Maaf, Kami Masih Uji Coba

Samiaji Bintang

Tue, 27 June 2006

Metode penyaluran dana Badan Reintegrasi Damai Aceh berubah-ubah, lebih mirip proyek uji coba. Padahal puluhan ribu warga terus menunggu realisasi dana bantuan.

KETIKA berangkat dari kampung, niatnya sudah bulat. Dia ingin menyelesaikan sebuah urusan penting di kantor Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA), Banda Aceh. Ini juga menyangkut nasib istri dan lima orang anaknya. Dia asal Bukit Indah, sebuah gampong di kecamatan Pondok Baru, Aceh Tengah.

Ya, ini soal modal usaha ladang kopinya seluas dua hektare yang mati suri selama konflik. Pada masa perang lelaki berumur 52 tahun itu bersama keluarganya hidup di bawah ancaman senjata dan sasaran peluru. Kecamatan tempat tinggalnya termasuk yang kerap diberitakan media massa akibat kontak senjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dia tak tenang bekerja di kebun ketika itu, sehingga perekonomian keluarga pun morat-marit.

“Saya mau masukkan proposal ke sini (BRDA),” kata lelaki bernama Muhammad Yamin itu.

Pertengahan Juni lalu, dia mendatangi kantor yang mengurus penyaluran dana reintegrasi kepada mantan tentara GAM, tahanan dan narapidana politik (tapol/napol), dan masyarakat yang menjadi korban konflik. Uang Rp 80 ribu harus dia keluarkan buat ongkos dari kampungnya ke kantor BRDA.

“Saya mau minta dana yang katanya diberikan kepada korban konflik.”

Tapi sebelum kaki Yamin menginjak ruang kantor tersebut, dia mendapat berita yang mengecewakan.   BRDA telah menghentikan penerimaan proposal sejak akhir Mei lalu. Dia benar-benar ketinggalan informasi. Dia sama sekali tak mendengar kabar tentang hal ini sebelumnya. Dia juga tak membaca pengumuman di koran dan media massa.

“Sekarang bapak pulang saja ke rumah. Nanti kalau memang ada keputusan hasil musyawarah desa yang menyatakan bapak dapat dana (reintegrasi), ya nanti diberikan. Nanti ada tim yang turun ke kampung,” kata Fachrizal, kepala hubungan masyarakat BRDA, siang itu. Dia menemui Yamin di halaman kantor BRDA di kompleks Pendopo Gubernur. Sebenarnya Fachrizal cuma sekadar menghibur, karena dia sendiri tak tahu kapan tepatnya dana untuk orang-orang seperti Yamin akan turun.

Lelaki yang berpakaian sederhana dan mengenakan kopiah hitam itu tak mampu protes. Semula dia tampak bingung, tapi setelah itu raut wajahnya benar-benar sedih dan kecewa. Apa jadinya kalau Yamin tahu bahwa BRDA juga sudah mengganti metode mereka?

“Kalau dulu menggunakan proposal based, sekarang namanya community based,” kata Fachrizal kepada saya.

Hari itu juga, pengurus BRDA menggelar sosialisasi dan promosi konsep baru itu. BRDA sendiri dibentuk lewat Surat Keputusan Gubernur nomor 330/106/2006 pada 15 Februari lalu.

Mereka yang hadir dalam acara  tersebut antara lain, para petinggi Aceh Monitoring Mission (AMM) dan lembaga donor, macam Uni Eropa, United Nations Convention on the Rights of the Child (UNROC), United Stated Agency for International Development (USAID), International Organization for Migration (IOM), dan Kedutaan Besar Jepang.

Di hadapan para elite yang tergabung dalam Forum Bersama itu, koordinator bidang ekonomi BRDA, Islahuddin, memaparkan konsep penyaluran bantuan kepada korban konflik berbasis masyarakat (community based). Dia didampingi Hidayat Nyak Man, wakil ketua badan pelaksana BRDA.

Dana dibagi setelah lembaga itu menyusun dan menentukan daerah yang paling tinggi intensitas konfliknya. Mereka menggunakan sebelas indikator guna menentukan kampung yang mendapat prioritas bantuan.

Setelah data didapat, masih ada beberapa tahap lagi yang harus dilalui sebelum dana diterima korban konflik. Penduduk yang jadi korban konflik mesti bermusyawarah untuk menentukan sendiri penerimanya dan apa kegiatan ekonomi yang akan dilakukan. Setelah diverifikasi aparat dinas kabupaten dan mendapat persetujuan bupati melalui camat, barulah dana diberikan.

“Sehingga dana benar-benar tepat sasaran, diterima oleh orang-orang yang paling memerlukan dan terkena dampak paling parah akibat konflik,” kata Islahuddin.

Agar lembaga-lembaga asing itu makin yakin dengan rencana baru BRDA, Islahuddin membeberkan betapa ruwetnya menyalurkan dana dengan metode berbasis proposal. Saat ini jumlah proposal yang diterima di kantor BRDA mencapai 49 ribu.

Dia mengungkapkan tiap proposal rata-rata mencantumkan nama 14 orang. Sesuai aturan, tiap orang akan memperoleh Rp 10 juta. Jika semua lulus verifikasi, dana yang mesti dikeluarkan pemerintah mencapai Rp 7 triliun!

“Dana yang dialokasikan pemerintah hanya Rp 1,5 triliun untuk tiga tahun anggaran. Lantas bagaimana kita secara bijak memilih orang yang tepat untuk menerima bantuan kalau menggunakan metode proposal,” tutur Islahuddin.

Tapi Michael L. Bak, utusan USAID yang hadir di situ, segera mengacung tangan. “Bagaimana nasib ribuan proposal yang sudah diajukan para korban konflik?”  tanya Bak dalam bahasa Inggris.

Lelaki  ini melihat kemungkinan adanya gejolak sosial setelah BRDA meluncurkan rencana barunya. Pasalnya banyak warga korban konflik yang telah bersusah payah menyusun proposal sama sekali tak tahu bahwa proposal mereka hanya akan jadi calon penghuni tong sampah. Sebagian warga bahkan terpaksa mengeluarkan uang ratusan ribu untuk mendatangi kantor BRDA di Banda Aceh. Bagi mereka, uang untuk mengantar proposal itu bukan sedikit.

“Bagaimana BRDA mengatasi harapan masyarakat yang sudah telanjur memberikan proposal bantuan dana?” tanya Bak, lagi.

Dengan meyakinkan Islahuddin menjawab, “Kami akan beritahukan kepada masyarakat lewat media massa. Konsep ini juga akan segera disosialisasikan ke kampung-kampung di seluruh kabupaten.”

Kritik kembali datang. Kini giliran utusan UNORC.

“Salah satu indikator yang Anda gunakan bersumber dari berita media cetak. Itu tahun berapa?” kata lelaki yang duduk di sebelah kanan Islahuddin.

“Selama tahun 2005.”

“Oh, tahun 2005 sudah tak banyak terjadi konflik,” tukas lelaki beruban itu.

Michael menimpali lagi. “Kami memiliki peta daerah rawan konflik, dan kami menggunakan data media massa sejak tahun 2001. Kami bisa berikan kepada Anda.”

Luis Lechignero, juru bicara komisi Uni Eropa yang hadir di situ, sepakat dengan  Michael. Lembaganya juga berniat memberikan peta dan data wilayah dan jumlah korban konflik di Aceh. “Lebih cepat lebih baik,” ujar Lechignero.

Percakapan ini menunjukkan konsep baru BRDA masih mentah, sementara konsep lama gagal di tengah jalan. Namun, seusai pertemuan tadi,  Islahuddin yang juga pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, menyanggah kalau program penyaluran dana reintegrasi lewat proposal yang dilakukan sebelumnya tidak berhasil.

“Sebenarnya dikatakan sia-sia atau gagal tidak juga. Karena kami mendapat masukkan dan data dari proposal yang sudah masuk. Proposal itu menjadi bahan pertimbangan untuk kami dalam menentukan mereka yang mendapat prioritas bantuan,” katanya pada saya.

Irwandi Yusuf, wakil GAM di AMM, turut mengeritik tindakan BRDA.

“Itu namanya trial and error,” katanya.

Dia minta agar proposal yang sudah masuk itu tidak dinihilkan bila tak ingin menuai gejolak dan ketidakpercayaan masyarakat.

Irwandi juga mempertanyakan indikator yang ditentukan BRDA. Lembaga itu, menurut dia, harus menggunakan dan menerima banyak data tentang daerah konflik sejak masa Daerah Operasi Militer.

Tak hanya itu, dia ingin BRDA mempercepat penyaluran bantuan untuk para mantan tentara GAM. Alasannya, dana itu untuk kegiatan usaha mereka  setelah tak lagi mengangkat senjata.

“Kami memang tidak memberi batas waktu, MoU juga tidak menyebut limit waktu untuk reintegrasi ekonomi. Ini prosesnya jelas tidak gampang. Tapi lebih cepat lebih bagus. Karena dulu pasukan saya kuat tidak makan dua hari. Tapi itu ‘kan wajar, karena lagi masa perang. Sekarang di masa damai, di mana orang-orang yang tidak berperang dan mereka yang dari luar Aceh menikmati kekayaan, tentara saya malah kelaparan. Alangkah ironisnya seorang bekas tentara yang mengangkat senjata harus meminta rokok kepada bapaknya atau orang lain karena tak punya uang.”

Harapan Irawandi mustahil terwujud. Pasalnya, konsep baru BRDA masih perlu uji coba. Setelah itu baru diadakan pelatihan bagi fasilitator program di lapangan, lalu dilanjutkan dengan sosialisasi program kepada masyarakat di kampung-kampung.

Hidayat, wakil ketua BRDA, lewat jumpa pers meminta kepada masyarakat korban konflik mau mengerti kebijakan yang diterbitkan lembaga itu. “Selama ini kami masih belajar, memperkuat team work, dan memperbaiki konsep pemberdayaan ekonomi.”

Sampai kapan? Perut lapar tak bisa menunggu lama.

*) Samiaji Bintang adalah kontributor sindikasi Pantau di Banda Aceh

kembali keatas

by:Samiaji Bintang