Vivat Padma

Muhammad Nasir

Wed, 8 March 2006

Suka-duka sebuah lembaga bantuan untuk korban tsunami Aceh, yang melibatkan para pastor Katholik dari Flores.

SULAIMAN tampak letih. Dia tiba di posko kemanusiaan itu sejak pagi, ditemani dua anak muda yang sedesa dengannya.

“Kami diminta datang ke posko ini, bertemu Pak Raymundus. Mungkin beliau akan memberi sesuatu bantuan untuk kami,” kata Sulaiman kepada saya.

Sulaiman masih tinggal di barak hunian sementara atau populer disebut Huntara, di desa Cot Patisah, Seunuddon, Aceh Utara. Desa asalnya, Meunasah Sagoe, berjarak tiga kilometer dari barak, pada 26 Desember 2004 hancur dihantam tsunami. Rumah keluarga Sulaiman tinggal kenangan.

Bantuan rehablitasi rumah belum dia terima. Kendati penyakit paru-parunya kerap kumat, Sulaiman memaksakan diri bertahan di barak. Penyakit itu membuatnya terlihat ringkih di usia yang belum seberapa tua, 55 tahun. Dia makan dari sembako bantuan. Dia berobat dengan layanan kesehatan seadanya.

“Seminggu lalu saya mendatangi Pak Raymundus di Lhokseumawe, saya utarakan keinginan untuk membuka kios bensin. Saya ingin punya mata pencaharian lagi. Cuma saya tak punya apa-apa lagi selepas tsunami,” ujarnya.

‘Pak Raymundus’ yang disebut-sebut Sulaiman adalah Manager Wilayah Lhokseumawe Vivat International Padma Indonesia atau lebih dikenal dengan Vivat Padma, sebuah Non Government Organisation (NGO) yang berbasis di Roma. Untuk wilayah Lhokseumawe, Aceh Utara, NGO ini membuka satu-satunya posko bantuan di kecamatan Seunuddon.

Raymundus sendiri bernama lengkap Raymundus Rede Blolong, SVD. Sebelum ke Aceh pada Februari 2005, dia adalah pastor di sebuah gereja Katolik di Kabupaten Sikka, Pulau Flores. Selain itu dia juga dosen antropologi di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Santa Paulus di Sikka.

“Kalau SVD di belakang nama Anda itu, apa?” tanya saya, ketika menemuinya di kantor Vivat di Jalan Merdeka Timur, Cunda, Lhokseumawe.

Raymundus tak langsung menjawab, melainkan menjelaskan sejarah Vivat. NGO ini berdiri pada 18 November 2000 dan kemudian diakreditasi ke dalam Ecosoc atau Economic and Social Council di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 30 Juli 2004.

Vivat dibentuk pemimpin dua tarekat Katolik, Servarum Spiritus Sancti (SSpS) dan Societas Verbi Divini (SVD), berbasis di New York, Amerika Serikat. Setiap anggota tarekat mendapat embel-embel SSpS atau SVD di belakang nama mereka.

“SVD itu singkatan Latin, dalam Bahasa Indonesia artinya kira-kira Serikat Sabda Allah, sebuah komunitas religius dalam Katolik,” kata Yohanes Don Bosco, Koordinator Lapangan Vivat Padma di Seunuddon.

Yohanes juga seorang pastor. Dia berasal dari Kota Ende, Flores. Sebelum tiba di Seunuddon sebulan lalu, dia bertugas sembilan tahun di Togo, Afrika Barat, menjalankan misi gereja Katolik.

Ketika saya menemuinya di Posko Vivat Padma di desa Tanjong Pineung Seunuddon, Yohanes baru saja pulang dari lokasi proyek bantuan.

“Kami sedang membangun sebuah rumah sederhana untuk orang cacat, namanya Teungku Puteh. Lokasinya di desa Alue Barueh,” kata Tarmizi, relawan setempat, yang mendampingi Yohanes.

Siang itu Tarmizi dan rekan-rekannya pulang ke posko untuk makan siang. Di posko ada seorang perempuan yang menjadi juru masak. Menjelang tengah hari para pekerja lapangan berkumpul untuk makan bersama.

Dua belas relawan setempat direkrut Vivat Padma untuk bekerja di lapangan, termasuk Tarmizi. Seorang bruder bertindak sebagai koordinator para relawan itu.

“Saya cukup betah kerja di sini. Selain dapat gaji tetap Rp 2 juta per bulan, Pak Raymundus juga cukup memperhatikan para relawan. Kami sering dikasih uang pulsa dan uang minyak. Lebaran lalu dikasih uang untuk beli daging,” kata Tarmizi.

Menurut dia, Raymundus membina hubungan cukup baik dengan para relawan. Pada waktu tertentu dia malah bertandang ke rumah mereka.

Yusuf Basyah, rekan Tarmizi, membenarkan. Sebelum bekerja untuk Vivat, dia buruh panjat kelapa di desanya. Sesekali Yusuf juga membuat krei, tempahan kulit batang rumbia yang dijalin mirip tikar.

“Beberapa kali Pak Ray datang ke rumah saya. Anak-anak juga sudah kenal beliau,” kata Yusuf yang sempat mengecap pendidikan hingga kelas empat sekolah dasar. Dari penghasilan bekerja di Vivat, dia mampu membeli sepetak tanah di desanya. Sepetak lainnya dimiliki dengan cara gadai dari warga sedesa, juga dengan uang hasil kerja sebagai relawan.

Semula Yusuf direkrut sebagai tukang masak di posko, berbeda dengan Tarmizi yang sejak awal di lapangan.

Tanggung jawab Tarmizi meliputi tiga desa tsunami, yakni Ulee Rubek Timur, Ulee Rubek Barat, dan Lhok Pu’uk. Dia mulai bergabung dengan Vivat pada Juni tahun lalu. Selain itu, ada enam desa lagi yang menjadi wilayah kerja Vivat, yakni Teupin Kuyuen, Matang Lada, Matang Panyang, Matang Puntong, Meunasah Sagoe, dan Bantayan.

Para relawan Vivat memperoleh sepeda motor untuk operasional. “Yang telah diberikan sebanyak tujuh unit. Memang motor bekas seharga Rp 7 jutaan. Kendaraan itu nantinya menjadi hak milik mereka,” kata Pastor Yohanes. Selain dapat sepeda motor, mereka memperoleh asuransi jiwa.

SULAIMAN memesan makanan dari warung di sebelah posko. Dia tetap ingin menunggu Raymundus. Dia tak putus asa.

“Dalam tiga hari ini Pak Ray selalu datang, biasanya di atas pukul 10.00. Mungkin sebentar lagi tiba,” kata Nursiah, penjaga warung.

Posko Vivat menempati salah satu rumah toko (ruko) yang berbanjar empat itu. Salah satu ruko menjadi kantor Program Pengembangan Kecamatan Seunuddon.

Posko Vivat dicat warna khas luar dalam. Bidang dinding terbagi dua oleh warna. Bagian atas dicat kuning muda, sedang bagian bawah dicat hijau muda. Dua stiker berlogo Vivat Padma menempel di dinding. Stiker yang sama bisa dijumpai di tiap bangunan atau kios bantuan NGO ini.

Ruangan dalam posko ditata sederhana, bahkan terkesan darurat. Jangan harap merasakan dingin dari penyejuk ruang di sini. Langit-langit ruang dilapisi plastik biru. Lantai semen terasa agak basah. Sebuah tilam kapuk beralas tikar pandan terletak di sudut. Di sebelahnya, empat unit mesin perahu teronggok.

Zainal Abidin Syam, salah satu warga Tanjong Pineung, melukiskan kesederhanaan Vivat. “Pak Raymundus datang ke sini pakai labi-labi. Sering juga saya lihat naik RBT (ojek),” ujarnya, seraya menunjukkan sebuah labi-labi tua yang parkir tak jauh dari posko. Labi-labi adalah sebutan orang Aceh untuk mobil angkutan umum.

Namun, pada bulan Mei 2005, posko Vivat Padma yang berada tepat di seberang masjid itu pernah digerebek warga. Pasalnya, posko tersebut ditempati sejumlah relawan laki-laki dan perempuan.

“Mereka tidur bersama di situ, padahal setahu kami di ruko itu hanya ada satu kamar,” kata Zainal.

Raymundus membenarkan kejadian tersebut. Ketika itu pihaknya tak banyak paham tentang adat istiadat setempat. Para relawan perempuan, termasuk para suster dan biarawati dari Pulau Timor, NTT, ditempatkan bersama relawan laki-laki di satu posko. Mereka juga kurang memperhatikan waktu-waktu orang beribadah di masjid.

“Setelah kejadian itu para suster kami pindahkan dari posko. Dan kami telah meminta maaf kepada masyarakat setempat, juga tokoh-tokoh di Seunuddon,” kata Raymundus.

Pengertian pun terjalin. Para tokoh masyarakat dari desa-desa yang terkena tsunami berharap Vivat Padma tetap meneruskan misi kemanusiaannya di kecamatan itu.

Andaikata saat itu masyarakat menolak, Raymundus sudah siap angkat kaki. Tapi di hati kecilnya tak ingin meninggalkan para korban tsunami yang belum lepas dari trauma bencana.

“Dari informasi yang kami dapat Seunuddon itu letaknya terpencil, masyarakatnya unik, dan sebelumnya dikenal rawan keamanan. Makanya NGO lain enggan membangun posko di sini, tapi kami memilih tinggal di sini,” kata Raymundus, lagi.

Vivat Padma punya aturan untuk para relawan. Mereka tak boleh tinggal di hotel. Mereka harus tidur di tempat yang tak jauh beda kondisinya dengan para korban bencana, supaya bisa merasakan kepedihan hidup. Mendapat fasilitas mewah, seperti mobil double cabin, juga nonsens.

“Satu-satunya mobil yang kami punya, ya labi-labi yang sering saya pakai ke Seunuddon. Mobil bekas itu kami beli di sini, harganya Rp 23,5 juta,” ujar sang pastor.

NGO ini membagi anggarannya dengan perincian 80 persen untuk membantu korban dan maksimal 20 persen untuk biaya operasional. Sebagian besar bantuan diarahkan untuk pemberdayaan ekonomi, khususnya untuk menggiatkan kembali mata pencaharian para korban tsunami. Selama setahun mendampingi korban tsunami di Seunuddon, Vivat Padma telah membantu 729 kepala keluarga (KK).

Wujud bantuannya macam-macam, seperti mesin jahit, perahu nelayan, gedung sekolah, sepeda motor, dan surat izin mengemudi. Anggaran yang sudah dikeluarkan untuk itu sebesar Rp 1,5 milyar.

“Kami sebenarnya NGO yang sangat miskin dibanding NGO-NGO lainnya. Tapi kami berprinsip, membantu walau sedikit tapi dapat dirasakan langsung oleh korban. Ada sekitar 900-an KK lagi yang telah terdata dan akan kami bantu. Saat ini kami sedang meneruskan bantuan untuk rehabilitasi tambak, ini nilainya akan lebih besar,” kata Raymundus.

Barangkali di antara yang 900-an yang akan dibantu Vivat, termasuk Sulaiman. Siang itu dia dipanggil masuk ke posko dan tak sampai 10 menit kemudian dia keluar dengan sebuah amplop di tangan.

“Ini bukan modal bensin, tapi hanya sedikit uang,” ujar Sulaiman, seraya senyum senang.*

kembali keatas

by:Muhammad Nasir