Teuku Kamaruzzaman, Alumnus Sukamiskin

Samiaji Bintang

Sat, 8 April 2006

Teuku Kamaruzzaman mulanya pengusaha konstruksi. Belakangan dia memilih berjuang untuk rakyat Aceh bersama Gerakan Acheh Merdeka. Dia kini duduk di Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh, selain Aceh Monitoring Mission.

APARAT berseragam biru bersenjata lengkap berjaga-jaga di gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan. Tanpa pengawal, seorang tokoh Gerakan Acheh Merdeka tenang melenggang ke sana. Dia cuma mencangklong tas ransel hitam berisi bundelan kertas.

Tak banyak orang tahu dia tokoh gerakan yang puluhan tahun menentang "penjajahan Jawa Indonesia" di Aceh.

Dia Teuku Kamaruzzaman. Orang Aceh memanggilnya Ampon Man atau Pon Man. Ampon merupakan gelar aristokrat di Tanah Rencong.

Pon Man kelahiran Lhokseumawe, 20 September 1960, bungsu dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Teuku Syahbuddin, pernah jadi pejabat penting di Aceh Utara.

Suatu Rabu Maret lalu, Pon Man jadi pembicara dalam diskusi di Senayan. Dia duduk semeja dengan Maswadi Rauf, seorang profesor Universitas Indonesia, dan ketua panitia rancangan undang-undang Aceh Ferry Mursidan Baldan. Lebih dari 40 peserta memenuhi ruangan. Bintang diskusinya, bukan Maswadi, bukan Ferry, tapi ya Pon Man. Peserta diskusi memberondong Pon Man aneka pertanyaan. Begitu moderator menutup diskusi, wartawan pun merubung Pon Man.

Pon Man lelaki sederhana. Pendidikannya sarjana hukum Universitas Syiah Kuala. Dia pernah dipenjarakan selama dua tahun di Sukamiskin, Bandung, sebuah bangunan kolonial Hindia Belanda, yang pada 1920an pernah dipakai mengurung Soekarno, belakangan jadi presiden pertama Indonesia.

Kini Pon Man anggota tim sosialisasi perjanjian GAM-Indonesia di Helsinki Agustus 2005. Pon Man juga menjabat deputi monitoring dan evaluasi dalam Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias.

Usai menjawab wartawan, Pon Man mencangklong ranselnya, meninggalkan Senayan. Saya dan Mulyani Hasan, rekan dari Pantau, mengikutinya bersama wartawan Acehkita Amdy Hamdani dan Ipoel, anggota komunitas seniman Aceh di Jakarta.

Tak ada pengawal berbadan kekar dan berambut cepak atau berkaca mata gelap. Saya jadi bertanya-tanya. Diplomat dari organisasi yang dicap sebagai kelompok separatis, kok berani masuk ke sarang macan tanpa pengawal? Memangnya sudah tidak takut dipenjara lagi ke Sukamiskin?

"Takut? Takut itu relatif sekali," kata Pon Man.

"Sekarang kondisinya sudah berubah. Tidak seperti dulu."

SELAMA 32 tahun Jenderal Soeharto berkuasa, media Indonesia tak cukup punya nyali memberitakan soal pertikaian dan kekejaman serdadu Indonesia di Aceh. Selain institusi medianya diancam pembredelan, mereka juga mendapat tekanan fisik. Saat Jakarta memberlakukan status Daerah Operasi Militer di Aceh, 1989 hingga 1998, keamanan para jurnalis di sana juga jadi taruhan.

Tak satu pun media yang merilis laporan organisasi hak asasi manusia, Amnesty International, pada Juli 1993 soal orang hilang, penyiksaan, pembantaian, maupun eksekusi tanpa pengadilan atas orang-orang yang dituduh terlibat GAM selama 1989 hingga 1993.

"Kita tidak banyak tahu berita soal kekerasan. Atau warga yang ditembak, misalnya," kenang Pon Man.

Pon Man mulanya tak tertarik politik. Lulus dari Universitas Syiah Kuala, dia merintis usaha jasa konstruksi di Banda Aceh. Dia tak tertarik bekerja di bidang hukum. Alasannya, hukum di Indonesia sudah amat carut-marut.

Setelah Soeharto mundur Mei 1998, Aceh belum berubah. "Pemerintah Jawa" kembali mengirim serdadu ke Aceh. Tahun 1999, digelar Operasi Wibawa. Tuntutan referendum rakyat Aceh pada tahun 1999 gagal. Jawa melanjutkan Operasi Sadar Rencong I dan Sadar Rencong II hingga 2000. Operasi Cinta Meunasah I dan II dilaksanakan pada 2000 hingga 2001. Intinya, ya bikin tunduk rakyat Aceh.

Life begin at forty. Menjelang usianya yang ke-40, Pon Man memimpin aksi memasuki kedutaan Belanda di Jakarta bersama 12 anggota Persatuan Rakyat Acheh. Mereka menuntut Kerajaan Belanda mencabut maklumat perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 sebagai biang konflik Aceh.

Meski dia bilang "… keluarga tidak ada yang jadi korban kekerasan," dia mulai tertarik menjadi anggota GAM.

"Tapi kenapa GAM?" saya bertanya.

"Karena yang dibela adalah orang-orang tertindas. Banyak orang di Aceh yang mendapat perlakuan tidak adil. Itu tidak cuma dialami orang Aceh. Banyak juga anggota GAM yang orang Jawa."

Tapi niatnya dicemaskan keluarga. Bukan apa-apa, serdadu Indonesia menjadikan anggota GAM sebagai target nomor wahid. Tapi Pon Man sudah bertekad bulat. Dia berkeras dengan pilihannya.

"Mereka akhirnya dapat memahami keputusan saya," katanya.

Kecemasan keluarga terbukti. Tahun 2001 Pon Man masuk bui kepolisian Indonesia di Aceh. Tapi dia segera dilepaskan.

Akhir tahun 2002, Indonesia dan GAM sepakat berunding. Pon Man ikut dalam tim diplomasi. Perundingan ini difasilitasi lembaga Henry Dunant Center. Hasilnya penekenan perjanjian penghentian permusuhan, Cessation of Hostilities Agreement.

Di Aceh, Pon Man menjadi salah satu juru runding yang dipimpin Sofyan Ibrahim Tiba. Anggota lainnya Amni bin Ahmad Marzuki, Tengku Nashiruddin bin Ahmad dan Tengku Muhammad Usman Lampoh Awe. Mereka menginap dan berkantor di Hotel Kuala Tripa, Jalan Tengku Ujung Dirimba, Banda Aceh.

Tapi Pon Man dan juru runding lainnya ditangkap dua hari sebelum pertemuan puncak di Tokyo pada 18 Mei 2003. Mereka dituduh berniat kabur dari Aceh.

"Tidak ada yang secara tersurat menyatakan mereka diperlukan di Tokyo. Tanpa itu, saya anggap mereka bonek, cuma penggembira," kata Kapolda Aceh Irjen Bahrumsyah Kasman seperti dikutip harian Pikiran Rakyat. Dia cuma ditahan sehari.

Perundingan di Tokyo pada 18 Mei 2003 gagal total. Rencana damai dibatalkan "pemerintah Jawa" karena GAM tidak menerima syarat yang diajukan.

Tangan besi rezim Megawati Soekarnoputri segera mengoyak Aceh. Dia mengeluarkan keputusan Presiden Indonesia. Isinya, "menetapkan seluruh wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam status keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan Darurat Militer, terhitung pukul 00.00 WIB, 19 Mei 2003."

Selang satu jam, polisi Indonesia meluncur ke Jalan Tengku Ujung Dirimba. Pon Man bersama Sofyan Ibrahim Tiba, Amni bin Ahmad Marzuki, Tengku Nashiruddin bin Ahmad dan Menteri Keuangan Acheh, Tengku Muhammad Usman Lampoh Awe kembali digelandang ke ruang tahanan polisi Aceh.

Pemerintah Jawa juga membentuk Pemerintah Darurat Militer di Aceh. Mayjen Endang Suwarya diangkat jadi penguasa. Di lapangan, setelah mengisi posisi panglima komando operasi darurat militer, Mayjen Bambang Dharmono segera menyapu anggota GAM.

Berbeda dengan penangkapan sebelumnya, polisi kini menuding Pon Man dan kawan-kawan terlibat aksi terorisme dan makar. "Bukti-bukti keterlibatan makar dan tindak pidana terorisme terhadap kelima anggota GAM itu sudah lengkap," jelas Komisaris Besar Surya Darma, direktur reserse polisi Aceh.

Empat bulan setelah penangkapan, Pengadilan Negeri Banda Aceh memvonis Pon Man terbukti bersalah melakukan makar dan terlibat terorisme. Ketua Majelis Hakim Syaiful Azwir mengganjar Pon Man dengan 13 tahun pidana penjara.

"Bagaimana mungkin seorang juru runding melakukan makar?" kenang Pon Man.

"Yang diurus kan suatu proses perdamaian yang akan menyelesaikan semua proses kekerasan yang terjadi di Aceh. Saya tidak melakukan perbuatan-perbuatan pidana. Ya, mungkin ucapan-ucapan saya itu. Tapi itu kan hanya buah pikiran-buah pikiran. Saya pikir perbuatan pidana tidak ada."

Kijang Innova hitam menunggu di luar gedung parlemen Senayan. Siap mengantar Pon Man, Dani dan Ipoel. Di rumah makan Bakso Lapangan Tembak, legislator asal Aceh Muhammad Fauzi dari Pelopor Demokrasi sudah menunggu.

"Pon Man pernah kena tembak?" tanya saya.

"Tidak. Saya hanya juru runding. Saya tidak ikut gerilya," Pon Man tersenyum.

SEJAK pengadilan negeri memvonis Pon Man selama 13 tahun kurungan, hari-hari Pon Man dijalani dalam penjara Banda Aceh bersama ratusan tahanan GAM.

Kurang dari setahun dalam penjara, Mayjen Endang Suwarya membuang tahanan GAM ke penjara-penjara di Pulau Jawa.

"Untuk memutuskan mata rantai komunikasi dan ideologi GAM. Para pentolan GAM yang sudah divonis oleh majelis hakim akan dipenjarakan di luar Aceh dan Sumut guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan," kata Suwarya.

Pon Man dibuang ke Jawa pada Agustus 2004 bersama mantan juru runding lainnya kecuali Sofyan Ibrahim Tiba, yang minta dipenjara di Banda Aceh mengingat kesehatannya buruk. Mereka dijebloskan ke almamater Soekarno … Sukamiskin di Bandung.

"Apa aktivitas selama disekolahkan di Sukamiskin?"

"Olah raga, membaca, beribadah…"

Tiga bulan di Sukamiskin, kabar duka datang dari Aceh. Gelombang tsunami menghempas Samudera Hindia pada 26 Desember 2004. Sekitar 130 ribu jiwa tewas di Aceh saja. Korban besar juga terjadi Srilanka, India, Thailand dan beberapa negara lain.

Gelombang pasang itu diikuti gelombang bantuan. Angin perubahan pun berembus ke Aceh. Indonesia dan GAM memulai lagi perundingan di Helsinki.

Butir ketiga dari enam butir kesepakatan damai itu memuat pemberian amnesti kepada anggota GAM yang dipenjara, termasuk yang dibuang ke Jawa. Maksimal 15 hari setelah perjanjian diteken.

Pada 29 Agustus 2005, Pon Man dipulangkan ke Aceh. Tak lama setelah itu dia ditunjuk mewakili GAM dalam Aceh Monitoring Mission. Tugasnya, memberi informasi kesepakatan Helsinki.

KIJANG Innova tiba di depan Bakso Lapangan Tembak. Seorang lelaki berbatik berdiri menyambut dengan senyum. Fauzi segera menjabat tangan Pon Man.

Fauzi mengantar kami ke dalam kedai bakso yang terbilang ngetop di Senayan ini. Dia memilihkan meja di pojok agak ke belakang. Dani dan Ipoel lebih dulu memesan bakso. Pon Man belakangan ikut memesan bakso.

"Apa kesan Pon Man terhadap Wali Nanggroe?" saya coba bertanya.

Wali Nanggroe adalah gelar bagi orang nomor satu GAM, Muhammad Hasan di Tiro. Dia yang memproklamasikan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976. Sejak 1978, dia minta asylum di Swedia dan belakangan menjadi warga negara di sana.

"Wali Nanggroe orang yang berdedikasi tinggi terhadap pendidikan. Dia turun dari kota Manhattan (New York) dan masuk ke hutan-hutan di Aceh untuk mengajarkan sejarah. Dia orang yang paling tahu tentang sejarah Aceh," terang Pon Man.

"Yang lucu," Dani menimpali obrolan, "Ampon pernah bilang minta segera dibaiat Wali Nanggroe. Tapi sampai lulus S2 dari Sukamiskin, Ampon masih belum dibaiat." Pon Man tersenyum. Dalam agama Islam, baiat semacam pengambilan sumpah setia.

"Apa orang Jawa bisa jadi anggota GAM?" tanya saya penasaran.

"Apa harus punya KTP?" timpal Mulyani Hasan. Sama dengan Bambang Dharmono, saya orang Jawa sedang Mulyani, sama dengan Endang Suwarya, orang Sunda.

"Boleh. Karena kan yang diperjuangkan kan keadilan, untuk kemakmuran. Populis… populis …." jawab Pon Man.

"Jika saya berminat menjadi anggota GAM, apa syaratnya?" gurau saya.

"Kamu mau jadi anggota GAM? Cukup sertakan foto dua kali tiga dua lembar." Pon Man tertawa lagi. Semuanya terbahak.

"Dani, kasih formulirnya," kata Pon Man. Dani kembali tertawa.

Kami menyudahi makan-makan. Mulyani dan saya menjabat tangan Pon Man, dan berpisah.

"Pasfoto jangan lupa ya. Dua kali tiga dua lembar," Pon Man mengingatkan saya. Kami kembali terkekeh.*

kembali keatas

by:Samiaji Bintang