APAKAH korupsi menyuburkan semangat untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Sejauh ini saya belum melihat hasil studi yang meng-ia-kan pertanyaan itu. Yang sering dikemukakan orang Aceh atau Papua dalam menjelaskan penolakannya terhadap NKRI –di samping perdebatan soal bentuk negara kesatuan versus negara federal– adalah ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya alam.

Aceh dan Papua merupakan basis operasi dua maskapai tambang transnasional asal Amerika. ExxonMobil di Aceh dan Freeport McMoRan di Papua. Walaupun kedua maskapai itu termasuk penghasil devisa terbesar di Indonesia, dampak positifnya bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat sangat minimal. Bahkan dampak lingkungan yang ditimbulkan PT Arun LNG, perusahaan kongsi ExxonMobil di Lhok Seumawe, sangat merugikan petani dan nelayan di sekitar Zona Industri Lhok Seumawe (ZILS), seperti polusi limbah cair dan kebocoran pipa kondensat.

Namun, saya mau menyoroti Aceh, karena dua alasan. Pertama, walaupun sama-sama harus menghadapi kolonialisme Jakarta, Aceh menghadapi masalah tambahan. Negeri ini harus dibangun kembali setelah diluluhlantakkan gempa bumi dan tsunami, yang menelan korban lebih dari 126,000. Kedua, berbeda dengan Papua Barat, kesepakatan damai telah dicapai antara Gerakan Acheh Merdeka (GAM), dengan pemerintah Republik Indonesia. Kesepakatan itu ditandatangani di Helsinki pada 15 Agustus tahun lalu, karena dimediasi oleh mantan presiden Finlandia, Martti Ahtiasaari, lewat lima putaran perundingan antara kedua belah pihak sejak 27 Januari 2005.

Aceh dapat menjadi ‘laboratorium’ untuk meneliti apakah semangat untuk merdeka akan pudar, setelah berbagai tuntutan GAM dikabulkan Jakarta. Aceh sekaligus dapat menjadi laboratorium untuk menguji apakah transformasi GAM menjadi partai lokal, yang kemungkinan besar terpilih menjadi pemerintah Aceh yang legal, akan terperangkap dalam bentuk-bentuk korupsi mirip seperti di Aceh sebelum kesepakatan Helsinki. Sebab dalam fase pasca-revolusi banyak pemimpin gerakan kemerdekaan berubah menjadi elit baru yang korup, seperti diamati pemikir Frantz Fanon di Afrika lebih 30 tahun lalu. Hal serupa terulang di Timor Leste pasca-referendum, juga terjadi di Filipina Selatan, setelah Nur Misuari, mantan pemimpin MNLF (Mindanao National Liberation Front ), diangkat Manila sebagai Gubernur Autonomous Region of Muslim Mindanao



Tiga Lapis Korupsi, Tiga Era Korupsi

Berbicara soal korupsi, literatur sosiologi korupsi tidak membatasi konsep korupsi pada soal sogok-menyogok atau peras-memeras antara pengusaha dan pemangku jabatan publik. Berdasarkan teori Syed Hussein Alatas, William Chambliss dan Milovan Djilas, kita dapat membedakan tiga lapis korupsi:

Korupsi lapis pertama terjadi di bidang sentuh langsung antara warga dan pemangku jabatan publik, yang meliputi suap (prakarsa datang dari warga) dan pemerasan atau extortion (prakarsa datang dari pemangku jabatan publik). Jenis korupsi ini yang lazim disorot publik dan mengandung risiko pelanggaran hukum yang paling langsung.

Korupsi lapis kedua terjadi di aras yang lebih tinggi, terutama di lingkaran kekuasaan, dan terdiri dari nepotisme (bila ada hubungan darah di antara mereka yang diangkat memasuki lingkaran kekuasaan atau diberi kemudahan); kroni-isme (tidak ada hubungan darah di antara yang diangkat atau diberi kemudahan dengan pemangku jabatan publik yang bersangkutan; new class (kelompok atau partai yang berkuasa mengutamakan anggota kelompok atau partainya untuk berbagi kekuasaan).

Rezim Soeharto menjalankan ketiga bentuk korupsi lapis kedua itu. Jenis korupsi ini biasanya baru berakhir saat pergantian rezim, walaupun dalam kasus Soeharto belum terbukti. Korupsi lapis kedua ini dapat juga berwujud oligarki, pemerintahan oleh sejumlah keluarga dan kelompok kaya, seperti oligarki di Indonesia yang berkaki tiga, yakni istana, tangsi, dan partai penguasa, mulai dari era Soeharto sampai Susilo Bambang Yudhoyono-M. Jusuf Kalla.

Korupsi lapis ketiga berbentuk jejaring (cabal) yang dapat bercakup regional, nasional maupun internasional, dan meliputi unsur birokrat, politisi, pengusaha, aparat penegakan hukum dan aparat ideologis yang dapat memberikan legitimasi bagi pemilihan produk tertentu, penerapan program tertentu, atau paradigma tertentu untuk melandasi pemilihan produk atau penerapan program tersebut.

Contohnya, politik pengendalian penduduk lewat penggunaan alat-alat kontrasepsi produksi negara-negara yang ikut membiayai program “kependudukan” itu. Jenis korupsi ini paling stabil, karena kepentingan para kapitalis paling tersembunyi dan diikat dalam hubungan negara peminjam (debitor) dan penghutang (creditor). Menurut Graham Hancock dalam buku “Dewa-Dewa Pencipta Kemiskinan: Kekuasaan, Prestise, dan Korupsi Bisnis Bantuan Internasional, korupsi transnasional semacam ini sering tersembunyi dalam “bahasa pembangunan” dengan terminologi “bantuan,” “donor,” dan sebagainya.

Berdasarkan konseptualisasi korupsi yang lebih paripurna, inklusif dan eclectic ini, secara kronologis kita dapat membedakan tiga jenis korupsi di Aceh. Pertama, korupsi di bawah jubah militer, sebelum tsunami. Kedua, korupsi di bawah jubah kedermawanan, yang berkembang pasca-tsunami. Ketiga, korupsi transnasional dalam pengintegrasian Aceh ke jaringan kapitalisme global yang kini mulai menentukan arah pembangunan Nanggroe Aceh Darussalam, tanpa melibatkan rakyat Aceh dalam seluruh proses pengambilan keputusan menyangkut sumber daya alam dan masa depan negeri mereka.



Korupsi di bawah jubah militer

Abdullah Puteh, Gubernur NAD, adalah gubernur pertama yang diajukan sebagai tersangka kasus korupsi di atas Rp 1 milyar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak hari 29 Juni 2004. Berdasarkan hasil penyelidikan KPK, kerugian negara dalam kasus pengadaan helikopter MI-2 buatan Rusia untuk pemerintah NAD setidak-tidaknya Rp 4 milyar.

“Helikopter itu dibeli seharga Rp 12 milyar, sedangkan AL (membeli) seharga Rp 6 milyar. Artinya, masih ada selisih Rp 6 milyar. Akan tetapi, karena spesifikasinya lebih khusus, yaitu ada anti-peluru dan ber-AC, maka kerugian negara yang baru kami temukan senilai Rp 4 milyar,” kata Erry Riyana Hardjapamekas, wakil ketua KPK, pada harian Kompas

Sesungguhnya, dugaan korupsi Puteh tidak terbatas pada mark up pembelian helikopter itu saja. Masih ada 49 kasus lain dimana Puteh diduga menyalahgunakan wewenangnya sebagai gubernur untuk menyelewengkan uang rakyat ke kantongnya sendiri. Data ini diumumkann Samak, sebuah lembaga nonpemerintah, dalam laporan berjudul 50 Dugaan Tindak Pidana Korupsi dan Penyalahgunaan Wewenang Gubernur NAD Abdullah Puteh. Misalnya, Puteh memiliki saham sekaligus komisaris PT Woyla Raya Abadi, yang menguasai HGU (Hak Guna Usaha) perkebunan kelapa sawit seluas 6557 hektar di Darul Makmur, Buitong di Aceh Timur.

Selain itu, pengadilan terhadap Abdullah Puteh menutupi peranan orang-orang yang dekat dengan penguasa, yang semestinya juga ditampilkan ke depan meja hijau. Terdakwa lain yang diadili dan divonis bersama Puteh adalah Bram Manoppo, direktur PT Putra Pobiagaan Mandiri, perusahaan yang memasok helikopter itu. Namun, pemilik PT itu, Irzal Chaniago, abang ipar Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, yang tidak disebut-sebut namanya dalam persidangan. Chaniago dan rekan bisnisnya, Andy Kosasih, mengatur kontrak bisnis kotor itu melalui shell company mereka di Singapura, Swifth Air & Industrial Supply Pte. Ltd.

Dari situ dapat dilihat bahwa terlepas dari besarnya jumlah dana publik yang diselewengkan, impunitas militer di bidang korupsi masih tetap dijaga dan dipelihara. Kalau perlu, dengan menjadikan pejabat-pejabat sipil, yang sebelumnya dipakai sebagai kolaborator, sebagai tumbal. Seperti Abdullah Puteh dalam kasus korupsi, dan Jose Abilio Soares, mantan Gubernur Timor Timur, dalam konteks pelanggaran HAM.

Padahal medan perang di Aceh menjadi ajang “perbaikan pendapatan” yang luar biasa bagi para bintara dan perwira militer serta polisi yang bertugas di Aceh, maupun para perwira tinggi yang menentukan anggaran militer di Jakarta. Yang jelas, perang antara GAM dan TNI di Aceh, menguntungkan para prajurit karena keterlibatan mereka dalam perdagangan dua jenis komoditi illegal: ganja hasil produksi Aceh dan senjata serta amunisi produksi PT Pindad di Bandung.

Menurut penelitian cendekiawan Aceh, Otto Syamsuddin Ishak, banyak tentara dan polisi yang bertugas di Aceh terlibat dalam perdagangan ganja ke Jakarta. Pasukan Kopassus yang mulai bertugas di Aceh tahun 1990, mengutip rente 10% dari perdagangan gelap ganja, terutama di Aceh Tenggara, pusat ladang ganja Aceh yang terbesar. Makanya timbul pemeo di kalangan aktivis Aceh, bahwa tentara “datang menyandang M-16, pulang membawa 16 M.” Maksudnya, Rp 16 milyar. Selain itu, menurut Otto Syamsudin Ishak dalam naskah “Ganja Aceh dan Serdadu Indonesia dalam Periode Perang Aceh 1989-2003,” sejumlah prajurit terlibat dalam penjualan senjata dan amunisi buatan Pindad kepada para gerilyawan GAM.

Kehadiran gerilyawan bersenjata di Aceh di masa lalu, juga membawa keuntungan material bagi tentara dan polisi, dalam bentuk “uang keamanan” (protection fee ) dari ExxonMobil. Dalam wawancaranya dengan Tempo Interaktif, Aguswandi, koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan di Aceh, mengungkap besarnya protection fee itu. Di situ dibeberkan bagaimana ExxonMobil mengeluarkan hampir Rp 5 milyar setiap bulan untuk dana operasional tentara dan polisi yang bertugas di Aceh. Dana tersebut meliputi uang saku Rp 40 ribu per prajurit per hari, fasilitas transportasi, kantor, pos, barak, radio, telepon, mess, dan lain-lain. Sedikitnya ada 17 pos TNI dan Polri yang dibiayai ExxonMobil dengan jumlah personil 1,000 orang dari berbagai kesatuan.

Korupsi di balik jubah kedermawanan

Belum lagi kering airmata rakyat Aceh atas kematian sanak saudara, tetangga dan sahabat mereka, maskapai-maskapai domestik datang untuk berancang-ancang merebut kue rekonstruksi daerah bencana itu, berlindung di balik jubah kedermawanan.

Konglomerat yang paling dulu cepat bergerak menawarkan jasa perencanaan tata ruang dan sekaligus konstruksi adalah Kelompok Artha Graha yang berlindung di balik spanduk-spanduk Yayasan Artha Graha. Spanduk-spanduk yayasan itu tampak hampir merata di semua kecamatan di tujuh kabupaten yang paling parah dilanda gempa dan tsunami. Sampai bulan Maret 2005, posko Artha Graha ini juga yang paling ramai dikunjungi orang, karena mereka sering mendatangkan artis-artis terkenal dari Jakarta.

Kelompok Artha Graha masuk ke Aceh untuk mengidentifikasi perbagai peluang bisnisnya melalui Satuan Tugas Artha Graha Peduli Aceh. Tak lama kemudian, kelompok bisnis yang dipimpin pengusaha muda Tomy Winata ini menawarkan cetak biru buat rekonstruksi kota Meulaboh dan hinterland-nya di Kabupaten Aceh Barat. Setelah berita tersebut dilansir beberapa media cetak, seperti Koran Tempo dan majalah Tempo, kelompok Artha Graha menyatakan mereka akan mengundurkan diri dari Meulaboh. Namun dari pengamatan sumber-sumber saya di Medan dan Aceh, kelompok Artha Graha masih cukup menonjol kehadirannya di Aceh, dan peluang-peluang bisnis infrastruktur masih sangat terbuka bagi mereka.

Strategi pendekatan Artha Graha ke Aceh dan Nias memang unik. Yang langsung memimpin Satuan Tugas Artha Graha Peduli Aceh adalah Kiki Syahnakri. Jenderal purnawirawan itu sehari-hari adalah komisaris Bank Artha Graha, mewakili Yayasan Kartika Eka Paksi. Yayasan Kartika Eka Paksi merupakan yayasan terbesar milik TNI/AD, ikut memiliki 20% saham Bank Artha Graha. Kedudukan Syahnakri dalam bank, yang menjadi sumber dana banyak kegiatan anak-anak perusahaan Artha Graha Group itu, dibuat berdasarkan surat pengangkatan Kepala Staf Angkatan Darat. Dengan demikian, tidak mustahil pendekatannya ke Aceh Besar melibatkan perwira-perwira TNI/AD yang sedang bertugas di Aceh pasca tsunami. Termasuk Komandan Korem Liliwangsa, Kolonel (Infanteri) Geerhan Lantara, seorang veteran perang di Timor Leste, seperti halnya Kiki Syahnakri sendiri.

Dengan banyaknya tentara yang bertugas di Aceh pasca tsunami, boleh dikata pekerjaan land clearing sudah dilakukan tentara —dengan dibayar dari uang rakyat Indonesia— bagi proyek-proyek yang bakal dibangun oleh kelompok Artha Graha. Penyebaran tentara nyaris ke seluruh daratan Aceh juga merupakan pencegah (deterrent ) bagi rakyat Aceh yang bermaksud menolak modus operandi bisnis militer di bawah payung Artha Graha.

Hubungan Tomy Winata ke tentara melicinkan jalan baginya untuk mendapatkan dukungan Presiden SBY. Soalnya, selain Kiki Syahnakri, ada seorang mantan jenderal yang lebih dekat lagi ke Tomy Winata, dan sekaligus dekat ke SBY. Itulah Letnan Jenderal (Purnawirawan) T.B. Silalahi, yang di kalangan bisnis dianggap sebagai “bapak angkat” Tomy Winata, dan sehari-hari memimpin bagian Pengembangan Masyarakat Kelompok Artha Graha. Ia berkantor di Lantai V Gedung Artha Graha, Jakarta. Di masa kampanye kepresidenan SBY, ia menjadi ujung tombak kampanye SBY di Sumatera Utara. Menurut harian Swara Berita, suratkabar terbitan Medan, Silalahi diduga memberikan sumbangan Rp 1 milyar kepada Huria Kristen Batak Protestan, gereja Protestan terbesar di Sumatera Utara.

Setelah SBY berhasil merebut kursi kepresidenan, TB Silalahi tetap menjadi orang kepercayaan Presiden SBY. Untuk memantau penanganan kegiatan pasca tsunami di Nias, TB Silalahi diutus sebagai “Penasehat Khusus.”

Sesungguhnya, sejumlah konglomerat lain juga telah bermunculan di Aceh, berawal dari kepedulian sosial yang dibungkus baju yayasan atau organisasi sosial lain. Misalnya, kelompok Astra (yang memberikan bantuan paling besar, yakni Rp 39,3 milyar) dan kelompok Bakrie (yang memberikan bantuan Rp 10 milyar). Kedua perusahaan ini berkepentingan membantu rakyat Aceh, karena memiliki usaha perkebunan kelapa sawit di Aceh. Kelompok Bakrie, melalui PT Bakrie Sumatra Plantations yang beroperasi di Aceh Timur. Sementara kelompok Astra, melalui PT Astra Agro Lestari, sejak 1994 beroperasi di Aceh Barat dan Singkil melalui PT Karya Tanah Subur dan PT PT Perkebunan Lembah Bhakti.

Kelompok Medco milik Arifin Panigoro, yang juga menyumbang Rp 10 milyar untuk membantu Aceh pasca tsunami seperti halnya kelompok Bakrie, juga punya kepentingan bisnis di Tanah Rencong. Akhir tahun lalu Medco resmi mengakuisisi 70% hak ladang minyak di Langsa Technical Assistance Contract (TAC) melalui Medco Moeco Langsa Ltd, perusahaan patungan fifty-fifty antara PT Medco Energi International Tbk. dan Mitsui Oil Exploration Co. Ltd. Hasilnya lumayan juga. Blok Langsa itu berhasil diaktifkan kembali dengan tingkat produksi yang sudah dites sebesar 4.500 barrel minyak per hari.

Sejumlah pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa menyalurkan bantuan mereka melalui badan atau organisasi keagamaan yang lain. Kelompok Central Cakra Murdaya (CCM) atau terkadang dikenal sebagai Berca Group, menyalurkan bantuan melalui Walubi (Perwakilan Umat Buddha Indonesia), wadah persatuan umat Buddha Indonesia yang direstui pemerintah. Kebetulan, ketua Walubi, Siti Hartati Murdaya adalah juga pemimpin CCM.

Kemudian ada Yayasan Tzu Chi Indonesia, yang berasal dari Taiwan. Yayasan ini menyalurkan bantuan dari beberapa kelompok bisnis ke Aceh. Misalnya, bantuan Rp 1 milyar dari PT Indofood Sukses Makmur Tbk, bantuan dana dan relawan tenaga medis dari kelompok Gajah Tunggal, serta sejumlah posko bantuan dari kelompok Artha Graha.

Maklumlah, menurut majalah Prospektif , kegiatan sosial Yayasan Tzu Chi Indonesia ini didukung oleh sejumlah pengusaha keturunan Tionghoa yang sudah sukses berbisnis di Indonesia. Mereka itu antara lain, Eka Tjipta Widjaja (kelompok Sinar Mas) dan Sugianto Kusuma (kelompok Artha Graha) dari generasi tua, sampai dengan Franky Widjaja (Sinar Mas) dan Tomy Winata (Artha Graha) dari generasi muda.

Berkat sumbangan para anggota dan simpatisan, Tzu Chi telah memberikan bantuan 30,000 ton beras selama setahun untuk seluruh Aceh, serta membangun 1.200 rumah tenda untuk Meulaboh dan 2.500 buah untuk Banda Aceh. Menurut rencana, Tzu Chi juga akan membangun 3000 rumah permanen; 2000 buah untuk di Banda Aceh dan 1000 buah di Meulaboh. Sedangkan pengungsi Aceh yang akan pulang dari Medan dan Jakarta akan dibantu dengan dana antara Rp 300 ribu sampai Rp 500 ribu. Hal tersebut dikemukakan Sugianto Kusuma, wakil ketua umum Yayasan Tzu Chi Indonesia, yang juga komisaris kelompok Artha Graha.

Namun masih banyak kegiatan rekonstruksi infrastruktur besar yang jatuh ke perusahaan lain. Misalnya, pembangunan pelabuhan di Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, jatuh ke tangan kelompok Bukaka, milik keluarga Jusuf Kalla. Adapun pembangunan bandar-bandar udara di Aceh jatuh ke tangan maskapai asing yang sudah membangun beberapa bandara di Indonesia, yakni Schiphol Airport. Perusahaan transnasional dari Belanda ini diserahi membangun bandar Meulaboh, setelah sukses membangun bandar Manado dan Ambon, dua bandara provinsi termegah setelah Batam.

Anehnya, yang kurang terdengar adalah peranan pengusaha top asal Aceh, selain Surya Paloh dari Metro TV, dalam tahap-tahap rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Mana Ibrahim Risyad, satu dari empat serangkai (gang of four ) pemilik kelompok Salim, yang membeli saham perusahaan perkebunan raksasa, PT London Sumatera? Mana Ibrahim Hasan, pendiri Aceh Development Board (ADB) dan pemilik Hasfarm Group? Mana Bustanil Arifin, yang membantu Soeharto menyita asset-aset milik dua pengusaha Aceh, Aslam dan Karkam, yang dikonsolidasi di bawah payung PT Berdikari?

Tabel 1: Bantuan Kemanusiaan untuk Aceh dari Beberapa Perusahaan Swasta

No       Nama Perusahaan                                Jumlah Bantuan

                                                                             (milyar rupiah)

01.       Kelompok Media Indonesia               

            (lewat program ‘Indonesia

            Menangis’ di MetroTV)                                  99,6

02.       Kelompok Astra                                             39,3

03.       Kelompok Artha Graha                                  20

04.       Kelompok Bakrie                                             10

05.       PT Medco Energy International                      10

06.       PT Freeport Indonesia                                      5

07.       Newmont Mining Corporation                       5

08.       PT Indofood Sukses Makmur                         4,7

09.       PT Samsung Elektronik Indonesia                  3

10.       Probosutejo (melalui Hotel

            Le Meredien & Kel. Kedaung,

lewat MetroTV)                                              3

11.       PT Indomobil Sukses                                      2,5

12.       PT HM Sampoerna                                           2

13.       PT Manulife Indonesia                                    1,6

14.       Kelompok Hitachi Machinery                         1,4

15.       PT Indocement Tunggal Perkasa                     1

16.       Kel. Gajah Tunggal                                           1

17.       PT Panasonic Gobel (melalui

MetroTV dan Kadin Indonesia)                  1                     

18.       Bintang Toedjoe (produsen

            Extra Joss)                                                         1

Sumber: Prospektif, 10-16 Januari 2005.

 

Tabel 2: Bantuan Kemanusiaan untuk Aceh dari BUMN

No.      Nama Perusahaan                                Jumlah Bantuan

                                                                            (milyar rupiah)

1.         Posko BUMN Peduli                                       73

2.         Pertamina                                                          15

3.         Bank Mandiri                                                    6,6

4.         PT Tambang Batubara Bukit Asam              1,150

5.         Jamsostek                                                        1

6.         PT Telkom                                                      1

Sumber: Prospektif, 10-16 Januari 2005.

Sejak 2 Mei 2005, semua kesemrawutan rekonstruksi pasca-tsunami di Aceh akan diatasi Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias, yang lebih populer dengan singkatan “BRR.” Lembaga itu dikepalai oleh Kuntoro Mangkusubroto yang oleh Presiden SBY dianggap punya integritas tinggi.

Tapi usaha Kuntoro membenahi usaha-usaha rekonstruksi Aceh dan Nias masih harus dipertanyakan. Pengalamannya selama ini di bidang pertambangan. Ia pernah menjabat direktur utama PT Tambang Batubara Bukit Asam, lalu diangkat menjadi direktur utama PT Timah pada 1991 dan tiga tahun kemudian diangkat menjadi Direktur Jenderal Pertambangan Umum. Bagaimana ia menghadapi besarnya minat maskapai-maskapai tambang domestik dan asing, seperti Freeport, Newmont, Medco, Pertamina dan Tambang Batubara Bukit Asam, dalam membantu rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh? Apakah nanti tidak terjadi bias?

Belum lagi harus berhadapan dengan perusahaan macam Dutch Philips, maskapai transnasional Belanda yang ingin mendapat konsesi pertambangan emas di daerah Blang Pidie. Dutch Philips meminta bantuan lobi Presiden Amerika George W. Bush untuk mewujudkan rencananya. Lobi tingkat tinggi itu memang dibutuhkan Dutch Philips, mengingat daerah yang kaya bijih emas itu juga ditaksir Tomy Winata dan Artha Graha. Kelompok Artha Graha punya seorang eksekutif yang sangat dekat dengan Presiden SBY, yakni T.B. Silalahi.



Korupsi Transnasional

Kendati tidak diliput media nasional, ada satu maskapai transnasional dari Belanda, Dutch Philips, yang berusaha mendapatkan konsesi tambang emas untuk hasil eksplorasi mereka di Blang Pidie, sebelah timur Meulaboh. Daerah itu sebelumnya merupakan basis gerilyawan GAM. Namun, sebelum perjanjian damai Helsinki, daerah tersebut sudah dikategorikan sebagai “daerah putih” alias sudah dikuasai sepenuhnya oleh TNI.

Walaupun daerah Blang Pidie juga ditaksir Artha Graha, peluang Dutch Philips masih cukup besar untuk menguasai deposit emas di situ. Pasalnya, SBY sangat menilai tinggi sikap pemerintah Amerika terhadap Indonesia. Buktinya, dalam waktu setahun kepresidenannya, ia sudah dua kali berkunjung ke Gedung Putih.

Perhatian George Bush pribadi bagi para korban tsunami di Aceh dan kawasan Asia lain memang cukup besar. Awal Januari yang lalu, presiden yang ditaksir punya kekayaan sekitar US$ 13 juta itu merogoh kocek pribadinya dengan menulis cek sebesar US$10 ribu buat para korban. Pemerintah Amerika sendiri memberi sumbangan US$350 juta untuk negara-negara Asia yang dilanda tsunami. Tidak cuma itu. Pemerintah Amerika akan mencabut embargo suku cadang (spare parts) untuk pesawat Hercules C-130H milik TNI, untuk mendukung kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi daerah yang terkena bencana di Indonesia. Dalam membantu tanggap darurat (emergency response) di Aceh, bantuan Amerika memang sangat berarti. Tapi jangan lupa, bantuan pemerintah Amerika itu merupakan selubung dari kepentingan bisnis mereka. Apalagi, pemeo Amerika yang terkenal berbunyi, “There is no such thing like a free lunch” (tidak ada makan siang gratis).

Kepentingan bisnis Amerika minimal berwujud pemantauan sumber daya alam di daratan dan perairan Aceh dan Sumatera Utara lewat penginderaan satelit. Pemerintah Amerika mengirim salah satu kapal Armada Ketujuh, USS Abraham Lincoln, yang kebetulan sedang bersandar di Hongkong. Kapal induk itu tiba di Sabang dan bersandar di dermaga Malahayati pada 1 Januari 2005. Kapal ini dilengkapi selusin pesawat helikopter SH-60 Seahawk. Ini belum termasuk kapal pendarat dari USS Bonhomme Richard yang beroperasi di Meulaboh.

Kepentingan Amerika tak terbatas pada penginderaan jarak jauh saja. Pengamanan jalur tanker melintasi Selat Malaka merupakan kepentingan utama Amerika. Menurut Buletin Al-Islam, pemerintah Amerika sedang mencari alternatif pengganti pangkalan militernya di Subic, Filipina, serta mencari pertambangan emas selain di Pegunungan Leuser. Kepentingan lainnya adalah pemasokan bahan bakar minyak untuk Armada Ketujuh AS di ujung Utara Selat Malaka, sebagai pelengkap depot Armada Ketujuh di Singapura. Untuk itu, perlu pengamanan produksi minyak dan gas bumi di Aceh, yang praktis dimonopoli maskapai Amerika, ExxonMobil.

Amerika dan sekutu-sekutunya boleh jadi akan berusaha menjadikan Aceh sebagai daerah alternatif penghasil produk-produk petrokimia. Ini untuk menjaga kemungkinan bila ekspansi industri petrokimia di Singapura maupun Johor sudah menabrak tembok pengadaan lahan di republik mini itu. Segitiga Singapura-Johor-Riau sudah lebih dikuasai ChevronTexaco dan ConocoPhillips, dua raksasa Amerika, pesaing ExxonMobil.

Selain dari Amerika Serikat dan Belanda, maskapai-maskapai transnasional Finlandia—tempat perjanjian damai berlangsung—dan Swedia—yang sekian lama memberikan suaka politik kepada Hasan di Tiro dan rekan-rekannya— juga berpotensi memetik keuntungan dari kue rekonstruksi Aceh. Tabloid dwimingguan Intelijen menengarai bahwa dua perusahaan raksasa di bidang telekomunikasi, yakni Nokia dari Finlandia dan Ericsson dari Swedia, berpeluang mendapatkan order besar dalam pembangunan kembali infrastruktur telekomunikasi di Aceh yang hancur diterjang tsunami. Order buat Nokia sebagai imbalan bagi Finlandia dalam perjanjian damai. Order buat Ericsson sebagai imbalan bagi Swedia karena selama ini “melindungi” pemimpin GAM. Tabloid Intelijen melaporkan bahwa Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil —orang Aceh yang memiliki kewenangan regulasi sektor telekomunikasi— duduk pula dalam tim perunding pihak Indonesia di Helsinki.

Intelijen juga menengarai bahwa Hasan di Tiro bersedia menurunkan tuntutannya dari kemerdekaan menjadi otonomi khusus, dengan imbalan konsesi perkebunan kelapa sawit di Aceh. Menurut Intelijen, selepas tsunami spekulan-spekulan tanah berkeliaran di Aceh, membeli tanah-tanah yang telah dilanda tsunami untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit buat Hasan di Tiro. Melunaknya sikap politik Hasan di Tiro terkait dengan pendekatan yang dilakukan Jusuf Kalla sejak Kalla belum menjadi wakil presiden. Saya belum bisa percaya spekulasi Intelijen karena belum bisa melakukan verifikasi soal perkebunan kelapa sawit itu.

Bagaimana peluang Nokia dan Ericsson dalam proyek pembangunan kembali sistem telekomunikasi di Aceh? Saat ini Ericsson menjadi satu di antara 10 penyumbang peralatan telekomunikasi ke Aceh. Ericsson hanya memiliki satu pesaing saja dalam pembangunan BTS (base transceiver station ) di Aceh, yakni Motorola. Buku Bangkit dari Puing-Puing Gempa dan Tsunami: Pemulihan Telekomunikasi di Nanggroe Aceh Darussalam, yang disunting Dian R. Basuki, mengatakan Ericsson punya peluang cukup besar mendominasi pembangunan kembali jaringan telekomunikasi di Aceh.

Informasi lain yang saya terima ialah ada perusahaan asal Finlandia yang ingin terlibat dalam pembangunan infrastruktur di Papua Barat. Proyek ini sangat dekat dengan minat dan kepentingan pribadi Jusuf Kalla, yang keluarganya menguasai tiga kelompok bisnis nasional yang bergerak di bidang pembangunan jalan raya, jalan tol, pengangkutan jalan raya dan laut, serta keagenan mobil Toyota, Mitsubishi, dan Kia. Tiga kelompok itu adalah Hadji Kalla Group, Bukaka Group, dan Bosowa Group

Maskapai-maskapai Finlandia di bidang farmasi dan pembangunan rumah sakit pun ditengarai akan segera terjun ke Aceh, atau daerah Indonesia lain. Namun perusahaan asal Finlandia yang paling sering berkibar benderanya di Indonesia adalah usaha pengolahan hasil-hasil hutan. Operasi mereka seringkali ditunjang lembaga-lembaga keuangan pemerintah Finlandia, FINNIDA, Finnish Export Credit (Finnerec). Perusahaan itu antara lain, Jaakko Poyry. Ia konsultan pabrik kertas Gowa di Sulawesi Selatan dan pabrik kertas rokok PT Surya Zigzag di Jawa Timur, yang merupakan kongsi antara pabrik rokok kretek Gudang Garam dan Probosutedjo, adik tiri Soeharto. Selanjutnya, menurut Down to Earth, sebuah lembaga lingkungan di London, perusahaan Finlandia itu menjadi konsultan pabrik kertas dan pulp PT Indah Kiat di Riau serta ikut merancang perencanaan perkebunan ekaliptus dan pabrik pulp PT Astra Scott Cellulosa yang dibatalkan di Papua Barat.

Jaakko Poyry juga terlibat kampanye pengolahan hutan gambut di Kalimantan Tengah, yang didukung Kedutaan Besar Finlandia di Jakarta dan Finnish Foreign Trade Association. Perusahaan lain seperti Enso Gutzeit dikontrak PT Prima Indopot Lestari dan berkongsi dengan Inhutani di Kalimantan Barat, disusul Rauma Repola yang telah melakukan survei untuk pembangunan pabrik kertas dan pulp PT Furuma Utama Timber Co. di Papua Barat. Disponsori FINNIDA, Rauma Repola juga menyediakan peralatan pencucian dan pemutihan bubur kertas PT Inti Indorayon Utama di Sumatera Utara. FINNEREC merencanakan berkongsi dengan harian Sinar Harapan untuk membangun pabrik kertas koran PT Sinar Finn Newsprint di Cirebon.

Makanya, tidak tertutup kemungkinan maskapai-maskapai Finlandia itu akan bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan perusak hutan di Aceh, seperti PT Kertas Kraft Aceh (KKA), milik Bob Hasan dan putera sulung Soeharto, Sigit Harjojudanto.

Quo Vadis, Nasionalisme Aceh?

Sementara itu, bagaimana dengan kepentingan, kesejahteraan, dan hak-hak rakyat Aceh sendiri? Dengan munculnya suatu piramida ekonomi, dengan kepentingan maskapai-maskapai pertambangan internasional di puncak piramida, lantas maskapai-maskapai asing lainnya di lapis kedua, lalu kepentingan maskapai-maskapai domestik nasional –termasuk kepentingan pengusaha asal Aceh yang sudah berkiprah di lapis berikutnya– selanjutnya kepentingan usaha kecil menengah yang asli Aceh, maka kepentingan rakyat Aceh di akar rumput dengan mudah dapat dikorbankan. Para korban ini adalah mereka yang terancam kehilangan pengakuan hak atas tanah mereka, akibat hancur atau hilangnya surat-surat tanah mereka oleh tsunami.

Selain itu, rakyat Aceh di gampong-gampong, yang biasa berdiskusi di meunasah-meunasah, selepas sholat Jumat atau sholat magrib, juga harus bersiap-siap menghadapi gelombang tsunami baru, yang tidak kalah dahsyatnya dengan tsunami 26 Desember lalu. Gelombang ini tak lain arus ekonomi, sosial, dan budaya yang baru, yang akan menggulung-gulung membanjiri Serambi Mekkah bersama para investor yang kepentingannya akan dibela mati-matian oleh aparat bersenjata Indonesia, yang sebentar lagi akan kembali dipersenjatai dan dilatih tentara dan industri perang Amerika setelah rehabilitasi kerjasama militer Indonesia dan Amerika pasca pertemuan Presiden Yudhoyono dan Presiden George W. Bush di Gedung Putih pada 25 Mei 2005.

Kemudian, seperti ironi yang digambarkan Graham Hancock, bagaimana “dewa-dewa pencipta kemiskinan” menjadi kaya raya atas nama kemiskinan penduduk Dunia Ketiga. Tak tertutup kemungkinan Aceh akan kembali mengulangi ironi itu. Sederet lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi kemanusiaan internasional, dengan ratusan konsultan mereka, kini berhamburan ke Aceh, menikmati gaji tinggi dan fasilitas mewah di atas penderitaan rakyat Aceh. Mereka setiap malam bisa minum wine (anggur) dan makan lezat ketika banyak korban tsunami masih tinggal di tenda-tenda.

Suasana serupa itu saya saksikan di Timor Leste, setelah tentara PBB di bawah komando seorang jenderal dari Australia, berhasil mengusir tentara Indonesia dari tanah jajahannya itu. Tukang kayu dan tukang batu pun didatangkan oleh perusahaan-perusahaan Australia yang mendapat kontrak untuk rekonstruksi Timor Leste. Lowongan pekerjaan yang tersisa buat orang Timor asli adalah menjadi satpam, sopir, dan yang sedikit lebih tinggi pendidikannya, penterjemah. Apakah itu yang akan atau sedang dialami orang Aceh juga?

Semoga nasib orang Aceh tidak demikian. Semoga saja para perencana dan pelaksana pembangunan di Aceh, yang telah mengalami atau menyaksikan dahsyatnya dampak gempa dan tsunami yang lalu, dapat belajar dari kisah-kisah sedih yang dibeberkan Graham Hancock di akhir dasawarsa 1980-an dan sudah diramalkan Frantz Fanon tiga dasawarsa sebelumnya.

Kalau itu yang terjadi, maka tidak mustahil satu gelombang nasionalisme baru akan melanda Tanah Rencong. Nasionalisme Aceh yang baru, yang bukan lagi disuarakan oleh generasi tua yang berjuang dengan senjata hasil korupsi tentara, tetapi disuarakan oleh generasi muda yang berjuang dengan mulut dan komputer, lewat jaringan organisasi hak asasi manusia sedunia.

Palu, 19 September 2005.

by:George Junus Aditjondro