Bayi Partai Lokal

Samiaji Bintang

Tue, 25 April 2006

Hasil pembahasan rancangan undang-undang Aceh didoakan memberi harapan baru. Bukan saja untuk warga Aceh, tapi juga orang-orang daerah lain yang sakit hati dengan dominasi Jakarta selama ini. Satu di antara harapan mereka adalah pendirian partai lokal.

TAK salah jika banyak politisi di luar Jakarta menanti hasil pembahasan rancangan undang-undang Aceh. Orok ini didoakan agar memberi harapan baru, bukan saja untuk warga Aceh, tapi juga orang-orang daerah lain yang sakit hati dengan dominasi Jakarta selama ini. Satu di antara harapan mereka adalah pendirian partai lokal.

Sesudah pemilihan umum 1955, Indonesia hanya memperbolehkan orang bikin “partai nasional” –partai yang markasnya harus di Jakarta dan punya cabang di lebih dari separuh provinsi, dimana setiap provinsi punya ranting di lebih dari separuh jumlah kabupaten.

“Partai nasional” ini sering gagal memperjuangkan jeritan rakyat di daerah. Tengok saja kisruh dalam pemilihan beberapa kepala daerah. Jakarta sering punya jago yang berbeda dengan pilihan konstituennya di daerah.

Kehadiran para pembesarnya hanya ketika ajang suksesi. Selebihnya hanya mendikte orang-orangnya di daerah. Akibatnya vox populi lebih sering berlawanan arus dengan wakil rakyatnya. Proses demokrasi jadi macet.

Di Senayan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menghadang pendirian partai lokal. Dalam rapat kerja panitia khusus Aceh dengan pemerintah minggu lalu, partai ini tegas mendesak agar bab soal partai lokal dicoret dari rancangan undang-undang.

Jika menyangkut aspirasi masyarakat di daerah, kata Irmadi Lubis dari PDIP bilang, "Bisa ditampung dalam partai nasional."

PDIP berpendapat partai lokal, katakanlah yang berpusat di Kutaraja, Manado, Port Numbay, Pontianak, Ende atau Kupang, justru menggembosi partai nasional. Buntutnya, ini akan memecah “negara kesatuan” Indonesia.

"Partai lokal mendistorsi partai-partai nasional yang selama ini sudah dibangun," ungkap Lubis.

Namun partai lokal bukan makhluk baru. Dalam pemilihan umum 1955, yang menurut banyak sejarawan demokratis, ada beberapa partai politik lokal yang ikut bersaing merebut kursi di parlemen. Mereka tak terbukti menggerogoti negara kesatuan.

Dari tanah Sunda kala itu ada Partai Rakyat Desa, Partai Rakyat Indonesia Merdeka, Gerakan Pilihan Sunda, Partai Tani Indonesia, dan Gerakan Banteng. Dari Pontianak, ada Persatuan Daya –sebuah organisasi politik Dayak yang didirikan sejak zaman Hindia Belanda. Lalu di Jogjakarta muncul Partai Gerinda. Dari Pulau Lombok, didirikan Persatuan Indonesia Raya. Mereka semua tak punya markas di Jakarta. Semua bermarkas di daerah serta hanya memperjuangkan kepentingan kecil di sekitar mereka.

Mereka berkompetisi dengan partai besar dengan asas yang aneka warna macam Partai Nasional Indonesia, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia atau Masyumi, yang semua berpusat di Jakarta.

Berdasar penelitian Herbert Feith dari Universitas Monash, umumnya partai-partai ini kalah dalam pemilihan 1955 kecuali di daerah asalnya. Lepas dari kegagalan dan prestasinya, masing-masing partai lokal sudah menyemarakkan demokrasi di negeri yang punya ragam akar budaya ini.

Di Senayan, ada politisi yang berseberangan pendapat dengan PDIP. Bahkan mayoritas sepakat dengan rancangan mengizinkan pendirian partai lokal. Partai lokal lebih dapat mengakomodasi aspirasi masyarakat di daerah.

Muchtar Aziz dari Partai Persatuan Pembangunan di Aceh, beralasan selama 30 tahun lebih politisi Aceh umumnya tak pernah terlibat dalam kepengurusan partai.

Teuku M Nurlif, wakil rakyat asal Aceh di Golongan Karya melihat niat pembentukan partai politik lokal bukan hanya diamanatkan kesepakatan RI-GAM di Helsinki namun malah memperkuat demokrasi dan peran partai di tingkat lokal.

"Tidak masalah jika harus mengamandemen undang-undang lain, seperti undang-undang soal partai politik," tegas Nurlif.

Posisi pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendukung pembentukan partai lokal di Aceh. Itu tertuang dalam bab tersendiri pada draft buatan Departemen Dalam Negeri. Di situ ditekankan bahwa asas, ciri dan cita-cita partai lokal tidak boleh bertentangan dengan demokrasi, keadilan, kesejahteraan, perdamaian dan kemanusiaan.

Pada ayat lain dijelaskan mengenai tujuan umum partai lokal. Antara lain memperjuangkan hak-hak politik, sosial, agama, ekonomi, budaya, adat istiadat, keamanan dan ketertiban masyarakat Aceh dalam kerangka “Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Maksud klausul ini, menutup celah bagi Gerakan Aceh Merdeka mendirikan partai legal dengan tujuan memerdekakan Aceh dari Indonesia.

Mungkin ini berkaca dari pengalaman di Eropa dan Kanada. Disana partai lokal, tentu saja, diakui sebagai bagian dari demokrasi. Beberapa di antaranya punya tujuan tegas: memerdekakan diri. Di Bavaria, ada partai yang tujuannya memisahkan diri dari Jerman. Di Spanyol ada partai lokal Catalonia, the Basque lands, dan Galicia. Begitu juga di Kanada, ada Parti Quebecois yang memiliki tujuan memerdekakan Quebec.

Di harian The Jakarta Post, kolumnis Aboeprijadi Santoso dari Radio Nederland memperkirakan GAM saat ini tengah menyiapkan langkah mendirikan partai politik guna bersaing dalam pemilihan lokal. Santoso sangat kenal Aceh dan sering mewawancarai para pemuka GAM di Stockholm, Swedia.

"This and the elections for local chiefs will be GAM’s litmus test to prove its claim of popular support – a means to legitimize its new course," tulis Aboeprijadi.

Kembali ke Senayan, kendati nantinya diatur dalam undang-undang, pemerintah bakal mengeluarkan aturan khusus persoalan teknis pembentukan partai lokal. Menteri Dalam Negeri Muhammad Ma’ruf menegaskan dia sudah memiliki rancangan peraturan pemerintah ini.

Ma’ruf memastikan, selain peraturan tentang partai politik lokal, pemerintah juga akan menerbitkan peraturan soal pembagian kewenangan begitu undang-undang Aceh kelar. "(Ini) antisipasi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam MoU. Untuk partai lokal kami beri waktu hingga 2007," katanya.

Namun ini ditolak Imam Syuja’. Legislator asal Aceh dari Partai Amanat Nasional ini menilai urusan partai lokal tak perlu ditangani Jakarta. Sebagai orang Aceh, dia khawatir bakal banyak campur tangan Jakarta yang mengempiskan eksistensi partai lokal. Dia berujar, "PP tidak perlu ada. Cukup diatur dalam qanun."

Dalam bahasa Melayu, qanun sama dengan hukum atau peraturan. Namun dalam versi pemerintah di Jakarta, qanun hanya setingkat peraturan daerah.

Legislator Bintang Pelopor Demokrasi, Muhammad Fauzi, sependapat dengan Syuja’. Kalau Jakarta menerbitkan PP, mestinya PP itu hanya berisi pendelegasian, "agar urusan pembentukan partai lokal diatur dalam qanun."

Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra tak setuju dengan Syuja’ dan Fauzi bila urusan partai lokal diserahkan ke daerah. "Undang-undang yang kita bahas tidak berniat untuk mengamandemen undang-undang lain. Karena ini (UU) khusus untuk Aceh," jelasnya.

Dia menambahkan peraturan Jakarta soal partai lokal bisa mengilhami masyarakat di luar Aceh untuk mendirikan partai lokal. Bukan mustahil jika partai lokal menjadi partai nasional.

Konon banyak daerah sudah siap mendirikan partai lokal. Irmadi Lubis mengatakan isu partai lokal ini bakal menggelinding bak bola salju ke luar Aceh. Bahkan hingga ke Papua.

Lantas bagaimana nasib partai-partai nasional? Tarik ulur partai lokal belum selesai. Ketua Panitia Khusus Ferry Mursidan Baldan usul agar pembahasan partai lokal dibahas dalam panitia kerja. Sekedar diketahui, selama ini tiap pembahasan legislasi di forum panitia kerja agak tertutup.

Kelahiran orok tambah bikin cemas. GAM dan penduduk Aceh menduga-duga apakah orok yang lahir bakal sehat? Atau malah penuh cacat setelah dibidani pemerintah dan legislator di Senayan?

kembali keatas

by:Samiaji Bintang