Konvoi Razia

Nani Afrida

Tue, 28 March 2006

Sejumlah wartawan Aceh mengikuti polisi syariah menggelar razia. Banyak asal tangkap. Gerobak penjual burger diangkut, salon digeledah.

imageSUARA adzan Isya berkumandang dari Masjid Raya Baiturrahman yang terletak di tengah kota Banda Aceh. Awan hitam menggantung di langit. Udara malam makin menusuk, karena angin dingin bertiup.

Tak jauh dari Baiturrahman, di kantor walikota Banda Aceh, ada kesibukan tersendiri. Ruang Pelaksana Peraturan Daerah (Paperda) yang terletak di pojokan dipenuhi anggota Paperda dan wilayatulhisbah atau sering disebut sebagai polisi syariah.

Setelah briefing, mereka bersama-sama mengambil air wudhu untuk shalat Isya berjamaah di masjid.

Wilayatulhisbah di Aceh populer dengan sebutan WH. Tugas mereka menindak perempuan Islam yang tak mengenakan busana muslim, menangkap pasangan beda kelamin yang berdua-duaan (khalwat), dan meringkus pemabuk (khamar) serta penjudi (maisir). Keempat hal tersebut memang sudah diatur dalam qanun atau peraturan daerah. Hukum terberat bagi pelanggar qanun adalah hukuman cambuk.

Dalam melaksanakan tugas ini, wilayatulhisbah dibantu Paperda. Maklum, mereka belum memiliki wewenang sebagaimana Paperda yang berstatus pegawai negeri sipil alias PNS. Meski begitu seragam sudah paten. Setelan hijau-hijau.

Petugas Paperda berseragam coklat. Di kota besar seperti Jakarta, anggota Paperda bertugas menertibkan pedagang kaki lima atau penjual sayuran di pasar agar tak berjualan di jalur kendaraan lewat atau sembarang tempat.

Serombongan wartawan, termasuk saya, tiba di kantor walikota malam itu. Kami mendengar kabar bahwa razia syariah Islam akan dilakukan di seputaran kota selepas Isya.

SAYA pernah beberapa kali mengikuti razia syariah. Tetapi kebanyakan dilakukan siang atau sore hari.

Razia jilbab, istilah ini lebih kondang daripada razia syariah Islam, biasanya dilakukan di jalan yang sering dilewati warga. Misalnya, di jalan T.M. Daud Beureueh.

Dengan dibantu polisi atau pun petugas Paperda, wilayatulhisbah melakukan tugasnya. Semua kendaraan umum atau kendaraan bermotor diberhentikan. Targetnya perempuan-perempuan yang dianggap tak memakai pakaian yang pantas selaku muslim.

Setelah diperiksa, mereka dibawa ke kantor polisi syariah untuk diberi penyuluhan tentang cara berpakaian yang baik. Mereka biasa diangkut dengan truk reo atau mobil pick-up. Prosesi penyuluhan diakhiri dengan menandatangani perjanjian untuk tak mengulangi lagi berpakaian “kurang sopan”.

Biasanya yang terjerat razia jilbab ini adalah anak remaja atau istilah gaulnya, anak baru gede alias ABG. Mereka berjilbab, tapi mengenakan jins ketat yang memperlihatkan mata kaki.

Kadang-kadang saya kasihan bercampur geli melihat mereka. Para ABG itu malas-malasan menjawab pertanyaan. Sama sekali tidak koperatif dan terkadang terkesan asbun alias asal bunyi.

Namun saya lebih sering tersinggung melihat bagaimana petugas Paperda atau polisi memperlakukan mereka. Terkadang ada yang iseng mencolek-colek para remaja ini saat digiring ke truk. Atau mengeluarkan kalimat-kalimat menggoda.

Saya sendiri bahkan nyaris jadi target razia. Penyebabnya, karena saya memakai celana kargo berkantong banyak ketika meliput operasi tersebut.

“Ini ‘kan celana laki-laki,” kata seorang wilayatulhisbah.

“Loh, ini celana segala jenis kelamin, lagipula tidak ketat,” kata saya membela diri.

Kami sempat berdebat. Dan debat berakhir begitu dia tahu saya seorang wartawan.

Banyak kejadian aneh, tak wajar, konyol, dan tak adil yang saya temui saat razia jilbab ini. Misalnya, sewaktu masa darurat militer pada 2004 lalu, pernah suatu hari wilayatulhisbah menangkap seorang perempuan tanpa jilbab.

Si korban menangis tersedu-sedu, kemudian sibuk berbicara di telepon selulernya. Dalam hitungan menit, muncul seorang tentara beserta beberapa temannya.

Selanjutnya bisa ditebak. Sang prajurit sukses membawa sang kekasih dengan sepeda motor, menghilang dari pandangan semua orang yang melongo melihat kejadian itu.

Pernah juga di di bulan-bulan awal setelah tsunami saya melihat wilayatulhisbah menangkap tukang becak beserta anak perempuannya, hanya karena sang anak memakai jilbab tetapi blus yang dikenakan berlengan pendek.

Sang bapak yang ternyata pengungsi korban tsunami itu sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Perjalanannya tertahan karena putrinya terjaring razia. Dia langsung protes.

“Kenapa mesti becak yang ditahan, kenapa tidak mobil-mobil mewah yang diberhentikan. Mentang-mentang kami orang miskin,” katanya.

Saya masih ingat wajah lelaki itu. Matanya merah dan berkaca-kaca ketika berkata-kata.

Ini kisah sukses polisi syariah, karena kebetulan yang dirazia lebih bersikap pasrah. Di beberapa kawasan ada sedikit perlawanan. Misalnya saja di kabupaten Pidie dan kotamadya Sabang. Pelaku razia tak dibiarkan berbuat sewenang-wenang oleh warga

Ikhwan, seorang warga Pidie, nyaris membacok wilayatulhisbah dengan golok. Pasalnya, para petugas ini masuk halaman rumah Ikhwan untuk menahan Atik, pembantu rumah tangganya yang tengah menyiram bunga. Ketika itu Atik tak mengenakan jilbab. Untunglah Ikhwan selaku empunya rumah melihat kejadian tersebut. Tanpa ba bi bu dia langsung ke dapur dan menyambar golok, kemudian mengejar para wilayatulhisbah itu.

Mereka lari tunggang-langgang, menyelamatkan diri.

“Ini sudah keterlaluan. Masa’ berani masuk ke halaman rumah orang,” kata Ikhwan pada saya.

Di Sabang wilayatulhisbah kena bantunya juga. Mereka menangkap seorang gadis yang baru pulang belajar di rumah temannya pada malam hari. Orang tua si gadis protes dan tindakan ini didukung warga.

Warga mengejar wilayatulhisbah sampai ke kantornya. Seisi kantor pun diobrak-abrik. Kerusuhan berakhir setelah terjadi musyawarah.

Raja Radan, kepala subdinas Pengawasan Syariat Islam Banda Aceh, membela anak buahnya. Dia tak percaya wilayatulhisbah bertindak arogan. Menurut dia, mereka itu menjalankan tugas secara syariah Islam.

KINI rombongan petugas razia yang terdiri dari anggota Paperda dan wilayatulhisbah sudah berada di jalan T.M. Daud Beureueh, kawasan yang bila malam hari terkenal dengan gerobak burgernya.

Puluhan gerobak burger terlihat mangkal, lengkap dengan meja dan bangku kecil untuk para pembeli. Para pengusaha burger ini kebanyakan anak muda. Mereka menjajakan dagangannya dari pukul 17.00 hingga pukul 23.00. Kadang-kadang terdengar musik hip hop atau disko dari gerobak-gerobak tadi. Lampu-lampu kecil atau lampion merah digantung. Suasananya jadi agak remang-remang. Namun letaknya yang di pinggir jalan membuat anak-anak muda enjoy nongkrong di situ.

Rombongan petugas razia berhenti di kedai burger “Gondrong”, salah satu gerobak. Para penjual langsung diinterogasi. Para pembeli kena razia. Yang kebetulan sedang duduk dengan lawan jenisnya dan atau tanpa jilbab langsung digiring ke mobil.

Petugas Paperda mengangkut semua milik penjual burger tersebut, termasuk tenda dan bangku-bangku.

“Ini semua disita, supaya jadi pelajaran untuk tidak menggunakan lampu remang-remang,” kata seorang petugas paperda dengan suara yang keras.

Malkin, pemilik kedai “Gondrong” yang juga berambut gondrong itu juga diangkut ke mobil petugas. Kepergiannya diiringi tangis sang ibu yang kebetulan berada di tempat kejadian.

“Pak, anak saya jangan diapa-apakan, ya,” isak perempuan setengah baya itu.

Para penjual burger yang merupakan anak buah Malkin terpaku. Bahkan roti yang sedang dipanggang terlihat kehitaman karena hangus. Mereka sudah tidak acuh pada roti itu lagi.

Wartawan tak kalah terpana melihat adegan tersebut. Beberapa diantaranya mulai tak bergairah meliput.

“Sepertinya sudah over acting,” kata seorang teman pada saya dengan muka kecewa.

Malkin dibawa ke kantor Paperda. Bersama Malkin, beberapa wanita yang terjaring ikut serta.

Malkin mulai berceloteh. Nada suaranya kesal. Menurut dia, sangat tak masuk akal menuduh kedai burgernya mengundang maksiat karena penerangan yang remang-remang.

“Saya berjualan dekat jalan raya. Masa’ ada yang mau berbuat mesum di pinggir jalan,” katanya, lagi.

Malkin berjualan burger sejak tiga tahun lalu. Dia bisa mandiri berkat usahanya. Keluarganya juga mendukung.

“Islam tidak seperti ini. Seharusnya hukum bertindak adil. Tidak hanya pada orang-orang kecil. Tetapi juga yang korupsi,” kata Malkin lagi.

Di kawasan Peunayong, petugas menggeledah sebuah salon kecantikan. Mereka curiga ada lelaki di situ. Ternyata tak ada. Ujung-ujungnya para pegawai salon yang dijadikan sasaran. Lantaran tak berjilbab mereka terancam ditangkap. Semua perempuan itu protes.

“Kami ini berada di rumah sendiri. Ini wilayah kami, mau pakai jilbab atau tidak,” kata mereka, tersinggung.

Konvoi razia bergerak lagi.

kembali keatas

by:Nani Afrida