Dana Reintegrasi

Imran Muhammad Ali

Fri, 3 February 2006

Cerita tentang nasib mantan gerilyawan dan tahanan Gerakan Aceh Merdeka setelah perjanjian Helsinki dan dana reintegrasi.

BANGUNAN itu khas kantor pemerintah era 1970an. Cat tembok abu-abu. Posturnya lebih rendah dibanding rumah-rumah sekitar. Di Jalan Panglateh, kecamatan Banda Sakti,  Lhokseumawe, tepat di belakang gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh Utara, bangunan itu berdiri. Pada papan nama yang menancap di halamannya tertera tulisan “Majelis Pendidikan Daerah”.  Kegiatan sehari-hari di kantor tersebut meliputi pengawasan dan pembinaan sekolah. Namun, ada kegiatan berbeda di salah satu ruang.

Ratusan mantan tahanan politik keluar masuk pintu. Mereka dari Gerakan Aceh Merdeka atau disingkat GAM. Mereka tengah mendaftarkan diri agar bisa menerima dana reintegrasi tahap ketiga, yang diberikan mulai 23 Januari sampai 27 Januari 2006. Dana reintegrasi adalah dana untuk masuk dalam kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Seorang pria berkulit gelap, kurus, beruban, menatap lesu.  Dia bercelana hitam, berkemeja lengan panjang merah tua. Namanya, Teuku Dahlan, asal desa Kandang kecamatan Muara Dua. Usia 45 tahun. Buruh bongkar muat. Kadang-kadang ia juga kondektur truk jurusan Medan-Lhokseumawe.

Teuku Dahlan ditangkap akhir 2003. Ketika itu tentara Indonesia mengumpulkan warga di lapangan desa, lalu meminta mereka berbaris. Sebuah Toyota Kijang hitam berhenti di muka barisan tadi. Seorang pria bertopeng di dalamnya menunjuk-nunjuk ke arah barisan. Proses seleksi “GAM” dan “bukan GAM” dimulai. Tunjuk sana. Tunjuk sini. Itu GAM… itu GAM… itu GAM… Dahlan termasuk dalam sekitar 20an warga yang dikategorikan GAM. Ia diangkut ke penjara. Pada 31 Agustus 2005, Dahlan bebas berkat kesepakatan damai GAM dan pemerintah Indonesia di Helsinki, Finlandia.

Dahlan sudah dua kali menerima dana reintegrasi. Dana pertama diterimanya Agustus tahun lalu, sebesar Rp 2 juta. Tiga bulan kemudian ia menerima dana tahap dua, Rp 1,5 juta.

Hari itu Dahlan sengaja datang mengambil jatah terakhirnya, Rp 1,5 juta. Total dana yang diterima Dahlan 5 juta. Namun, air mukanya jauh dari cerah. “Ngon dana jibi nyo hanjeut tapeugot sapu. Pengnyan abeh untuk baye utang selama loen dalam penjara (Dengan dana ini belum bisa berbuat apa-apa. Uang itu hanya cukup untuk bayar utang selama di penjara),” ujar Dahlan.

Lon jino kembali keu but asai bongkar muat, sigo go jeut keu kenet (Saya terpaksa kembali ke pekerjaan sebelumnya sebagai buruh bongkar muat, sesekali jadi kondektur truk),” lanjutnya.

Nasib mantan gerilyawan juga tidak lebih baik dari Dahlan. Setidaknya di Lhokseumawe.

Saya melihat sepeda motor butut itu berhenti di depan warung kopi di tengah pasar. Pemiliknya adalah Nurdin, mantan anggota Tentara Nasional Acheh atau TNA. Usia Nurdin 30 tahun. Ia baru pulang dari tempat kawannya di kecamatan Gandapura, Bireuen.

Nurdin salah seorang dari 364 anggota TNA wilayah Pase, Aceh Utara. Ia tampak lelah. “Hana kerja ya ta meureumpok ngon jameun (Tak ada kerjaan, ya kita mengunjungi kawan lama),“ katanya, seraya memesan segelas kopi.

Pasca perjanjian damai, Nurdin jadi petani. Ia menanam palawija, berjenis-jenis sayuran. Hasil kebun itulah yang dijual Nurdin ke pasar Lhokseumawe. Uangnya untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Wajahnya mendadak muram ketika saya menyinggung soal dana reintegrasi. Dengan cepat dia menggeleng kepala.

Lon hana teupu ngon dana nyan yang lon terima hanya timongploh ribe, nyan pih lon hana teupu beng pu peng (Saya tidak begitu tahu dengan dana itu, yang pernah saya terima hanya Rp 50 ribu. Itupun saya tidak tahu uang apa),” kisah Nurdin

Ia menambahkan bahwa sekarang ini ia tak terlalu berharap memperoleh dana reintegrasi. Pasalnya, ia khawatir akan jadi masalah besar kalau diributkan nanti.

Kepala Dinas Pemberdayaan dan Bina Sosial Aceh Utara, Ridwan Hasansyah, mengatakan dana reintegrasi sudah diberikan dalam tiga tahap, masing-masing tahap sebesar Rp 364 juta dan pembagiannya diserahkan kepada pemimpin GAM Pase menjelang hari raya Idul Adha 10 Januari lalu.

Bagaimana pelaksanaannya di lapangan?

Tengku Darwis, mantan Panglima GAM wilayah Bate Iliek, Bireuen, menyebut dia telah menerima Rp 333 juta per tahap dan membaginya di empat daerah. Dana itu sebenarnya untuk mantan gerilyawan  dan masing-masing dapat jatah Rp 1 juta. Jumlah dana disesuaikan dengan jumlah anggota TNA yang tercantum dalam kesepakatan Helsinki, yakni 3000 personil di seluruh Aceh.

Tapi praktiknya beda. Menurut Darwis, dana tersebut tidak cuma dibagikan pada mantan gerilyawan, tapi juga pada pemasok logistik, operator handy talky, dan keluarga anggota GAM yang jadi korban perang. “Makajih na yang meureumpok seureutoh ribe (Makanya ada yang mendapat 100 ribu),“  ujarnya.

Tapi dari mana muncul angka “3000 personil” itu? Bagaimana mekanisme pendataannya?

*) Imran Muhamad Ali adalah kontributor sindikasi Pantau di Aceh


kembali keatas

by:Imran Muhammad Ali