Organisasi Terlarang

Samiaji Bintang

Wed, 26 July 2006

Surat Mayor Jenderal Bambang Dharmono, wakil pemerintah Indonesia di Aceh Monitoring Mission, membuat gubernur Aceh menerbitkan surat pelarangan 16 organisasi. Pelarangan itu merujuk pada undang-undang masa Orde Baru.

SILANG merah di pintu depan sudah tak tampak.  Si empunya telah memulasnya dengan cat coklat tua.

Tanda silang pertanda buruk. Artinya, penghuni rumah di Jalan Panglima Polem, di pusat kota Banda Aceh itu, jadi target aparat.

Ia bisa dianiaya, mendekam di penjara, atau tinggal nama. Bahkan, tamu yang datang pun akan mengalami nasib sama.

Nasruddin Abu Bakar baru bangun tidur ketika saya datang. Rambut agak acak-acakan. Mata belum terbuka penuh. Setelah perjanjian damai pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM di Helsinki, Nasruddin rajin menginap di kantornya. Dulu ia tak berani.

“Harus lari, gerilya, sembunyi dari satu tempat ke tempat lain,” kenang Nasruddin.

Ia sempat hijrah ke Jakarta. Kuliahnya di Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry tersendat. Tapi ia berhasil lulus pada tahun 2005. Ia anggota dewan presidium Sentra Informasi Referendum Aceh atau SIRA.

Pada 8 November 1999, lebih dua juta warga Aceh berkumpul di halaman masjid Baiturrahman. Mereka menuntut referendum. Aksi tersebut digalang SIRA. Nasruddin mulai aktif di SIRA tahun itu juga.

Namun, belum setahun usia perjanjian Helsinki, aktivitas Nasruddin dan kawan-kawan kembali terusik.  Petinggi militer Indonesia di Aceh memvonis SIRA sebagai organisasi ilegal.

“Sekarang kalau SIRA masih hidup berarti (organisasi) itu termasuk ilegal!” kata Mayor Jenderal Bambang Dharmono, wakil pemerintah Indonesia di Aceh Monitoring Mission (AMM), pada Juni 2006 lalu.

Bambang adalah panglima komando operasi ketika Megawati Soekarno yang menjabat presiden Indonesia waktu itu memberlakukan status Darurat Militer di Aceh. Lima bulan kemudian, paling sedikit 319 warga tewas dan 108 orang hilang. Sekitar 117 warga mengalami penganiayaan berat.

Pernyataan tersebut tak cuma sekali dilontarkan Bambang. Sebelumnya, pertengahan Maret lalu, ia mengungkap hal serupa di hadapan legislator Senayan, Jakarta. Ketika itu panitia khusus Rancangan Undang-Undang Pemerintah Aceh (RUUPA) ingin mendengar perkembangan terakhir di bumi Serambi Mekah.

“SIRA tidak boleh ada! Kalaupun dia tetap mempertahankan nama SIRA, ’R’ itu tidak boleh referendum. Tapi diganti dengan rekonsiliasi. Bukan referendum,” cetusnya.

Selain itu, ia melontarkan gagasannya tentang pembubaran GAM.

”Terkait organisasi GAM, kita terus mendorong untuk pembubaran. AMM memberi proposal kepada kita, kalau RUUPA hari ini disahkan jadi Undang-undang, besok organisasi GAM tidak boleh ada! Itu komitmen AMM.”

Bambang dapat dukungan Panglima Daerah Militer Iskandar Muda, Mayor Jenderal Supiadin Adi Saputra. Menurut Supiadin, SIRA adalah organisasi ilegal yang masih melakukan aktivitas membingungkan masyarakat di daerah-daerah. Dan Tentara Nasional Indonesia siap bertindak.

Inspektur Jenderal Bachrumsyah Kasman, Kepala Kepolisian Daerah Aceh, tak mau ketinggalan. Sebagaimana yang dikutip harian Serambi Indonesia pada 24 Juni 2006, Bachrumsyah menyebutkan bahwa ia sudah menyebar komando pada jajarannya.

”Kita sudah memerintahkan para Kapolres dan Kapoltabes di wilayah NAD, bila kedapatan ada organisasi ilegal termasuk SIRA melakukan kegiatan mengumpulkan massa segera ditindak. Kalau membandel, tangkap saja!” tegasnya.

Ketua presidium SIRA, Muhammad Nasar, menolak tuduhan para petinggi militer itu. SIRA bukan organisasi anarkis atau pembuat onar.

 “SIRA berjuang untuk kebaikan, kesejahteraan, dan kemajuan Aceh. Jadi tak perlu khawatir dengan SIRA, karena kami menjalankan Mou (Helsinki),” kata Nazar.

Lagipula, menurut Nazar, pembubaran SIRA bukan kewenangan pemerintah daerah. Pembubaran SIRA harus atas musyawarah dan persetujuan anggota.

 

STEMPEL  organisasi ilegal bukan cuma diberikan kepada SIRA. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh tercantum di urutan ke-12 dalam daftar 16 kelompok atau organisasi ilegal.

Daftar tersebut terlampir dalam surat gubernur Aceh, Mustafa Abubakar, yang ditujukan pada wakil senior pemerintah Indonesia di AMM, Mayjen Bambang Dharmono. Surat Mustafa juga memperlihatkan fakta lain yang menarik. Keputusan “Peniadaan Organisasi dan kelompok ilegal di NAD” itu merujuk pada surat “wakil senior pemerintah Republik Indonesia di AMM”!

Selain SIRA dan Walhi, ada 14 organisasi lain dalam surat tertanggal 21 Juni 2006 itu. Mereka adalah Ikatan Pemuda Karya, Lembaga Dakwah Islam Indonesia, Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR), Koalisi Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh, Cardova, Asosiasi Pedagang Kakilima Seluruh Indonesia, Front Perlawanan Separatis GAM, Front Benteng Rakyat Anti Separatis, Front Pembela Tanah Air, Front Perlawanan Rakyat Merah Dunia, Forum Rakyat Independen, Lembaga Missi Reclasseering Rapublik Indonesia, Pemraka, dan Rajawali Cipta.

Direktur Walhi Aceh, Cut Hindon, memprotes isi surat Mustafa. Ia dan pengurus Walhi tambah jengkel ketika mengetahui bahwa surat gubernur ditujukan pada Bambang Dharmono, bukan untuk lembaganya.

“Ini yang aneh. Kenapa surat justru dialamatkan pada orang ketiga (Bambang Dharmono)?”

Tembusan surat untuk Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik, Panglima Daerah Militer Iskandar Muda, Kepala Kepolisian Daerah Aceh, Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, hingga bupati dan walikota se-Aceh.

Suatu hari seseorang yang mengaku utusan AMM datang ke kantor Hindon.

“Dia mengenakan badge AMM, lalu menanyakan soal apa itu Walhi, apa kerjanya, dan sebagainya,” kisah Hindon.

”Pertama dia tidak mau memberikan daftar itu. Tapi saya minta, akhirnya dia beri. Surat itu dalam bahasa Inggris. Saya tidak percaya. Apa urusan dan kapasitas AMM?” lanjut Hindon.

Walhi segera melayangkan surat protes. Mereka meminta klarifikasi isi surat gubernur. Walhi juga menuntut gubernur melakukan klarifikasi terbuka kepada publik Aceh lewat media massa. Gubernur harus minta maaf dan menyatakan bahwa lembaga ini legal.

Pada 18 Juli lalu, Hindon menerima surat klarifikasi dari Sekretariat Daerah Aceh. Lucunya surat klarifikasi itu baru berupa rancangan.

”Draft suratnya mereka berikan kepada kami dulu sebelum ditandatangani,” ujar Hindon.

Masih ada kelucuan lain. Pada rancangan itu tertulis ”Surat Edaran Menteri Dalam Negeri no. 233/1302 DI tanggal 29 Agustus 2006 perihal penanganan organisasi masyarakat dan LSM”.

“Surat itu seperti mendahului ketentuan Tuhan. Kok, mereka sudah tahu nomor dan tanggal terbitnya ya?” Hindon terkekeh-kekeh.

Namun, nama Walhi Aceh telanjur tercoreng.

“Karena surat dan daftar organisasi ilegal itu sudah beredar ke semua kabupaten maupun kota,” ujarnya.

Organisasi lain yang disebut ilegal adalah Solidaritas Mahasiswa untuk Reformasi (SMUR). Nama Kautsar dan Aguswandi sebagai pengurus tercantum di situ.

Tapi aparat yang melakukan verifikasi seperti tak pernah membaca berita. Kautsar dan Aguswandi sudah lama tak aktif di SMUR. Mereka juga bukan mahasiswa lagi.

Aguswandi kini bekerja di International Organization for Migration, sebuah lembaga bantuan asing yang bergerak di bidang rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pascatsunami. Kautsar menjabat pengurus Komite Monitoring Perdamaian dan Demokrasi. Organisasi ini memberi advokasi terhadap hak-hak korban konflik.

Menurut Kautsar, cap ilegal merupakan tudingan gaya lama. Cap ilegal dan komunis selalu ditujukan pada organisasi pro demokrasi di masa Soeharto berkuasa.

“Semakin banyak organisasi di Aceh, makin baik. Konstitusi kita menjamin kebebasan berserikat,” tegas Kautsar.

KAUTSAR benar. Pelarangan tersebut merujuk pada undang-undang dan peraturan pemerintah yang diterbitkan di masa Soeharto berkuasa. Undang-undang kadaluarsa!  Undang-undang nomor 5 tahun 1985 dan Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1986.

Melalui aturan itu pula, Soeharto yang merangkap sebagai panglima tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, memberangus organisasi dan meringkus para aktivis pro demokrasi.

Undang-undang tadi mendasari pembubaran organisasi masyarakat (ormas) yang dianggap menganut, mengembangkan, dan menyebarkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme serta ideologi, paham, atau ajaran-ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Namun, pada tahun 2003, Departemen Dalam Negeri mengeluarkan surat edaran berstatus ‘penting’, dengan nomor 223/1302/ DI. Alamatnya ditujukan kepada gubernur, bupati dan walikota di seluruh Indonesia. Tak terkecuali Aceh.

Isinya, antara lain, menyatakan pemerintah tidak lagi bertugas “membina” ormas maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam arti luas dan untuk kepentingan pemerintah. Tapi “sekarang dalam posisi sebagai regulator dan fasilitator kehidupan politik demokratis.”

Ormas dan LSM pun hanya memberikan Surat Tanda Terima Pemberitahuan Keberadaan Organisasi (STTPKO) kepada pemerintah setempat. Lampiran surat itu antara lain akta pendirian, AD/ART, program kerja, dan susunan pengurus.

Namun, STTPKO itu “bukanlah merupakan ijin operasional suatu organisasi, melainkan sebagai bukti administrasi bahwa organisasi kemasyarakatan telah dicatat dalam buku daftar inventarisasi pemerintah”.

 

SABTU, 22 Juli 2006, saya mencoba menemui Mayjen Bambang Dharmono di kantor perwakilan pemerintah Indonesia untuk AMM di pendopo gubernur.

Sebesar apa kewenangan Bambang atau AMM, sehingga bisa mendikte gubernur sebuah wilayah untuk mematuhi kemauan mereka?  Setahu saya, gubernur harus tunduk pada presiden.

“Bilang, saya tidak mau diwawancara soal (organisasi ilegal) itu lagi. Itu sudah lewat!” Saya mendengar Bambang bicara kepada ajudannya.

Meski kami sudah bertemu muka, ia tak mau bicara langsung pada saya.

“Kamu sudah dengar sendiri kan?” Mukayan, sang ajudan menghampiri saya dan menegaskan kembali penolakan Bambang.

Saya pun teringat pernyataan Bambang soal GAM. Apa benar GAM bakal bubar setelah Undang-Undang Aceh gol?

“Pembubaran harus melalui permusyawaratan anggota. Kalau kita bubar berarti perjanjian itu batal. Karena kita ini stakeholder dalam MoU, sedangkan perjanjian itu dilakukan antara GAM dan pemerintah RI,” kata Bachtiar Abdullah, juru bicara GAM pada saya.

Irwandi Yusuf, wakil senior GAM di AMM, menyatakan hal senada.

“Tidak.. tidak otomatis begitu. Proses MoU ini belum selesai. Masih banyak yang belum selesai, pengadilan HAM, KKR, dan lain-lain. GAM bubar jika kondisinya sudah relevan.”

Namun Irwandi, seperti juga Kautsar, Hindon, dan aktivis organisasi sipil lain di Aceh, cemas. Demokrasi dan kebebasan berserikat di Aceh tampaknya masih terancam.

*) Kontributor Sindikasi Pantau di Banda Aceh

kembali keatas

by:Samiaji Bintang