TETEHOSI, 10 KM. Huruf-huruf  hitam itu tertera pada pelat besi  kuning yang terpancang di tikungan jalan.

Ini jalan lain menuju Teluk Dalam, ibukota Nias Selatan. Hujan berhari-hari membuat jembatan putus di jalur biasa.

Dulu jalur Tetehosi terhitung angker. Sekitar dua atau tiga tahun lalu, tak ada mobil berani melintas sendiri di sini, meski siang hari. Sebatang pohon tiba-tiba melintang di jalan. Begitu pengemudi mobil turun untuk menyingkirkannya, sejumlah pria datang menyergap. Mereka merampas apa saja yang bisa dirampas dan lumrah membunuh korban. Teriakan minta tolong sia-sia. Jalanan sunyi. Letak rumah penduduk jarang-jarang.

Tiba-tiba mobil kami berhenti. Sebuah mobil tergelincir di jembatan yang terbuat dari jajaran batang-batang kelapa itu. Roda-rodanya gagal mencengkam permukaan jembatan yang licin. Penduduk desa berkerumunan dan mondar-mandir di sekitar mobil naas.

“Tadi saya juga sempat mencium bau bangkai. Jangan-jangan itu mayat yang dibuang ke sungai. Jalan ini memang rawan,” kata Dedi Irvan Sega, sopir kami, seraya memutar kemudi.

Kami terpaksa kembali ke Gunung Sitoli, ibukota Nias. Pantai Sorake yang indah dan kerap jadi tujuan para peselancar mancanegara tinggal mimpi. Tak ada jalan lain ke Teluk Dalam.

Jembatan merupakan sarana penting di Nias. Banyak sungai di pulau ini. Jembatan menghubungkan satu desa ke desa lain. Sekitar seribu jembatan tersebar di seluruh Nias.  Bahkan, sebuah jembatan bisa menghubungkan lima desa sekaligus. Menurut data United Nations Recovery Coordinator for Aceh and Nias, gempa 8,7 skala Richter pada 28 Maret tahun lalu telah menghancurkan 98 persen jembatan di kabupaten ini.

International Organization for Migration (IOM), salah satu lembaga bantuan yang menangani pembangunan kembali Aceh-Nias, sudah membangun 15 jembatan.

“Dan 4 jembatan lagi sedang dalam proses pembangunan,” kata Paul Dillon dari IOM pada saya akhir Maret lalu.

Jumlah tersebut sangat kecil dibanding seluruh jembatan yang rusak.

“Tapi sebelum gempa, rata-rata jembatan di Nias bukan dari bahan yang kokoh dan tahan lama,” kata Dillon, lagi.

Kendala lain bersifat alamiah. Kontur tanah Nias labil, sehingga mempengaruhi ketahanan konstruksi. Jalan kadang bergerak!

Dillon mantan wartawan. Bertubuh tinggi besar. Berewok. Ia pernah bekerja 18 tahun untuk sebuah media di Kanada.  Ketika pindah ke Indonesia pada 1999, Dillon juga tak jauh-jauh dari jurnalisme. Ia menjadi kontributor untuk sembilan media, mulai dari suratkabar, radio sampai televisi, seperti USA Today, Canadian Broadcasting, dan stasiun televisi Al Jazeera. Kini ia bekerja sebagai kepala bagian informasi di IOM.

Selain membangun jembatan, IOM juga mendirikan rumah dan sekolah.

“Rumah yang hancur akibat gempa ada 13 ribu. Rumah yang sudah dibangun IOM ada 1448 dan sebanyak 1331 akan dibangun. Sekolah hancur sebanyak 723. IOM juga akan membangun 75 sekolah di sini. BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias) baru membangun 12 sekolah.”

Menurut Dillon, sejak Desember 2004 sampai Januari 2006, IOM sudah mengangkut 70 ribu ton bantuan ke Indonesia.

Ia memberi perumpamaan jenaka. “Banyaknya kira-kira seperti 6300 gajah Afrika enam kali keliling dunia. Ini perbandingannya. Gajah Sumatera lebih kecil 20 persen dari gajah Afrika… jadi kalau untuk gajah Sumatera… 7500 ekor.”

SEROMBONGAN anak laki-laki menghampiri saya ketika mobil kami berhenti di desa Lasara Idanoi, kecamatan Gido. Saya memotret tenda yang berfungsi sebagai sekolah darurat itu. Batu bata bertumpuk di muka tenda. Kain tenda koyak-moyak, menjuntai-juntai di sana sini. Lantai tanah, becek. Bau pesing bercampur kotoran anjing.

Seorang anak terlihat paling tua, mungkin sekitar 15 tahun usianya. Ia mengisap rokok. Tubuhnya kerempeng. Berkali-kali ia  mengembuskan asap rokok ke udara dengan gaya gagah atau angkuh dibuat-buat. Anak-anak lain berdiri di belakang remaja ini.

“Kelas berapa?” tanya saya padanya.

Ia tak menjawab, tapi teman-temannya menyahut, “Tidak sekolaaah!”

 “Kenapa tidak sekolah?”

Ia senyum-senyum saja. Tetap membisu.

“Tidak tahuuuuu…” sahut kor tersebut.

Yang bersangkutan tertawa-tawa.

Pandangan saya beralih pada anak lain. Ia kelihatan pendiam dan tak ikut menyumbang suara untuk kor barusan. Namun, tatapan matanya menunjukkan rasa ingin tahu.

Namanya Ucok Batee. Usia 12 tahun. Ia bersekolah di desa Ladea.

“Dua jam dari sini. Di gunung, tinggi. Sungai pun dilewati,” kata Awali Putra Gulo. Lagi-lagi bukan yang bersangkutan yang menjawab.

Ayah Ucok sudah lama meninggal dunia. Ibunya bekerja sebagai kuli di kebun karet. Ia punya lima saudara laki-laki. Ucok anak bungsu.

“Ucok ini pintar. Juara satu terus dia,” kata Awali, lagi.

Awali senang bicara. Ibunya guru. Ayahnya pendeta.

“Itu rumah kami, rumah dinas pendeta.”

Telunjuk Awali mengarah ke rumah papan, beratap genteng, di seberang jalan. Dinding-dinding rumah kelabu kusam. Tampak sebuah jendela dan sebuah pintu di bagian muka. Desain yang amat sederhana.

Awali punya mata yang berbinar-binar saat bicara. Sebelum saya bertanya tentang sekolahnya, ia sudah buru-buru berkata, “Kalau sekolah saya, satu kayu digoyang, goyang sekolahnya.”

Ha ha ha ha… Anak-anak tergelak-gelak.

“Tapi saya senang sekolah. Guru juga rajin mengajar. Katanya biar keadaan seperti itu, belajar harus terus. Kami diberi PR banyak.”

Awali tiba-tiba pamit, “Saya mau bikin PR dulu. Banyak yang belum selesai.”

Ia berlari cepat, menyeberang.

Saya melihat Ucok duduk di atas tumpukan bata.

“Ucok, apa cita-cita kamu?”

Ia diam saja, hanya menatap saya.

“Jadi guru atau dokter atau apa?”  Saya mendesak.

“Tidak tahu, Kak, karena kami miskin. Nanti biar apa kata Ibu, karena dia yang di atas ‘kan. Nanti suka-suka dialah. Apa yang Ibu bilang, itu yang saya turut.”

Matanya sedih. Saya tercekat.

Sepanjang perjalanan menuju Gunung Sitoli, saya mengamati rumah-rumah penduduk. Kebanyakan rumah beratap genteng atau rumbia, berdinding papan atau bata. Perbedaan si kaya dan si miskin tiada mencolok, karena rata-rata penduduk… miskin.

Dibanding wilayah lain, Nias sangat tertinggal. Pembangunan lamban. Transportasi menjadi salah satu kendala. Sebelum gempa tahun lalu, feri dari Sibolga datang  dua hari sekali dan feri yang sama akan mengangkut penumpang dari Nias ke Sibolga. Setelah gempa, frekuensi feri dari Sibolga ke Nias meningkat jadi sehari dua kali. Selain mengangkut manusia, juga mengangkut kayu-kayu dan bahan baku rumah atau jembatan milik lembaga bantuan. Sebelum gempa, lalu-lintas udara pun minim. Mobilitas lembaga bantuan juga yang membuat lapangan udara Binaka lebih sering didarati pesawat penumpang swasta, seperti milik Pelita Air.

“Kalau bulan sekarang jangan naik kapal. Lagi musim badai,” kata Sega, sopir kami.

Luas kabupaten Nias mencakup 131 pulau dan cuma 5 persen yang berpenghuni. Penghasilan daerah berasal dari hasil perkebunan, seperti kelapa, karet, cokelat, cengkeh, dan nilam. Pulau Nias yang terletak di sebelah barat provinsi Sumatera Utara ini menjadi pusat pemerintahan kabupaten Nias.

“Hasil alam Nias yang utama, karet dan kopra. Dulu minyak nilam. Tapi sekarang sudah nggak lagi kayaknya. Minyak nilam itu untuk campuran bikin minyak wangi,” kata Hotli Simanjuntak, fotografer paruh waktu yang jadi teman seperjalanan saya.

“Tapi sekarang karet dan kopra pun nggak bisa diharapkan lagi. Maklumlah transportasi ke sini sulit. Setelah gempa dan NGO masuk, baru ada kemajuan sedikit. Jalan-jalan aspal dibangun juga karena mereka,” sahut Sega.

DUA babi gemuk menghuni kandang di halaman belakang. Masing-masing hamil dua bulan. Empat anak babi berusia empat bulan berkumpul di kandang lain. Tercium bau asam. Tanah lumpur. Kotoran babi. Tapi tak mengurungkan niat saya menuju jamban yang bertetangga dengan kandang-kandang itu. Pintunya cuma sehelai kain basah rombengan yang disangkutkan di paku. Sekitar delapan meter dari jamban terlihat pintu dapur keluarga Telaumbanua.

Yuli Telaumbanua tengah berjongkok di depan baskom plastik merah. Sebelah tangannya memegang tubuh ayam yang sudah bugil, sedang tangan lain berusaha mencari serta mencabuti bulu-bulu halus yang masih tersisa. Lantai dapur dari tanah. Api tungku belum menyala. Kakak Yuli, Ida, berdiri di sisi tungku, melihat sang adik bekerja. Tepat di atas tungku tersusun rapi kayu-kayu bakar.

“Saya mengambil sendiri kayu ini di bukit,” kata Ida.

“Dari bukit di belakang rumah ini.” Yuli menimpali,  tertawa.

Saya jadi teringat cerita teman sopir kami tentang perempuan Nias. Ah, saya lupa nama pria Batak yang gemar bercerita itu! Ia sering melihat perempuan-perempuan di sini bekerja di kebun, “Muda-muda, putih-putih, cantik-cantik. Mirip Tionghoa. Tapi lakinya nggak kelihatan.”

Raut wajah orang Nias memang mirip Tionghoa. Nenek moyang mereka dikenal sebagai suku Nias atau disebut Ono Niha (niha = manusia; ono niha = anak dari manusia). 

“Istilah ini termasuk baru, sejak datangnya orang-orang Tionghoa dari Singkuang yang menyebut diri mereka niha,” tutur Johannes Maria Hammerle, kepala Museum Pusaka Nias pada saya.

Kembali ke kisah pria Batak  tadi, menurut dia, adat perkawinan orang Nias banyak merugikan pihak perempuan, “Awalnya berat untuk pihak laki-laki, karena mahar bisa sampai 30 ekor babi. Harga seekor babi taruhlah Rp 3 juta. Tinggal dikalikan saja. Tapi setelah kawin, perempuan yang harus banting tulang di sawah atau kebun, untuk mengganti mahar itu.”

Benarkah? Masih harus diteliti lagi. Tapi dalam keluarga Telaumbanua  saya menyaksikan sendiri perempuan memasak dan mencari kayu bakar di bukit. Saudara lelaki mereka yang berpapasan dengan saya di halaman belakang tadi entah ke mana.

“Abang sudah menikah dan punya dua anak, tinggalnya di sini juga.”  Yuli masih saja sibuk dengan ayam.

“Apa dia pernah bantu ambil kayu di bukit?”

Yuli mengangkat bahu, lalu tertawa.

Ketika gempa besar mengguncang Nias pada tahun lalu, penduduk kampung berhamburan keluar rumah di malam buta. Mereka sekeluarga ikut terbirit-birit ke bukit. Tsunami di Aceh membuat orang-orang spontan berlari ke tempat tinggi. Gempa menewaskan 850 warga. Seperseribu dari jumlah keseluruhan penduduk.

“Semua penduduk kampung selamat. Rumah ini juga cukup kuat. Tak ada tembok retak atau genteng jatuh,” kata Yuli.

“Besok ada peringatan di lapangan Merdeka,” ujar Ida.

Tapi mereka berdua malas hadir.

Rumah keluarga Telaumbanua terletak di ujung desa Ono Waembo, dekat salah satu jembatan baja yang baru rampung dibangun IOM. Jarak Ono Waembo ke Gunung Sitoli sekitar setengah jam berkendaraan.

Rumah ini berdinding bata. Tirai merah jambu menghias jendela-jendelanya. Empat kamar berderet-deret di bagian muka. Lantai semen.

“Tiga belas orang tinggal di rumah ini.” Ida tergelak.

Ibu, kakak, adik, dan keponakan kumpul jadi satu. Sang ayah sudah lama meninggal dunia. Kini seekor ayam tengah disiapkan untuk makan siang keluarga besar tersebut.

“Cukup?” tanya saya.

“Ya, harus cukup, kak,” jawab Yuli, lagi-lagi tertawa.

Saya kira, program keluarga berencana yang dicanangkan Orde Baru ke seantero Nusantara gagal total di Nias. Setidaknya bila dilihat dari jemuran pakaian di rumah-rumah penduduk. Coba Anda bangun pagi dan jalan-jalan ke desa-desa sekitar Gunung Sitoli. Jemuran pakaian berderet-deret di muka tiap rumah! Jumlah baju yang dijemur lebih dari 30 potong, belum termasuk pakaian dalam. Kalau tali jemuran sudah penuh, pakaian bisa dijemur di atas rimbunan perdu, pokok bunga, atau rerumputan. Tanah kosong di samping rumah pun tak luput dari tiang jemuran!

DI dinding Museum Pusaka Nias, menjelang pintu keluar, terpampang dokumentasi tentang tsunami dan gempa di Nias. Edward Fries, seorang misionaris, mencatat bahwa tsunami pertama terjadi pada 1907. Dua ratus penduduk hilang, kampung Malayu di Sirombu rata, dan Pulau Wunga, salah satu pulau dekat Nias, terbelah dua.

Penemuan gigi ikan hiu berumur 10 sampai 15 juta tahun di tengah Pulau Nias juga membuktikan bahwa daratan ini pernah berada di bawah permukaan laut.

“Ini juga membuktikan bahwa dulu Nias sering ada gempa,” kata Johannes Maria Hammerle, direktur museum.

Hammerle bertubuh tak seberapa tinggi dibanding kebanyakan orang Kaukasia. Rambut lurus kelabu. Mata kelabu jernih, sehingga urat-urat matanya jelas terlihat. Berjenggot. Bahasa Indonesia lancar, tapi beraksen ganjil. Mungkin campuran aksen setempat dengan bahasa ibunya di Jerman sana. Ia tampan dan masih terlihat tampan di usia ke-65. Barangkali, dulu banyak juga  gadis yang jatuh cinta padanya dan patah hati.

Ia kelahiran desa Hausach, Black Forest. Ayahnya ikut wajib militer saat Perang Dunia II.  Pamannya ada yang menjadi pastor di Ghansu, Cina. Teladan sang paman mendorong Hammerle muda masuk biara.

Di Biara Laverna, di atas bukit yang tak jauh dari pelabuhan Gunung Sitoli, di sanalah ia kini tinggal. Hammerle biarawan Ordo Kapusin, salah satu keluarga besar Ordo Fransiskan.

“Ini salah satu ciri biarawan Fransiskan… berjenggot,” katanya, serius.

Sudah 34 tahun ia menyebar injil di Nias. Namun, kegiatan Hammerle tak berkutat pada agama belaka. Pada 1989, ia berinisiatif mendirikan museum.

Ia prihatin menyaksikan benda-benda bersejarah dijual atau tersia-sia, karena pemiliknya kesulitan uang atau tidak memahami nilai benda tersebut. Hammerle ingin melindungi benda-benda pusaka ini, agar siapa pun bisa mempelajari masa lalu orang Nias.

Usahanya mendapat tentangan dari berbagai pihak, termasuk gereja. Tapi Hammerle pantang menyerah. Pada 1992 museum impiannya terwujud.

Sebagian besar biaya pembangunan museum diusahakannya sendiri. Missio Aachen, salah satu lembaga gereja Katolik di Jerman, ikut menyumbang. Namun, ia juga menerima bantuan tak terduga dari orang-orang biasa.

“Misalnya dulu ada seorang janda di Jerman, ketika ia sudah tua, ia menjual rumahnya. Dan sebagian dari hasil penjualan rumahnya itu disumbangkan kepada saya untuk pembangunan museum. Lalu, ditambah dengan bantuan dari Pemerintah Daerah Nias.”

Bantuan dari pemerintah provinsi Sumatera Utara dan pusat tak ada!

Kami berhenti di muka miniatur rumah adat Nias. Lama-kelamaan saya terbiasa dengan aksen Hammerle.

“Ini rumah bangsawan di Baw_ö_mataluo, rumah bangsawan tertinggi atau ba lö zi’ulu. Kalau baw ö artinya bukit. Mata artinya mata. Luo artinya matahari. Baw ö mataluo, bukit matahari.”

Di bagian muka rumah ada ukiran kepala naga yang disebut högö Lasara atau kepala Lasara.

“Menurut teori saya, ini dibawa dari Cina. Nama perahu di Nias disebut Lasara. Tapi karena orang Nias kenal babi hutan dan rusa, maka naganya diberi taring dan tanduk juga,” kata Hammerle.

Lima ratus tahun lalu serombongan pedagang Tiongkok dari Singkuang (Singkuang = pelabuhan baru; terletak di Sumatra dan berhadapan dengan Nias) membeli kayu meranti di Nias. Jarak Singkuang ke Nias kurang lebih 100 kilometer. Rupanya persentuhan antar bangsa memberi pengaruh pada arsitektur rumah Nias.

“Dalam buku Tuanku Rao hal tersebut juga disinggung.”

Tuanku Rao ditulis Mangaraja Onggang Parlindungan, seorang pensiunan perwira angkatan darat, dan diterbitkan Tandjung Pengharapan pada 1964. Tuanku Rao memicu kontroversi. Sejarawan Slamet Mulyana banyak merujuk buku itu ketika menulis Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Pemerintah Suharto melarang peredaran buku Mulyana pada 1968, karena isinya antara lain menyebutkan bahwa sebagian besar wali songo berasal dari daratan Cina.

Menurut Hammerle, konstruksi rumah adat Nias sebetulnya tahan gempa.

“Karena kontruksi kayu yang menyilang. Dan kontruksi ini unik di seluruh dunia. Tapi kalau yang punya teledor, tak perbaiki atap, air masuk ke sambungan-sambungan kayu itu… lama-lama lapuk.”

Ia khawatir rumah-rumah adat Nias musnah.

“Ada camat yang bilang bahwa jangan bangun lagi rumah adat karena itu bangkai babi, amatela babi, karena itu menghabiskan banyak biaya dan warga harus menjual babi. Di Selatan masih ada yang tahu bagaimana bikin rumah adat. Di Utara tidak ada lagi.  Padahal mana-mana di dunia kalau ada rumah maka di situ terpusat budaya dan tradisi.”

Sudah 120 rumah adat direnovasi, sedang 142 masih dalam antrean. Lagi-lagi, masalah biaya yang jadi kendala.

Kami melangkah ke sudut lain, tempat koleksi peti mati. Ada yang disandarkan ke tembok, ada yang digantung.

“Ini peti mayat asli. Di Nias Tengah dan Selatan semua peti mati tidak dikubur, tetapi ditopang di atas tanah atau diletakkan di atas suatu pembaringan atau rak tinggi dari bambu dalam posisi berdiri atau berbaring. Di Utara dikubur. Kalau orang miskin atau rakyat biasa, pada zaman dulu tidak perlu peti mayat. Cukup dia digantung pada ranting pohon di dekat desa itu dengan memakai beberapa potongan bambu yang pendek yang diikat satu sama lain. Hal itu menandakan banyak suku di Nias. Dokumen-dokumen pertama pada tahun 851 dan sesudahnya juga menerangkan ada banyak suku di Nias. Ada yang tinggal di pohon, jurang, dan air,” ujar Hammerle, panjang-lebar.

Tradisi peti mati yang ditopang tinggi atau seperti tikar bambu yang digantung pada ranting pohon berangsur hilang setelah agama Kristen masuk. Seperti Islam, ajaran Kristen menghendaki orang yang sudah meninggal dunia dikuburkan dalam tanah.

Pada 1908 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan tentang tata cara pemakaman. Isinya, melarang orang Nias meletakkan mayat di tanah.  Menurut pemerintah, tiupan angin bisa menyebarkan bau mayat di dalam desa serta mendatangkan wabah penyakit.

Campur tangan pemerintah terhadap tradisi atau adat-istiadat setempat tak hanya terjadi di Nias masa lampau. Di harian the Jakarta Post yang terbit April lalu, saya menemukan artikel menarik.  Tradisi berciuman yang dilakukan anak-anak muda di Bali pasca Hari Raya Nyepi terancam punah bila Undang-Undang Anti-Pornografi dan Anti-Pornoaksi diberlakukan pada Juni nanti.

Tradisi omed-omedan itu ternyata sudah pernah dilarang di masa pemerintah Hindia Belanda. Pelarangan berikutnya terjadi pada tahun 1970an, ketika pemerintah setempat menganggap ritual ini bisa menyebarkan penyakit. Tapi orang-orang desa dan para tetua adat tak sependapat. Mereka menganggap tradisi omed-omedan diturunkan langsung dari dewa di kahyangan.

Museum Pusaka Nias memiliki 6500 koleksi.  Sejumlah 116  koleksi rusak akibat gempa. Namun, museum yang memadukan gaya modern dan tradisional Nias ini membuat saya takjub. Setidaknya, ia menjawab rasa ingin tahu saya tentang asal-usul orang Nias dan sejarah mereka.

“Ada sebuah gua yang 12 ribu tahun yang lalu sudah dihuni, letaknya empat kilometer dari Gunung Sitoli. Namanya, Gua Togi Ndrawa. Ndrawa artinya ‘orang asing’. Truman Simanjuntak dan sebuah lembaga penelitian dari Perancis membuat penelitian dan menyimpulkan bahwa peninggalan itu menunjukkan orang-orang tersebut menganut pola hidup atau budaya seperti di desa Hoa Binh di Vietnam.  Dan ini dianggap gua tertua di Indonesia Barat.”

Sebelum saya dan sejumlah wartawan dari Banda Aceh meninggalkan museum siang itu, Hammerle berlari menuju kantornya. Saya melihat ia bergegas menaiki anak-anak tangga, di kejauhan. Geraknya masih gesit. Tak berapa lama ia muncul dengan setumpuk kartu nama di tangan.

“Semoga Bapak bahagia di sini.”

“Ya, dan otak tambah tumpul,” katanya, seraya membagi-bagikan kartu nama.

Tak bisa saya bayangkan hidup puluhan tahun di pulau terpencil seperti dia.

PAGI  28 Maret 2006. Peringatan setahun gempa tengah berlangsung. Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias pidato di lapangan Merdeka, Gunung Sitoli. Murid-murid sekolah dasar berjemur di terik matahari mendengarkan pidatonya. Sebagian dari mereka mengenakan pakaian adat dan siap menari. Keringat bercucuran. Ada yang muntah-muntah dan pingsan. Mangkusubroto rupanya paham situasi, “Banyak yang ingin disampaikan, tapi melihat panasnya hari ini, anak-anak di lapangan, sementara para pejabat berteduh di tenda… Secara resmi acara ini saya buka.”

Tak ada wajah sedih atau air mata. Riuh-rendah. Gelak tawa. Tukang es, tukang sate berjualan di pinggir lapangan. Orang-orang hilir-mudik. Dua anak perempuan mengenakan gaun pesta berenda lewat di muka saya, bergandengan, riang.

Safina Ndraha mengenakan kebaya brokat putih dan kain ungu pagi itu. Rambut putihnya disanggul rapi dan disemat bunga plastik. Ia mengempit tas tangan hitam dan menenteng payung yang nyaris menyamai tinggi tubuhnya. Safina  tertatih-tatih di muka kerumunan manusia. Ia berusia 80 tahun.

Ia menyangka ada acara kebaktian gereja di lapangan Merdeka.

Safina datang sendirian.

“Saya tinggal di panti jompo sudah dua tahun. Anak-anak sudah menikah semua, sudah kerja, dan sudah melupakan saya. Saya datang sendiri ke panti jompo. Panti jompo punya gereja BNKP, Banua Niha Keriso Protestan.” Suaranya lirih.

Ia bicara dalam bahasa Nias. Seorang pemuda bertubuh kekar, berkaos ketat, menerjemahkan kata-kata sang nenek untuk saya.

Mayoritas penduduk Nias beragama Kristen. Seorang pendeta zending  bernama Denninger menyebarkan agama Protestan pada 1865 di Nias dan mendirikan gereja Protestan pertama di Gunung Sitoli.

“Denninger ini melarikan diri dari Kalimantan, yang waktu itu ada pembunuhan misionaris. Tapi sebelumnya, pada 1832, masuk dua misionaris dari Perancis. Yang satu, tiga bulan meninggal, mungkin kena malaria. Yang satu, hanya tiga hari, langsung meninggal juga,” kisah Hammerle pada saya.

Konferensi pers juga digelar di pendopo. Saiful Ambia dari Internews mengacung tangan. Ia menyampaikan keluhan para korban gempa di  Teluk Dalam yang kecewa lantaran rumah sumbangan BRR tanpa fondasi. Akibatnya,  mereka harus mengeluarkan uang sendiri untuk membangun fondasi. BRR hanya bersedia membiayai pembuatan tembok dan atap.

Mangkusubroto terkesiap dan cepat bereaksi, “Itu sama sekali tidak benar. Tapi untuk lebih jelasnya biar William saja yang menjawab.”

Kepala BRR Nias, William Syahbandar  menyahut, “BRR hanya punya dana untuk fondasi setinggi 30 sentimeter, tapi di beberapa tempat dibutuhkan fondasi setebal 70 sentimeter.”  Tapi Syahbandar membantah BRR telah meminta warga membayar ongkos fondasi dan ia berjanji akan langsung ke lapangan untuk meneliti kasus tersebut.

Nanti malam akan ada acara lagi. Musik. Tari. Pidato. Betapa mahal harga untuk seremoni semacam ini.

*)Linda Christanty adalah Direktur Sindikasi Pantau, tinggal di Aceh.

by:Linda Christanty