar, seminggu lagi’. Terus… terus molor sampai sekarang,” kisah Syafi’i.

“Orang yang mampu dan masih punya rumah malah dapat rumah. Dibangun duluan, terus sekarang sudah selesai. (Rumah) kami yang sudah tidak lagi malah belum ada tanda apa-apa,” sahut Nurbaya, anak perempuan Syafi’i, dengan suara agak tinggi.

Tsunami bukan hanya merobohkan rumah keluarga Syafi’i. Kolam tambak seluas satu hektare ikut hancur, rata dengan air laut hingga sekarang. Padahal hasil tambak di daerah Syiah Kuala itu tumpuan hidup keluarga.

Sebenarnya kepedulian CARE bukannya nihil terhadap keluarga ini. Ruhati mendapat bantuan mesin jahit dan obras. Upah jahitan, meski tak seberapa, masih bisa untuk membeli sayur dan sedikit lauk-pauk.

Namun, kabar terbaru dari CARE seperti tsunami yang menghantam dada Syafi’i, Ruhati dan anak-anak mereka.

Dua minggu yang lalu, Syafi’i mendatangi kantor CARE yang terletak di Jalan Pelangi, Lambaro Skep. Kantor tersebut khusus mengurus program beudoh di desa Lambaro Skep dan Lampulo. Dia berniat menagih janji.

“Orang CARE malah mau kasih uang ganti Rp 15 juta buat rehabilitasi rumah. Saya tidak mau, saya bilang ‘apa yang mau direhab?’,” tuturnya.

“Adik lihat sendiri, rumah kita sudah rata dengan tanah,” timpal Ruhati.

LAMBARO Skep berada di kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Seperti Syafi’i Johan, mata pencarian penduduk umumnya petani tambak udang dan ikan bandeng.

Menurut kantor desa setempat, sebelum bencana, jumlah warga yang tercatat sebanyak 4.442 jiwa. Kini tinggal 3.736 orang. Sekitar 1.200 rumah rusak dihantam gelombang. Tambak penduduk yang rata dengan laut mencapai 127 hektare.

“Sampai sekarang belum ada yang dibuat lagi,” ungkap Firdaus Haiyar. Dia geuchik atau lurah Lambaro Skep yang baru menjabat tiga hari ketika saya mewawancarainya.

“Sampai sekarang?” tanya saya, tak percaya.

“Iya, sampai sekarang,” timpal Azuddin, sekretaris desa yang menemani Firdaus saat wawancara.

“Lalu apa mata pencarian warga setelah bencana?”

“Sebagian ada yang beralih jadi sopir becak mesin. Becak mesin itu kebanyakan kredit. Sebagian lagi berdagang ikan,” ujar Firdaus.

“Tapi itu sedikit sekali,” sela Azuddin, “banyak yang kerjanya hanya menunggu bantuan sembako dari NGO.”

Menurut Azuddin, hingga kini 736 kepala keluarga masih menghuni barak, termasuk yang berada di barak sebelah kantor desa. Setiap bulan mereka mendapat bantuan 12 kilogram beras per jiwa, minyak goreng dua kilogram, ikan enam kaleng, dan mi instan.

KECEWA dan sedih juga menggembung di hati Hafifah. Rumahnya di Jalan Sisingamangaraja II, Lampulo, dihajar tsunami hingga rata. Jailani Ibrahim, sang suami, dan anak lelaki satu-satunya jadi korban. Jasad keduanya tak pernah ditemukan.

Kini Hafifah mesti mengongkosi pendidikan Nur Jeihan Putri dan Nurul Hafni seorang diri. Dia mengajar agama Islam di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 65, Lampulo. Gajinya tiap bulan Rp 1,4 juta. Itu pun setelah mengabdi 24 tahun.

Ibu dan dua anak perempuan itu nyaris jadi manusia tenda. Selama 1,5 tahun mereka berpindah-pindah dari satu tenda ke tenda lain, tidur beratap terpal bantuan International Federation of Red Cross (IFRC) dan United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR).

Menjelang batas akhir tinggal di tenda, geuchik Lampulo memberi Hafifah dua pilihan. Angkat kaki ke barak atau tinggal di rumah bongkar pasang. Itu juga berlaku bagi pengungsi tenda yang lain.

Geuchik hanya menjalankan perintah atasan. Gubernur Mustafa Abubakar ingin warga Aceh sudah tak lagi tinggal di tenda-tenda mulai awal Juli 2006.

“Daripada pindah ke barak, lebih baik ke rumah bongkar pasang,” kata Hafifah.

Di barak, kedua putrinya bakal lebih sulit belajar.

“Terlalu ramai.”

Pada 1 Juli lalu, Hafifah memilih menghuni rumah sementara bantuan tiga lembaga yang bekerja sama, yaitu IFRC, Bulan Sabit Merah Turki, dan CARE International.

CARE juga berjanji memberi bantuan rumah untuk korban bencana di Lampulo. Dan Hafifah kecewa, karena sampai sekarang janji tersebut tak terbukti.

“Sudah sejak enam bulan lalu masih belum selesai-selesai,” ujar Hafifah.

“Di mana rumah ibu yang mau dibangun?” tanya saya.

“Itu di sana.” Hafifah menunjuk sebidang lahan yang dikelilingi rumah-rumah bantuan yang hampir selesai. Letaknya di belakang kompleks Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lampulo. Di lahan tersebut baru terpancang 10 tiang cor.

“Yang lain rumahnya sudah jadi, kenapa saya belum? Saya pernah dengar, kalau masih pegawai, bantuan dikasih belakangan. Tapi apa pegawai seperti saya yang sudah kehilangan suami tidak butuh bantuan?” tutur Hafifah, sedih.

Tsunami benar-benar mengubah wajah Lampulo yang semula dihuni 6.322 jiwa dan tersebar di empat dusun, yakni Tengku Tuan di Pulo, Malahayati, Tengku di Sayang, dan Teuku Teungoh.

“Setelah tsunami jumlah penduduk Lampulo berkurang menjadi 3.694 orang,” ucap Hanisullah, kepala urusan umum Kantor Desa Lampulo, kepada saya.

Lebih seribu rumah warga lenyap. Beberapa aparat desa dan dusun hanyut. Ratusan siswa sekolah hilang. Mereka yang selamat tinggal di barak-barak dan tenda, seperti Hafifah serta dua putrinya.

Banta Usman, Kepala SDN 65 Lampulo, mengungkapkan hanya 40 orang yang selamat dari 250 siswa. Di tahun ajaran baru 2006/2007 ini, jumlah siswa baru lebih sedikit lagi. Hanya selusin!

Dulu kawasan ini dikenal sebagai perkampungan nelayan dan pedagang ikan. Hampir 90 persen pendapatan penduduk bergantung pada laut.

Namun, belasan kapal besar yang pernah bersandar di tepi Sungai Krueng Aceh tinggal kenangan. Hanya dua yang masih bisa berlayar, yaitu kapal motor Vitara dan Ikan Terbang.

Sebuah kapal sepanjang hampir 15 meter bertengger di atap dan tembok rumah warga di Jalan Flamboyan. Kapal tersebut jadi monumen yang mengabadikan betapa tinggi dan dahsyatnya gelombang tsunami Desember 2004 lalu. Konon, kapal tadi sempat menyelamatkan puluhan warga yang terapung ketika tsunami.

“Cerita penyelamatannya mirip kapal Nabi Nuh,” ujar Made, seorang warga Peunayong, Banda Aceh, ketika mengantar saya melihat monumen itu. Made mengetahui cerita tersebut dari koran ditambah penuturan warga setempat.

Beberapa hari setelah bencana, puluhan lembaga bantuan asing dan lokal berdatangan ke Aceh. Mereka memboyong aneka bantuan dan ratusan relawan. Mereka membantu merehabilitasi dan merekonstruksi desa-desa seperti Lampulo. Bagaimana praktik derma itu setelah berjalan hampir dua tahun?

KETIKA berkeliling ke Lambaro Skep dan Lampulo, akhir Juli hingga awal Agustus lalu, tidak sedikit saya menemukan lahan yang hanya diisi tumpukan bata merah, seperti di tempat Syafi’i Johan.

Di beberapa lorong pada ruas Jalan Mujahidin, tampak rumah bantuan CARE yang belum rampung. Baru tiang cor dan tembok bata merah yang tegak.

Namun tak sedikit yang sudah menikmati rumah bantuan lembaga ini. Salah satu dari mereka adalah keluarga Muhammad Yusuf Isa.

Semula keluarga Isa menempati ruang seluas 4 x 5 meter persegi hingga Juni lalu di barak panggung, sebelah kantor desa Lambaro Skep. Mereka antre mengambil air, mencuci, atau mandi, bersama ratusan penghuni barak.

Setiap bulan keluarga Isa menerima paket bantuan beras lebih dari 1 kwintal. Selain itu ada jatah minyak goreng 10 kilogram dan ikan kaleng empat lusin.

“Anak saya delapan. Kalau ditambah dengan saya dan istri, kami ada sepuluh jiwa,” kata lelaki berusia 54 tahun itu.

“Apa tidak ikut KB (program keluarga berencana), Pak?” tanya saya.

“Ya ikut. Dari spiral, pil, sampai yang suntik sudah pernah dicoba. Tapi masih jebol juga,” sahut Erliana, sang istri. Dia menggendong si kecil. Saya terkekeh mendengar penuturan Erliana. Lelaki beruban itu juga ikut tersenyum.

Anak bungsu mereka, Akmal Hanif, lahir hampir setahun selepas tsunami. Tepatnya 19 November tahun lalu. Bocah  montok berkulit bersih itu lahir ketika mereka masih menempati barak.

“Tapi ini sudah tutup, tak mau tambah lagi,” ujar Isa, meyakinkan. Saya mengamati wajah Hanif. Si kecil lebih cocok menjadi cucu ketimbang anak Isa, gumam saya dalam hati.

“Tapi tak tahu juga kalau nanti ada lagi. Itu kehendak Tuhan.” Erliana buru-buru menambahkan.

“Benar-benar KB ya, Pak? Keluarga besar,” kata saya.

Jatah sembako amat meringankan beban hidup keluarga, karena pendapatan Isa tak menentu. Dia bisa memperoleh uang Rp 40 ribu hingga Rp 50 ribu setelah sehari semalam bekerja. Itu hitungan ideal. Bila penumpang sepi, bisa-bisa tak ada uang yang dibawa pulang. Sehari-hari dia bekerja sebagai sopir becak mesin. Dia pernah mengantar saya ke makam Syiah Kuala.

Becak mesin adalah becak yang digandengkan dengan sepeda motor atau disebut kereta oleh orang Aceh. Sepeda motor Isa terlihat butut. Meski Honda Supercup hitam itu selamat dari tsunami, mesin dan onderdil lain terpaksa diganti. Lumpur dan air laut merusaknya. Sebagian tubuh motor yang berkarat telah dicat hitam. Tutup tangki bensin cuma gelas plastik bekas. Ketika saya amati, motor itu juga tak memiliki pelat nomor.

“Jangankan BL (pelat nomor), surat-suratnya juga sudah hanyut dibawa air,” ujar Isa.

Setelah 1,5 tahun di barak, Isa memboyong keluarganya ke rumah bantuan.  Rumah tersebut hanya berjarak lima meter dari barak.

“Rumah CARE ini lebih bagus dari rumah saya sebelum tsunami.”

Lantai semen. Tembok warna krem. Atap seng. Lengkap dengan kamar mandi dan kakus. Semula hanya ada dua kamar, tapi Isa segera membangun satu kamar lagi.

Dia merasa beruntung. Rumah bantuan CARE International membuat keluarganya tak lagi berjejalan di barak sempit. Putra bungsu yang masih bayi pun dibesarkan di lingkungan yang lebih sehat.

MESKI berstatus rumah bantuan, ternyata untuk memperolehnya tak seratus persen cuma-cuma. Hafifah harus membayar sendiri ongkos pekerja.

Bahan baku rumah, seperti papan untuk dinding, seng untuk atap, dan besi baja untuk konstruksi bangunan, memang gratis. Tapi untuk membentuknya jadi rumah butuh tenaga. Hal itu tak mungkin dilakukan Hafifah dan anak-anaknya.

“Saya bayar tukang Rp 400 ribu sampai rumah selesai. Itu uang saya sendiri. Katanya mau diganti CARE, tapi sampai sekarang belum sedikitpun yang dibayar,” kata Hafifah.

Isa bernasib sama. Dia mesti menyediakan kopi, makanan ringan, dan makan siang seadanya buat kuli yang merampungkan pembangunan rumah. Dia mengeluarkan uang lebih dari Rp 500 ribu.

“Tidak betah lama-lama tinggal di barak,” katanya.

Biaya yang dikeluarkan Firdaus Haiyar  malah lebih besar. Geuchik Lambaro Skep yang juga korban tsunami ini harus merogoh Rp 2,5 juta untuk membayar upah kuli agar rumah segera kelar.

“Tukang-tukang itu bilang mereka tak akan menyelesaikan rumah kalau tidak ada tambahan. Itu saja sudah beberapa kali ganti tukang, banyak yang lari. Daripada tidak selesai, ya terpaksa kita kasih,” ujar Firdaus.

“Apa dana itu sudah diganti CARE?”

“Sedikitpun tidak! Dan sudah setengah tahun lebih dan sampai sekarang belum selesai. Listrik, air, WC, dan septic tank-nya masih belum ada.”

Sementara alokasi dana dari CARE untuk penyelesaian satu unit rumah ketika itu hanya sebesar Rp 5,5 juta. Uang tersebut jauh dari cukup. Apalagi biaya makan dan harga kebutuhan lain ikut naik pascabencana. Buruh-buruh itu, sambung Firdaus, tiap akhir pekan butuh liburan. Mereka butuh uang jajan.

Kelambanan penyelesaian rumah bukan cuma gara-gara kuli enggan bekerja lantaran ongkos kerja rendah. Pasokan bahan bangunan pun sering macet. Alhasil, rumah yang semula ditargetkan selesai dalam sebulan bisa mulur hingga setengah tahun lebih.

Saya menemui Rossella Bartoloni, koordinator program beudoh CARE International di Aceh dan Simeuleu, untuk mengetahui kendalanya. Dalam bahasa Indonesia, beudoh berarti membangun kembali.

Menurut Rosella, ada tujuh tahap sebelum CARE benar-benar melaksanakan program pembangunan rumah pada awal November 2005. Urutannya seperti ini: menentukan para penerima bantuan, pemilik rumah dan tanah, uji kestabilan tanah, perancangan model rumah, lalu membuat rencana tata ruang lewat musyawarah dengan aparat dan warga setempat. Setelah itu, rumah dibangun.

“CARE menyediakan bahan bangunan, lalu mencari dan memilih mandor. Setelah itu mandor bebas mencari tukang yang dia butuhkan,” katanya.

Biaya untuk tiap unit rumah, menurut Rossella, antara Rp 52 hingga 58 juta. Harga tersebut sudah termasuk pemasangan instalasi listrik, air bersih, dan sanitasi.

“Tapi itu tidak termasuk biaya untuk survei, pengurukan tanah, rehaabilitasi jalan-jalan menuju pemukiman yang rusak. Kalau ditambah itu, jumlahnya lebih.“

Lantas berapa upah kuli? Jawaban Rossella ternyata sama seperti yang diungkap Firdaus. CARE hanya menyediakan Rp 5,5 juta. Itu ongkos yang dibayar secara bertahap buat para mandor dan pekerja sampai satu unit rumah selesai!

“Kami menandatangani kontrak dengan para mandor. Mereka bisa merekrut tiga sampai delapan orang pekerja. Rumah kami targetkan bisa selesai dalam empat pekan,” papar Rosella.

“Apa tidak terlalu murah?” tanya saya.

“Kalau mereka tidak sanggup, mestinya mereka tidak menandatangani kontrak kerja dengan kami. Tapi sejak Mei kemarin kami naikkan dua kali lipat jadi antara Rp 11 juta hingga Rp 12,5 juta. Akibat laju inflasi yang sangat tinggi,” ujar Rossella.

“Bagaimana dengan uang yang sudah telanjur dikeluarkan penerima bantuan untuk membayar biaya tambahan kepada pekerja, seperti untuk kopi, snack, dan makan siang?”

“Itu salah! Karena kami tidak pernah menyarankan mereka untuk mengeluarkan dana tambahan. Tapi kalau mandor yang meminta uang tambahan di luar yang kami berikan sesuai kontrak, silahkan laporkan kepada kami. Mandor tidak akan kami bayar jika pekerjaannya tidak selesai. Dan penerima bantuan tidak harus memberikan apapun. Kecuali kalau mereka memang rela memberi.”

Di lapangan saya bertemu Marwandi dan Syahrial. Kedua pria ini kuli bangunan asal Bireuen. Mereka tengah menyelesaikan rumah bantuan CARE di dusun Geulumpang, Lambaro Skep. Untuk menyelesaikan satu unit rumah dibutuhkan lima orang. Tetapi, bayaran yang diterima berbeda dengan yang dilontarkan Rossella.

“Satu unit untuk berlima dibayar Rp 10.300.000,” kata Syahrial.

“Bukan Rp 11-12 juta?”

“Tidak tahu. Itu yang kami terima kalau rumah selesai dibangun. Tapi di Aceh ini memang banyak anjingnya,” ujar Syahrial. Tapi dia enggan menerangkan maksud kata ‘anjing’ itu.

Mereka juga tak memungut biaya tambahan. Kopi, kudapan, atau makan siang?

“Beli sendiri.”

Ketika saya temui, mereka tengah menunggu bahan kuda-kuda untuk atap. Sudah sepekan lebih bahan itu tak datang. Menurut mereka, jika distribusi bahan bangunan lancar, rumah bisa berdiri dalam 25 hari.

“Dengan waktu segitu kami masih dapat untung. Lalu mengerjakan rumah yang lain. Tapi kalau terus-terusan telat, kami juga tidak dapat untung.”

Rossella menyatakan kriteria bangunan bantuan CARE amat ketat. Mereka mengutamakan kualitas sekaligus kuantitas bangunan. Untuk kualitas rumah bantuan, CARE sudah mendapat penghargaan dari Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Syiah Kuala. Tetapi, perpaduan mutu dan target jumlah yang tinggi bukan hal yang mudah dicapai.

“Kendala utama kami memang buruh bangunan dan ketersediaan bahan bangunan,” ujarnya.

Namun, penerima bantuan yang kecewa tak puas dengan jawaban Rossella.

“Ada bahan atau tidak, tiap bulan gaji orang-orang itu ‘kan jalan terus,” kata Burhanuddin, ketus.

Dia warga Lambaro Skep yang terpaksa mengungsi ke rumah mertua setelah tsunami.

“Uang bantuan itu malah habis di jalan, buat gaji orang CARE dari bawah sampai atas. Tapi pembangunan rumah seperti sengaja ditunda-tunda. Sedangkan tukang-tukangnya lari, tidak tahan menunggu bahan lama-lama. Mereka ‘kan milih cari tempat lain,” tutur Syafi’i.

“Berapa besar salary staf CARE?” tanya saya pada Melanie Brooks. Dia manajer komunikasi CARE International Indonesia.

“Secara rutin CARE melakukan pertemuan bersama lembaga-lembaga lainnya untuk memastikan bahwa gaji yang kami berikan sesuai standar lokal bagi setiap staf nasional dan internasional,” jawabnya dalam sebuah surat elektronik untuk saya.

CARE Aceh berada di bawah manajemen CARE International Indonesia (CII) dan bertanggung jawab kepada kantor CARE International di Kanada. CII didirikan pada 1967. Program bantuan mereka meliputi bidang kesehatan masyarakat, pertanian, usaha kecil, dan perkotaan.

Sumber dana lembaga ini berasal dari sejumlah negara dan lembaga donor, seperti United State Agency International Development, Australian Agency for International Development, Canadian International Development Agency, anggota CARE International, dan Uni Eropa. Beberapa perusahaan transnasional, seperti perusahaan jasa keuangan JP Morgan Chase, perusahaan farmasi Pfizer, dan kedai kopi Starbucks ikut menyumbang.

“Gaji saya lebih kecil dibandingkan ketika saya bekerja di International Fund,” ujar Rosella.

Sebelum bekerja di CARE International, Rossella adalah country director di International Fund for Agricultural Development. Ini lembaga perantara Perserikatan Bangsa-Bangsa yang punya misi khusus memberi bantuan keuangan bagi pembangunan pertanian di negara-negara miskin. Dia pernah bertugas di Vietnam, Papua Niugini, Timor Leste, hingga Kepulauan Solomon.

Mungkinkah gaji dia sebulan melebihi harga satu unit rumah bantuan korban? Jangankan dia, di negeri yang diamuk bencana ini gaji kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (BRR) saja melebihi gaji presiden.

Jumlah tenaga kerja CARE di Aceh mencapai 860 orang. Lembaga ini jadi mirip perusahaan atau pabrik. Tenaga lokal 830 orang. Sisanya, ekspatriat. Kompleks kantor pusat mereka di Banda Aceh berada di Lorong Haji Binti, Lamteumen, terdiri dari empat gedung berlantai dua.

Pertengahan September 2005, seperti diberitakan Serambi Indonesia, belasan tenaga kerja CARE menuntut kesamaan tunjangan makan harian antara pekerja lokal dan nasional. Selain itu, pekerja nasional mendapat tunjangan liburan ke Bali.

Indah Indayani, asisten Melanie, menampik berita Serambi. Itu bukan protes, kata dia, hanya hasil diskusi internal teman-teman.

“Tapi media justru menangkap lain dan malah membesar-besarkan.”

Soal tunjangan libur ke Bali, Melanie maupun Indah tidak memberi komentar.

Ketika saya menanyakan biaya operasional mereka, seperti transportasi, sewa bangunan, rekening telepon, dan lain-lain, Melanie menolak menjawab. Kebetulan dia sedang  berada di luar Aceh. Dia meminta saya menghubungi Indah untuk memberitahu perinciannya. Namun, sang asisten malah mengatakan bahwa dia harus berkoordinasi dengan Melanie lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan tersebut.

“Karena pertanyaan Anda sudah menyangkut hal-hal internal CARE,” kata Indah dalam  surat elektroniknya.

Tapi lebih dari sepekan belum ada jawaban.

KEBIJAKAN CARE menaikkan ongkos kuli bangunan agak terlambat. Sebab alarm tingginya laju inflasi sudah dibunyikan kantor cabang Bank Indonesia (BI) di Aceh pada awal Januari 2006.

Harian Kompas mengutip keterangan Tibrani Hilmi Aziz, kepala kantor cabang BI di Aceh tentang ini. Tibrani menyatakan bahwa laju inflasi tahunan di Aceh dari Januari hingga November 2005 sebesar 31,63 persen. Di Banda Aceh bahkan mencapai 36,7 persen.

Sektor produksi yang hancur dihantam tsunami belum kunjung membaik, sementara permintaan aneka barang dan transportasi di masa pemulihan justru meroket. Tak pelak, harga-harga kebutuhan pokok melonjak, demikian pula harga dan ongkos kirim bahan bangunan yang kebanyakan didatangkan dari luar Aceh.

CARE berencana membangun 1.833 rumah di Aceh. Di Simeulue 1.394. Baru sebagian selesai. Mereka juga bekerja sama dengan BRR untuk membangun 1.218 rumah di Banda Aceh dan Aceh Besar. Total desa yang dijangkau sekitar 20.

Dana US$ 47,9 juta dianggarkan untuk program beudoh di Aceh. Waktu pelaksanaan program, antara 2005 sampai 2007. Selama 2005 lalu, dana yang sudah dikeluarkan hampir separuh anggaran, yaitu US$ 20,2 juta.

CARE berjanji menyelesaikan rumah di Lampulo sebanyak 438 unit dan 126 unit di Lambaro Skep sebelum Ramadhan tiba. Perjanjian dengan kepala-kepala desa sudah ditandatangani.

“Tidak mungkin,” kata Syafi’i. “Sekarang sudah bulan Rajab, dan belum ada apa-apa selain batu bata. Mereka yang dapat, ya yang dekat-dekat api.”

“Maksudnya?”

“Yang dapat bantuan rumah, ya yang dekat orang-orang itu, dekat geuchik, kepala lorong… Yang dekat api.”

Setelah banjir bantuan yang tak merata alirannya, muncul rasa cemburu antar warga. Rasa akrab berubah jadi sinis. Sifat tolong-menolong berganti siasat-mensiasati. Bahkan tak sedikit yang mencurigai geuchik di kampung masing-masing, yang selama ini dihormati.

Firdaus si geuchik baru di Lambaro Skep, turut menanggung sial. Ketika saya datang ke kantornya, seorang ibu tengah meminta bantuan rumah untuk sang anak yang baru menikah. Si ibu marah-marah tanpa ujung pangkal, karena menganggap Firdaus pilih kasih dalam merekomendasikan bantuan. Firdaus tak terima. Kriteria penerima bantuan adalah korban tsunami, bukan pasangan yang baru menikah atau yang ingin berbulan madu.

Menurut Firdaus, warga yang menerima bantuan pun tidak selalu pihak yang tepat. Ada warga yang menyewakan rumah bantuan. Ada pula yang pura-pura kehilangan rumah dengan menunjuk tanah kosong miliknya sebagai tempat bekas runtuhan rumah, padahal dia tinggal di desa lain yang tidak terkena tsunami.

“Ada juga warga yang datang dari luar desa, tinggal di barak berbulan-bulan lalu minta bantuan rumah. Padahal sebelumnya di desa ini dia hanya kontrak. Saya tidak bisa seenaknya menyetujui jika tanpa surat-surat tanah yang jelas. Karena kantor desa tidak punya lahan yang bisa dibagi-bagikan. Tanah di Lambaro Skep ini kan tanah orang semua, bukan tanah kita,” kata Firdaus.

*) Kontributor Sindikasi PANTAU di Banda Aceh 

by:Samiaji Bintang