Lokomotif Jurusan Aceh-Senayan

Samiaji Bintang

Wed, 24 May 2006

Sebuah jaringan yang dibentuk secara gotong-royong dan suka rela oleh sejumlah aktivis Aceh-Jakarta untuk menggolkan RUU Aceh. Mereka bekerja tak kenal lelah, nyaris macam kuli borongan.

DI BALKON ruang rapat Komisi II, Ridaya La Ode Ngkowe buru-buru membuka laptop ketika Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh, Ferry Mursyidan Baldan, memulai rapat kerja.

Sejurus kemudian jemari lelaki itu sibuk memencet tombol huruf-huruf di keyboard. Ia mencatat poin-poin penting tentang sumber pendapatan pemerintahan Aceh yang dibahas anggota parlemen bersama Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Informasi dan Komunikasi Sofyan Djalil.

Persoalan duit menarik perhatian Ridaya bukan karena dia mata duitan, tapi karena lembaganya terlibat dalam jaringan yang memantau dan mendesak parlemen agar transparan dalam soal anggaran untuk Aceh. Ridaya mewakili Indonesia Corruption Watch. Tugasnya sebagai program manajer monitoring Aceh.

“Ke depan, volume fiskal Aceh bakal makin besar dibanding daerah lain. Kami ingin ada otoritas seperti BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dengan mandat khusus untuk memeriksa keuangan Aceh,” katanya pada saya.

Jika pemerintah Jakarta curang dalam bagi hasil, bukan tak mungkin Aceh bakal bergolak lagi.  Alih-alih damai, perjanjian Helsinki bisa bubar. Sudah bukan rahasia kalau kekayaan alam Aceh melimpah ruah, mulai dari kopi, minyak bumi, gas sampai emas.

Ridaya tak sendirian. Di belakang kursi yang didudukinya ada Bivitri Susanti, akrab dipanggil Bibip. Seperti juga Ridaya, organisasi Bibip juga tergabung dalam jaringan yang sama: Jaringan Demokrasi Aceh atau disingkat JDA. Bibip bekerja di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan. Saban hari, sejak parlemen membahas rancangan undang-undang Aceh, lembaga ini memantau dan melaporkan hasil rapatnya. Laporan yang mereka sebut kartu pemantauan itu dimuat di situs www.parlemen.net. Sehingga orang Aceh bisa membaca perkembangan di Senayan.

Selain mereka berdua ada sederet nama aktivis lain di JDA, seperti Taufik Abda dari Sentra Informasi Rakyat Aceh (SIRA), Sugiarto Arif Santoso dari Yappika, Rufriadi dari Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI), Juanda dari Aceh Civil Society Task Force (ACSTF), Agung Wijaya dari Perkumpulan Demos, Afridal Darmi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Afrizal Tjoetra dari Aceh Development Fund (ADF), dan masih banyak lagi. Selain itu ikut bergabung organisasi perempuan macam Yayasan Kalyanamitra dan Jaringan Perempuan untuk Keadilan di dalamnya. Sejumlah tokoh masyarakat Aceh dan akademisi pun menambah deretan pendukung JDA.

Tujuan mereka sama, yakni menggolkan aspirasi rakyat Aceh ke dalam undang-undang.

Mereka bergiliran hadir, nyaris dalam tiap rapat para legislator di parlemen. Tak cukup duduk, diam, dan dengar, mereka juga merapat ke sejumlah wakil rakyat. Di luar parlemen mereka menggelar diskusi, seminar maupun lokakarya. Menu utamanya hanya omong soal Aceh, Aceh, dan Aceh.

“JDA menjadi lokomotif dalam advokasi rancangan undang-undang Aceh bagi masyarakat Aceh,” kata Taufik Abda dari presidium SIRA kepada saya.

Organisasi Taufik sempat dinyatakan pemerintah Jakarta sebagai organisasi terlarang. Beberapa pengurusnya diburu. Mereka dianggap punya kedekatan tujuan dengan Gerakan Aceh Merdeka, melepaskan Aceh dari Indonesia. Sedang di JDA Taufik punya tugas menggerakkan massa, baik di Aceh maupun Jakarta. Tujuannya mendesak parlemen agar tak bertele-tele. Taufik punya pengalaman memobilisasi massa untuk mendukung referendum pada 1999 lalu. Massa yang terkumpul ratusan ribu.

Sebenarnya benih JDA ditemukan dari ketidaksengajaan.

Beberapa pekan setelah perjanjian Helsinki diteken, sejumlah aktivis lembaga nonpemerintah bertemu di kampus Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry, Banda Aceh. Mereka ingin agar perjanjian itu tak sekadar cek kosong buat GAM maupun pemerintah Jakarta. Mereka rupanya belajar dari pengalaman Aceh di tahun 2002. Ketika CoHA (Cessation of Hostility Agreement) diteken, rakyat Aceh bak pelanduk di tengah dua gajah yang bertarung. Kesepakatan itu pun bubar di tengah jalan.

Begitu tahu isi perjanjian Helsinki memuat amanat penyusunan undang-undang soal Aceh, para aktivis ini segera bergerak.

“Kami menganalisis poin-poin, seperti partai politik lokal, pemisahan legislatif dan eksekutif, hubungan internasional, pengadilan HAM,” ujar Rufriadi dari AJMI. Dia pernah menjadi penasehat hukum bagi juru bicara GAM di CoHA yang dipenjarakan di Sukamiskin, Bandung.

Setelah pertemuan “Ar Raniry” para aktivis ini terus bergerak. Mereka menambah barisan, mengajak teman-teman aktivis di Jakarta.

“Ada usulan yang menarik dari teman-teman Jakarta. ‘Kenapa harus pointer?’, ‘Kenapa nggak sekaligus bikin draft?’,” kisah Rufriadi.

Ini bukan perkara gampang. Meski begitu, usulan membuat rancangan dilakoni juga. Tim pertama yang merumuskan rancangan undang-undang ini antara lain Rufriadi, Afridal Darmi, Afrizal Tjoetra, dan Juanda. Sedangkan dari perguruan tinggi di antaranya Umam Hamid, Iskandar Gani, Husni Jalil, dan Maryati. Hendra Budian dan Banta Syahrizal membantu pencarian dana dan menghubungi teman-teman Jakarta, seperti Bibip dan Agung.

Pembuatan rancangan dilakukan di Hotel Rasamala, Seutui, Banda Aceh, pada bulan Oktober 2005. Mereka kerja empat hari empat malam, seperti kuli borongan.

“Jujur kami waktu itu modal sendiri dari kas organisasi, ACSTF dan AJMI masing-masing 20 juta. Sambil memaksa Agung dan Bibip di Jakarta bantu cari uang,” kenang Rufriadi.

Saat itu DPRD Aceh juga membuat rancangan sendiri. GAM tak mau ketinggalan, ikut juga membuat rancangan undang-undang Aceh versi mereka. Sementara itu rancangan versi pemerintah provinsi Aceh sudah selesai dan diseminarkan di Banda Aceh.

Namun ketika pemerintah daerah berniat mengirimnya ke Departemen Dalam Negeri, Rufriadi dan kawan-kawan serta legislator asal Aceh Imam Syuja’ segera menemui Penjabat Gubernur Azwar Abubakar. Mereka minta agar rancangan pemerintah daerah tidak buru-buru diserahkan. Alasan mereka, masih ada sejumlah elemen yang ingin mengusulkan tambahan dalam rancangan itu.

Perang kata lewat media tak terhindarkan pada awal November tahun lalu. Para aktivis itu menuntut pentingnya tim perumus akhir. GAM ikut mengancam agar diikutsertakan dalam penyusunan rancangan.

“Lalu kami mengusulkan agar ada tim perumus akhir terdiri dari elemen legislatif, GAM, masyarakat sipil. Supaya tidak saling klaim. Akhirnya usulan tim perumus akhir bersama itu disetujui,” kata Rufriadi.

Tim tersebut menggelar pertemuan pada 24-25 November 2005 untuk merumuskan sebuah rancangan bersama. Rufriadi, Afridal Darmi dan Iskandar Gani mewakili masyarakat sipil. Dari GAM diwakili Teuku Kamaruzzaman dan Faisal Putra. Sedangkan dari DPRD Aceh diwakili pansus 18.

Awal Desember 2005, begitu rancangan selesai, tim perumus melakukan roadshow dan menggelar konsultasi publik ke 21 kota kabupaten. Menjelang akhir tahun, rancangan undang-undang itu dibawa ke Jakarta.

“Sebelumnya kita nggak pernah mikir soal nama. Setelah itu baru lahir sebutan JDA, Jaringan Demokrasi Aceh,” kata Rufriadi, lagi.

Perjuangan Rufriadi dan kawan-kawan diacungi jempol oleh pihak GAM. Teuku Kamaruzzaman, dalam satu kesempatan berkata kepada saya, “JDA sangat membantu proses demokratisasi di Aceh.”

 

NAMUN, perjuangan itu belum usai. Aktivis JDA juga harus membujuk legislator-legislator yang selama ini mengaku sebagai wakil rakyat tapi gemar memelintir amanat.

Ketika sebagian anggota panitia khusus Aceh mulai loyo, mereka datang memberi suplemen. Memasok bahan-bahan, dokumen, atau sekedar informasi agar legislator di Senayan punya gambaran soal Aceh—di masa perang, tsunami, hingga sekarang. Mereka juga sempat diundang dalam rapat dengar pendapat umum bersama anggota pansus di Senayan.

Saya beberapa kali melihat beberapa aktivis JDA mendekati dan berbincang-bincang dengan legislator di kala jeda rapat pansus. Sugiarto Arif Santoso dari Yappika, misalnya. Ia melobi Taufikurrahman Saleh dari Partai Kedaulatan Bangsa agar fraksinya menyuarakan usulan rakyat Aceh.

“Teman-teman JDA sangat membantu. Mereka memberi pendampingan dan advokasi tentang Aceh,” kata Taufikurrahman.

Ketika aktivis JDA simpul Jakarta sibuk merapat ke legislator, di Aceh tak tinggal diam. Rufriadi, Afridal, dan kawan-kawan membuat aneka aksi dan pertemuan. Mulai dari  seminar, penggalangan massa, pertemuan tokoh-tokoh penting Aceh hingga Kongres Rakyat Aceh pada 28 sampai 29 Maret lalu. Mereka menerbitkan rekomendasi yang isinya mewanti-wanti pemerintah dan politisi Jakarta.

Rufriadi cemas, “Kalau RUU PA gagal dikhawatirkan semangat kemerdekaan mulai tumbuh lagi.”

Agung Wijaya dari Demos mengamini, “PR-nya masih sangat banyak. Makanya akan lebih baik kalau DPR punya mekanisme yang efektif dan tidak berlarut-larut dan tidak menjadi negosiasi partai-partai saja. Karena yang jadi taruhan adalah proses perdamaian di Aceh.”

Lalu siapa orang yang paling bertanggung jawab dalam jaringan ini?

“Di JDA tidak ada yang terstruktur. Semua punya peran, dan masing-masing tahu perannya. Jadi lebih pada koordinasi. Makanya, kalau ada yang ketembak satu, masih bisa hidup,” kata Agung.

*) Samiaji Bintang adalah kontributor sindikasi Pantau.

kembali keatas

by:Samiaji Bintang