Menguji Reintegrasi

Muhammad Nasir

Wed, 24 May 2006

Para gerilyawan GAM bertani dan membuka kios. Sebagian tak dapat dana reintegrasi sepeser pun. Sebagian lagi masih menganggur dan dikhawatirkan memicu tindak kejahatan.

KENDATI telah tujuh bulan tak lagi memanggul senapan AK-47, tapi postur Mansur masih terlihat kekar. Otot-otot lengannya menonjol, rahang tajam, dada bidang, dan urat-urat leher kentara. Usia Mansur 25 tahun, tapi ia tampak lebih tua dari usianya. Sekilas raut muka lelaki ini nampak seram. Apalagi dipadu kulitnya yang legam dibakar terik matahari. Namun kesan ‘angker’ segera lenyap begitu ia bicara. Senyumnya mengembang tiap sepotong kalimat terucap.

Dulu, dengan seragam loreng dan senjata, ia tak perlu bersusah-susah cari nafkah. Ada saja yang memberi rokok atau pakaian. Sumbangan mengalir dari siapa saja yang mengenalnya.

“Tapi itu dulu. Sekarang saya ketua kelompok tani. Bersama 32 petani di sini kami akan mengolah lahan tidur yang telah lama terlantar di desa ini,” ujar Mansur.

Ia mantan Teuntara Neugara Aceh atau disingkat TNA, sayap bersenjata Gerakan Aceh Merdeka alias GAM. Saya bertemu Mansur di desa Blang Aman, kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara, akhir Maret lalu.

Di bawah terik matahari siang itu Mansur menyiapkan lahan untuk tanaman palawija. Tujuh orang warga membuat bedengan-bedengan tanah untuk menanam cabai. Mansur sendiri kebagian tugas membereskan pagar. Karena tak ada gangguan hewan-hewan liar,  sekeliling lahan cukup dipagari jaring dari tali plastik.

Menurut Mansur, penyiapan lahan sudah hampir selesai. Tinggal pagar pada satu lokasi lagi yang belum selesai. Tapi pasti beres dalam dua tiga-hari kerja. Ia dan teman-temannya membuka lahan di empat titik lokasi dalam desa Blang Aman dengan luas areal empat hektar. Tiap hektar digarap oleh satu kelompok dengan jumlah anggota delapan orang.

“Kami ada enam mantan TNA GAM, yang lainnya warga sipil biasa,” jelas Mansur.

Meskipun hanya berjarak lima kilometer dari lintasan Jalan Raya Medan-Banda Aceh, Blang Aman termasuk desa terpencil di Kecamatan Lhoksukon. Semasa konflik, desa ini termasuk salah satu basis GAM. Bahkan, pada tahun 2000 di desa ini aparat keamanan  menemukan mesin bubut besar buatan Pindad (Pusat Industri Angkatan Darat) yang digunakan GAM untuk merakit senjata api.

Tak ada transportasi umum menuju ke sana, selain RBT atau ojek sepeda motor. Lama perjalanan sekitar 20 menit dari Simpang Cot Beuringen di Jalan Medan-Banda Aceh. Lebar jalan lima meter. Permukaannya penuh batu dan berdebu. Jalan itu jarang dilintasi mobil, kecuali sekali-sekali mobil pengangkut pinang dan buah sawit.

Sewaktu konflik, konvoi sepeda motor GAM sering melintasi jalur ini. Biasanya mereka mengambil rute dari pesisir di kawasan Kecamatan Seunuddon, Matang Raya, Matang Sijuek, Cot Ara, Bintang Hu, menyeberang ke Jalan Medan-Banda Aceh, lalu melewati Simpang Cot Beuringen menuju pedalaman Blang Aman.

Bentrokan senjata antara GAM dan tentara Indonesia pun sering terjadi. Mansur pernah terlibat dalam sejumlah pertempuran itu, tapi ia tak bersedia menceritakannya kembali secara rinci.

“Sekarang sudah aman damai, tidak baik mengingat-ngingat lagi peristiwa masa lalu,” kilahnya.

Namun insiden di dusun Cot Kruet adalah peristiwa yang paling membekas dalam benak Mansur. Sepuluh temannya meninggal dunia dalam bentrok senjata dengan tentara Indonesia. Saat itu keadaan Darurat Militer baru diberlakukan di Aceh. “Alhamdulillah saya lolos,” kenang Mansur.

Sehari setelah peristiwa di Cot Kruet, rumah mertuanya di desa Blang Aman dibakar militer. Keluarganya terpaksa mengungsi ke rumah tetangga dan famili terdekat.

Risiko bergabung dengan GAM memang tak kecil. Suatu hari di tahun 2002, Mansur merayakan perhelatan nikahnya dengan seorang gadis di desa Bintang Hu, kecamatan Lhoksukon. Tiba-tiba aparat keamanan menyerbu. Para undangan kocar-kacir. Acara pesta berantakan. Mansur mengambil langkah seribu, kabur lewat semak rumbia di belakang rumah. Tinggal si mempelai perempuan sendirian di atas pelaminan.

KETIKA kesepakatan damai terjadi antara pemerintah Indonesia dan GAM pada Agustus tahun lalu, otomatis kehidupan Mansur berubah total. Setelah menyerahkan senjatanya pada tim Aceh Monitoring Mission (AMM), Mansur seperti orang bingung. Ia merasa tak gagah lagi.

Ia pun tak langsung setuju ketika Komandan Koramil 08 Lhoksukon, Kapten Infanteri Mulyanto, memintanya mengajak lima mantan GAM Blang Aman untuk membentuk kelompok tani. Beberapa kali Mansur menolak. Tapi kemudian sejumlah warga desa memberinya motivasi. Bahkan warga minta bergabung dalam kelompok tani yang akan dibentuk Mansur. Lagipula, pihak Koramil berjanji mendanai ongkos bajak, pengadaan bibit, pupuk, dan insektisida.

“Karena akan dibantu, makanya kami bersemangat membuka lahan,” kata Muhammad Tayeb, salah seorang warga desa.

Dukungan warga membuat Mansur bersemangat. Dia menghimpun 26 petani dan lima mantan GAM. Kelompok tani ini membiayai pengolahan tanah sebesar Rp 4 juta pada awal Maret 2006. Dananya dari hasil swadaya anggota kelompok. Dana yang dijanjikan Koramil belum turun. Ketika lokasi pertanian ini diresmikan Komandan Kodim 0103/Aceh Utara, Letnan Kolonel Belyuni Herliansyah, pada 23 Maret 2006 lalu, para petani baru menerima bantuan satu kotak bibit cabai dan jagung manis dari Koramil.

“Di sini memang akan ditanami cabe dan jagung manis, tapi hingga hari ini belum jelas bantuan yang akan diberikan,” kata Sufyan, salah seorang petani. Padahal para petani telah selesai membuat bedengan-bedengan tempat menanami cabai. Seharusnya bibit sudah mulai disemai dalam polybag. Jika jadwal penanaman terlambat, maka olah tanah terpaksa diulang lagi.

Komandan Koramil 08 Lhoksukon, Kapten Infanteri Mulyanto, membenarkan adanya penyaluran bantuan yang terlambat. Itu disebabkan alur bantuan yang melewati beberapa instansi, mulai dari Komando Wilayah (Kowil), Kodim 0103/Aceh Utara, dan sebagian dari Koramil.

“Hari ini kita sudah menerima sejumlah bantuan dan segera kita kirim ke Blang Aman, yakni berupa mesin pompa air, hand sprayer (semprotan), juga bibit dan ongkos bajak tanah,” kata Mulyanto kepada saya.

Menurut Mulyanto, pihaknya melakukan pembinaan terhadap mantan GAM untuk mempercepat reintegrasi dalam masyarakat. Proses ini harus ditangani segera sehingga para mantan GAM memiliki pekerjaan. Mereka tak boleh dibiarkan menganggur.

Namun karena keterbatasan dana, Koramil hanya fokus terhadap Desa Blang Aman hingga berhasil. Walaupun demikian, dalam waktu dekat akan diupayakan membuka lahan untuk kebun pinang di lahan tidur desa Buket Seuntang dengan melibatkan mantan GAM.  Lucunya, hingga saat ini pemerintah daerah belum terlihat melakukan hal serupa dalam upaya reintegrasi.

“Para petani di sana bukan malas menggarap tanah, tapi karena tidak punya modal kerja. Makanya banyak pemuda menganggur. Itu menjadi satu pemicu munculnya jalan pintas, seperti ikut GAM,” kata Peutua Keubah, 95 tahun, seorang tokoh masyarakat Lhoksukon, yang juga mantan pejuang Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

“Jika kerja ini dilakukan setengah-setengah, bukan tidak mungkin justru akan memicu kekecewaan-kekecewaan di kemudian hari,” ujar mantan Kepala Staf Resimen DI/TII yang membawahi Aceh Utara dan sebagian Aceh Timur ini.

Sewaktu proses reintegrasi mantan gerilyawan DI/TII dulu, kata dia, pemerintah Indonesia juga menawarkan kompensasi lahan pertanian. Peutua Keubah bersama kelompoknya kebagian lahan 2.000 hektar di kawasan Buket Hagu, Cot Girek. Namun kemudian pemerintah tak peduli terhadap status tanah yang telah ‘dikuasakan’ kepada mantan prajurit DI/TII ini, sehingga kawasan tersebut jadi terlantar. Ironisnya, pada awal tahun 1970-an kawasan Buket Hagu diambil alih pemerintah Indonesia untuk dijadikan lokasi pemukiman transmigran yang didatangkan dari Pulau Jawa.

KIOS berdinding papan itu terlalu kecil untuk menampung drum-drum minyak. Di dalamnya belasan drum minyak diatur berjejer memenuhi ruangan. Sekitar 10 drum lainnya terpaksa dijejerkan di bagian luar kios. Beberapa di antaranya dibiarkan rebah di tanah.

Seorang penjaga duduk menanti pembeli di meja depan.

“Saya membayar seorang penjaga karena saya sendiri sering sibuk dengan pekerjaan lain,” kata Abdur Rani, seorang mantan gerilyawan GAM di desa Ulee Matang kecamatan Seunuddon, Aceh Utara.

Selain menjual bensin eceran, kios bernama “Dua Saudara” itu juga menyediakan minyak tanah. Menurut Abdur Rani, ia mendapat pasokan minyak tanah dari sebuah pangkalan resmi di Kota Panton Labu. Ia membayar fee kepada pemilik pangkalan untuk mendapatkan jatah minyak tanah. Ini harus dilakukan, karena amat sulit untuk mendapat izin resmi mendirikan pangkalan dari Pertamina. Abdur Rani membuka kios sejak dua bulan lalu.

Setelah menyerahkan senjatanya pada AMM, Abdur Rani sempat bingung. Ia tak tahu harus bekerja apa dan di mana. Tiap hari ia cuma nongkrong di pos siskamling atau di warung kopi.

Sebelum menjadi prajurit GAM, ia  bekerja serabutan. Macam-macam kerja sudah dilakoninya, mulai dari buruh tani, pekerja tambak, sampai kuli bangunan. Selain itu, ia pernah aktif sebagai pengurus remaja Masjid Raya Baiturrahim di pusat kecamatan Seunuddon.

Setiap hari ia mengendarai sepeda butut dari kampungnya di desa Blang Tu’e  ke masjid. Jarak desa itu ke Masjid Baiturrahim sekitar tiga kilometer. Warga sepanjang lintasan itu mengenalnya dengan baik.

Namun, saat ditanya alasannya bergabung dengan GAM, Abdur Rani yang tamatan sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs) itu, enggan menjawab secara rinci.

“Yang jelas semua itu karena banyak kekecewaan-kekecewaan terhadap pemerintah RI, misalnya ketiadaan lapangan kerja sehingga anak muda menjadi penganggur,” katanya.

Semasa konflik, desa Blang Tu’e yang dikelilingi semak belukar ini, kerap dilintasi kelompok GAM. Beberapa kali mereka berpapasan dengan patroli aparat, sehingga memicu bentrok senjata.

Dari desa ini menuju pusat kecamatan melewati Desa Manekawan, tempat tinggal orang tua Muzakkir Manaf, Panglima Militer GAM. Muzakkir sendiri, menurut sejumlah warga, sebelum Aceh berstatus Darurat Militer kadangkala pulang secara diam-diam ke desa Manekawan. Biasanya malam hari, sebelum kemudian menghilang menjelang pagi.

Kendati bertetangga desa, menurut Abdur Rani, ia tidak pernah bertemu Muzakkir Manaf selama konflik memuncak. Rani bergabung dalam kelompok gerilyawan Wilayah Pasee di bagian timur Aceh Utara.

“Saya memang sering terlibat pertempuran dengan aparat keamanan, beberapa rekan saya meninggal dunia. Alhamdulillah saya masih diberi umur panjang,” kenangnya.

Karena itu ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan di masa damai untuk memanfaatkan peluang usaha. Apalagi kini dua anaknya yang masih kecil-kecil tak lama lagi akan masuk sekolah dan mulai menuntut biaya.

Di kemukiman Pante Seunuddon yang meliputi 11 desa, menurut Abdur Rani, hingga saat ini tidak memiliki pangkalan resmi minyak tanah. Padahal kebutuhan akan bahan bakar jenis ini sangat besar. Selain dibutuhkan ibu-ibu rumah tangga yang memasak dengan kompor minyak tanah, bahan bakar ini juga kerap dibeli nelayan dan petani tambak. “Kebutuhannya mencapai 20 ribu liter per bulan,” kata Rani.

Abdur Rani dengan cepat membaca peluang usaha yang cukup menjanjikan ini. Namun, ia tidak memiliki modal kerja. Hingga pertengahan April 2006, ia juga tak pernah menerima sepeser pun kucuran dana bantuan reintegrasi yang dijanjikan pemerintah Indonesia sebesar Rp 25 juta per anggota GAM. Beruntung ia berjumpa warga desa yang cukup berada dan mau memberinya pinjaman modal.

Kios milik Abdur Rani mendapat pasokan minyak tanah secara jatahan tiap dua minggu. Sekali pasok satu mobil tangki, atau sekitar 5.000 liter. Minyak tersebut ditebus tunai seharga Rp 11,5 juta. Jika dihitung-hitung harga tebus per liternya mencapai Rp 2.300. Abdur Rani terpaksa menaikkan harga saat menjualnya kepada penduduk untuk bisa memperoleh sedikit untung. Tentu saja harga yang dipatoknya masih di bawah harga yang dipatok pengecer-pengecer kecil di kampung-kampung kawasan Seunuddon yang mencapai Rp 3.000 per liter.

Meskipun pasokan 5.000 liter diharapkan bertahan untuk stok dua minggu, tapi ternyata hanya cukup untuk empat sampai lima hari saja.

“Abang lihat sendiri, itu drum-drum yang rebah semuanya sudah kosong. Biasanya kalau datang mobil tangki, warga langsung berkumpul hendak membeli,” ujar Abdur Rani.

Ia berharap, pihak Pertamina melalui agen pangkalan di Kota Panton Labu bersedia menambah kuota jatah minyak tanah untuk Kecamatan Seunuddon. Minimal  empat tangki dalam sebulan, atau sekitar 20.000 liter.

Muhammad, tokoh masyarakat Seunuddon, membenarkan minimnya pasokan minyak tanah ke Kecamatan Seunuddon. Hal itu menyebabkan harganya sangat mahal dibanding harga eceran yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp 2.300 per liter.

Lebih jauh Muhammad mengharapkan pemerintah melakukan pembinaan secara komprehensif terhadap mantan GAM hingga dua tiga tahun ke depan. Lebih-lebih lagi bagi mantan GAM di Seunuddon sebagai salah satu kawasan terpencil yang sangat mudah tersulut isu. Jangan sampai reintegrasi yang diharapkan gagal di kemudian hari.

“Hal yang sangat penting adalah pembinaan agar mereka punya pekerjaan, sehingga berkehidupan yang layak secara ekonomi,” kata Muhammad.

“Memang bukan untuk duduk di depan meja komputer, paling tidak untuk pekerjaan kasar di lapangan mereka pasti bisa,” lanjut Muhammad yang juga geusyik atau kepala desa Matang Anoe.

Pengangguran memang bisa menimbulkan masalah besar. Belum lama ini sejumlah mantan gerilyawan GAM atau TNA diberitakan melakukan perampokan bersenjata di wilayah Pidie. Sarjani Abdullah, Ketua Komite Peralihan Aceh sekaligus mantan panglima GAM wilayah Pidie, menyebut mereka sebagai “GAM atau TNA yang tak terorganisir”.

Dulu orang seperti Mansur atau Abdur Rani hanya dengan seragam loreng dan senjata bisa memperoleh rokok, pakaian, atau makanan. Tapi ketika situasi berubah, ternyata tak semua orang siap. Dan akhirnya, mengambil jalan pintas.

 

*) Muhammad Nasir adalah kontributor sindikasi Pantau di Lhokseumawe.

kembali keatas

by:Muhammad Nasir