Masa Depan Wartawan Aceh?

Andreas Harsono

Fri, 3 March 2006

IAIN Ar Raniry dan International Center for Journalists tertarik untuk bikin sekolah wartawan yang bermutu di Banda Aceh. Bagaimana melihat hambatannya?

SEKITAR tujuh bulan sesudah tsunami, Nani Afrida, wartawan Banda Aceh yang bekerja untuk The Jakarta Post, merasa program latihan kewartawanan mengalami booming. “Seminggu ini, saya pribadi menerima tiga buah undangan pelatihan, yaitu pelatihan jurnalis soal anak, pelatihan jurnalis soal rekonstruksi, dan pelatihan jurnalis soal penyandang cacat."

Program kewartawanan memang terkesan tumpang tindih. Berbagai organisasi internasional dan nasional berlomba bikin kegiatan. Harap maklum. Aceh lagi banjir dana bantuan. Wartawan pun tak ketinggalan terkena pulutnya. Padahal, jumlah wartawan Aceh terbatas. "Tidak semua pelatihan bisa dihadiri wartawan. Atau banyak wartawan yang hadir hanya di waktu senggang saja. Sehingga hasilnya tidak maksimal," kata Nani. Pelatihan juga sering dihadiri orang yang sama.

Carolyn Robinson, mantan produser CNN dan seorang instruktur dari International Center for Journalists, sebuah kelompok asal Washington DC, merasakan hal serupa Nani. "Banda Aceh kini adalah ibukota dunia pelatihan wartawan," katanya. Robinson berada di Aceh selama dua bulan tahun lalu. Ia juga terlibat dalam pelatihan wartawan.

Sebutkan saja semuanya. Aceh Media Center. Aliansi Jurnalis Independen. ICFJ. International Federation of Journalists. Internews. Persatuan Wartawan Indonesia. Pewarta Foto Aceh. Yayasan Pantau.

Ini belum dihitung dari pelatihan yang diadakan organisasi non-media, seperti pelatihan tentang lingkungan hidup dan penyandang cacat. Ini juga belum termasuk bantuan langsung untuk media. Penerimanya mulai dari harian Serambi Indonesia hingga tabloid Acehkita, dari radio hingga televisi. Ada juga bantuan lewat Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh Nias untuk bikin media center. Entah berapa juta dollar semua nilai bantuan itu.

Sekarang Aceh banjir uang. Tapi bagaimana lima tahun ke depan? Bagaimana mutu jurnalisme di Aceh ketika uang internasional mulai mengering?

Saya sering ingat cerita Lin Neumann, konsultan Southeast Asia Press Alliance di Bangkok, yang ikut menyaksikan banjirnya bantuan internasional di Timor Lorosae pasca tindakan bumi hangus tentara Indonesia. "Waktu itu ada 33 organisasi internasional yang bekerja di Timor," kata Neumann. "Coba Anda  terka berapa jumlah wartawan Timor di Dili saat itu?"

Neumann menjawab sendiri, "Mereka hanya ada 18 orang."

Contoh lain, walau dimensinya berbeda, adalah bantuan internasional untuk media di Jakarta atau Indonesia, sesudah Presiden Soeharto turun tahta. Presiden Amerika Bill Clinton, lewat USAID, menyediakan dana US$ 33 juta untuk program masyarakat madani tahun anggaran 1999. Disana ada komponen bantuan media. Otomatis banyak organisasi Jakarta kebanjiran program. Latihan ini, latihan itu. Umur pelatihannya hanya satu hari atau paling lama satu minggu.

Tak ada program kewartawanan yang menawarkan pendidikan jangka panjang. Tak ada program menggabung teori dan praktek, seperti melatih wartawan langsung di ruang redaksi dan mengajak mereka belajar tentang perjanjian-perjanjian suratkabar serta sejarah jurnalisme. Alhasil, hari ini, mutu media Jakarta, ya tak beranjak jauh dari praktik-praktik lama zaman Soekarno dan Soeharto.

Keprihatinan ini mendorong beberapa instruktur internasional dan wartawan yang ada di Aceh mendiskusikannya. Jangan sampai pengalaman Timor Lorosae maupun Jawa terulang di Aceh.

Jim Simon, redaktur harian The Seattle Times, yang meluangkan waktu datang ke Aceh bersama ICFJ, juga merasa prihatin. Simon mendorong saya bicara lantang. Pada bulan Oktober, saya memberi ceramah di sebuah pertemuan organisasi donor media internasional di London. Eric Newton dari Knight Foundation, yang membiayai ICFJ dan Internews di Aceh, datang pada acara itu. Dia ikut mendukung program jangka panjang di Aceh. Ini sebuah janji yang tidak sering diucapkan lembaga donor.

Di Banda Aceh, Sjamsul Kahar, pemimpin umum Serambi, yang biasa berhubungan dengan ICFJ, usul agar kemungkinan bikin program jangka panjang ini dilakukan dengan Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry. Sjamsul pernah mengajar di Fakultas Dakwah IAIN Ar Raniry. Dosen-dosen fakultas dakwahnya juga punya ide bagus. Mereka ingin mengembangkan fakultas ini jadi sekolah jurnalisme yang bermutu.

Rektor IAIN Yusny Saby juga mendukung. Saya kira pilihan membuat sekolah adalah pilihan yang wajar. Perubahan sosial, banyak teoritisi menulis, paling strategis memang dimulai dari jalur pendidikan, dari sebuah sekolah.

Langkah pertama adalah bikin riset. David Case dari ICFJ ikut membantu. Robinson yang menuliskan hasilnya dalam sebuah proposal. Dia usul ICFJ membantu IAIN menghasilkan sebanyak mungkin wartawan Aceh masa depan yang bermutu sekaligus mengajak wartawan profesional, dari Aceh maupun tempat lain, terlibat dalam proses pendidikan ini. Sedangkan, misi sekunder ICFJ adalah menjadikan program di Aceh ini sebagai pilot project pengembangan pendidikan jurnalisme di perguruan tinggi lain di Indonesia.

Ini penting kalau mengacu pada penelitian doktoral Thomas Hanitzsch dari Universitas Ilmenau, Jerman. Dia menulis sebagian penemuannya dalam makalah "Rethinking Journalism Education in Indonesia: Nine Theses," yang diterbitkan jurnal Mediator dari Universitas Islam Bandung (2001).

Hanitzsch menulis bahwa mendefinisikan mutu dalam jurnalisme, dengan mengutip ilmuwan Jerman, Stefan Russ-Mohl, "Ibaratnya memaku puding ke tembok." Ia sesuatu yang sia-sia. Pada akhir abad XIX dan awal XX, dari Joseph Pulitzer (Amerika Serikat) hingga Max Weber dan Richard Wrede (Jerman), sudah memperdebatkan apa ukuran jurnalisme bermutu. Diskusinya sulit sekali, kalau tak bisa dibilang sia-sia.

Ada kubu yang berpendapat wartawan perlu sekolah jurnalisme, antara lain Pulitzer yang memberikan uang untuk mendirikan Columbia Graduate School of Journalism di New York pada 1900. Ada pula kubu yang berpendapat wartawan tak perlu belajar sekolah secara khusus namun belajar dari berbagai disiplin ilmu, antara lain orang-orang Universitas Harvard, yang mendirikan Nieman Foundation on Journalism pada 1939.

Ilmuwan Jerman, Siegfried Weishenberg, pada 1990, mencoba maju lebih kongkrit dengan memperkenalkan empat macam kompetensi yang diperlukan seorang wartawan agar bisa melakukan pekerjaannya dengan baik: (1) Kompetensi profesional, misalnya, melakukan editing, seleksi informasi, memahami komunikasi dasar dan sebagainya; (2) Kompetensi transfer, misalnya, penguasaan bahasa, presentasi informasi, berbagai genre dalam jurnalisme dan sebagainya; (3) Kompetensi teknis, misalnya, komputer, internet, disain grafis dan sebagainya; (4) Kompetensi tingkat lanjut, misalnya, pengetahuan terhadap isu liputan tertentu, ilmu-ilmu sosial, bahasa asing dan sebagainya.

Hanitzsch memakai kompetensi Weishenberg guna melakukan penelitian di tiga kota besar: Jakarta, Yogyakarta dan Medan. Kritik pertamanya, semua sekolah terkemuka di sana, dihambat oleh apa yang disebut sebagai "kurikulum nasional." Kurikulum ini membuat sekolah-sekolah terkungkung pada pikiran segelintir orang di Jakarta tentang penggunaan pendidikan untuk membangun ‘bangsa Indonesia.”

Kedua, tak ada interaksi antara pendidikan jurnalisme dan industri media. Sekolah jurnalisme punya dunia sendiri, sedangkan industri media berada di dunia yang lain. Ketiga, semua sekolah yang ditelitinya tak dilengkapi teknologi memadai. Banyak yang tak punya fasilitas internet maupun desain grafis. Kebanyakan dosen mengajarkan pengetahuan komunikasi plus mata kuliah macam Pancasila, Pendidikan Moral Pancasila, dan sebagainya.

Keempat, di Indonesia, ada 69 sekolah jurnalisme (dari D-1 hingga S-3) tapi 80 persen ada di Pulau Jawa dan Medan. Daerah timur, dari Makassar hingga Jayapura, dari Ternate hingga Kupang, adalah daerah-daerah yang tak punya sekolah jurnalisme.

Hanitzsch melihat ada ketimpangan. Hanitzsch tak meneliti Aceh, tapi dia memberikan data lengkap tentang lima sekolah komunikasi paling terkemuka di Jakarta dan Yogyakarta, termasuk Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada.

UGM misalnya, dari 16 dosen tetap, semuanya punya gelar di bidang komunikasi, namun hanya tiga orang yang punya pengalaman di bidang jurnalisme. Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Jakarta, almamater Nani Afrida, punya 10 dosen tetap, tanpa jurusan penyiaran, dan hanya enam dosen yang pernah punya pengalaman di bidang jurnalisme.

Multi Media Training Center di Yogyakarta yang didirikan Departemen Penerangan pada 1985 tak jelas masa depannya. Ia kesulitan dana sejak Soeharto jatuh. Lembaga ini tadinya untuk melatih karyawan TVRI dan RRI.

Kebanyakan sekolah menekankan kurikulum mereka pada pengetahuan komunikasi, namun kemampuan praktis di bidang jurnalisme, misalnya menulis, sedikit diajarkan. Bahkan di UGM, teknik liputan investigatif dan format pemberitaan dijadikan satu mata kuliah. Itu pun diajarkan satu semester.

Semua sekolah juga tak memberikan kesempatan mahasiswa untuk merasakan kehidupan ruang redaksi, sesuatu yang normal dilakukan sekolah elite macam Columbia Graduate School of Journalism di New York.

Proposal Carolyn Robinson ini diseminarkan di IAIN Ar Raniry pada 13 Januari lalu. Hadirin meliputi sejumlah wartawan Banda Aceh, Lhokseumawe dan Takengon. David Case dari ICFJ ikut beri masukan. Diskusinya dibuat kelompok kecil antara delapan hingga 10 orang agar semua orang bisa bicara.

Robinson mengusulkan program IAIN ini memadukan peningkatan kualitas pengajaran di universitas (university capacity building) dan pengembangan media lokal (media outreach services) dengan rincian berikut:

A. University Capacity Building

            1. Mengajak dosen luar biasa (fellows) melakukan pengajaran dan mentor

            2. Menghidupkan kembali media mahasiswa

            3. Mengembangkan kurikulum

            4. Pelatihan jurnalisme dalam Bahasa Inggris

            5. Studi lanjut dan kerja sama dengan universitas luar negeri

B. Media Outreach Services

            1. Program magang

            2. Pemberian penghargaan tahunan untuk wartawan

            3. Situs internet untuk tukar menukar informasi soal latihan wartawan

Saya sendiri dimintai Robinson memaparkan rencana tersebut. Jim Simon dan Robinson menganggap saya mengerti ide yang berkembang. Tanggapan saat seminar sangat meriah.

Yusri M. Lis dari Fakultas Dakwah mengatakan nama fakultas akan diubah jadi "Fakultas Dakwah dan Komunikasi" agar kesan publik pada fakultas ini tidak semata mengurus dakwah. "Bukan jadi uztad saja lulusannya," kata Yusri. Bahtiar Gayo dari Takengon mengatakan pers itu pilar negara. Dia berharap kelak orang berkiblat ke Aceh bila bicara masalah jurnalisme. Sjamsul Kahar mengatakan ia pernah berkunjung ke sekolah Columbia. Ternyata dosen-dosen di sana banyak dari harian The New York Times. Wartawan Aceh sebaiknya ikut mengajar di IAIN Ar Raniry. Bukan hanya dosen yang mengajar.

Murizal Hamzah dari harian Sinar Harapan mengatakan dia pernah jadi dosen luar biasa di IAIN Ar Raniry dan honornya Rp 8,000 sekali datang. Bagaimana bisa mengajak wartawan mengajar bila honornya tidak memadai? Muhammad Saleh dari mingguan Modus mengatakan bukannya wartawan tak mau beramal tapi uang itu bahkan tidak cukup buat bayar bensin.

Yusri mengatakan honor Rp 8,000 itu anggaran dari Jakarta. Tidak bisa diubah. Yusny Saby bilang, "Uang kita usahakan bersama." Uang jelas perkara sulit tapi hati jadi sejuk mendengar ucapan Yusny.

Buchari Muslim dari IAIN Ar Raniry mengatakan penguasaan bahasa Inggris sangat lemah. Dosen IAIN Ar Raniry sendiri sedikit yang mampu bahasa Inggris. Ia mengatakan prioritas justru pada bahasa Inggris, kalau perlu, dosen-dosennya dilatih di Pulau Bali.

Murizal usul ada jaringan internet di IAIN. Buchari menekankan pada komposisi kurikulum: 70% praktek dan 30% teori. Artinya, "kurikulum nasional" harus diubah. Abdul Rany dari IAIN menganggap perlu ada perbandingan kurikulum.

Banyak sekali usul dan tanggapan. Saya capek sekali jadi moderator seminar tersebut, rasanya mau pingsan, tapi juga merasa sangat senang melihat antusiasme dosen dan wartawan.

Malamnya, beberapa peserta bahkan berkumpul lagi, makan nasi Padang, dan bicara masalah praktis yang bisa dilakukan. Saya benar-benar mau pingsan.

David Case dari ICFJ cukup tanggap. Dia langsung usul mengadakan kursus bahasa Inggris untuk wartawan. Case mengusahakan dana buat seorang instruktur Aceh yang pernah sekolah bahasa Inggris di Amerika Serikat. Beberapa pemimpin media di Banda Aceh juga menawarkan program magang mahasiswa IAIN Ar Raniry di media masing-masing. Yusri minta bantuan magang di Jakarta dan Kuala Lumpur.

Usul Carolyn Robinson, kalau dikuliti satu demi satu, bukan perkara gampang. Namun saya juga merasa besar hati melihat semangat orang media dan dosen IAIN Ar Raniry. Mudah-mudahan ini mimpi yang jadi nyata.

Saya percaya bahwa makin bermutu media di suatu masyarakat, makin bermutu pula informasi yang didapat masyarakat tersebut, sehingga makin bermutu pula pola-pola pengambilan keputusan di sana. Media di Aceh akan jadi bermutu bila ada sekolah jurnalisme yang bermutu. Namun jalan masih panjang. Kalau ide Robinson ini bisa berjalan di Aceh, boleh jadi kelak Aceh bisa jadi kiblat jurnalisme bahasa Melayu?

*)Andreas Harsono redaktur Sindikasi Pantau di Jakarta dan Banda Aceh dengan weblog www.andreasharsono.blogspot.com

kembali keatas

by:Andreas Harsono