Gerilyawan Bernama Kautsar

Mulyani Hasan

Thu, 6 April 2006

Di Jawa, aktivis mahasiswa paling banter bikin demonstrasi menentang pemerintah dan resiko dipenjara. Di Aceh, mereka bukan cuma demonstrasi tapi masuk hutan, bergerilya, bikin jaringan internasional, melawan Indonesia. Resikonya, ditembak mati.

KALAU di Jawa atau Makassar, aktivis mahasiswa paling banter bikin demonstrasi menentang pemerintah dan resikonya dipenjara. Tapi di Aceh, mahasiswa bukan cuma demonstrasi, mereka masuk hutan, bergerilya melawan tentara Indonesia dan resikonya ditembak mati.

Contohnya, Kautsar bin Muhammad Yus. Aktivis satu ini bukan saja melawan negara Indonesia tapi juga menentang bapaknya sendiri, Muhammad Yus dari Partai Persatuan Pembangunan, yang kini anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta.

Hendra Saputra, mahasiswa Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh, menganggap Kautsar adalah motivator bagi aktivis mahasiswa. “Dia itu tersohor sekali,” kata Hendra.

Riswan Haris, presiden mahasiswa Universitas Muhammadiyah Banda Aceh, menilai solidaritas Kautsar sangat tinggi. Haris pernah bersama Kautsar memperjuangkan pembebasan mahasiswa yang ditahan polisi. “Dia orang yang konsisten,” ujar Haris.

Kautsar kelahiran Pidie 22 November 1977, sulung dari delapan bersaudara. Masa kecilnya di Banda Aceh. Ia sempat ikut pendidikan pesantren Darunajah di Bogor selama satu tahun. Menginjak sekolah menengah umum, remaja Kautsar memilih sekolah di Malaysia.

Lulus sekolah, dia masuk Fakultas Syariah IAIN Ar Raniry di Banda Aceh angkatan 1995. Selama masa kuliah, ia terlibat beberapa demonstrasi. Pada 1999, Kautsar ikut memimpin boikot pemilihan umum di Aceh. Alhasil 70 persen penduduk Aceh boikot.

Mereka memilih referendum internasional di Aceh. Awal 2001, ia menentang keberadaan perusahaan minyak Exxon Mobil di Lhokseumawe dan dipenjara empat bulan.

Bebas sebentar, pada Agustus 2001, ia kembali ditahan oleh polisi Aceh Utara sesudah mengatur sebuah istigosah dengan 5,000 peserta. Mereka menuntut perluasan zona damai yang saat itu, di setiap kabupaten, hanya satu kecamatan. Kautsar ditahan 20 jam. Tahun itu juga kuliahnya terputus.

Kautsar lalu memimpin sebuah organisasi bernama Klandestine Politik Gerakan Sipil Rakyat Aceh. Anggota organisasi ini tersebar di Medan, Jogjakarta, Jakarta, Malaysia dan Denmark. Total anggotanya 275 yang bisa digerakkan 24 jam. Menurut Kautsar, organisasi ini tak ada hubungan struktural dengan Gerakan Acheh Merdeka.

Mereka berhubungan dengan kelompok solidaritas Aceh yang tersebar di Australia, Thailand, Timor Leste, Filipina, beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat. Kelompok-kelompok ini membantu kampanye perdamaian di Aceh. Mereka juga sering membantu proses perginya aktivis-aktivis Aceh ke luar negeri.

Akhir 2002, Kautsar ikut mengatur demonstrasi sekitar 20 ribu orang yang menuntut perdamaian di Aceh. Tentara Indonesia membuka tembakan dan tiga orang terluka. Polisi bukannya menyelediki si penembak tapi malah memanggil Kautsar. Dia menolak panggilan polisi. Maka nama Kautsar pun masuk Daftar Pencarian Orang.

“Pilihan saya hanya dua, keluar dari Aceh atau bergabung dengan satuan bersenjata Aceh,” kata Kautsar kepada saya.

Ayahnya, saat itu ketua DPRD Aceh, beberapa kali minta Kautsar menyerahkan diri. Kautsar mengatakan dia tidak mau berlindung di balik kuasa bapaknya. Dari awal, prinsip bapak dan anak ini bertolak belakang.

Kautsar ingin Aceh merdeka dari penjajahan Indonesia, namun “Abu Yus” memilih bekerja sama dengan Indonesia. “Jabatan ayah saya, tidak menjamin keselamatan saya. Ia hanya elit politik sipil lokal,” katanya.

Maka Kautsar pun masuk hutan. Ia mengagumi Tengku Abdullah Syafi’ie, panglima perang Aceh, yang mati ditembak tentara Indonesia pada 2001. Apabila ketemu tentara Indonesia, berbagai cara dilakukan Kautsar, termasuk menyamar. “Warga Aceh sangat mendukung perjuangan kami, setiap kali memasuki perkampungan, mereka meninggalkan makanan untuk kami di sawah-sawah dan ladang.”

Namun makanan tak setiap saat bisa ia temui. Kautsar dan teman-temannya pernah tidak menemukan makanan dalam waktu satu minggu. Pihak logistik GAM hanya menaruh makanan di titik-titik tertentu.

Menurut Kautsar, perjalanan masuk hutan membuatnya sadar bahwa mayoritas warga Aceh ingin lepas dari penjajahan Indonesia. Tak mungkin GAM bertahan berpuluh-puluh tahun jika penduduk Aceh menentangnya. Jumlah anggota GAM jauh lebih sedikit dibandingkan penduduk Aceh. Tentara dan polisi Indonesia ada hingga 40,000 orang di Aceh.

Dalam pelarian, tiga temannya –Mochlis, Zulfikar dan Zakaria– hilang diculik intel Indonesia. Hingga kini keberadaan mereka tak diketahui. Kalau mati, mayatnya juga tak ditemukan. Kautsar perlahan-lahan membangun jaringan berbagai mahasiswa di berbagai wilayah. Sebagai buron ia lebih sering berada di daerah perkampungan bersama warga desa-desa Aceh.

“Menjelang magrib, orang tua, anak muda berhamburan dari gubuk-gubuk sederhana, mereka berjejer di gang-gang sempit, membawa air minum, dan makanan untuk kami.”

“Mereka mendoakan kami, agar Tuhan memberi keselamatan dan panjang umur buat kami.”

Dalam masa pelariannya, Kautsar menikah dengan seorang perempuan bernama Arabiyani. Pernikahannya sangat rahasia. Hanya orang tua perempuan yang diberitahu. Ini biasa untuk orang GAM guna menghindar tindak kekerasan oleh tentara Indonesia.

“Tidak sedikit istri-istri anggota GAM, yang diculik oleh TNI untuk ditukar dengan suaminya,” kata Kautsar. Setelah pernikahan, Kautsar memutuskan bergerilya bersama anggota GAM. Situasi keamanan semakin kacau sesudah Presiden Megawati Soekarnoputri menyatakan Aceh darurat militer pada Mei 2003.

“Kami sangat sedih harus berpisah, tapi istri saya perempuan tegar,” kata Kautsar. Pasangan ini belum dikaruniai anak.

Awal 2004, Kautsar memutuskan kerja clandestine di luar Aceh. Tujuan pertamanya Medan. Keluar dari Aceh saat itu tidak gampang. Aceh ibarat penjara raksasa yang dijaga serdadu-serdadu Indonesia. Ada beberapa lapis keamanan yang harus dilalui.

Sebuah Chevrolet pick-up membawa Kautsar bersama seorang temannya. Mereka menyamar sebagai tukang buah-buahan. Pick-up itu berisi buah mangga. “Untuk menguhindari rasa takut, sepanjang jalan kami mendengarkan lagu Bob Marley,” Kautsar mengenang.

Suatu saat, satu regu tentara Indonesia memberhentikan Chevrolet. Kautsar menunjukkan kartu identitas dan pura-pura mengecek barang-barang bawaan. “Beruntung, penampilanku memang mirip tukang buah-buahan,” Kautsar tertawa geli.

Kautsar lolos dan tiba di Medan. Kautsar pun berkoordinasi dengan struktur organisasi di Medan. Tujuan berikutnya Jakarta lantas Kuala Lumpur.

Ketika tsunami menghantam Aceh Desember 2004, Kautsar berada di Singapura. Keluarga intinya lolos dari tsunami. Arabiyani sedang berada di Jakarta. Tsunami mendorong European Union menekan Jakarta agar berunding dengan GAM. Wakil Presiden Jusuf Kalla beserta politisi etnik Bugis mengambil inisiatif berunding.

Kautsar diundang ikut pertemuan antara pemimpin GAM di Stockholm. Pertemuan itu membahas langkah-langkah perdamaian. Dia bertemu Hasan di Tiro, wali nanggroe Aceh, yang dianggapnya, “simbol pertama perlawanan Aceh.” Hasan di Tiro menyatakan Aceh merdeka dari “Republik Indonesia Jawa” pada 4 Desember 1976. Pada 1978, Hasan di Tiro lari dari Aceh dan pindah ke Stockholm.

Pertemuan kedua berlangsung di Kuala Lumpur. “Kelompok kami adalah salah satu elemen yang mendesak adanya peace talk antara GAM dengan pemerintah Indonesia. Dalam setiap kampanye yang diserukan adalah perdamaian untuk Aceh,” kata Kautsar.

Kautsar mengatakan dia ingin kemerdekaan di Aceh, namun perundingan Helsinki adalah kompromi terbaik selain melepaskan diri dari Indonesia. Kautsar kini jadi sebagai sekretaris Persaudaraan Aceh, sebuah organisasi massa. Ia juga rajin memantau proses pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh.

Menurut Kautsar, yang terpenting dalam RUU tersebut adalah kewenangan pemerintah Aceh dalam menjalankan pemerintahan sendiri selain pembagian kekayaan alam.

“Keinginan saya sebenarnya sangat simpel, bisa hidup menjadi manusia, punya peradaban dan menikmati hingar bingar metropolitan, dan itu akan tercapai setidaknya apabila Aceh merdeka.”*

kembali keatas

by:Mulyani Hasan