Kilometer 10 Mimika

Agus Sopian

Sun, 1 January 2006

Hujan turun sepanjang pagi hingga sore. Hembusan angin malam membawa bau sampah dari sekitar Pasar Swadaya, urat nadi bisnis warga Timika.

HUJAN turun sepanjang pagi hingga sore. Hembusan angin malam membawa bau sampah dari sekitar Pasar Swadaya, urat nadi bisnis warga Timika.

Nun jauh di sana, arah timur laut, terlihat semburat keemasan menerangi langit. Cahaya ini berasal puluhan lampu sorot berkekuatan ribuan watt, yang menerangi Mile 72, lokasi penambangan PT Freeport Indonesia. Energi listrik di sana — yang berasal dari pusat pembangkit listrik tenaga uap Amamapare — berkisar 195 megawatt, atau setara dengan aliran energi listrik sebuah kota kecil Papua.

Di ruas Jalan Yos Sudarso, jantung Timika, sejumlah pemuda duduk-duduk di trotoar. Beberapa botol vodka dan soft drink terlihat di sela-sela sebagian kaki mereka. Tak jauh dari mereka, puluhan sepeda motor ojek masih berjejer menunggu dinihari, saat warga berdatangan ke pasar untuk belanja kebutuhan sehari-hari.

Dari situ, kendaraan yang saya tumpangi melesat ke arah selatan, melewati jalanan penuh lubang, yang sebagiannya menyisakan lumpur. Seorang gadis Kamoro, berbusana T-shirt ketat, terlihat turun dari ojek. Gereja Torsina, batas keramaian kota di selatan Timika, sudah terlewati. Perjalanan masih sekira sembilan kilometer lagi. Dingin larut malam mulai menembus jaket kanvas saya. Kulit rasanya seperti dikompres air es.

Pukul 23.00 lebih. Jalanan makin sepi. Kendaraan dari arah berlawanan bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan sepeda motor. Sisanya beberapa truk, yang kemungkinan berasal dari Pelabuhan Poumako, sekira 50 kilometer dari Timika. Truk ini biasanya membawa berbagai barang untuk Pasar Swadaya seputar Timika. Sedangkan truk ikan, umumnya datang dari pusat pendaratan ikan di Kampung Hiripau, Distrik Mimika Timur.

Sepeda motor terus melesat, melewati SP I kemudian SP IV. SP adalah akronim “Satuan Pemukiman” atau kampung-kampung di seluruh kepulauan luar Jawa dan Bali — antara lain Kalimantan, Sulawesi, Halmahera, juga Papua — yang tumbuh seiring masuknya transmigran, mayoritas dari Jawa sejak 1970-an.

SELEPAS SP IV, sepeda motor berbelok menempuh jalan kampung tanpa aspal. Dua orang Papua asli berjoget di jalan dalam kegelapan. Tak ada suara musik yang terdengar mengiringi joget mereka. Saya menduga mereka teler. Mabuk minuman keras sudah jadi pemandangan sehari-hari di sana.

Hanya beberapa menit, kendaraan tiba di suatu portal. Seorang warga dengan mata merah berbaik hati membukakan portal. Ini pintu masuk menuju kawasan yang dikenal sebagai lokalisasi seks komersial “Kilometer 10.”

Habis gelap, terbitlah terang. Demikianlah, tiba-tiba saja mata tertumbuk pada sejumlah bangunan, permanen dan semi permanen, yang berdiri mengitari pinggiran sebuah tanah lapang seluas lebih dari lapangan sepakbola. Seluruh bangunan diterangi bola-bola lampu. Beberapa di antaranya menggunakan lampu ornamen dan billboard sederhana. Keadaan benar-benar mirip permulaan kawasan Patpong, salah satu pusat bisnis seks komersial di Bangkok sana.

Hampir seluruh bangunan dipasangi papan nama. Bangunan bertingkat dua bertuliskan “Putri Khayangan” –yang lokasinya berhadapan dengan portal– terlihat paling mencolok. Di halaman bangunan itulah sepeda motor yang membawa saya parkir. Mata saya tertumbuk pada muda-mudi yang sedang bercengkrama di sebuah sudut, tak jauh dari kantor polisi kampung. Hawa mesum mulai terasa.

Tak jauh dari “Putri Khayangan” terdapat gedung serba guna yang biasa digunakan warga untuk pertemuan atau sekedar menerima pengarahan dari pejabat yang berkunjung ke sana. Gedung ini berada di tengah lapangan. Pada sisi utara gedung, sebuah peti bercat putih ukuran sekira 40 cm x 70, terlihat menempel di dinding. Inilah yang disebut “ATM Kondom.” Dengan memasukkan tiga koin Rp 500-an, seseorang bisa mendapatkan sebungkus kondom.

Kondom bukanlah dimaksudkan untuk menggantikan koteka, tapi untuk menyangga kebutuhan seks cepat di situ. Kampanye kondom memang luar biasa di hampir seluruh Papua. Muasalnya, Papua dianggap sebagai daerah rentan HIV/AIDS. Pusat penyebaran HIV/AIDS terkonsentrasi di tiga kota: Timika, Merauke dan Jayapura.

Sebelumnya, Merauke di peringkat ke satu. Sejak awal Desember 2005, kedudukan itu digantikan Timika. Ini kata dokter Maurits Okoserai, kepala Dinas Kesehatan dan Keluarga Berencana Kabupaten Mimika.

Cemas akan penyebaran virus HIV/AIDS sampai-sampai kalangan eksekutif di sana memandang perlu adanya peraturan daerah mengenai pemasaran dan kampanye penggunaan kondom. Rancangan peraturan tersebut kini sedang digodok.

Pejabat boleh dilanda kecemasan, warga di Kilometer 10 tetap dengan kegiatan rutinnya. Begitu malam tiba, mereka bersiap diri menyambut tetamu. Mami-mami dan papi-papi, sebutan untuk para mucikari, biasa duduk-duduk di serambi. Bangunan-bangunan di sana memang hampir seluruhnya didisain khas warga pesisir Jawa Timuran. Ada serambi tempat berangin-berangin.

SEJAK pemberlakuan otonomi khusus Papua pada 2001, seluruh desa diubah nama menjadi kampung. Kecamatan jadi distrik. Lokalisasi Kilometer 10 berada di kawasan Mappuru Jaya, sebuah daerah pelabuhan laut, tepatnya di Kampung Kedung Jaya, Distrik Mimika Timur Jauh, Kabupaten Mimika.

Kabupaten ini, wilayah tambang tembaga dan emas PT Freeport Indonesia, terletak pada 134◦45´ – 147◦45´ Bujur Timur dan 40◦0´ – 5◦10´ Lintang Selatan. Sebelum otonomi khusus, Mimika hanyalah sebuah kecamatan bernama Mimika Timur, yang berada dalam zona administratif Kabupaten Fak-fak. Otonomi membuat Mimika pesat perkembangannya.

Sarana infrastruktur Mimika relatif lebih kuat dari daerah-daerah lain di Papua. Transportasi udara disangga oleh bandar udara Moses Kilangin, yang memiliki landasan berskala internasional. Transportasi laut bersandar pada beberapa pelabuhan di kawasan Poumako. Awal Desember 2005, Pelabuhan Poumako III, yang dapat dilayari oleh kapal-kapal besar, resmi dioperasikan. Ini akan lebih mengencangkan lagi denyut perekonomian di sana.

Lokalisasi Kilometer 10 berkembang bersama pertumbuhan daerah Mimika. Sebelum otonomi khusus, komunitas seks komersial terbatas jumlahnya. Sampai pertengahan 1980-an, mereka umumnya tersebar secara sporadis di sekitar kawasan Bougenville di Distrik Mimika Baru. Mereka kemudian pindah ke Pad XI di Mimika Timur mulai awal 1990-an.

Mereka belakangan direlokasi ke Kampung Kedung Jaya, pada paro kedua 1990-an. Disebut “Kilometer 10” karena sebelum kampung itu berdiri, tempat itu memang berada di Kilometer 10 dari pusat Kota Timika. Kaum hidung belang tak jarang menyandi tempat itu dengan kosakata “bawah.” Maka, kalau saat berada di Timika tiba-tiba kolega Anda bilang, “Kita ke bawah yuk” – itu artinya mengajak Anda untuk mendatangi tempat itu.

Sampai kini, di lokalisasi itu terdapat 21 “wisma.” Setiap wisma dilengkapi sebuah bar dan ruang tamu. Beberapa di antaranya memajang monitor televisi layar lebar selayaknya diskotik kota besar. Sejumlah anak muda melantai di situ dalam kondisi on.

Musik yang mengiringi mereka tak hanya bersumber dari ruang bar, tempat load speaker berada. Tapi juga dari tetangga sebelah. Asal tahu saja, seluruh wisma menyetel musik kencang-kencang, padahal antar satu bangunan dengan bangunan lain berdempet-dempetan. Pop melankolis, house music, dangdut remix, campursari, sahut-menyahut, berbaur jadi satu membentuk genre musik kacau-balau khas Kilometer 10.

Seluruh wisma pun punya gaya arsitektur yang sama. Sehabis ruang tamu, lantai dansa dan bar, berbaris kamar-kamar kecil seukuran kira-kira 2 meter x 4 meter (sudah termasuk kamar kecil di dalamnya). Kamar-kamar ini berderet dari beranda depan hingga ke belakang, bermuka-mukaan yang terpisah oleh sebuah koridor. Jumlah kamar bervariasi: dari 20 sampai 35 kamar. Setiap kamar rata-rata dihuni seorang pekerja seks.

Dari data yang ada sampai awal Desember 2005, kebanyakan pekerja seks berasal dari daerah Jawa Timur, terutama daerah-daerah miskin macam Sidoarjo, Kediri, Pandaan, Tretes. Ada juga dari daerah lain, semisal Iceu, yang berasal dari Bandung. Hanya ada satu Iceu di sana, yang berbicara Melayu dalam cengkok Sunda. Lainnya, melulu dialek Jawa Timuran yang bledak-bleduk.

Perempuan-perempuan Jawa Timur tampaknya sangat dominan dalam bisnis hiburan di Mimika. Mereka tak hanya menguasai areal lokalisasi itu, tapi juga bisnis hiburan lainnya, termasuk timung (panti pijat). Hampir semua timung berada di jantung kota Timika, ibukota Mimika, mulai ruas-ruas jalan protokol sampai sejumlah gang.

Perempuan-perempuan timung memasang “tarif basah” Rp 500 ribu sampai Rp 600 ribu. Ini belum termasuk booking fee. Besar booking fee tergantung di mana di mana hendak “dipijat.” Kalau di dalam kamar, di tempat mereka praktek, booking fee sebesar Rp 50 ribu per jam. Artinya, pijat dengan “basah-basahan” plus minuman, jatuhnya antara Rp 600 ribu sampai Rp 700 ribu.

Tarif BL, istilah mereka untuk “booking luar”, beda lagi. Besarnya Rp 60 ribu per jam dengan lama booking minimal dua jam. Digabung dengan “tarif basah” maka total jenderalnya bisa mencapai antara Rp 700 ribu sampai Rp 800 untuk short time. BL sampai pagi lebih besar lagi, mengingat booking fee tidak tergantung jam, tapi tarif flat sebesar Rp 200 ribu, plus “tarif basah” dan tips pulang pagi.

 “Ya Bapak mengertilah. Di Timika ini semuanya mahal,” kata seorang perempuan bernama Dila, seorang pemijat di salah satu timung di Jalan Cendrawasih. Saya kira nama itu “nama bisnis.”

Mahalnya perempuan-perempuan timung memberi celah bagi Kilometer 10 untuk berkembang dan selalu ramai pengunjung. Di sana, harga seks komersial untuk short time hanya Rp 50 ribu. Pendeknya, dengan uang Rp 75 ribu sampai Rp 100 seorang hidung belang sudah dapat menikmati seks cepat, termasuk tarif kamar yang Rp 10 ribu per sekali booking plus minuman soft drink. Harga yang murah meriah, dan bisa dijangkau oleh kuli pelabuhan sekalipun.

Tapi jangan salah kira, mereka yang datang ke sana tak hanya dari kalangan kelas bawah. Kendaraan-kendaraan mulus roda empat, yang parkir di depan sejumlah wisma, mengindikasikan kalau mereka bukanlah kaum pinggiran dengan penghasilan ala kadarnya. Saya pernah bertemu seorang pejabat keuangan Timika keluar dari suatu bar.

DEKAT sofa tempat saya duduk, di bawah kolong meja, berceceran botol-botol minuman keras sejak vodka sampai Mansion House. Beberapa pekerja seks cekikikan ketika saya memesan segelas kopi. “Mbah dari mana ini?” kata seorang di antaranya meledek sambil senyam-senyum. “Ngantuk nih,” ujar saya. Mata memang sepet. Jarum jam menunjukkan pukul 00.15.

Air kopi atau teh tak pernah masuk daftar minuman di hampir semua bar di sana. Minuman soft drink semacam Cocacola atau Sprite malahan sering stoknya habis di beberapa bar menjelang dinihari. Seorang teman pernah keliling bar sekadar untuk mendapatkan soft drink itu.

Minuman favorit yang selalu tersedia adalah Kratindaeng dan sejenisnya, juga berbagai merek minuman keras dan bir. Sejatinya, minuman keras dilarang diperdagangkan, tapi larangan tinggal larangan. Prakteknya, minuman keras ada hampir di semua bar. Bagi sebagian orang, selain surga seks komersial, Kilometer 10 adalah surga bagi peminum dan pemabuk.

Bar memang tidak memajang minuman-minuman keras di raknya. Tapi, begitu kita minta, simsalabim dalam beberapa detik sebotol minum sudah di depan kita. Pramusaji bar tak canggung-canggung memberikannya. Setengah jam duduk di sofa bar, sedikitnya delapan botol minuman keras berpindah tangan dari pramusaji ke pengunjung.

Keberanian mereka untuk menjual minuman alkohol, pastilah ada latarnya. Dan benar saja. Banyak bar yang menganggap bahwa penjualan minuman keras merupakan kompensasi dari dikenakannya retribusi atas bir. Sejauh saya lihat, hampir seluruh bir di sana memang ditempeli cukai di kaleng penutupnya.

Cukai bir sebesar Rp 300 ribu per bulan untuk satu bar. Saya belum sempat menanyakan dasar hukum retribusi semacam itu kepada pemerintah daerah setempat. Apapun dasarnya, saya cenderung membayangkan datangnya jawaban birokratis, kalau bukan apologis. Ujung-ujungnya, orang mafhum, lokalisasi, di mana pun tempatnya, adalah sasaran paling empuk bagi penguasa untuk mengeruk uang – di bawah dalih retribusi untuk pemasukan kas pendapatan daerah.

Saya tidak sedang menuding-nuding. Keadaan menunjukkan, di luar cukai bir, masih ada sederetan retribusi lain. Setiap kamar, misalkan, dikenai retribusi Rp 25 ribu per bulan. Satu wisma yang memiliki 30 kamar praktis harus mengeluarkan uang retribusi sebesar Rp 750 ribu per bulan. Dengan sendirinya, dalam satu bulan, pemerintah mendapatkan retribusi kamar berkisar antara Rp 15 – 17 juta.

Tak hanya sampai di situ. Pemerintah juga menarik pajak lantai bar dan ruang Rp 1.000 per meter persegi per hari. Dengan luas rata-rata 10 meter persegi saja, satu wisma harus mengeluarkan uang sebesar Rp 300 ribu per bulan. Tarikan retribusi dari seluruh wisma tinggal dikalikan 21 wisma.

Ada juga retribusi dari Dinas Pariwisata sebesar Rp 1 juta per bulan. Belum lagi penarikan dana lain-lain, mulai keamanan, sampah atau dana kunjungan pejabat ke sana. Pendeknya, setiap bulannya, satu wisma mengeluarkan retribusi paling minim Rp 2 juta.

Bisa dipahami kalau penghasilan pekerja seks di sana kecil-kecil. Mereka harus menyubsidi mami atau papinya yang dicekik pajak kanan-kiri, resmi dan tidak resmi. Seorang pekerja seks sering hanya mengantongi Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu dari satu tamu. Masih lumayan kalau sehari semalam mereka mendapatkan Rp 50 – 100 ribu. Tapi uang sebesar itu kadang lewat begitu saja, sebab mereka pun ternyata terbiasa hidup sepelaminan dengan para rentenir.

Kecilnya pemasukan sering menyebabkan pekerja seks tak bisa pulang ke kampung halamannya selama bertahun-tahun. Mereka terhadang ongkos tiket pesawat terbang yang jutaan rupiah. Perempuan-perempuan timung saja, yang sedikit lebih makmur, rata-rata pulang setahun sekali.

Tak usah heran kalau di sana ada istilah STW, yang artinya “setengah tua.” Ini istilah untuk pekerja seks di atas usia 30 tahun. Mereka sering sulit pulang kampung lantaran semakin tua semakin susah mendapatkan tamu. Hari-hari mereka sepenuhnya bergantung pada keajaiban, penantian dan kerinduan pada kampung halamannya. [end]

* Agus Sopian berada di Timika pada 21 November – 13 Desember 2005, menjadi redaktur tamu Radar Timika dan mengampu beberapa workshop yang diselenggarakan Yayasan Pantau dengan sponsor PT Freeport Indonesia.

kembali keatas

by:Agus Sopian