Orang-orang di Tiro

Linda Christanty

Thu, 4 May 2006

Pendapat keluarga, bekas gerilyawan, para tamu tentang masa depan Aceh dalam sebuah kenduri damai di kampung kelahiran Hasan Tiro.

“POLITIK itu jahat. Saya ndak suka,” kata Tengku Muhammad Mustafa. Suaranya pelan. Tapi tegas.

Kami bercakap-cakap di ruang makan ukuran 2,5×3 meter persegi. Sebuah meja makan besar mendominasi ruang dan tak menyisakan cukup celah untuk duduk nyaman di salah satu kursi.

Percakapan, gelak tawa, dan bermacam gaduh dari ruang lain atau halaman membuat suara Mustafa timbul-tenggelam. Derai hujan yang turun di luar sana sering mengandaskannya.

Pagi itu Mustafa menjadi tuan rumah. Tamu-tamu datang dari berbagai penjuru Aceh, seperti Sigli, Banda Aceh, Langsa, Peureulak, dan Pase. Rumahnya di desa Treuseb, kecamatan Tiro, Pidie, laksana sebutir gula dikerubungi ribuan semut.

“Misalnya, saya ingin kedudukan seseorang, saya akan melakukan apa saja supaya bisa menggeser orang itu. Politik itu seperti itu. Jahat.” Ia menatap saya lurus-lurus. Kopiah putih di kepalanya kontras dengan kulitnya yang legam.

Meja makan di hadapan kami sesak. Piring-piring berisi kari sapi. Tumpukan nasi bukulah, nasi bungkus daun pisang khas Aceh. Gelas-gelas. Bercak kuah tumpah di taplak.

Seperangkat alat pencuci tangan aluminium menarik perhatian saya. Bentuknya Unik. Teko berisi air bersih bertumpu di atas kaleng bulat pipih yang berfungsi sebagai penampung air kotor.

“Dari Malaysia,” kata Juraiza, istri Mustafa, menyebut asal benda tersebut. Ia sibuk melayani tamu, mondar-mandir membawa baki.

Bau sedap masakan meruap dari meja dan pintu dapur yang terbuka. Laki-laki dan perempuan lalu-lalang dekat kami. Kadangkala satu atau dua perempuan datang menyimak pembicaraan, senyum-senyum, lalu pergi. Mereka tak pandai berbahasa Indonesia. Mereka adalah orang desa yang membantu menyiapkan makanan untuk sekitar 10 ribu tamu. Pada hari ini, bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi, diadakan kenduri di Treuseb untuk menyambut masa damai di Aceh.

Mustafa adalah kerabat Tengku Muhammad Hasan di Tiro, pemimpin tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), atau lebih populer disebut Hasan Tiro. Meski kesepakatan damai sudah ditandatangani pemerintah Indonesia dan GAM pada Agustus tahun lalu di Helsinki, Hasan Tiro belum juga pulang ke Aceh.

“Seumur-umur saya belum pernah sekalipun ketemu dia,” kata Mustafa tentang Tiro.

Usia Mustafa 45 tahun. Kakek Mustafa dan ibu Hasan Tiro kakak-beradik kandung.

Mustafa bersedia terlibat dalam kenduri perdamaian ini, karena sejumlah orang datang meminta bantuannya, “Ya, orang GAM, orang-orang kampung, semua.”

Pemikiran maupun pandangan politik Hasan Tiro tak begitu dipahaminya. Pertalian di antara mereka lebih pada hubungan darah. Namun, konsekuensinya membuat hidup Mustafa berkali-kali di ujung tanduk.

Istri Mustafa kini berdiri di sisi meja. Sesekali ia menimpali ucapan sang suami. Juraiza bertubuh agak gemuk, murah senyum.

“Tiap tentara datang dan mereka pulang, Bapak pasti langsung demam,” katanya, mengenang masa darurat militer di Aceh.

Mustafa tersipu. Ia memang tak sanggup mendengar kata-kata kasar.

“Yang mereka tanyakan apakah saya punya hubungan dengan Hasan Tiro. Apakah dia ada menghubungi saya. Saya jawab, kalau iya kenapa, kalau tidak, kenapa. Mereka ndak menjawab, langsung menanyakan hal lain,” kenang Mustafa.

Ia merasa tindakan aparat berlebihan. Ia cuma seorang guru mengaji anak-anak. Tempat mengajarnya pun tak jauh-jauh. Di mushola di pekarangan rumahnya sendiri.

Mushola tersebut berbentuk rumah panggung kayu dan berdiri pada tahun 1214 hijriah. Hampir 200 tahun lalu. Pendirinya kakek buyut Mustafa, Tengku Muhammad Amin di Tiro, seorang ulama.

Makam Muhammad Amin dan pengikutnya tepat di samping mushola. Para tamu berduyun-duyun ziarah serta berdoa di situ. Sehelai kain belacu putih menyelubungi keranda yang diletakkan di atas makam ulama itu. Makam para pengikutnya rata dengan tanah dan ditandai batu-batu nisan hitam.

“Masalah di seberang sungai sana, tapi yang kena di sini,” kata Mustafa lagi, tersenyum. Rumah keluarga Hasan Tiro memang dipisahkan sebatang sungai dengan rumah Mustafa.

LELAKI setengah baya itu sibuk menyambut tamu. Di dekatnya berdiri mantan panglima GAM wilayah Pidie, Sarjani Abdullah. Ketika pandangannya membentur mata saya, ia bertanya, “You speak English?”

Saya menjawab, “Saya dari NKRI.”

Ia tertawa, lalu mengajak saya ke rumah di seberang mushola itu.

“Perempuan di rumah. Laki-laki di luar sini,” katanya, ramah.

Seorang lelaki, sekitar 70an, bersetelan jas dan sarung, tiba-tiba menubruk dan memeluknya. Ia mengusap-usap punggung lelaki tersebut. Si lelaki kemudian menjauh, menghampiri sebuah kerumunan, lalu memeluk seseorang. Menangis.

“Siapa dia?” tanya saya.

“Saya ndak tahu, ndak kenal. Banyak yang begitu. Mungkin terharu.”

Kami memasuki beranda rumah. Perempuan tua-muda, anak-anak laki maupun perempuan, duduk bersila di lantai. Makan. Minum.

Fatimah binti Ali adalah salah seorang tamu dari Beureunun, sekitar tujuh kilometer dari jalan masuk kecamatan Tiro. Ia kepala sekolah dasar negeri Pulo Tambo.

Sejak kanak-kanak, Fatima sudah bercita-cita jadi guru. Saat main sekolah-sekolahan ia pun dipanggil ‘ibu’ oleh teman-teman kecilnya. Ia kini memimpin sekolah dengan 150 siswa. Tapi dua tahun lagi pensiun. Sebagai kepala sekolah, ia punya banyak tugas.

“Haaa… ya jadi pesuruh juga, kadang-kadang beli kopi, kadang-kadang mengajar… kalau nggak ada guru, ya jadi guru… kalau nggak ada yang beli kopi, ya beli kopi… bikin kopi untuk semua. Haaha…“

Fatimah bertubuh tinggi besar. Bersuara alto. Ia ramah dan senang bicara. Namun, ia terdiam sebentar ketika saya bertanya anak bangsa mana yang ingin dicerdaskannya. Perempuan-perempuan di situ ikut diam.

“Kita ini mencerdaskan anak didik kita, bagaimana negara kita nanti, begitulah yang kita ajarkan,” katanya.

Namun, air mata Rasidah, istri kepala desa Treuseb, terus berlinang. Setelah isaknya agak reda, ia mulai bicara. Dalam bahasa Aceh. Saya tak paham sepatah kata pun. Seseorang menerjemahkan untuk saya.

“Bagaimana pengalaman waktu konflik?”

“Saya takut sekali. Banyak rumah dibakar.”

“Bagaimana dengan suami ibu?”

“Bapak berusaha lari, tapi dikejar tentara. Bapak diancam, ditembak, tapi selamat. Tentara datang dengan dengan truk, sepeda, dan jalan kaki, berseragam. Tapi ada yang diambil, termasuk adik ipar saya dan meninggal.

“Apakah yang ibu inginkan sekarang ini?”

“Kedamaian, hidup tenang, tak ada lagi kekerasan. Aman, bisa cari rezeki. Kalau ingat kejadian dulu, langsung keluar air mata saya. Saudara diambil di depan mata.” Ia terisak lagi.

TENGKU DARUL KAMAL langsung meraih dompet di saku celananya, lalu menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) merah putihnya pada saya. Ia lahir tahun 1944 di desa Lhok Rhem, kecamatan Saledi, Kabupaten Pidie. “Tapi ini KTP asal-asalan. Saya sebetulnya lahir tahun 1942,” katanya, terbahak.

Kamal pertama kali berjumpa Hasan Tiro pada 1971. Ketika itu ia masih kuliah di Fakultas Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry. Sesekali ia datang mengunjungi Tiro yang baru menginjakkan kaki kembali di kampung halaman setelah lama merantau di Amerika. Mereka masih satu silsilah. Ibu Hasan Tiro adalah adik kakek Kamal.

Tiro banyak bercerita tentang kejayaan Aceh di masa lalu, bukan tentang kehebatan Amerika.

“Dia juga menulis buku berjudul Aceh Bak Mata Dunia. Kalau dalam bahasa Indonesia, Aceh di Mata Dunia.”

Menurut Tiro, Aceh harus merdeka.

“Masalahnya kalau sebesar ini negara, katanya, tidak mungkin bisa dikendalikan. Lapar di sini, mogok di sini, ada saja kejadian, sedangkan Amerika yang cukup lihai, harus membuat negara-negara bagian, kecuali dibuat macam komunis, baru bisa, kalau nggak, nggak mungkin bisa, katanya. Jalan keluarnya harus pisah.” Kamal mengemukakan alasan Tiro.

Enam tahun kemudian, pada 30 Oktober 1976, Tiro pulang yang kedua kali ke Aceh dan langsung menuju hutan. Saat itu Kamal sedang berada di Sabang, Pulau Weh. Ia bekerja sebagai tenaga honorer untuk memperbaiki administrasi desa. Suatu hari ia pulang kampung dan mendengar kabar tentang Tiro dari teman-temannya.

Pada April 1977 ia nekad menjumpai Tiro di Gunung Tjokkan. Tapi ia tak sendirian. Ia ditemani sahabatnya, Tengku Syeh Ibrahim.

Di Pintu Satu, jalan satu-satunya menuju gunung itu, mereka juga bertemu sekitar sepuluh pria yang ternyata mempunyai tujuan sama. Setelah berjam-jam jalan kaki, menerobos hutan, menyusuri sungai, akhirnya rombongan ini berhenti di gubuk penjaga padi. Mereka pun sepakat mengaso.

Menjelang pagi, seorang perempuan desa datang dan memberitahu bahwa ada letusan senjata dari arah Pintu Satu. Tak berapa lama muncul lelaki yang mengabarkan sudah banyak mobil di Pintu Satu. Rumah-rumah penduduk tengah digeledah.

“Rupanya di antara rumah yang digeledah itu termasuk rumah Geusyik Uma. Geusyik Umar. Tapi di Aceh, orang tak menyebutkan huruf ‘r’, jadi Umar disebut Uma. Geusyik, kalau di Jawa, seperti lurah. Geusyik Uma ini adalah orang yang paling setia pada Tengku Hasan. Jadi dia dikasih senjata, dikasih pistol. Jadi waktu rumah dia disergang, dia nembak. Itulah peluru pertama GAM yang ditembakkan,” kisah Kamal.

Hasan Tiro juga menulis peristiwa ini dalam bukunya, The Prince of Freedom; The Unfinished Diary.

Meski blokade tentara cukup rapat, Umar berhasil melarikan diri ke gunung. Ia meninggal ditembak tentara Indonesia pada 1992 setelah Daerah Operasi Militer (DOM) yang bersandi “Jaring Merah” diberlakukan di Aceh. Usianya 70 tahun saat itu.

“Semua anaknya sudah dihabisi, kecuali yang lari ke Swedia dan satu lagi anak bungsunya yang masih ada di sini.”

Bachtiar Abdullah, salah seorang petinggi GAM yang bermukim di Swedia, adalah putra Umar yang dimaksud Kamal.

Ketika Kamal dan teman-temannya tiba di markas Tiro, ia melihat sudah ada 15 laki-laki di situ. Tak semua bersenjata. Hanya enam orang memegang senapan merek Springfield.

Kamal tak mau disebut mantan gerilyawan, meski tiga tahun ia bergabung dengan pasukan pertama Tiro. Ia sama sekali tak pernah mengokang senjata atau menembak musuh. Kerjanya cuma memutar spin mesin cetak, memproduksi selebaran.

Javanese, go home! Itulah judul selebaran yang paling banyak dicetaknya.

“Disebar ke PT Arun, paling banyak ke sana. Sebab PT Arun itu ‘kan pintu masuk orang luar, jadi agar orang luar segera tahu apa yang terjadi di sini. Setelah dipak, ada orang yang bawa ke sana. Selain itu, diitempel di jembatan-jembatan, di mana-mana,” katanya, tertawa.

Perseroan Terbatas (PT) Arun Liquefied Natural Gas (LNG) terletak di Lhokseumawe, kabupaten Aceh Utara. Perusahaan yang mengolah gas alam ini dibuka pada 1974.

Aceh Utara kaya akan sumber daya alam. Selain PT. Arun LNG, ada tiga pabrik besar berdiri di sana, yaitu Pabrik Pupuk Iskandar Muda, Pabrik Asean Aceh Fertilizer, dan Pabrik Kertas Kraft Aceh.

Tim Pencari Fakta yang dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pasca DOM memperoleh data bahwa konsentrasi korban terbesar ada di Aceh Utara, sebanyak 1716 jiwa. Aceh Timur di urutan kedua (1548 jiwa), disusul Bireun (525 jiwa), dan terakhir Pidie (494 jiwa). Rupanya untuk melindungi aset-aset ekonomi inilah pemerintah Suharto mengirim puluhan ribu tentara non organik ke Aceh.

Pada 1980 terjadi kontak senjata antara militer Indonesia dan GAM. Kamal tertembak dan ditangkap.

“Seorang komandan tentara itu datang pada saya dan bertanya, ‘Ada berapa pucuk senjata kalian? Indonesia ada banyak sekali, ada tank, ada macam-macam. Bagaimana mungkin bisa dilawan?’ Saya bilang, kemenangan perang bukan pada senjata, tapi pada mental yang pegang senjata. Saya bilang Jepang paling kuat senjatanya, tapi mentalnya sudah hilang karena dibom. Amerika itu superpower, tapi Amerika lari dari Vietnam, karena mentalnya sudah nggak ada lagi.”

Ia dipenjara selama tiga tahun di Penjara Kedah, Banda Aceh. Selepas dari penjara, Kamal mendirikan pesantren. Kurikulum yang diajarkan sesuai dengan kurikulum pemerintah Indonesia. Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris… Tak ada mata pelajaran tentang cara berontak pada Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI.

Namun, pada 1990 Kamal dijebloskan ke sel lagi. Kali ini di penjara Lhok Nga. Pasalnya, seorang legislator Aceh yang ingin bergabung dengan GAM di Malaysia tertangkap tentara dan menyebut-nyebut Kamal sebagai penghubung.

Tuduhan terhadap Kamal tak terbukti, tapi tak urung ia mendekam setahun di bui. Setelah bebas, ia memutuskan jadi petani seperti orang-orang kampungnya. Pesantren tutup, karena para santri sudah angkat kaki.

Pada 1998 gubernur Aceh Samsudin Mahmud mengutus Kamal pergi ke Swedia bersama sebuah tim yang diketuai pedagang Aceh, Noer Naemat. Tugas tim ini menemui Hasan Tiro, lalu mengajaknya berunding tentang masa depan Aceh. Tapi Tiro enggan menerima mereka.

“Hasan Tiro tahu saya datang. Katanya boleh ketemu, tapi tak boleh pulang lagi. Ha ha ha ha…. Tengku Hasan Tiro itu wali negara, tapi yang mengirim kami ini ‘kan daerah, bukan dari pemerintah di Jakarta… jadi betul saya kira dia nggak mau bicara,” katanya.

Ia merasa perjalanan menuju masa yang benar-benar damai di Aceh masih panjang, meski kesepakatan damai sudah ditandatangani pemerintah Indonesia dan GAM.

“Mungkin pemerintah Indonesia ada niat baik, tapi kadang-kadang yang di lapangannya ini… Ya, tapi orang-orang GAM juga begitu ‘kan? Ha ha ha… Garisnya bisa lain dari yang di atas. Yang di lapangan bisa lain dengan apa mau yang di atas. Contohnya kaki kita, bisa tersepak batu. Itu kan bukan kehendak dari kepala kita. Ha ha ha…”

Ada satu pertanyaan penting di benak saya, “Apa betul GAM anti orang atau bangsa Jawa?”

“Lebih pada budayanya. Budaya Jawa itu ‘kan inggih… inggih. Kalau orang Aceh ndak… meskipun itu komandan, dia bisa tertawa dengan komandannya. Kalau tentara Jawa ‘kan ndak bisa begitu… Jadi kedisiplinan semacam itu, macam feodal itu ndak ada di Aceh. Tapi kalau orang Jawa kita lihat. Kalau bayar gaji aja di perkebunan ‘kan kuli duduk di lantai.” Kamal terkekeh-kekeh.

Pramoedya Ananta Toer, sastrawan terbesar Indonesia, membenci apa yang disebutnya “Jawanisme”. Ia menyebut Jawanisme membuat para kepala desa di Jawa bekerja sama dengan tentara pendudukan Jepang untuk mengirim ratusan orang desa jadi romusha (kerja paksa). Mentalitas ini pula yang dipunyai kaum elit yang menerima sogokan atau kompensasi dari penjajah Belanda untuk ikut menindas rakyatnya. Pramoedya, yang wafat pada 30 April lalu, bahkan melarang keluarganya berbahasa Jawa di rumah. Struktur bahasa yang hirarkis itu dianggapnya menjurus pada fasisme. Padahal orangtua dan kakek buyut Pram adalah bangsa Jawa.

Kini Kamal lebih banyak menghabiskan hari-harinya di masjid Seulimum, Lam Jeruk, Pidie. Ia menjadi imam di situ. Ia juga mendirikan organisasi untuk mengejar babi hutan yang merusak sawah dan kebun penduduk.

“Namanya Litbui. Lit artinya kejar dalam bahasa Aceh. Bui artinya babi.”

Kenangannya pada Tiro tetap lekat, meski sudah 26 tahun berpisah. Raut wajah Kamal berubah-ubah seiring kisahnya. Senyum, tawa, murung, merenung-renung, sedih. Ia terhanyut ke masa lalu. Apa kesannya yang paling dalam tentang Tiro?

“Pembersih, betul-betul pembersih, apa saja… tiap pagi sudah makan gosok gigi, mau tidur gosok gigi, dan sama kita pun diajarkan gitu. Sudah gosok gigi, jangan makan lagi katanya. Orang Aceh terlalu kotor katanya, sebentar-bentar makan. Jadi gigi nggak pernah dibersih, padahal itu ajaran Nabi Muhammad. Sangat sunat, tapi kok tidak ada yang diamalkan itu,” tutur Kamal.

TAK jauh dari rumah Mustafa, di halaman Madrasah Istidayah Negeri Tiro, berdiri tenda-tenda yang diisi sejumlah tamu undangan. Warga juga memenuhi teras sekolah. Sepanjang jalan penuh manusia. Ribuan jumlahnya. Yang menarik perhatian saya adalah banyak sekali orang tua. Kakek-kakek duduk termangu di tepi jalan. Isi hati mereka sukar ditebak. Sedihkah? Atau gembira? Mereka telah menjadi saksi konflik puluhan tahun.

Lima ratus meter sebelum madrasah itu, di tempat sejumlah mobil berhenti, sebuah Kijang patroli parkir mencolok di sisi kanan jalan. Seorang polisi berpakaian sipil merekam semua orang yang datang dengan handycam. Ia bahkan menguntit orang-orang yang menarik perhatiannya. Tak peduli panas terik. Ia terus merekam. Saya segera menurunkan kerudung saya, berjalan cepat.

*)Linda Christanty adalah ketua sindikasi Pantau, tinggal di Banda Aceh

kembali keatas

by:Linda Christanty