Sekolah Impian

Nani Afrida

Fri, 17 March 2006

Kondisi pendidikan di Kabupaten Aceh Jaya setelah setahun tsunami. Proses belajar-mengajar masih berlangsung di tenda.

KABUPATEN Aceh Jaya tak seperti dulu. Daerah hijau yang bertetangga dengan laut biru itu kini gersang. Debu-debu beterbangan ditiup angin. Panas makin terik.

Dari semua kabupaten di Aceh, Aceh Jaya paling parah diterjang tsunami. Kerusakannya lebih dari 80 persen. Lima dari enam kecamatan rata.

Bupati kabupaten itu adalah Zulfian Ahmad. Tsunami membuatnya kehilangan istri dan empat anak. Saat kejadian Zulfian ada di Banda Aceh dan dia pun selamat.

Zulfian bertubuh gempal, agak pendek. Kacamata besar bertengger di hidungnya. Sebelum tsunami saya sempat bertemu Zulfian beberapa kali.

Akhir Februari lalu saya mengunjunginya lagi di kantor bupati yang dibangun darurat. Saya pangling melihat Zulfian. Tubuhnya jadi kurus dan terlihat kuyu.

“Pascatsunami kami bahkan tidak memiliki kertas selembar pun untuk memulai pemerintahan,” kisahnya kepada saya.

Zulfian tak mengada-ada. Dengan sebuah mesin tik pinjaman, dia berupaya menjalankan roda pemerintahan. Ketak-ketik… ketak-ketik… Namun setelah setahun, belum ada perubahan berarti. Menurut Zulfian, baru sepuluh persen kemajuan yang diraih Aceh Jaya.

Kondisi jalan tetap buruk. Jembatan banyak yang mulai rusak kembali. Akibatnya, bahan bangunan sulit diangkut melalui jalan darat. Pembangunan jadi terhambat. Tak terkecuali untuk bidang pendidikan.

KETIKA hari sedang terik di Kecamatan Teunom, saya berkenalan dengan Srikandi. Ia duduk di kelas enam Sekolah Dasar No.1 Keude Teunom. Usianya 12 tahun.

Srikandi tinggal bersama keluarganya di sebuah pondok sederhana, karena tsunami menghancurkan rumah mereka.

Sekolah Srikandi berbentuk tenda. Satu tenda berisi 2 kelas yang berbeda. Hari ini Srikandi belajar Bahasa Indonesia, sementara kelas di sebelahnya belajar Matematika. “Sulit konsentrasi,” kata gadis cilik itu.

Tenda yang ditempati Srikandi dan teman-teman nyaris rusak. Banyak lubang. Bila siang hari, panasnya jangan ditanya. Dan bila hujan, terpaksa para siswa mengungsi ke bangunan semi permanen yang dijadikan kantor guru.

Kondisi belajar-mengajar itu makin terganggu ketika ada gempa atau angin ribut. Para murid akan kocar-kacir keluar dari tenda, yang hanya berjarak 100 meter dari laut.

“Jantung saya berdebar-debar kalau gempa. Sekolah ini ‘kan dekat laut. Takut tsunami lagi,” kata Srikandi.

Ada 79 anak yang bersekolah di sini. Sebelumnya tercatat 140 siswa. Tiga puluh siswa tewas dibawa gelombang tsunami, sedang sisanya entah ke mana.

Seperti murid sekolah lainnya, Srikandi mendapat pekerjaan rumah (PR) dari guru. Tetapi, “Di pondok kami belum ada listrik, jadi kalau malam susah belajar,” katanya, tersenyum malu-malu. “Jadi saya jarang mengerjakan PR.”

Kebiasaan tak membuat PR bukan hanya dialami Srikandi, tetapi juga banyak siswa di sekolah tersebut. Para guru terlihat pasrah.

Yusriani, salah seorang guru, cuma bisa mengelus dada kalau para murid tak mengerjakan PR.

“Kami terpaksa tidak terlalu ketat memperlakukan para siswa. Kami tahu kalau mereka masih trauma. Jadi kami tidak memaksakan mereka,” kata Yusriani.

Menurut Yusriani, trauma psikologis akibat tsunami juga menyebabkan mutu pelajaran menurun drastis. Selain itu proses belajar-mengajar baru dimulai bulan April 2005 lalu dan sangat ketinggalan dibanding sekolah lain di Indonesia.

Terbukti saat ujian akhir, dari 15 murid kelas enam, hanya 12 yang lulus. Itu pun setelah mengikuti ujian sebanyak dua kali dan nilai yang diperoleh pun pas-pasan.

“Yang penting kami tetap belajar. Dan anak-anak tetap bersemangat,” kata Yusriani, sambil tersenyum.

MADRASAH Tsanawiyah Swasta (MTSS) Panga hanya bisa dikenali lewat papan nama. Kendati disebut sekolah, tidak ada bangunan sekolah di situ. Yang ada hanyalah dua tenda ukuran besar dan sebuah bangunan sederhana dari kayu kelapa.

Kepala madrasah itu Abubakar Arhas. Seorang pria 40-an. Bertubuh kurus. Rambut agak keriting dan muka yang tirus membuatnya terkesan jenaka.

Saya mengunjungi sekolah Abubakar saat hujan baru saja berhenti. Tanah becek dan licin. Genangan air terlihat di mana-mana, bahkan dalam tenda.

Para siswa sedang belajar. Namun perhatian mereka tak tertuju pada guru. Mereka sibuk ngobrol. Ributnya jangan ditanya.

Abubakar mengajak saya ke kantornya yang terbuat dari kayu kelapa. Ukurannya 2 x 1,5 meter persegi. Sangat sempit. Di dalamnya cuma ada sebuah meja dan dua buah kursi. Mata saya sempat bersirobok dengan serombongan semut yang berbaris di dinding kayu kelapa itu.

Selain meja dan kursi, benda lain yang cukup mencolok adalah tiga buah piala kuningan. Ketiganya terpajang di atas rak yang dipaku asal-asalan di dinding.

“Ini penghargaan ketika sekolah menjuarai olahraga atletik dan bola voli bulan lalu,” kata Abubakar. Wajahnya berseri-seri.

Dan suaranya tak dapat menutupi kebanggaan yang terpancar dari hatinya. “Biarpun kami sekolah di tenda, tetapi bukan berarti tidak berprestasi,” ujar Abubakar, terbahak.

Abubakar kelahiran Desa Keude Panga, Kecamatan Panga, Aceh Jaya. Sejak muda dia sudah mengabdikan dirinya menjadi guru. Dan dia cocok menjadi guru karena ramah dan banyak omong.

Dia menjadi kepala sekolah di MTSS Panga pascatsunami. Sebelumnya dia menjabat kepala sekolah di Madrasah Ibtidayah Negeri Tui Teumpok, Panga. Tak jauh dari MTSS Panga yang dipimpinnya sekarang.

Abubakar korban tsunami. Seluruh keluarganya hilang. Dia selamat setelah terbawa ombak empat kilometer dari rumahnya. Sekarang Abubakar tinggal sendirian di rumah bantuan Samaritan Purse, lembaga bantuan dari Amerika Serikat.

Memimpin sekolah tenda bukan hal mudah. Dia sering stres dan prihatin bila melihat 98 siswanya bersempit-sempitan di tenda.

“Kalau hujan basah dan kalau matahari terik terpaksa kepanasan. Bagaimana bisa belajar?” katanya pada saya, dengan mimik sedih.

Mutu pelajaran, kata Abubakar, sudah pasti menurun dibanding tahun sebelumnya. Selain tidak memiliki bangunan layak, madrasah ini juga miskin fasilitas belajar dan alat olahraga.

Kebutuhan buku misalnya, hanya tersedia 40 persen dari jumlah yang dibutuhkan. Bangku dan meja juga seadanya.

Padahal dulu MTSS Panga merupakan sekolah menengah swasta favorit di Kecamatan Panga. Sebelum tsunami, sekolah ini incaran siswa. Selain mutunya cukup baik, ia dikenal sebagai sekolah dengan prestasi tinggi di bidang olahraga.

Belum ada tawaran pembangunan sekolah untuk MTSS Panga. Hal ini membuat Abubakar berduka.

“Mungkin karena sekolah ini swasta ya,” katanya, menyimpulkan sendiri.

TSUNAMI di Aceh Jaya telah menghancurkan 98 bangunan sekolah dari jumlah sebelumnya, 161. Yang terparah di Kecamatan Krueng Sabee. Di Kecamatan itu, tinggal 8 sekolah yang tegak dari 29 sekolah yang dulu ada.

Jangan heran kalau Anda melihat banyak tenda yang berfungsi sebagai gedung sekolah di sepanjang jalan Meulaboh-Calang.

Meulaboh adalah ibukota kabupaten Aceh Barat, sedang Calang ibukota kabupaten Aceh Jaya. Jarak kedua kabupaten ini sekitar tiga jam perjalanan mobil.

Pemerintah Aceh Jaya sudah mendapat tawaran dari banyak lembaga swadaya masyarakat untuk membangun kembali sekolah. Tetapi praktiknya belum tampak.

“Tetapi mereka sudah berkomitmen,” kata Zulfian Ahmad, sang bupati, serius.

Saya manggut-manggut. Meski sudah setahun tsunami berlalu, ternyata murid-murid tetap saja belajar di tenda.

Di telinga saya masih terngiang kata-kata Srikandi, “Saya ingin punya sekolah betulan. Yang punya atap dan dinding. Yang punya jendela dan berlantai. Tidak basah karena hujan.”*

kembali keatas

by:Nani Afrida