Saya Terbakar Amarah Sendirian

Ucu Agustin

Mon, 27 March 2006

Pramoedya Ananta Toer bicara soal biang pembusukan Indonesia. Pram menyebutnya sebagai "fasisme Jawa" atau "Jawanisme" yang dasarnya membuat orang selalu setia dan taat pada atasan. Pram bicara dengan Andre Vltchek dan Rossie Indira.

Resensi Buku

Saya Terbakar Amarah Sendirian

(Pramoedya Ananta Toer Dalam Perbincangan dengan Andre Vltchek & Rossie Indira)

Penyusun: Andre Vltchek & Rossie Indira

Editor: Candra Gautama & Linda Christanty

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta

Cetakan: I Januari 2006

Tebal : xxix + 131 halaman

PRAMOEDYA Ananta Toer kembali angkat bicara. Kini Pram menggugat apa yang disebutnya sebagai “fasisme Jawa” atau ”Jawanisme” –faham yang berkembang di kepulauan ini sejak ratusan tahun silam hingga hari ini.

”Jawanisme adalah taat dan setia membabi buta pada atasan,” kata Pram. Kesetiaan dan ketaatan ini membuat orang mudah bertekuk lutut kepada rezim Belanda, Jepang dan sekarang Indonesia. Fasisme Jawa ini mengakar. Fasisme Jawa ini membuat orang Indonesia hanya berdiam diri saat dijajah dan dijarah.

Dulu bangsawan-bangsawan Jawa membantu pemerintah Hindia Belanda mengatur dan mengisap kekayaan alam dan manusia di Jawa, Sumatera, Borneo, Ambon, Celebes dan sebagainya. Selama berpuluh-puluh tahun, kata Pram, Jawa mengirimkan serdadu-serdadu bayaran ke luar Jawa. Pasukan ”kumpeni” ini ikut membantai para pejuang Aceh dan lainnya yang melawan Belanda.

Keluar mulut harimau, masuk mulut buaya. Belum bebas dari kolonialisme Belanda, kuku-kuku Jepang datang mencengkeram. Cuma dalam tempo tiga hari setelah mendarat di Pulau Jawa, nyaris semua serdadu Nippon terlibat pemerkosaan massal perempuan lokal. Jepang merekrut 700 ribu petani dalam program romusha. Mereka jadi tenaga kerja paksa dan sekitar 300 ribu orang mati.

Lalu Indonesia merdeka. Tapi kenangan Pram terkait erat dengan kudeta militer di tanah Jawa pada 1965. Hiruk-pikuk Jakarta berubah menjadi sunyi. Di Sungai Brantas mayat-mayat mengapung.

Naiknya Jenderal Soeharto ke kursi presiden Indonesia dibayar nyawa dua juta penduduk di Jawa. Itu menurut versi Laksamana Sudomo, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban ketika itu. Hitungan komandan Para Komando Angkatan Darat Jenderal Sarwo Edhi Wibowo, yang langsung memimpin operasi, jumlahnya lebih mengerikan: tiga juta jiwa!

Jumlah korban itu belum ditambah lagi yang dibui, hilang entah di mana rimbanya, atau terpaksa mengasing ke negeri orang. Sedangkan Pram, dia ditangkap dua minggu setelah peristiwa pembunuhan enam jenderal.

Dari keseluruhan tahanan Pulau Buru yang berjumlah 14.000, Pram termasuk 500 orang tahanan pertama. Dia menjalani kerja paksa selama sepuluh tahun di kamp konsentrasi tersebut. Di sanalah lahir empat novel sekuel dengan judul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Mahakarya yang dikenal dengan Tetralogi Pulau Buru ini mensejajarkan Pram penulis kelas dunia.

Sadar bahwa pemerintah akan merampas tulisannya, di Pulau Buru Pram mengetik naskahnya dalam beberapa salinan. Satu salinan disebarkan di antara para tahanan, yang lain dilayangkan ke gereja. Nah, rupanya salinan naskah inilah yang kemudian diselundupkan ke luar Pulau Buru dan dikirim ke Eropa, Amerika dan Australia.

Sampai sekarang Pram masih merasa marah bila mengingat peristiwa pembakaran perpustakaan pribadi dan delapan naskahnya oleh segerombolan tentara Indonesia. ”Pembakaran buku sama dengan perbuatan setan!” ungkapnya, geram.

Amarah Pram ini direkam dalam wawancara selama empat bulan dengan pasangan suami-isteri Andre Vltchek, jurnalis dan pembuat film asal Amerika, serta Rossie Indira, anak seorang aktivis Partai Komunis Indonesia, yang bekerja sebagai arsitek dan kolumnis. Mereka merekam jawaban atas 150 pertanyaan yang diajukan Vltchek-Indira dari Desember 2003 hingga Maret 2004.

Sebelum diterbitkan di Jakarta, versi Inggris muncul duluan dengan judul Exile: Conversations With Pramoedya Ananta Toer. Dalam edisi bahasa Melayu, buku ini disunting Linda Christanty, penerima Khatulistiwa Literary Award.

image

Pram memaparkan bagaimana Jawanisme masih dominan Indonesia hari ini. Rezim Soeharto telah merontokkan cita-cita pendiri bangsa dan menggantinya dengan Jawanisme. Sejak terhentinya ”revolusi nasional” pada 1965, Pram melihat proses pembusukan yang terus-menerus. Korupsi di birokrasi kian berurat akar. Para elit dan penguasa dibiarkan menjarah sumber daya alam milik masyarakat di Aceh, Riau, Kalimantan, Papua dan sebagainya. Sedangkan para pembunuh dan jenderal-jenderalnya bebas pelesiran.

Pram mendukung Timor Leste untuk menjadi negeri yang merdeka dari Indonesia. Sekitar 180,000 jiwa terbunuh selama perang Timor. Dan Soeharto, kata Pram, harus bertanggung jawab atas kebiadaban itu.

Soeharto juga bertanggung jawab atas pembantaian ribuan orang di Aceh. Ini menunjukkan ketidakmampuan Belanda maupun Jawa menundukkan Aceh. Apalagi, seperti Pram bilang, ”Orang Aceh punya keberanian individu.”

Berbicara tentang Indonesia, diakui Pram, membuatnya kebakaran sendirian. Dia menyesali tidak lahirnya pemimpin di Indonesia sejak Soekarno. Saat ini tak ada calon presiden yang bisa dipilih karena tak ada seorang pun memiliki wawasan keindonesiaan dan prestasi individu. Begitupun masyarakatnya. Konsumtif dan cenderung acuh terhadap keadaan bangsanya.

“Yang mereka lakukan dari hari ke hari hanyalah beternak, konsumsi dan mengemis tanpa melakukan produksi!” dia geram.

Argumentasi Pram soal fasisme ini sama dengan ide kritisi terhadap Prof. Soepomo, salah satu arsitek negara Indonesia. Marsillam Simanjuntak dalam buku "Pandangan Negara Integralistik: sumber, unsur dan riwayatnya dalam persiapan UUD 1945," menerangkan bahwa Soepomo mengagumi fasisme Jerman dan Jepang. Adnan Buyung Nasution dalam tesisnya juga mengatakan rezim Soeharto lebih kejam dan membunuh lebih banyak orang dari Belanda dan Jepang.

Pram juga prihatin soal bahasa Indonesia. Di mata Pram, belakangan bahasa ini sudah menjadi brengsek. Bahkan penggunaan bahasa oleh media di negeri ini sudah kacrut. Setali tiga uang atas dunia sastra. Pram menilai tak ada seorang penulis atau seniman Indonesia yang bisa jadi simbol oposisi.

Pertanyaan-pertanyaan Vltchek dan Indira mengorek banyak sekali perasaan atau isi pikiran Pram. Termasuk solusi yang mesti ditempuh anak negeri ini supaya tak ikut menjadi busuk. Jalan keluar satu-satunya dari gelombang pembusukan ini, kata Pram, cuma revolusi! Gerakan besar yang kembali membawa Indonesia pada titik nol.

Pram mengatakan dia tak dapat lagi mengungkapkan amarah maupun gagasan revolusionernya dalam karya tulis. Dia mengaku ”benar-benar tidak bisa menulis lagi.”

Di Indonesia, bisa jadi buku hasil wawancara ini merupakan satu-satunya buku yang diberi komentar profesor termuka dari Masachussett Institute of Technology Noam Chomsky.

Chomsky tanpa ragu menyatakan buku ini, ”Memukau… pilu tiada akhir”.*


kembali keatas

by:Ucu Agustin