YANTO Unyil menegak sebotol minuman arak. Mungkin dia hendak menghangatkan tubuh. Udara Bandung akhir tahun lalu memang terasa lebih dingin. Padahal Yanto berpenampilan agak terbuka: rambut plontos, busana minimalis. “Ini kekayaan saya saat ini,” ujar Yanto, mengacungkan botol arak itu, kemudian menegak lagi.

Tampilannya mungkin aneh buat kebanyakan orang. Bagian kiri-kanan rambut Yanto terpangkas, hanya menyisakan sejumput rambut bagian tengah dengan lebar lima centimeter, memanjang dari depan hingga bagian belakang kepalanya. Sebuah piercing di daun telinga, sepatu bot hitam sepuluh lubang buatan Docmarteen di kaki, sabuk kulit penuh logam berwarna perak di pinggang, dan celana jins kumal membungkus ketat kaki. Tampilan seram ini dilengkapi pula oleh tato di beberapa bagian tubuh, dan gelang spike dengan logam paku runcing di pergelangan tangan.

Yanto hanyalah seorang dari komunitas punk. Dandanannya ala Skinhead. Teman-temannya tak jauh beda. Mereka umumnya menggunakan gaya Mohawk, rambut berdiri runcing penuh warna-warni. Tak sedikit pula yang menggunakan pengikat leher anjing. Bagi mereka, busana yang dikenakan menyiratkan tentang simbol-simbol perlawanan. Rambut Mohawk bercerita tentang ketertindasan suku Indian, Amerika. Sepatu bot berarti tentang pertahanan diri.

Komunitas punk Bandung memilih hidup di jalanan. Biasanya, mereka terlihat kongko-kongko di belakang bangunan mal Plaza Bandung Indah, Jalan Merdeka. “Komunitas di sini lahir sekitar tahun 1996,” ujar Toro, penggebuk drum Keparat, pionir kelompok musik punk Bandung.

Tapi, sore itu Bandung nyaris sepi tanpa punk. “Jam segini sih biasanya sudah kumpul. Wah ramai. Sekarang, saya juga enggak tahu kenapa sepi,” kata Sansan, pengikut punk.

“Studio sengaja saya tutup. Saya ingin menikmati malam tahun baru ini. Eh …malah sepi,” timpal Heri Erik, salah satu personil Blackboot, kelompok musik punk asal Yogyakarta, yang sedang berlibur di Bandung.

“Punten (maaf),” seorang remaja bergaya kelompok musik asal Amerika, Sum 41, tiba-tiba nyelonong, menghampiri mereka. Dia mengenakan topi terbalik, bercelana pendek selutut, bertas gendong. Posturnya kurus, kulit agak pucat.

“Eh kamu sini!” hardik Yanto, “Ngapain kamu pasang logo Nazi di celana kamu. Kamu mau mengabadikan Nazi? Cabut tahu! Harusnya seorang punk tahu. Lambang Nazinya mesti dicoret. Sana ke warung pinjem cutter!”

“Kalau ketahuan sama si Aan kamu langsung dihajar,” kata yang lain.

“Si Aan tea (itu) gede.”

“Iya, saya enggak tahu,” kata anak itu. Dia langsung pergi, menghilang menuju keramaian orang di jalanan.

Ruas Jalan Merdeka sebentar lagi dijemput malam. Lampu-lampu penerangan mulai dinyalakan. Udara makin dingin, hujan belum lagi reda. Suara terompet makin ramai. Orang-orang yang baru pulang kerja hilir-mudik, terlihat lelah. Coretan-coretan seperti “Lawan Semua Bentuk Penindasan! Dukung Semua Bentuk Kemerdekaan” masih menempel jelas pada dinding toko. Jalur lalu lintas agak padat, dan kawanan punk perlahan, satu per satu, mulai pergi. Mereka yang tersisa menyudut, membikin kelompok kecil, berlindung di warung soto yang sudah tutup.

Tak salah juga kawanan punk memilih tempat itu. Di sini banyak yang berjualan makanan. Perempuan cantik nan harum sering juga lewat jalan sini. Tempat itu pun jadi lahan bisnis mereka. Bisnis lahan parkir. Tiap hari mereka bisa mendapatkan uang Rp 20 ribu–Rp 50 ribu.

Obrolan mereka tak jauh-jauh amat dari soal mencari bahan kain untuk kaos sablonan, tato, kaset terbaru, novel, dan musik. Kadang mereka melengkapinya dengan soal kekerasan, kesetaraan, politik kisruh Indonesia, hingga persoalan globalisasi. Atau sekadar tadi, ya ngeceng perempuan cantik.

Mereka tak mengenal sekat senior dan yunior. Semua orang berhak bicara. Semua orang mesti membawa identitas sendiri. Tak ada aturan yang mengikat ketat dalam komunitas ini. “Jadilah diri sendiri,“ begitu semboyan mereka. Sebuah aturan yang mengacu pada “filosofi punk”: D.I.Y (Do It Yourself).

DI LUAR acara memarkirkan mobil, pekerjaan tetap mereka lainnya adalah mengamen. Tak mandi satu hari, dua, empat, … seminggu, sudah biasa. Kehadiran mereka yang superkumal sering membuat warga Bandung terbengong-bengong, kadang risih. Makhluk alien dari manakah mereka?

“Awalnya orang tua saya agak keberatan. Tapi tak masalah sih,” kata Yanto. “Saya memilih hidup seorang punk bukan untuk jadi bandit.”

Banyak orang masih belum siap menerima kehadiran mereka. Seorang punk dengan dandanan seperti itu tak jarang dipandang sebagai “sampah.” Sebutan bandit yang suka mabuk-mabukan jadi stigma yang mesti mereka terima. Yanto punya pengalaman buruk soal ini. Dia sempat dihajar oleh bandit karena dianggap sok jago.

“Ya, itulah masyarakat kita yang suka dengan budaya kekerasan. Mereka hanya melihat luarnya saja. Tidak dalam hati,” ujar Ferhad Sungkar. Dia terjun ke dunia punk sejak 1988. Saat itu, pelaku punk masih bisa dihitung dengan jari. Komunitas ini, seingatnya, baru berkembang sekitar 1994 yang ditandai oleh perayaan akhir tahun. Mereka menghabiskan malam dengan menenggak minuman keras. Mabuk sampai jungkir-balik. Polisi menggerebek mereka. Sekitar 60 orang punk diboyong ke markas polisi, yang tak jauh dari Plaza Bandung Indah.

Buat Yanto, peristiwa itu jadi pemantik fenomena punk. Kehadiran mereka sering ditulis media Bandung. Tapi, akhirnya, kejadian sial tadi malah jadi pengikat emosi. Layaknya misionaris, mereka mengampanyekan punk. Dan komunitas ini tumbuh dengan cepat, dari puluhan jadi ratusan orang.

Adalah Pamudji Slamet, atau biasa dipanggil Pam, seorang fanatik punk yang setelah peristiwa 1994 itu ikut mendirikan organisasi massa Forum Anti Fasis (FAF). Belakangan Pam menggabungkan organisasi itu ke Partai Rakyat Demokratik (PRD), sebuah organisasi radikal yang rajin melawan rezim Presiden Soeharto.

Sekarang Pam bahkan jadi salah satu agen propaganda PRD Jawa Barat. Tugasnya, dalam kurun 1997-2000, merekrut sebanyak mungkin dedengkot punk yang tersebar di Bandung, mengorganisasikannya hingga terbentuk gerakan komunitas punk yang condong ke arah pergerakan politik. Mereka menamai komunitas ini sebagai Punk Politik. Komunitas ini diikat oleh majalah bawah tanah (zine): Merah Hitam dan Kontra Kultura.

Ketika memutuskan bergaya hidup punk, orang tua Pam sempat kelimpungan. “Kamu ngapain dengan stelan seperti itu?”

“Ya jadi punk,” balas Pam tenang.

Segera setelah itu segala atribut punk dia kumpulkan. Poster kelompok musik punk dunia dia tempelkan untuk menghiasi kamarnya Segala kaset musik punk dia koleksi. Dia juga membuat sebuah band beraliran musik punk, Runtah.

Runtah bahasa Sunda untuk “sampah.” Runtah, bagi Pam, adalah sebuah media yang diharapkan mampu mengekspresikan gejolak mudanya. Soal pencarian identitas sampai hal-hal yang tak dia mengerti sebelumnya. Dia menuangkan perasaannya itu dalam lirik-lirik lagunya.

Untuk gaya hidup punk, dia sering meninggalkan kampus, sehingga kuliahnya di Institut Teknologi Bandung berantakan. Pam makin tenggelam ke dalam komunitas punk. Pam menggunakan internet untuk berhubungan dengan komunitas punk di luar Bandung. Dia percaya bahwa punk tak hanya sekadar soal musik dan fesyen saja, tapi juga perlawanan sosial. Punk baginya adalah budaya perlawanan politis.

“Saya percaya ketika saya masuk dalam lingkaran bahaya. Saya bisa menghargai soal hidup. Saya terpengaruhi Punk Politik. Terpengaruh manifestasi pemberontakan Paris 1968 dan Malcolm,” ujar Pam kepada saya awal November 2003.

Paris, Mei 1968, terjadi aksi demonstrasi besar-besaran menentang Presiden Charles De Gaulle. Dari pelajar, mahasiswa, hingga buruh turun ke jalan. Ini jadi pemicu gerakan sosial terbesar pada 1960-an. Menurut Pam, gerakan di Paris itu pula yang ikut melahirkan ide punk. Ia dipengaruhi oleh ideologi anarkisme. Pam ingat pada Malcolm McLaren, seorang pengusaha berfaham kiri yang membesarkan kelompok musik The Sex Pistols. McLaren menginginkan peristiwa Paris 1968 disimbolkan oleh sebuah kelompok musik; dengan sikap nyeleneh, berpenampilan eksentrik. Dia berhasil. The Sex Pistols membikin Inggris berdebar-debar di paruh kedua 1970-an. Mereka terkenal dengan slogannya setiap manggung: “Destroy!”

Punk Politik diadopsi oleh beberapa kelompok musik punk lokal di Indonesia. Selain Keparat dan Homicide di Bandung, ada juga Blackboot dari Yogyakarta, United Smoker dari Bekasi, dan Marjinal dari Jakarta. Roh perlawanan ini bisa dirasakan dalam bentuk lirik-lirik lagu mereka. Keparat, misalnya, di album pertama berjudul Keparat memuat lagu-lagu kritik. Ambil misal lagu “Berontak”:

apabila mereka yang berkedudukan dan terhormat mencuri kau diam saja

Jangan biarkan mereka menghancurkan kita!

Lawan! Lawan! Bangkit! Hancurkan mereka!

Lirik mereka segera memberi penanda kalau punk di Indonesia lebih dipengaruhi oleh komunitas punk Inggris 1970-an. Inilah barangkali sebabnya piringan hitam musik The Sex Pistols, The Stooges, ataupun The Clash terus dicari dan dikoleksi. Semua album itu sampai kini masih bisa ditemukan di pasar loak Cihapit, Bandung.

“Ayah saya sampai bisa mengumpulkan kaset punk hingga 4.000 keping,” ujar Ferhad Sungkar. Ayah Sungkar bernama Ibrahim Sungkar, yang taat menjalankan ritual agama Islam, mungkin setaat mendengarkan musik punk. Dia memang kolektor musik punk di Bandung yang terbilang tangguh.

DEKADE pertengahan 1990 boleh dibilang merupakan fenomena mewabahnya musik bawah tanah di Indonesia. Begitulah pendapat pasangan suami-istri ilmuwan Australia, David T. Hill dan Krishna Sen, dalam Media, Budaya, Politik di Indonesia. Mereka mengatakan bahwa 1997 adalah masa awal ketika punk Indonesia mulai terjun di kancah politik. Mereka membawa isu-isu politik, kekuasaan, militer, dan globalisasi dalam konser underground.

Di Bandung konser-konser punk pada tahun itu memang semarak. “Tiap kali kita bikin konser punk di (gedung olah raga) Saparua, tiket selalu sold out. Mungkin kira-kira di Bandung jumlah punknya lebih dari 500 orang,”

ujar Pam. Jumlah sebesar ini, menurut Pam, bisa berarti terbesar di Indonesia. Per Januari 2004, situs komunitas punk internasional beralamat di www.punkinternational.com menempatkan Bandung sebagai “most active music scene” di Indonesia, diikuti Jakarta dan Yogyakarta.

Dalam konser itu setiap band hadir dengan ciri khas (attitude) dan warnanya sendiri. Sering terjadi ketika band bermain dengan hiruk pikuk, penonton fanatik punk asyik diskusi soal Marxisme di bawah panggung.

Dari catatan saya selama mengikuti konser, di Indonesia sedikitnya ada 50 kelompok musik bawah tanah yang sempat manggung di Saparua. Data ini mungkin tak mencerminkan fakta kelompok musik punk masa ini. Saya mendapatkan data tersebut pada 1996. Saya percaya, sekarang jumlahnya bisa lebih banyak, menyusul kelahiran kelompok-kelompok baru seperti Sandal Jepit, Turtle JR, dan The Bohemian.

Awak kelompok musik punk umumnya tampil dengan kacamata hitam, berteriak penuh kemarahan, terkadang lucu, aneh. Saya pernah melihat awak band yang membawakan aliran deathmetal dengan muka dicat putih. Matanya dihias dengan lukisan tinta hitam. Bibirnya juga dipulas dengan warna hitam. Mungkin tata riasnya meniru kelompok rock legendaris Kiss. Rambutnya gondrong, memakai kaos lengan panjang berwarna hitam, celana berbahan kulit, lengkap dengan tambahan aksesoris bekas selempang peluru.

“Satu ketika kita main di Bandung. Anak-anak Blackboot membawa poster bertuliskan I Wanna President,” ujar Heri Erik, pemain bas Blackboot. “Saat itu perkembangan musik punk di Bandung belum memasuki wilayah politik. Kalaupun ada, masih malu-malu untuk berani menentang rezim kekuasaan.”

Erik mengatakan, penonton yang datang terheran-heran dan bukan tak mungkin kaget. Dia ingat, dari bawah panggung ada yang nyeletuk, “Apa-apaan ini, berani amat!”

Athonk, panggilan buat Sapto Rahardjo, vokalis Balckboot, kata Erik, tak menyia-nyiakan momentum itu. Dia segera berorasi, berteriak dari atas panggung, “Saya sudah 20 tahun enggak pernah lihat anak punk di Indonesia berpolitik.”

“Gila!” ujar Erik. “Show off amat.”

Itu terjadi pada 1996 ketika rezim Orde Baru menggilas berbagai gerakan oposisi Indonesia. Puncaknya, pengambilalihan markas Partai Demokrasi Indonesia pimpinan Megawati Soekarnoputri. Orang tak berani bicara soal pergantian presiden. Tapi poster Blackboot itu menyemaikan benih gerakan. Komunitas punk, kata Erik, sering mendiskusikan apa yang mereka tonton pada konser itu. Mereka pun mulai suka aksi turun ke jalan, berkumpul di taman kota, tempat kost, dan juga membuat mailing list di internet. Mereka belajar tentang anarkisme, selain perdebatan pemikiran ideologi kiri di antara Marx dan Bakunin.

Isi zine tak urung mulai berubah konsep. Dari soal resensi kaset dan wawancara dengan sesama kelompok band underground, kini ditambah dengan wacana soal marxisme, sosialisme, sampai muatan kritik mereka pada pemerintahan dan komunitas itu sendiri. Zine ini juga yang dijadikan sebagai media komunikasi lintas batas kota, sekaligus barometer perkembangan komunitas punk di berbagai kota.

Zine yang hadir dengan nada seperti itu sebut saja Harder (Bandung), Empathy lies for Beyond (Jakarta), Propaganda (Surabaya), Subchaos (Surabaya), Kontaminasi Propaganda, Gandhi Telah Mati, Dirty Bastard (Aceh), Street Letter (Makassar), Roots (Kuala Lumpur). Di luar itu saya mengoleksi sedikitnya 50-an zine.

BANDUNG, 5 November 2003. Hujan turun rintik-rintik di toko buku Kecil, sebuah toko buku alternatif, yang terletak di Jalan Kyai Gede Utama, Bandung. Pam sedang bergurau dengan beberapa temannya. Tarlen Handayani, gadis pemilik toko ini, sibuk mengetik di depan komputer. Di sana Pam bekerja sebagai penjaga toko. Dia memakai kaos hitam ketat, celana katun ketat, dan sepatu bot. Di pergelangan tangan kanan-kiri terlihat tato.

“Ya, Punk Politik intinya bagaimana menciptakan situasi. Waktu itu rambut saya juga Mohawk. Ya, mesti nyiptain nuansa agar provokatif,” ujar Pam.

”Saya sudah tiga tahun meninggalkan atribut punk. Dan tak main musik lagi.”

Teman-teman Pam lain, mulai Ucok, Behom, Linggo, Ferhad Sungkar, Toro, Aji, sampai Aan setuju kalau punk tak bisa bergerak di dataran musik saja. Komunitas punk lambat laun mulai menjaring kawanan lainnya di basis kantong-kantong punk di Bandung. Siapa tak kenal nama-nama mereka di blantika komunitas punk Indonesia? Mereka membentuk sebuah wadah diskusi bernama Sindikat Bawang Putih, yang kemudian bermimikri jadi FAF pada 1998. “Saat itu reformasi tengah berlangsung. Kita ingin menyuarakan pendapat kita. Saya kira gerakan mahasiswa saat itu berbeda dari pandangan kita,” ujar Pam.

Kalau FAF kemudian merapat ke PRD, itu karena menurut mereka, PRD punya sebagian warna yang sesuai dengan gerakan punk. Di sanalah komunitas punk mulai belajar dengan seksama bagaimana mengorganisasikan massa, taktik ofensif, membuat pernyataan politik, hingga taktik menghadapi polisi. Disadari atau tidak, akhirnya ini adalah awal mula pecahnya kawanan punk ini. Termasuk juga bubarnya kelompok musik mereka. Mereka pun dibenci habis oleh komunitas punk lain, terutama yang lebih mengambil sikap sebagai pemusik.

“Tiap minggu kita bisa dua kali demonstrasi. Rata-rata tiap bulan mungkin bisa empat kali kita demonstrasi besar-besaran,” ujar Pam.

Pam lantas mengajak untuk melihat kembali peristiwa 1 Mei 1997: Hari Buruh Internasional. Komunitas punk bergabung dengan solidaritas buruh. Pam ikut berorasi meneriakkan pandangan komunitas punk. Penampilan mereka berbeda dari kebanyakan mahasiswa. Cekcok mulut dengan aktivis mahasiswa acap terjadi.

Komunitas mereka jelas lain dari massa kebanyakan. Tak hanya aksesoris yang mereka pasang, tapi juga tampang sangar yang siap memuntahkan emosi layaknya sedang manggung dalam konser musik. Intel-intel polisi berkeliaran di sekitar komunitas itu. “Barudak pada bawa tas. Isinya batu atau … bom molotov,” ujar Dudi Ramadhani, aktivis FAF.

Ramadhani pernah bertugas jadi penyebar pamflet demo. Dia juga tak jarang membawa batu dan bom molotov dalam aksi-aksi demonstrasi sekitar 1997. Dia masih bermusik, namun pindah haluan ke irama rock ‘n roll.

Menurut Ramadhani, aksi terbesar komunitas punk Bandung, yang diikuti juga kaum punk dari kota lain, berlangsung saat merebut stasiun RRI Bandung tahun 1997. Ferhad Sungkar dan kawan-kawan berhasil masuk ke ruang siaran, tapi mereka tak tahu cara menggunakan peralatan siar itu. Toh mereka tak bisa melihat mix nganggur. Dan mereka pun rebutan mix siaran, lalu bicara seenak perutnya.

“Saya enggak tahu apakah itu disiarkan atau tidak,” ujar Sungkar, terkekeh-kekeh mengenang kejadian itu.

Pendudukan itu mengundang reaksi. Polisi bergerak ke sana. Kawanan punk sudah siap menanti. Mereka menyanyikan mars FAF dengan kepala tegak. Kisruh tak terhindarkan, kemudian baku hantam. Polisi menggebukkan rotan, kawanan punk melempar batu. Dan ketika polisi menembakkan senjata ke atas, kawanan punk membalas dengan bom molotov.

Ferhad Sungkar tak tahu apa yang terjadi kemudian. Ketika siuman dari pingsan, setelah digebuk polisi, dia berada dalam sebuah bak air setinggi dadanya. Kedua matanya dililit kain hitam. Kedua tangannya terikat, kencang. Begitu pun kedua kakinya. Selama empat hari dia tak makan, hanya minum. “Saya tak ditanya sedikit pun oleh mereka.”

Polisi baru mengeluarkan Sungkar pada hari keempat. Tubuh Sungkar lemah. Kondisi kesehatannya memburuk. Dia lantas dimasukkan ke dalam sebuah tong. Polisi memukul sekeras mungkin tong itu. Di dalam tong, tangan Sungkar yang sudah tak lagi terikat, menutup sekuat mungkin bagian telinganya. Kepalanya masih yang terasa pusing, jadi tambah pusing. Polisi lantas menaikkan tong itu ke atas mobil bak, mengangkutnya, dan melemparkan tubuhnya ke jalan di dalam kampus Institut Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Bandung, yang sekarang jadi Universitas Pendidikan Indonesia.

Sehabis penangkapan itu, dia merasa diawasi. Rumahnya di Ujungberung, kawasan Bandung Timur, sering dimata-matai sejumlah orang yang mirip intel. Sungkar tak nyaman. Dia pun pergi ke Purwokerto, kemudian ke Belanda.

Menurut Sungkar, dia tinggal di sebuah bangunan squat di Rotterdam. Dia tak sendirian. Squat ini merupakan tempat penampungan bagi orang-orang yang tak punya rumah. Dia bertemu dengan orang-orang punk dari Italia, Inggris, dan negara-negara kawasan Eropa Timur. Tempat itu juga menyediakan fasilitas belajar bernama Org. E&P, singkatan dari Organization of Equality and Peace, bimbingan Humfrey van Rijn, seorang doktor ilmu politik. Sambil belajar, Sungkar bekerja sambilan sebagai pelayan restoran, kadang membantu membersihkan rumah.

Dia juga punya kesempatan yang sangat langka: melihat pertunjukkan konser The Crass, musisi punk pujaannya, di sebuah kafe di Yugoslavia. The Crass merupakan band yang beraliran Punk Anarcho, pemuja anarkisme. Kelompok punk ini mengusung musikalitas punk yang tak ribet, dengan lirik-lirik yang tak kasar. Mungkin itulah kekuatan mereka. Banyak komunitas punk suka pada kelompok itu yang memang lain dari kelompok musik punk lainnya. Mereka terkesan lebih “intelek.”

Di Belanda, Sungkar mendaftarkan komunitas punk di Bandung pada sebuah jaringan punk dunia, bernama Anarcho Punk Federation. Untuk menjalin komunikasi dengan kawanan punk di tempat asal, dia berkomunikasi via surat elektronik. Jerih payahnya tak membuat komunitas punk Bandung makin berkembang. Punk Bandung justru pelan-pelan meredup. Sungkar juga melihat, komunitas punk yang berada di belakang Plaza Bandung Indah itu kini dipenuhi muka-muka baru.

Pertanda kematian punk di Bandung? “Masih banyak di kalangan punk sendiri yang tidak mengerti filosofi punk,” ujar Mohammad Aszie dari kelompok musik Homicide.

“Punk memang sudah mati. Saya sendiri sudah melihat perubahan di teman-teman. Mana pergerakannya? Saya melihat sudah banyak yang sudah kembali normal dan meninggalkan atribut punknya,” timpal Dudi Ramadhani.

“Semua ini berjalan dengan cepat. Disadari atau tidak memang begitu. Anak-anak sudah benar-benar menjalankan punk dalam kehidupan mereka masing-masing. Saat itu, kita punya mimpi dan harapan bersama. Tapi akhirnya saya mengerti mimpi-mimpinya berbeda. Marxis tidak menjawab persoalan kita. Dan kita juga seolah dijadikan alat bagi kepentingan partai. Ini sudah tidak benar dengan tujuan dan mimpi kita. Ya, sudah kita bubarkan saja,” kata Pam.

Sungkar tak mau menyerah pada keadaan. Dia mendirikan sebuah distro –sebutan buat toko yang menyediakan berbagai kelengkapan aksesori kehidupan komunitas bawah tanah, mulai t-shirt, kaset, sampai zine produksi sendiri. Distro Sungkar bernama Protester, terletak di kawasan timur Bandung.

“Fenomena punk itu susah untuk dianalisis oleh penulis kita. Kalau soal yang lain keren. Tapi kalau ngebahas soal punk, anjing, minta ampun!” ujar Heru Ucok, sengak.

Heru Ucok salah satu pencetus ide Forum Anti Fasis. Dia kuliah di Institut Teknologi Bandung, mengambil jurusan Seni Rupa. Dia sering menulis dalam zine-zine komunitas punk di Bandung, termasuk Kontra Kultura.

Dia sering mengkritik media yang selama ini menulis soal punk. Tabloid politik Adil dan tabloid musik Mumu di akhir 1990-an, misalnya, menganggap komunitas punk sebagai sekumpulan anak-anak gang yang sering terlibat kriminalitas. Laporan itu dianggap Heru salah karena mereka tak mengerti siapa sesungguhnya punk.

Kesalahan persepsi media sedikit-banyak telah memunculkan antipati komunitas punk terhadap media, tepat seperti generasi pendahulu mereka. Di Inggris, misalnya, The Sex Pistols kerap mengecam BBC, yang menurut mereka representasi tangan penguasa. “Kontradiktif antara anak-anak sama media. Kita kepengen begini, dalam kacamata media kayak begitu. Selalu dimentahin, selalu dijadiin apa. Enggak seserius yang kita pengen. Jadinya kita antipati, males berurusan sama orang-orang yang begitu,” kata Mohammad Aszie.

AKHIR Desember lalu ada konser musik underground tahunan di Buqiet Skatepark, Ciwaruga, Bandung. Penonton yang datang rata-rata berusia muda. Dandanan mereka menunjukkan gaya warna-warni, mulai skater hingga punk dengan model rambut runcing. Warna-warna busana mereka mencolok. Tak hanya berusia remaja dan dewasa, saya melihat banyak penonton bocah seusia sekolah dasar yang berdandan punk.

Banyak pula remaja perempuan cantik dan harum yang datang. Ada yang bergaya gotik Irlandia. Ada juga yang bergaya kasual dengan sepatu kets olahraga pendek. Sebagian penonton sudah menaikkan adrenalinnya dengan minum bir. Satu botol diminum ramai-ramai. Mungkin jumlah penonton yang hadir saat itu 500 orang.

Ada sekitar 12 band yang main hari itu. Rata-rata kelompok musik ini bermain pada jalur hardcore maupun metalcore. Mereka antara lain Right 88, Restrain, Authority, dan Soldier Fight. Keparat, pionir kelompok musik punk rock Bandung, juga hadir.

Gedung diubah jadi arena pertunjukan minimalis. Jarak area band sangat dekat dengan penonton. Ketinggiannya sekitar setengah meter. Dinding bagian kanan terbuka lebar, udara gampang masuk. Mungkin ini penyebab pecahnya suara sound system.

Satu persatu kelompok musik ini naik memekakkan telinga. Para vokalis band mengerahkan kemampuan teriakan dan energinya untuk menggoyang emosi penonton. Di sini mereka juga suka melemparkan stiker band masing-masing. Termasuk pernak-pernik seperti t-shirt dan lainnya. Penonton diajak untuk maju ke depan panggung. Tata suara dibiarkan mengalir, menghentak ke arah penonton.

Serentak penonton berlarian menuju depan panggung. Sejumlah penonton berloncatan dari panggung ke penonton di bawahnya (moshing). Aldi, vokalis Keparat, juga moshing, diikuti personel lain.

Permainan mereka bisa dibilang di atas standar. Mereka sudah terbiasa mengatur peralatan musik dengan sound system. Tapi gangguan teknis kerap terjadi. Tapi untung saja penonton cuek bebek. Penonton menghibur diri dengan menjadikan saat seperti itu sebagai waktu rehat. Mereka menyegarkan diri dengan bir. Kesibukan juga terjadi di belakang panggung. Ada yang terlihat sedang membersihkan peralatan gitarnya. Ada juga yang tidur. Makan nasi bungkus atau bolak-balik ke kamar kecil. Saat listrik turn-on lagi, energi mereka kembali memuncak.

Insiden perkelahian terjadi saat Savor of Filth bermain. Penonton berlarian, musik jalan terus. Yang main dan penonton kebanyakan tak mau ambil pusing dengan mereka yang sedang berkelahi. Vokalis Savor Of Filth hanya bilang: one for all for unity!

Sore makin merayap. Di belakang panggung para personel Keparat masih santai. Egiw yang bermain gitar sering cengingisan. Dia bergaya dengan rambut gimbal, berwarna cokelat sepuh panjang menjuntai ke punggung. “Band punk itu jelek-jelek maennya?” ujar Egiw. “Loba teuing mabok. Kapan urang teu mabok, nya? (Banyak minum sampai mabuk. Kapan kita tak mabuk ya?)”

Beberapa kru dan kameraman dari Trans TV sibuk mengambil gambar. “Tah kamera Trans TV ruksakeun. (Tuh kamera Trans TV dirusak),” celetuk seorang penonton memanaskan suasana.

Cossa, gitaris Savor Of Filth, mengambil mix sebelum turun panggung. Dia berteriak pada penonton, mengecam kontestan partai yang bakal ikut dalam pemilihan umum tahun 2004. “Pemilu adalah penipuan. Jangan pernah memilih sesuatu yang tidak pantas untuk dipilih.”

Penonton tepuk tangan dan berteriak.

“Dan ini buat Trans TV,” lanjut Cossa, “tidak ada pertunjukkan untuk kamu. Fuck off!”*

by:Ahmad Yunus