Pemilu dan Dewan Pers

M. Said Budairy

Mon, 2 February 2004

BULAN depan, tepatnya pada 11 Maret 2004, masa kampanye untuk pemilihan umum anggota lembaga legislatif pusat dan daerah akan dimulai.

BULAN depan, tepatnya pada 11 Maret 2004, masa kampanye untuk pemilihan umum anggota lembaga legislatif pusat dan daerah akan dimulai. Kampanye ini jelas akan berbeda dibanding dengan kampanye-kampanye sebelumnya. Setelah memilih legislatif, warga akan melakukan pemilihan lain: pasangan presiden dan wakil presiden pada Juni 2004.

Untuk Pemilu anggota badan legislatif agaknya akan berlangsung ketat dan seru. Ada segerobak aturan main yang harus dipatuhi dan ada banyak lembaga yang mengamati pelaksanaannya. Aturan mainnya bersumber dari undang-undang, dan dijabarkan dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Badan atau lembaga yang memantau dan mengawasi berbagai rupa pula. Ada Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) yang aktifitas-aktifitas pertamanya lebih disuarakan oleh salah seorang anggotanya saja, bukan oleh ketuanya yang sepertinya menjadi ‘pendiam’. Ada pula sejumlah lembaga swadaya masyarakat pemantau dan pengawas Pemilu, yang keswadayaannya tidak alergi terhadap bantuan dana dari badan-badan internasional.

Beda dengan kampanye Pemilu anggota lembaga legislatif masa lalu, persaingan dalam Pemilu mendatang ini akan melahirkan dua dimensi. Pertama, persaingan antar 24 partai politik peserta Pemilu untuk memenangkan partainya masing-masing. Kedua, persaingan terbuka antara teman separtai sendiri dalam usaha untuk mengumpulkan suara agar para calon anggota legislatif itu dapat memenangkan dirinya sendiri. Kalau mau lolos terpilih tanpa hambatan apapun, suara yang terkumpul harus mencapai BPP (Bilangan Pembagi Pemilih). Yaitu, jumlah suara di suatu daerah pemilihan, dibagi jumlah kursi yang tersedia di daerah pemilihan tersebut. Kampanye akan berlangsung selama tiga minggu untuk dua jenis persaingan itu.

Untuk pasangan presiden dan wakil presiden, karena calonnya banyak, maka pemilihannya tidak mungkin bisa satu putaran. Sulit mempercayai di antara sekian banyak pasangan calon itu ada pasangan yang dalam satu putaran berhasil mengumpulkan sekitar 75.000.000 suara sah. Diprediksi, hampir pasti akan terjadi dua kali putaran.

Sistem pemilihan secara nasional itu untuk pertama kalinya diselenggarakan di Indonesia. Lebih dari 145 juta orang berhak memilih. Pemilihan dilakukan serentak di seluruh negeri, pada hari yang sama dan periode jam yang sama disesuaikan dengan waktu setempat.

Bagaimana wajah media massa kita, cetak maupun elektronik, menatap dan melaksanakan fungsi persnya dalam gejolak lima tahunan itu nanti? Beragam perilaku bisa muncul. Yang lurus-lurus berjalan sesuai dengan kaidah etika jurnalistik tentu dominan. Tapi, dari pengalaman Pemilu yang lalu, tidak mustahil terjadi penyimpangan-penyimpangan. Misalnya, kalau istilah money-politic sudah begitu tenar, seberapa besar kemungkinan merebaknya “money-berita” pada musim kampanye nanti?

Pelaku yang menyemarakkan budaya money politic bisa diseret ke pengadilan, walau realisasinya amat merisaukan. Tetapi terhadap mereka yang terlibat “money-berita”, jaksa dan hakimnya “hanyalah” norma etika. Saya khawatir media massa bisa menjadi sasaran kekerasan, jika tidak mengindahkan aturan main yang benar. Kantor partai saja bisa dihancurkan dan dibakar oleh anggota partai itu sendiri akibat konflik internal. Kebrutalan sejenis itu mungkin saja terjadi terhadap lembaga pers, akibat kalangan pers tidak menyiapkan diri.

Lembaga-lembaga pengendali dan pemberangus pers sudah tidak ada. Yang sekarang ada Dewan Pers, anak kandung Undang-Undang Pers No. 40 Tahun l999. Fungsinya antara lain, melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain; menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik; mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah.

Pengurus Dewan Pers independen periode pertama sudah mengakhiri masa jabatannya. Pengurus baru sudah diresmikan melalui Keputusan Presiden 13 Agustus 2003 yang lalu. Ada kesan kuat pengurus Dewan Pers yang sekarang ini agak memble karena menghadapi banyak kendala. Soal dana, misalnya. Tidak seperti Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, sebagai contoh, yang memperoleh sebagian dananya dari negara tapi bisa tetap independen. Dewan Pers ragu, karena sebagian anggotanya berpendapat jika memperoleh dana negara berakibat menjadi tidak independen. Dilema yang terbangun dengan landasan tidak jelas itu mempersulit dirinya sendiri. Dalam keadaan demikian, ada kendala yang lain, ketua Dewan Pers yang sekarang berdomisili di Yogyakarta, terikat dengan tugas-tugas di kota itu juga. Selain, seperti yang saya tangkap dalam pembicaraan dengan sang ketua, Prof. Ichlasul Amal, mondar-mandir Yogya – Jakarta biayanya mesti merogoh kantong sendiri. Masih ditambah lagi komposisi personalia yang jumlah working journalist-nya minim sekali.

Entahlah, Prof. Nazaruddin, ketua Komisi Pemilihan Umum, memandang penting apa tidak melakukan kontak dan kerjasama dengan Dewan Pers. Atau sebaliknya, apakah Dewan Pers merasa cukup bersikap dan baru akan bertindak jika ada pengaduan dan keluhan dari publik yang merasa didzalimi pers; atau jika ada pengaduan dari kalangan pers tentang terganggunya kebebasan pers.

Taruhannya cukup besar tanpa melakukan antisipasi yang memadai. Dan mengingat berat, penting dan mulianya amanah yang dibebankan pada pundak Dewan Pers, saya khawatir mereka yang bekerja tidak fokus dan berleha-leha sebagai pimpinan dan anggota Dewan Pers, bisa “kuwalat” oleh obsesi banyak kalangan yang ingin menyaksikan terwujudnya kebebasan pers yang berahlak mulia.*

kembali keatas

by:M. Said Budairy