Amurt

Desi Rinasari

Mon, 3 July 2006

Amurt adalah lembaga bantuan yang berpusat di India. Anti-diskriminasi ras, kebangsaan, dan agama. Pemimpinnya dijebloskan ke penjara, karena mengeritik korupsi di masa pemerintahan Indira Gandhi. Tapi lembaga ini pernah dituduh sebagai organisasi teroris.

LELAKI ini berbadan tinggi besar. Brewok. Rambutnya coklat ikal. Dia cuma mengenakan kaos oblong dan celana pendek. Dia tengah berbicara dengan dua lelaki saat saya datang. Terus-terang saya agak kaget melihat penampilan lelaki kulit putih ini. Dalam bayangan saya, kantor sebuah lembaga atau organisasi tentu berisi pegawai atau pekerja yang berpakaian sedikit formal. Terlebih masih dalam jam kantor, seperti siang itu. Saya ingin bertemu pemimpin Amurt, kata saya padanya. Amurt adalah salah satu lembaga bantuan untuk para korban tsunami di Aceh. Ternyata saya sedang berhadapan langsung dengan Kurt Behringer, sang pemimpin.

Dia dengan ramah menyilahkan saya masuk ke ruang dalam. Dia kemudian memanggil salah seorang stafnya, Kalyanti, untuk bicara dengan saya. Menurut Behringer, berbicara dengan Kalyanti atau dia sama saja, karena pengetahuan mereka tak ada bedanya. Setelah itu dia pindah ke ruangan lain, mengadakan diskusi dengan sejumlah staf.

Rumah ini cukup luas, terdiri dari ruang tamu, ruang tengah, dapur, dan beberapa kamar. Lantai keramik. Di ruangan dekat dapur, seorang pria tua tengah bekerja di sebuah meja besar. Dia penjahit seragam anak-anak sekolah dasar. Dia tengah asyik menggunting pola. Perawakannya kurus, tinggi, hitam. Seluruh rambutnya telah diserobot uban.

Kantor Amurt lebih mirip rumah tinggal ketimbang kantor. Semua orang berpakaian santai. Kalyanti, koordinator program asal Malaysia, mengenakan baju terusan longgar yang lebih tepat disebut daster. Kalyanti  keturunan Tionghoa. Kulit kuning. Mata sipit.

Pembawaannya ramah dan mudah akrab. Baru sebentar bicara, dia sudah menceritakan alasan pribadinya jadi relawan.

“Suami saya sedang tak ada di Malaysia, sedang di luar negeri. Saya juga tidak punya anak, jadi bisa lama di Aceh,” ujar Kalyanti, dalam logat Melayu, sambil menyambung bahwa dia akan kembali sebentar ke negaranya untuk mengurus perpanjangan visa.

Dia tiba di Aceh pada 14 April 2005, sedang Amurt datang ke Aceh pada hari kedua setelah tsunami.

“Kegiatan Amurt saat itu tak jauh beda dengan militer dan Palang Merah Indonesia, seperti mengevakuasi mayat dan membersihkan sampah-sampah.”

Menurut Kalyanti, ada enam relawan asing yang bekerja untuk Amurt sekarang. Salah seorang dari mereka tinggal di Lhokseumawe, Aceh Utara. Mereka tak digaji. Kebutuhan hidup para relawan maupun biaya operasional Amurt berasal dari 10 persen dana bantuan yang mereka terima. Selain para relawan, Amurt juga memiliki enam staf asal Aceh yang tak menerima gaji besar.

Satpam tak ada, begitu pula resepsionis dan sopir. Bila hendak pergi ke lapangan atau menjalankan aktivitas organisasi, dua Kijang Inova warna silver metalik milik lembaga itu akan dikemudikan sendiri oleh staf yang bertugas.

Amurt punya dua kantor di Aceh, di Neusu, Banda Aceh dan Meulaboh.

“Di Meulaboh, Amurt sedang menjalankan proyek farming (pertanian) dan setelah bekerja beberapa bulan sudah dapat melihat hasil berupa timun dan kacang panjang,” kata Kalyanti.

Amurt adalah singkatan dari Amanda Marga Universal Relief Team. Cabang perkumpulan ini tersebar di 60 negara, termasuk Indonesia.

Amanda Marga didirikan di Jamalpur, Bihar, India oleh Prabhat Rainjan Sarkar pada tahun 1955. Setelah pensiun dari pekerjaannya sebagai akuntan jawatan kereta api di Jamalpur pada 1966, Sharkar memimpin Ananda Marga secara penuh. Dia kemudian lebih dikenal dengan nama Shrii Shrii Ananda Murti.

Sejarah perkumpulan Amanda Marga cukup menarik ditelusuri. Organisasi spiritual berdasarkan ajaran Hindu ini menolak sistem kasta, sehingga terpaksa berhadapan dengan ajaran Hindu ortodoks.

Ketika Partai Kongres berkuasa dan Indira Gandhi menjadi perdana menteri India, Amanda Marga dilarang. Keyakinan Sharkar membuatnya menentang ketidakadilan dan korupsi di pemerintahan Gandhi. Banyak partai oposisi dipaksa bubar dan para politisinya ditangkap waktu itu. Pemerintah Gandhi kemudian menjebloskan Sharkar ke penjara. Dia dituduh terlibat pembunuhan 14 mantan anggota Amanda Amarga dan  dijatuhi hukuman seumur hidup pada 1971. Pengadilan ulang untuk Sharkar dilakukan setelah Partai Kongres tak lagi berkuasa. Dia dibebaskan pada 1978 dan dinyatakan tak bersalah. Selama di penjara Sharkar diracun secara rutin oleh dokter penjara, tapi dia selamat dari maut setelah memutuskan puasa sampai hari pembebasannya tiba.

Inti dari ajaran Amanda Marga adalah satu semesta. Tuhan menciptakan alam semesta beserta isinya yang disebut sebagai anak-anakNya dan semua ini terikat dalam satu keluarga kosmik. Semua manusia bersaudara dan disatukan cinta dalam persaudaraan kosmik. Oleh sebab itu, diskriminasi ras, kebangsaan, dan agama tak boleh ada di muka bumi. Ananda Marga ingin membantu manusia di seluruh dunia untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan spiritual mereka.

Namun, di lain pihak, tak sedikit cerita miring soal Ananda Marga. Anggotanya dituduh terlibat pengeboman dan memasok senjata. Beberapa anggota membakar diri sebagai bentuk protes terhadap pemerintah. Perkumpulan ini pun disebut sebagai organisasi teroris. Tetapi para pendukungnya mengatakan bahwa semua tuduhan itu tak terbukti, tak berdasarkan fakta.

LELAKI TUA ini tengah asyik menggunting patron celana merah ketika saya menghampirinya. Dia agak keberatan dengan upahnya yang hanya Rp. 2000 per potong, meski pekerjaan ini tetap dijalaninya.

“Karna nyoe bantuan untuk ureung Aceh, dan mengingat nyoe adalah hubungan kerja deungon uerueng lua, makajih lon tem, soe teupu dengan lon tem kerja nyoe akan na keurja lain, mundur selangkah untuk mendapat seribu langkah (karena ini bantuan untuk orang Aceh dan mengingat ini adalah hubungan kerja dengan orang luar, makanya saya mau, siapa tahu dengan saya mau kerja seperti ini saya akan mendapat tawaran kerja lain),” katanya.

Dia pernah meraih juara kedua sebagai tukang jahit terbaik tingkat provinsi pada 1996. ”Tapi sertifikat sudah dibawa tsunami,” ujarnya.

Dulu ia punya beberapa anak buah. Mereka juga penjahit-penjahit andal di Aceh.

“Sekarang mereka semua sudah kena tsunami, sekarang hanya tinggal saya saja sendiri.” Suaranya lirih.

Kini dia tinggal di sebuah kedai kecil, tempat yang disediakan warga kampung. Dia dipercaya menjadi imam masjid Kampong Baro.

Pembicaraan saya dan lelaki itu tak lama. Kalyanti sudah siap menunjukkan laporan keuangan Amurt pada saya. Dia membuka laptopnya, lalu memperlihatkan jumlah dana yang mereka terima dan para donatur yang membantu program Amurt. Jarang sekali ada lembaga bantuan seterbuka ini dalam hal keuangan.

Dana berasal antara lain dari Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit atau GTZ, sebuah lembaga bantuan Jerman. GTZ memberi USD 160.000 untuk merehabilitasi 14 pabrik bata di Neuhen Ateuh. GTZ juga menanggung anggaran sebesar USD 330.000 untuk rekonstruksi dan rehabilitasi. Dengan dana itu, Amurt membangun 30 rumah permanen, tipe 36, seluas 6 x 6 meter persegi ditambah bonus kamar mandi, dapur, dan teras. Pembangunan rumah-rumah itu menggunakan batu bata dengan harga lebih murah dari harga pasaran, karena pabrik-pabrik bata yang dibantu Amurt rehabilitasinya memberi harga khusus.

Amurt sedunia turut menyumbang USD 34.000. International Organization for Migration menyediakan USD 247.000 untuk makanan dan non-makanan. Cruz Roja Espanola-Red Cross memberi USD 350.000. Waisenkinderhilte e.v sparkassenstittung menganggarkan USD 114.000 untuk perbaikan asrama yatim piatu di Ulee Kareng. Asrama ini memang tidak kena tsunami, tapi gedung dan fasilitasnya sangat memprihatinkan.

“Amurt bukan saja menangani masalah rekonstruksi pasca tsunami, tapi mereka juga memperhatikan lingkungan yang tak terkena dampak tsunami,” kata Kalyanti.

Banyak lagi lembaga yang mendanai program Amurt, seperti International Ferderation of Red Cross, Save the Children, the Sun Media Corp,  Malaysia, dan Jakarta International School.

Selain membangun rumah, memperbaiki pabrik dan sekolah, dan menyumbang kebutuhan hidup korban tsunami, Amurt juga membuka lapangan pekerjaan. Mereka menyelenggarakan kursus membuat kue dan menjahit.

Sebuah gedung di Lambaro dijadikan tempat kursus menjahit. Peserta kursus difasilitasi mesin jahit. Bila peserta sudah mampu menghasilkan 20 potong pakaian, maka mesin jahit tersebut akan menjadi miliknya. Mereka menjahit seragam sekolah, mulai dari seragam sekolah dasar, sekolah menengah pertama sampai sekolah menengah atas. Honor mereka untuk sepotong pakaian Rp. 30 ribu. Bagi yang belum memiliki mesin jahit sendiri atau dengan kata lain, belum mahir menjahit, akan memperoleh honor Rp 20 ribu per potong pakaian.

Menurut Kalyanti, Amurt dijalankan dengan cara kekeluargaan. “Lihat, mereka duduk bagaimana,” kata Kalyanti, seraya menunjuk Kurt dan beberapa staf Aceh yang duduk di lantai. Mereka tengah berdiskusi. Tapi tak terlihat sebagai atasan dan bawahan, melainkan teman.

Sekonyong-konyong, di tengah pembicaraan kami, si penjahit tua tadi datang. Dia menumpahkan seluruh isi hatinya dalam Bahasa Indonesia di hadapan Kalyanti.

“Karna ini pakaian bantuan meski ongkosnya sungguh sangat murah, saya mau. Karna mengingat ini pakaian bantuan untuk orang Aceh. Saudara kita dibantu orang dari luar. Dari jas mini sampai jas penuh di Banda Aceh saya bisa jahit. Sekarang ahli-ahli jas tinggal saya sendiri. Jas-jas yang ada di (toko) souvenir Putra Aceh di bawah pimpinan kita, tapi kita tak punya modal, bahkan gigi saya patah pun belum ada yang ganti,” katanya dengan nada tinggi, sambil sesekali melirik Kalyanti yang tampak kurang senang. Saya melihat gigi-giginya yang ompong.

Kalyanti cuma menunduk, diam.

“Meski ongkosnya yang sungguh sangat murah saya mau, biasanya saya mendapat 5000 rupiah per potong tapi di sini saya hanya mendapat 2000 rupiah.” Kata-kata itu berkali-kali diulang si penjahit tua.

“Bapak itu sudah lama bekerja di sini?” tanya saya setelah dia pergi.

“Belum lama, baru dua hari dan tidak….” Kalyanti tak melanjutkan kata-katanya, lalu menggeleng kepala dan langsung mengalihkan pembicaraan ke topik lain.

Seorang perempuan datang membawa minuman dan kue kering pada kami. Dia salah seorang relawan Amurt. Namanya, Putu Madhu Vidya. Dia asli Bali. Kue itu dibuat oleh warga yang diberi modal usaha membuat kue oleh Amurt.

Saya pun meraih dan mengunyah kue.  Siang yang agak tegang jadi lebih ringan.

*) Desi Rinasari adalah kontributor sindikasi Pantau di Banda Aceh.

kembali keatas

by:Desi Rinasari