Kerala

Sekar Ayu Asmara

Mon, 2 February 2004

SETELAH dianugerahi Naguib Mahfouz Prize di Cairo International Film Festival dan The Best Actress di Asia Pacific Film Festival di Shiraz Iran, Biola Tak Berdawai mewakili Indonesia dalam 8th International Film Festival di Kerala pada 12-19 Desember 2003.

SETELAH dianugerahi Naguib Mahfouz Prize di Cairo International Film Festival dan The Best Actress di Asia Pacific Film Festival di Shiraz Iran, Biola Tak Berdawai mewakili Indonesia dalam 8th International Film Festival di Kerala pada 12-19 Desember 2003. Tak ada penghargaan apapun untuk film yang saya tulis dan sutradarai ini. Tapi saya puas. Film-film yang menang memang layak, karena orisinalitas dan jati dirinya yang kuat.

Lihat misalnya Matroobhumi, film India karya sutradara muda Manish Jha. Secara gramatikal, judul ini bisa berarti “Bumi Tanpa Perempuan.” Adegan pembukaannya menggetarkan. Malam itu, dalam sebuah bilik bercahaya temaram, di atas sebuah ranjang, seorang perempuan terlihat lelah. Dia merintih dan mengerang. Seorang bidan dan para pembantunya tampak serius membantu persalinan yang tengah dihadapi perempuan itu. Di luar rumah, sang suami gelisah, berjalan mondar-mandir. Beberapa saudara dan teman, semuanya laki-laki, menemani kegelisahannya.

Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar pekik tangis bayi. Ketegangan berubah jadi tawa dan sukacita. Dari dalam rumah, si bidan berjalan dengan langkah teramat berat, menggendong orok merah. Dia menyampaikan berita kelahiran seorang … bayi perempuan. Semua pria itu seketika diam.

Pagi hari, langit biru cerah menggantung di atas pekarangan berumput hijau. Sebuah jamban dari tembikar berukuran besar dituangi susu hingga penuh. Seorang lelaki menggendong bayi perempuan yang baru lahir. Dia berjalan mendekati jamban dan mencelupkan bayinya ke dalam susu, seperti mau memandikannya. Namun kemudian terlihat kedua tangan lelaki itu menekan bayi itu ke dasar jamban. Gelembung-gelembung udara naik ke permukaan. Dia telah menenggelamkan bayi perempuannya.

Manish Jha mengatakan, praktik membunuh bayi perempuan adalah sebuah adat yang masih berlangsung di sebagian India. Sebuah realitas yang sungguh menyeramkan. Karena semua bayi perempuan dibunuh, akhirnya terciptalah sebuah negeri yang hanya dihuni kaum lelaki. Masakan yang tak pernah terasa lezat, rumah yang tak terurus, dan lelaki dewasa yang kebelet menikah hanyalah sebagian masalah yang kemudian timbul.

Kerala, tempat festival itu, adalah negara bagian paling selatan India. Alamnya terdiri dari pantai-pantai indah yang menghadap ke Samudra Arabia. Kovalam Beach adalah salah satu pantai yang terkenal dan terletak 12 kilometer dari pusat kota. Toko-toko mungil penjaja perhiasan perak dan cinderamata, kafe, dan restoran hidangan laut terlihat mulai menjamur, berjejer di sepanjang pantai.

Kerala membanggakan diri sebagai satu-satunya negara bagian di India yang semua penduduknya melek huruf. Kerala mengklaim sebagai negara bagian yang terbersih dan termakmur di India. Dan mungkin juga toleran.

Thivanathapuram ibu kota Kerala. Di kota ini terdapat Chalachitra Academy yang tersohor sebagai institusi pendidikan yang berbobot. Akedemi ini, yang juga memiliki sekolah film dan media elektronik, merupakan penyelenggara 8th International Film Festival.

Pada zaman kolonial Inggris, karena kesulitan melafalkannya, nama kota ini diubah menjadi Thrivandrum. Amatlah menyegarkan, kalau tak mau disebut membingungkan, melihat gejala nasionalisme yang terjadi di seluruh India. Nama-nama kota yang dahulu diinggriskan kini mulai dikembalikan ke nama aslinya. Bombay menjadi Mumbai. Madras menjadi Chennai. Calcutta menjadi Kolkata. Begitu juga Trivandrum kembali menjadi Trivanathapuram.

Kerala, dengan segala isinya, menyadarkan saya dari kebodohan. Selama ini saya menyamaratakan film Bollywood dengan film India. Kuch Kuch Hota Hai yang menawarkan wajah tampan dan cantik serta kehidupan penuh gemerlap telah identik dengan film-film Bollywood. Setiap hari, di setiap saluran televisi Indonesia disajikan hiburan jenis ini. Terlalu naif rasanya bila saya menilai kualitas perfilman India hanya dari film-film Bollywood ini. Karena sesungguhnya India punya film alternatif.

Di Kerala, mata, hati, dan pikiran saya terbuka kepada aliran film Malayalam yang merupakan sebuah aliran tersendiri, dengan ciri yang sangat berakar pada kebudayaan India. Penyelenggaraan tahun ini didedikasikan untuk 75 tahun kiprah film Malayalam. Film pertama Malayalam berjudul Vigathakumaran karya sutradara Dr JC Daniel diproduksi pada 1928. Hingga sekarang telah diproduksi 3.200 judul film Malayan. Bukan tanpa sebab bila orang Kerala membanggakan Malayalam, sehingga ia jadi sebuah cult yang memiliki pengikut fanatik di seluruh dunia.

Malayalam adalah bahasa ibu yang dipakai oleh penduduk Kerala. Sebuah bahasa yang sangat ekspresif, melodius, dan puitis. Banyak karya sastra lahir dalam bahasa ini. Banyak pula lirik lagu ditulis dalam bahasa ini. Salah satu kekuatan film Malayalam adalah banyaknya film yang diangkat dari karya sastra Malayalam.

Tanpa budaya Malayalam, orang Kerala hanya akan menjadi manusia biasa, tanpa jati diri. Jati diri orang Kerala tidaklah luntur oleh zaman. Saya sempat berkenalan dengan beberapa anak muda Kerala. Mereka piawai dalam teknologi komputer dan internet. Mereka fasih berbahasa Inggris. Mereka juga sangat apresiatif terhadap film-film yang diputar selama festival. Bioskop-bioskop yang berkapasitas 1.000 sampai 1.500 orang hampir selalu penuh. Mereka antusias bertepuk tangan ketika menganggap adegan yang ditonton bagus. Tapi mereka juga tak segan-segan ke luar bioskop ketika menganggap film yang ditonton kurang bermutu.

Mereka terpana oleh budaya pop dunia. Mereka gemar mendengarkan lagu-lagu dari Linkin Park dan Britney Spears. Tapi mereka juga dengan bangga dan sangat menghayati ketika menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa Malayalam. Mereka mengenakan jins dan t-shirt, tapi juga bangga dan tak canggung memakai dhoti atau sari sehari-hari.

Mereka tak alergi terhadap perubahan. Stiker bindhi yang menggantikan pasta merah yang biasa mereka oleskan pada dahi memang dirasakan lebih praktis untuk zaman sekarang. Tapi makna religius yang terkandung di dalamnya tetaplah dijalankan dengan penghayatan yang sama. Mereka dapat mengurai budaya pop, menyaring, serta mengambil yang sesuai dengan kehidupan mereka. Mereka bangga menjadi generasi penerus Malayalam. Mereka bangga akan jati dirinya. Keberadaan saya di Kerala membuat saya sering merenung. Bagaimanakah jati diri orang Indonesia? Bagaimana jati diri film Indonesia?*

kembali keatas

by:Sekar Ayu Asmara