Pesangon yang tak Kunjung Datang

Samiaji Bintang

Thu, 4 May 2006

Rencana revisi undang-undang ketenagakerjaan akan memperburuk nasib buruh. Aksi puluhan ribu buruh di parlemen menolaknya.

DIA bergegas ke arah pepohonan di muka gedung parlemen Senayan. Peluh terbit dari pori-pori kulitnya yang keriput. Baju kuyup di bagian punggung–ada tulisan “SPN WF” di situ, kependekan Serikat Pekerja Nasional Wonderful.

Dihampirinya penjual ketupat sayur, lalu berkata, “Satu, Pak.” Sepiring ketupat sayur komplit, dengan sebutir telur rebus dan sepotong tahu. Perutnya lapar bukan main.

Dia dan teman-temannya datang ke sini dengan menyewa enam metro mini. Tapi rombongan SPN WF tak sendiri. Di belakang dan di depan mereka ada rombongan lain. Umumnya mengenakan ikat kepala. Kata-kata yang tertera di ikat kepala itu sama: “TOLAK REVISI UUK 13/2003”. UUK singkatan dari Undang-Undang Ketenagakerjaan. Ya, hanya warna seragam kerja mereka saja yang beda. Biru, hitam, putih, hijau, biru-putih.

Para buruh itu berjumlah puluhan ribu. Mereka buruh Jakarta , Bogor , Tangerang, Bekasi, Semarang , Pekalongan…

Tinu Sumardi nama lengkapnya. Usia sudah kepala lima . Bertubuh kecil. Bertinggi badan tak sampai 1,5 meter. Dia tinggal di Kampung Tanah, Klender, Jakarta .

Bu Tinu, begitu dia biasa dipanggil, mengontrak kamar 4×4 meter persegi di sana . Harga sewa Rp 800 ribu per tahun. Kamar plus. Artinya, ya kamar, ya dapur, ya ruang tamu jadi satu.

Bu Tinu bekerja di PT Wonderful sejak 1981. Perusahaan ini memproduksi handuk. Dia ditempatkan di “T2”, sebutan untuk bagian tenun.

Sejak Kasih Suhati, putri tunggalnya lahir 21 tahun lalu, Bu Tinu punya tugas ganda. Merawat anak sekaligus mencari nafkah keluarga.

Namun, dia sudah bekerja di PT Wonderful sebelum Kasih lahir. Tujuh hari kerja dalam sepekan. Delapan jam per hari. Tak ada hari libur.

Kini Kasih sudah menikah dan tinggal di Wonogiri. Bu Tinu tinggal sendiri. Dulu seorang pria coba melamarnya, tapi dia menolak, “Repot! Gimana kalau dia kerjanya nggak tetap?”

JANUARI 2006. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (SBY-JK) menyusun rancangan perubahan isi Undang Undang Ketenagakerjaan (UUK) Nomor 13 Tahun 2003.

Rancangan itu menyulut protes jutaan buruh di Jakarta dan di daerah-daerah lain. Banyak pasal yang bakal mencekik buruh. Satu di antaranya soal pesangon.

Dalam revisi yang diajukan pemerintah, pesangon hanya diberikan kepada korban pemutusan hubungan kerja yang punya masa kerja lebih dari lima tahun. Selanjutnya, bila perusahaan tutup dengan alasan pailit, maka manajemen tidak wajib memberikan pesangon. Buruh juga tak dapat uang pensiun. Upah minimum ditetapkan sepihak oleh pengusaha. Persaingan pun jadi tambah tinggi, karena rancangan itu menetapkan tenaga kerja asing bebas bekerja di .

Tahun ini tahun ke-25 Bu Tinu bekerja di Wonderful. Sejumlah aktivis buruh sudah ribut soal rencana revisi UUK. Tapi Bu Tinu tak tahu soal rencana SBY-JK itu. Dia tak punya banyak anggaran buat beli bahan bacaan, termasuk koran sekalipun. Gaji terakhir yang dia terima Rp 711 ribu. “Saya nggak punya banyak uang,” katanya.

1 Maret 2006. Bagian tenun Wonderful diliburkan. Bu Tinu tak masuk kerja. Hari itu hari Sabtu. Hanya bagian jahit yang masuk. Tapi tak seperti biasanya. Mereka cuma bekerja dari pukul tujuh pagi hingga 12 siang.

Lalu tersiar kabar bak petir di siang bolong. Pabrik dengan sekitar 1000 buruh itu dinyatakan tutup. Alasannya: bangkrut! Tak ada pemberitahuan sebelumnya. Buruh juga tak pernah diajak berunding.

Hidup Bu Tinu makin terimpit. Jika revisi UUK disetujui legislator di Senayan, pengabdiannya selama 25 pasti sia-sia. Dia tak akan dapat pesangon. Padahal, menurut hitung-hitungan, dengan masa 25 tahun kerja, dia berhak atas uang sekitar Rp 30 juta. Setidaknya berguna untuk menyambung hidup. Dia juga belum terpikir melamar pekerjaan baru. Lagipula tenaga manusia usia kepala lima jarang ada yang mau.

PADA 1 Mei kemarin buruh-buruh kompak untuk tak masuk kerja. Mereka memperingati Hari Buruh Sedunia atau populer dengan istilah “May Day”.

Bu Tinu diajak teman-temannya ikut aksi di Senayan. Agak berat rasanya. Bukan apa-apa. Gaji terakhir makin menyusut. Tapi akhirnya dia ikut. Sudah kepalang basah.

Menurut sejarah, pada 1 Mei 1886, sekitar 400 ribu buruh di Amerika Serikat mengadakan demonstrasi menuntut 8 jam kerja per hari.

Aksi berlangsung empat hari. Tanggal 4 Mei 1886, para buruh pawai besar-besaran. Bentrokan terjadi. Polisi menembaki para buruh. Ratusan orang tewas dan para pemimpin yang ditangkap kemudian dihukum mati. Mereka yang tewas dikenal sebagai martir.

Di Indonesia, May Day diperingati sejak 1920. Peringatan ini sempat dilarang ketika Soeharto berkuasa. Setelah Soeharto jatuh, May Day kembali diperingati dengan bermacam pawai serta aksi unjuk rasa di sejumlah daerah.

Di hadapan puluhan ribu buruh, legislator sekaligus Ketua Komisi IX Ribka Tjiptaning berjanji tak akan bersedia membahas revisi UUK dengan pemerintah. Ribka didampingi Zainal Maarif, wakil ketua parlemen, dan anggota fraksi Partai Keadilan Sejahtera Anshori Siregar.

Lewat pengeras suara Ribka berkata, “Kami menolak hadirnya draft revisi undang-undang ketenagakerjaan.”

“Hidup buruh!” sambut massa .

“Buruh bersatu, tak bisa dikalahkan!”

Bu Tinu duduk bersama teman-temannya. Posisinya agak jauh dari pengeras suara.

Anshori mendukung pernyataan Ribka, “Komisi IX tak akan melakukan pembahasan draft rancangan revisi undang-undang ketenagakerjaan!”

Massa kembali bersorak, “Hidup buruh!”

Tak berapa lama lagu Syukur karya komponis Husein Mutahar berkumandang.

Saya menanyakan pendapat Bu Tinu tentang janji-janji para legislator itu. Selama ini terbukti bahwa janji politisi cuma di manis di mulut. Target mereka cari suara. Tapi Bu Tinu menggeleng, “Nggak kedengeran.”

Dia kemudian berlari mengejar rombongannya yang sudah berada dalam metro mini.*

kembali keatas

by:Samiaji Bintang