Rahim Api

Triyanto Triwikromo

Mon, 2 February 2004

KAU tak perlu menganggap bayi berselimut selendang merah bermotif burung funiks itu sebagai makhluk ajaib yang dijatuhkan dari langit.

KAU tak perlu menganggap bayi berselimut selendang merah bermotif burung funiks itu sebagai makhluk ajaib yang dijatuhkan dari langit. Kau juga tak perlu bertanya, mengapa seorang perempuan menghanyutkannya dalam keranjang rotan ke sungai, setelah bulan menghilang di balik kelenteng tua berornamen naga kembar.

Mungkin sebelum memberikan tetes susu terakhir, perempuan itu telah meminta izin pada para sien bing1 untuk tak lama-lama menimang sang bayi. Mungkin dia percaya sungai penuh tinja akan menjelma ibu, melindungi si kecil dari amuk kabut, menimangnya sepanjang malam, dan mendesiskan senandung-senandung purba dalam desau sengau, dalam rintih perih.

”Apakah para pemuja Hok Tek Tjeng Sien, Kwan Sing Tee Koen, dan Kwan See Im Po Sat2 tak berhamburan keluar?”

Tidak. Saat genta-genta berkelonengan dari gereja yang jauh, rumah ibadat penuh buah-buahan dan asap hio itu sangat mungkin telah ditinggalkan para pemuja. Jadi, mengertilah, aku hanya mendengar sisa tangis bayi, melihat darah segar yang masih melekat di rambut, lampu-lampu di bantaran sungai yang mengilaukan air, dan tangan perempuan yang berusaha menghanyutkan makhluk mungil itu.

”Semalam kota ini diguyur hujan, bukan? Bagaimana mungkin ada bulan yang menghilang di balik kelenteng?”

Hujan deras memang mengguyur kota ini. Namun, setelah itu, hanya gerimis riwis yang membentur-bentur setiap genting. Dan, kau tahu, mataku masih sangat awas untuk menatap bayi itu hanyut, terapung-apung di antara tinja, ember-ember plastik, dan bangkai ayam. Sesaat kemudian (dan kuanggap ini sebuah keajaiban!) berpasang-pasang makhluk hitam (mungkin kelelawar) terbang berpusing-pusing semeter di atas kepalanya. Mereka membentuk semacam payung, pemerisai dari deraan gerimis, bagi sang bayi.

”Bayi itu tak menangis?”

Tentu saja ia menangis. Burung pun menangis saat kehilangan induk. Tidak! Tidak! Mungkin ia tak menangis, tapi bercakap-cakap dengan kawanan kelelawar itu dalam bahasa yang mereka saling pahami. Dan kita menganggap dia sedang menangis. Jadi, aku yakin benar bayi itu masih hidup ketika dia hilang dari pandanganku yang kian merabun. Sekarang pun tangisnya masih mengiang. Sekarang pun aku mengira dia telah ditimang oleh perempuan lain yang sangat mendambakan seorang anak yang dikirim dari langit.

”Mengapa kau tak berusaha menyelamatkannya?”

Kausangka aku bisa menyelamatkan dia? Kausangka dia akan mau kutimang dengan sepenuh jiwa? Ibunya pun tak sanggup, apalagi aku cuma pelacur yang ingin mengunjungi Kuil Naga Kembar?

”Kalau begitu kau patut dipersalahkan!”

Dipersalahkan? Salah atas apa? Kaupikir hanya karena kau tak melihat bayi itu terapung-apung di antara tinja dan sampah busuk, kau bisa menganggap diri sebagai makhluk paling benar. Cih! Kau sendiri yang salah. Mengapa malam itu kau hanya tidur-tiduran di rumah? Mengapa kau tak memandang bulan hilang di balik kelenteng dan menatap lama-lama sungai yang melintas di depan rumah ibadat yang senantiasa kaupuja itu? Lagi pula ia belum tentu mati. Jadi, sudahlah, izinkan aku pergi! Izinkan aku memburu pria pujaan yang bakal memberiku bayi. Aku butuh bayi yang lahir dari rahimku. Aku tak butuh makhluk buangan yang dihanyutkan itu.

Perempuan Anjing

”JADI kau ingin menceritakan kenapa perempuan itu menghanyutkan bayinya ke sungai?”

Ya. Tentu saja. Tentu saja aku akan menceritakan siapa perempuan yang mungkin kausangka sebagai manusia paling laknat di dunia itu. Akulah yang paling mengerti mengapa dia mabuk semalaman sebelum akhirnya mengunjungi Kuil Naga Kembar, memohon ampun pada siapa pun yang menghuni rumah ibadat, dan menghanyutkan bayi itu ke sungai. Dan harus kaumengerti, tak seorang pun berhak mempersalahkan perempuan malang, putriku yang bisu itu. Dia anakku. Akulah yang paling mengerti mengapa dia berbuat demikian. Akulah yang paling mengerti mengapa dia tak mau mengasuh makhluk mungil itu.

”Itu berarti …”

Sudah sembilan bulan aku mengurung dia di gudang bawah tanah. Selama itu pula dia membisu. Selama itu pula dia hanya mondar-mandir di sepetak ruang. Kadang-kadang dia bermain-main dengan serangga, katak, atau … ular. Aku juga memasang obor dan memasukkan seekor anjing di ruang gelap itu. Jadi, dia tak kesepian. Ya, aku tahu dia tak kesepian. Seekor anjing dan makanan yang cukup telah membuat dia sebagai perempuan sehat yang sangat siap melahirkan jabang bayi yang sehat pula. Dan kau tahu, anjing itu sungguh sangat setia. Setiap putriku telentang, dengan mesra ia menjilat-jilat perut anakku yang membuncit itu. Lidahnya seakan-akan menjelma tangan-tangan pria perkasa yang tak kunjung henti mengelus-elus perut sang kekasih.

”Kenapa kaukurung dia di gudang bawah tanah?”

Karena aku membenci kebisuannya. Karena aku tak tahan tak menampar kedua pipinya. Karena aku tak sanggup menatap perutnya yang membuncit. O … perut itu sangat mengejekku. Perut itu kadang-kadang menjelma pisau yang mengiris-ngiris.

”Jangan berlebihan …”

Aku tak berlebihan. Perut yang terus membuncit itu benar-benar telah membuatku kehilangan banyak hal. Kehilangan keremajaan putriku. Kehilangan kepercayaan pada tubuh indahku yang sejak dulu memesona para pejantan kekar. Kehilangan kepercayaanku pada segala isi rumah. Dan yang paling parah …, aku kehilangan kepercayaan kepada ….

”Kepada pria yang diam-diam menghamili putrimu?”

Itulah masalahnya. Kau pasti menyangka putriku hamil karena perbuatan biadab pejantan-pejantan laknat. Kau pasti menyangka dia diperkosa oleh anjing-anjing gila yang pernah membakar kota ini. Kau pasti mengira zombi-zombi gila itu menyerbu rumah kami, memecahkan keramik-keramik indah, menyeret putriku ke toilet dan mencumbunya beramai-ramai. Tidak! Tidak! Mereka memang membakar gadis-gadis tetangga. Namun, tak seorang pun berani menjamah putriku. Kau tahu saat mendengar huru-hara itu, epilepsi tengah menyerang putriku. Penyakit itu, kutukan itu, justru menjauhkan anakku dari keberingasan. Karena itu, setelah huru-hara reda, aku tak lagi menganggap epilepsi sebagai kutukan.

Ya, ya, rumah kami memang tak terbakar. Namun, sudah sembilan bulan ini rumah kami sangat panas. Perut putriku yang terus membuncit itu setiap saat memercikkan api. Nyalanya melebihi derajat tertinggi pada termometer Celcius yang terpajang di dinding. Panasnya melebihi nyala kompor dalam volume maksimal.

”Sudah! Sudah! Kata-katamu yang kosong-melompong itu telah dicatat. Kini, jawablah pertanyaan terakhirku: mengapa kau tak berusaha melarang putrimu menghanyutkan bayinya ke sungai?”

Melarang? Ha ha ha! Akulah yang menyuruh dia menghanyutkan bayi sialan itu. Bagaimana mungkin aku memperbolehkan bayi dari benih pria pemabuk itu hidup bersama kami. Tidak! Tidak! Aku tak ingin punya cucu jahanam dari benih laki-laki anjing.

”Jadi kau tahu siapa yang menghamili putrimu?”

(Perempuan itu mulai menangis. Bibirnya bergetar hebat.)

”Kau tahu? Ayo jawab! Kau tahu siapa yang memerkosa anakmu?”

Dia …

”Siapa?”

(Tak ada jawaban. Namun interogator itu tahu lelaki macam apa yang berani mencumbu gadis bisu yang tak memiliki kekuatan untuk menolak rengkuhan sepasang tangan. Interogator itu pernah mendengar cerita tentang pematung yang setiap malam bermimpi bercumbu dengan patung kesayangan.)

”Sekarang pulanglah. Besok aku akan memanggil pria brengsek itu.”

Bulan Liar

ADUH, jangan menggebrak meja dan membentak-bentak aku seperti itu. Tanpa kausuruh menceritakan nasib bayi itu, aku akan mendongengkan kisah malang yang mendera putri dan cucu terkasihku. Kau juga jangan terus-menerus mengejekku sebagai laki-laki brengsek. Sepanjang hidupku sudah brengsek. Nasibku sudah nelangsa.

Tetanggaku, kau tahu, selalu menganggap aku sebagai laki-laki hantu, beristri iblis, dan beranak setan. Semua itu bermula dari ketakutan kami –aku, istri, dan putriku– pada dunia luar. Pada matahari yang menyengat, angin yang mengigau bagai hantu, orang-orang beringas yang nyaris membakar rumah, dan para laki-laki zombi yang …

”Jangan berbelit-belit! Ceritakan mengapa putrimu menghanyutkan bayi itu dan siapa yang menghamilinya?”

Putriku? O, putri malangku! Istriku telah menyimpan bidadari cantik itu di gudang bawah tanah bersama seekor anjing. Tak tahan melihat dia tersiksa, aku selalu menemani dia menghabiskan hari-hari yang busuk. Kami sering makan bersama. Pada saat yang sama dua-tiga ekor kecoa ikut merubungi piring, sedang anjing kesayangan kami menjulur-julurkan lidahnya di seputar piring.

”Kau tidur bersama anakmu?”

Tidak pernah! Hanya anjing dan kecoa-kecoa itu yang menemaninya hingga dia melahirkan makhluk mungil yang tak sempat kulihat ari-arinya.

”Jangan berbohong!”

Aku tak pernah berbohong. Namun, kau jangan lantas menganggap putriku bercumbu dengan anjing itu. Siapa pun boleh menganggap putriku sebagai perempuan jahanam, tetapi dia tak pernah bercinta dengan anjing. Anjing kami, kau tahu, adalah hewan paling setia yang menjaga putriku menunggu kelahiran bayi setan.

”Bayi setan?”

Ya. Bagaimana bukan bayi setan jika benihnya berasal dari orang-orang beringas yang membakar dan menghajar setiap perempuan berkulit kuning gading? Bagaimana bukan bayi setan jika ayahnya adalah lelaki yang memukulku dengan pentungan kasti dan mencumbu anakku di depan pria tua yang hampir sekarat.

”Namun istrimu bilang kau …”

Oh … jangan kaupercaya kata-kata busuk perempuan setan itu. Sudah lama –maaf sejak aku impoten– dia ingin mengusirku dari rumah, hanya agar dia bisa bebas main gila dengan lelaki lain. Dia hanya ingin menjerumuskan aku ke penjara. Terus terang, aku orang pertama yang tak setuju dia menyimpan putriku di gudang. Aku juga tak setuju dia memaksa putriku menghanyutkan bayi itu ke sungai.

Maka ketika malam itu bulan tampak bersinar liar di balik kelenteng dan putriku mengendap-endap ke pinggir sungai, aku menguntit dari belakang. Aku memang melihat anakku menghanyutkan keranjang. Aku ingin melarangnya. Namun segalanya terjadi begitu cepat. Arus segera melontarkan keranjang itu ke tengah sungai. Jadi, jangan kauanggap aku tak kehilangan. Aku adalah orang pertama yang terjun ke sungai dan berusaha menggapai selendang bermotif funiks yang membungkus bayi itu. Ketahuilah, Tuan, saat itu aku khawatir makhluk mungil itu diganyang oleh para pemakan bangkai yang senantiasa berjaga-jaga mencari mangsa di ujung sungai ketika banjir mendera, ketika segala benda dihanyutkan oleh arus yang mahaperkasa.

Para Pemakan Bangkai

BENAR … kami memang makan dari segala makhluk yang dihanyutkan oleh sungai ini. Namun kami tak pernah makan orok sekalipun mungkin dia sudah mati. Malam itu sungai ini memang menghanyutkan bangkai tikus, anjing, ayam, kucing, dan mungkin kambing.

Bersama anak-anak dan suamiku, aku melihat bangkai seukuran genjik3 dalam keranjang yang mengapung-apung di antara sampah, tinja, dan kayu-kayu rapuh.

”Hore! Kita bakal makan kambing,” aku berteriak mirip orang kesurupan.

”Celeng! Celeng! Kita akan makan celeng.” Air liur anak-anakku menetes-netes ketika bangkai itu melesat ke mata dari jarak sepuluh depa.

”Tunggu dulu! Jangan bermimpi makan enak dulu. Lihatlah, makhluk dalam keranjang itu masih bergerak-gerak. Kita pantang makan apa pun yang masih bernyawa,” teriak suamiku sambil berkacak pinggang di atas jembatan.

Kami kemudian bergeming, menahan air liur yang hendak menetes. Dan itu berarti kami kehilangan berkah. Arus yang deras telah melesatkan keranjang itu ke arah yang bertolak belakang dengan pandangan mata kami.

”Berbaliklah! Pandang dengan mata nanar. Keranjang itu tak berisi genjik atau kirik4. Mungkin berisi orok. Ya, mataku belum lamur. Keranjang itu berisi bayi berselimut selendang bermotif burung funiks,” suamiku berteriak setengah menghardik.

Aku tetap bergeming. Namun di luar dugaan ketiga anakku –yang sangat kelaparan– berenang dan berebutan menggapai keranjang itu.

Dan mereka berhasil?

Tidak. Keranjang itu melesat begitu cepat, meninggalkan anak-anakku yang telah kehabisan tenaga untuk memikirkan apa yang harus dimakan malam itu.

Hanya itu yang bisa kauceritakan?

Tentu saja tidak. Pada saat yang bersamaan aku melihat perempuan ranum dengan perut membunting berlari-lari di bantaran sungai. Dia bergegas mengejar sesuatu yang hanyut ke sungai, seperti menyisir kelam. Tak lama kemudian muncul juga seorang perempuan setengah baya yang ngomel, ”Anak sialan, mengapa dia pamerkan bayi setan itu kepada semua orang?”

Dan aku haruskah membiarkan orok itu terus terapung-apung di sungai hanya karena terlalu percaya pada pada nubuat leluhur yang menujum bayi itu bakal jadi ratu adil setelah ditemukan dan dipelihara oleh lelaki bertongkat ular?

Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu. Yang jelas aku juga melihat pria tua –mungkin sedang mabuk– menceracau tak keruan. Sambil berlari membawa senter dia berteriak membelah kelam. ”Aku tak mau kehilangan kamu untuk kali kedua, Anakku. Kau tak boleh meninggalkan rumah. Nanti kau dimangsa anjing lagi. Nanti kau jadi korban kebiadaban mereka lagi.”

Dan yang tak habis kumengerti tiba-tiba muncul perempuan berdandan menor (mungkin pelacur) menatapku dengan sorot mata dengki. Tak kubalas sambaran keji dari mata yang melotot itu. Aku kaget ketika mendengar dia mendesis-desis dan menyebut-nyebut nama orok dalam keranjang yang hanyut ke muara itu. ”Musaku, Yesusku, Siddhartaku, kau tak akan mati, Anakku. Kau hanya tidur di atas sungai yang tak tidur5. Kau hanya hanyut. Mungkin ke laut. Ke laut. Ke laut …”

Pada saat itu, kau tahu, anak-anakku terus menangis. Kelaparan mereka begitu mengiris-iris ulu hati. Jadi, sudahlah. Jangan kautanyakan lagi mengapa seorang perempuan menghanyutkan bayinya dalam gerimis yang tak kunjung henti. Jangan kautanyakan lagi mengapa kami juga tak mampu menyelamatkan sang jabang bayi.

Aku yakin bayi itu belum mati. Mungkin dia tidur di atas sungai yang tak tidur. Mungkin hanya hanyut. Hanya hanyut. Hanya hanyut …6*

Semarang, 15 September 2003

Catatan:

1) Sien bing adalah ungkapan dalam bahasa Cina yang berarti para suci.

2) Hok Tek Tjeng Sien, Kwan Sing Tee Koen, dan Kwan See Im Po Sat adalah para suci yang antara lain dipuja di Kelenteng Siu Hok Bio. Siu Hok Bio merupakan salah satu kelenteng tertua di Indonesia. Seiring perkembangan zaman, kelenteng yang semula berdekatan dengan sungai itu kini berada di tengah-tengah bangunan yang menjulang tinggi. Saya meminjam kelenteng ini hanya sebagai setting.

3) Genjik (Jawa) adalah anak babi.

4) Kirik (Jawa) adalah anak anjing.

5) Teringat larik tidurlah di atas bumi yang tak tidur dalam sajak “Nina Bobok” Goenawan Mohamad.

6) Dalam sastra modern, struktur dan pengisahan semacam ini –dalam bentuk yang lebih sederhana– pernah digunakan Ryonosuke Akutagawa dalam Rashomon. Namun, cerita ini sangat terinspirasi oleh struktur dan pengisahan dalang saat nyanggit wayang. Saya sangat berutang budi kepada Ki Manteb Soedharsono yang rela meluangkan waktu untuk saya wawancarai semalam suntuk.

kembali keatas

by:Triyanto Triwikromo