Sebuah Desa Bernama Bantayan

Muhammad Nasir

Wed, 14 June 2006

Sebuah desa pantai rata oleh tsunami. Lokasinya tak layak huni lagi. Warga akan dipindahkan ke desa lain. Tak cuma nama desa terancam hilang, perangkat pemerintahan desa sampai dana ratusan juta bakal lenyap.

ASWADI tak lagi trauma. Ia pulang ke Bantayan pada Desember tahun lalu. Bantayan adalah sebuah desa yang terletak 60 kilometer di timur Lhokseumawe, Aceh Utara. Desa ini percis di tebing pantai. Membujur dari timur ke barat. Panjang desa sekitar tiga kilometer, lebarnya 150 meter.

Setelah tsunami menggulung Bantayan di akhir 2004, Aswadi dan 160 warga desa itu sempat mengungsi ke desa lain. Mereka tinggal di tenda-tenda. Kini Aswadi bersama istri dan tujuh anaknya menempati sebuah rumah pemberian Lions Club, sebuah lembaga bantuan yang berpusat di Amerika Serikat. Lions Club membangun 38 rumah darurat untuk warga Bantayan.

Rumah tersebut berdinding papan. Lantai tanah. Atap seng. Ukurannya 4 x 6 meter persegi. Seluruh dinding luar dicat kuning muda. Sebagian besar rumah dibangun di atas tanah milik Imum Ajie, seorang warga. Pasalnya, warga Bantayan jarang memiliki tanah pribadi.

“Kami pulang ke sini karena kondisi di tenda tak memungkinkan lagi. Selain tenda yang mulai koyak, musim hujan tahun lalu membuat lokasi tergenang lumpur dan kotor,” kata Aswadi kepada saya, awal Juni lalu.

Warga desa lain di kecamatan Seunuddon lebih beruntung dibanding warga Bantayan. Sebagian besar warga sudah menghuni rumah-rumah permanen yang dibangun lembaga-lembaga bantuan asing, seperti di Teupin Kuyuen, Meunasah Sagoe, Lhok Pu’uk dan sebagian Ulee Rubek Timur.

Saat pembagian barak pun, pengungsi Bantayan terpaksa mengalah. Pada Mei 2005 lalu, mereka sudah siap-siap pindah dari tenda ke barak yang dibangun pemerintah di desa Cot Patisah. Namun, tiba-tiba datang pemberitahuan bahwa semua barak telah terisi oleh pengungsi-pengungsi dari desa lain. Jumlah barak yang dibangun memang tidak mampu menampung seluruh pengungsi.

Akhirnya warga Bantayan dipulangkan ke desa asal mereka, setelah Lions Club membangun rumah-rumah darurat.

Tak semua warga sudah sembuh dari trauma seperti Aswadi. Kaum ibu, terutama, masih dihantui ketakutan. Asnawati, misalnya, kerap diliput was-was dan gelisah. Semula ia mengira dipulangkan ke tempat lain yang jauh dari pinggir pantai. Ia panik begitu paham bahwa tempat yang dituju tak lain bekas desanya sendiri.

Berkali-kali di tengah malam, ia buru-buru membawa anak-anak dan seluruh barangnya ke luar rumah. Debur ombak yang cukup keras langsung membuat Asnawati mengira tsunami datang lagi.

“Rasa takut dan cemas kadang membuat saya kurang tidur,” katanya.

Tsunami menghancurkan 33 rumah warga. Selain rumah-rumah penduduk, meunasah (mushola) dan lima bangunan usaha hatchery (pembibitan udang windu) turut porak-poranda. Hanya pondasi bangunan yang tersisa.

Usaha hatchery beromzet milyaran rupiah di desa itu belum ada tanda-tanda bangkit, meski tsunami sudah lewat satu setengah tahun. Pengusaha tak lagi memiliki modal bisnis. Sebelum tsunami, bibit windu produksi Bantayan terkenal bermutu bagus. Pasarannya sampai ke provinsi Sumatera Utara.

Meunasah ukuran 10 x 10 meter persegi di tengah desa juga masih sama seperti dua hari pasca-bencana. Lubang besar menganga di tembok utara dan selatan. Menurut warga desa, meunasah tersebut akan dijadikan semacam monumen bencana. Untuk tempat ibadah, warga telah membangun sebuah balai dari kayu. Dinas Syariat Islam Aceh Utara pun mulai membangun meunasah beton, tak jauh dari meunasah lama.

BANTAYAN merupakan bagian dari pantai wisata Ulee Rubek. Sebelum tsunami, objek wisata bahari ini paling ramai di Aceh Utara. Pantai yang landai dan berpasir putih terasa nyaman sebagai tempat pemandian.

Pohon nyiur, beberapa batang cemara, dan rimbunan pandan liar tumbuh di sepanjang garis pantai. Saat penghujung bulan Safar tiba, warga beramai-ramai menyambut pesta Rabu Abeh. Ribuan pelancong memadati pantai.

Namun, tsunami menyebabkan perubahan hebat pada topografi desa. Dua kuala baru terbentuk! Lebar rata-rata 15 meter. Saat air pasang sebuah perahu motor bisa memasuki kuala ini. Arus deras di kedua kuala saat pasang purnama menggesek pinggiran pantai dan menggerus kawasan yang dulu merupakan pemukiman penduduk dan ladang garam.

“Pemukiman penduduk desa tetangga dan ladang-ladang garam di sana juga terancam oleh dua kuala baru itu,” ujar Ismail, sekretaris desa Bantayan.

Kedua kuala itu diberi nama Kuala Husen dan Kuala Ampon Wen. Pasalnya, yang satu melintas di dekat bekas rumah penduduk bernama Husen dan yang lain berpangkal di bekas bangunan hatchery milik Ampon Wen.

Pertengahan tahun lalu, Kuala Husen pernah dibendung dengan urukan pasir yang dibiayai Caritas Germany, sebuah lembaga bantuan yang berafiliasi dengan gereja Katolik dan berdiri pada 1897 di Jerman. Namun, tak bertahan lama. Desakan arus laut kembali mengikis benteng dari pasir tersebut.

“Pada waktu-waktu tertentu air pasang merembes hingga pemukiman penduduk, sehingga kami harus berhati-hati,” kata Teungku Muhammad Juned, salah seorang warga.

Kondisi ini membuat Bantayan sebenarnya tak layak huni lagi. Rencananya, seluruh warga akan dipindahkan ke pemukiman baru di Desa Matang Lada, yang berjarak satu kilometer dari tepi pantai.

Lokasi bakal pemukiman di Matang Lada itu seluas dua hektar, di atas bekas sawah yang tak produktif lagi. Tanah tersebut dibeli pemerintah kabupaten Aceh Utara dengan talangan anggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2005. Harganya Rp 6.000 per meter persegi. Cordaid tengah membangun 38 rumah berkontruksi beton untuk warga Bantayan di situ. Cordaid adalah lembaga bantuan internasional yang berpusat di Belanda dan punya program membantu masyarakat miskin di lebih dari 40 negara.

MINGGU, 4 Juni 2006, terlihat sejumlah kuli bangunan sedang bekerja. Kubangan air terlihat di sana-sini. Rumah-rumah itu baru rampung sekitar 50 persen. Pemasangan plafon dan atap sedang diupayakan secepat mungkin. Tinggi fondasi 80 centimeter di atas permukaan tanah.

“Pihak Cordaid meminta cepat selesai, mungkin karena instruksi gubernur yang mengatakan pada Juni ini tak ada lagi korban tsunami tinggal di tempat darurat,” kata seorang pekerja.

Miftahuddin, warga Bantayan, tidak keberatan jika nanti harus pindah ke Matang Lada. “Jika pilihan itu baik menurut pemerintah, kami bisa menerima dan akan mengikuti ke mana saja direlokasi,” katanya.

Ia cuma khawatir pada status Bantayan setelah seluruh warga pindah ke Matang Lada. Bisa-bisa status desa ini terancam hilang. Apalagi secara de facto wilayah desa tak ada lagi.

“Saya membayangkan, di lokasi baru nanti wilayah desa Bantayan memiliki batas dengan desa Matang Lada dari empat arah mata angin. Mana ada desa berstatus otonom yang memiliki wilayah seperti itu?” Miftahuddin menyatakan kebingungannya.

Bisa jadi status Bantayan berubah jadi salah satu dusun di Matang Lada.

“Kan aneh jika ada desa di dalam desa,” kata Aswadi.

Perubahan dari desa menjadi dusun bukanlah perkara kecil. Itu sama dengan melenyapkan seperangkat pemerintahan. Tak ada lagi geusyik atau kepala desa. Tak ada lagi sekretaris desa. Tak ada lagi tuha peut, semacam lembaga musyawah desa. Tak ada lagi dana bantuan Program Pembangunan Gampong (PPG) yang mencapai Rp 100 juta per tahun, yang dikelola secara otonom oleh aparatur desa Bantayan.

Kepala desa Bantayan, Edi Amri, belum bisa menjawab soal status Bantayan setelah seluruh warganya pindah ke Matang Lada. Ia belum memperoleh penjelasan dari pemerintah kabupaten.

Di lain pihak, warga Matang Lada pun menolak status Bantayan sebagai desa di dalam desa. “Jika hanya menjadi salah satu dusun untuk desa Matang Lada tidak masalah. Tapi kalau Bantayan masih berstatus desa, kami tak bisa terima,” kata Saiful, seorang pemuda Matang Lada.

Apakah desa Bantayan akan tinggal kenangan?

Hasanuddin, kepala bagian Pemerintahan Gampong dan Kemukiman Sekretariat Daerah Kabupaten Aceh Utara, berharap warga Bantayan tak mencemaskan status desa mereka. Meski semua penduduk direlokasi, status otonom desa tak akan hilang dalam daftar desa di Kabupaten Aceh Utara.

“Tidak semudah itu menghapus nama sebuah desa. Desa merupakan lembaga pemerintahan otonom yang tercatat secara nasional,” ucap Hasanuddin.

Namun, Aswadi tetap saja cemas. “Jika tidak ada penjelasan kongkret oleh pemerintah, kami akan tetap tinggal di Bantayan untuk mempertahankan status desa kami,” katanya.

Padahal pembangunan rumah baru untuk warga Bantayan di Matang Lada terus berjalan.

*) Muhammad Nasir adalah kontributor sindikasi Pantau di Lhokseumawe.

kembali keatas

by:Muhammad Nasir