dan NURDIN AL FAHMI

MENARA BNI, 7 OKTOBER 2003 siang. Edi Santoso turun tergesa-gesa dari mobil. Dia menuju sebuah ruangan. Dia menenteng kantong plastik. Sesampainya di sana, dia berpesan pada seorang koleganya, “Maaf, saya titip tas belanjaan ini untuk adik saya, Heru Sarjono. Entar dia ambil ke sini.” Heru Sarjono kebetulan juga bekerja di sana sebagai kepala wilayah X BNI (Bank Nasional Indonesia) Jakarta Selatan.

Ketergesaan Santoso dan ketiadaan Heru Sarjono setelah lama dinanti, menerbitkan rasa penasaran orang. Maka beberapa orang dari Divisi Hukum BNI membuka kantong plastik titipan Santoso. Isinya, berlembar-lembar uang dolar Amerika tersusun rapi!

Geger. Temuan itu segera dilaporkan ke bagian Satuan Pengawasan Intern (SPI) BNI. Setelah dihitung, uang dalam kantong plastik tadi berjumlah US$285 ribu atau senilai Rp 2,4 miliar. Uang diamankan.

Di tempat terpisah, Santoso sedang meluncur menuju kantor BNI cabang pembantu di daerah pertokoan Grand Wijaya Center, Jakarta Selatan. Sudah tiga minggu cabang ini jadi “kantor baru” Santoso setelah dicopot dari jabatannya sebagai kepala Pelayanan Nasabah Luar Negeri BNI cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Tak diduganya, beberapa polisi dari Markas Besar Polisi Republik Indonesia telah menantinya. Rupanya sudah seminggu polisi mengincarnya. Santoso dibekuk. Sejak itu, status Edi Santoso berubah. Dari seorang bankir profesional jadi tersangka salah satu kasus korupsi perbankan terbesar dalam sejarah Indonesia. Santoso dituduh membantu pembobolan dana BNI. Dia pun masuk tahanan polisi.

Endusan polisi pada Santoso berhulu pada sebuah faksimil dari BNI yang diterima polisi pada 30 September 2003. BNI melaporkan empat karyawannya terlibat kasus pembobolan BNI Kebayoran Baru sebesar Rp 1,7 triliun. Mereka adalah Kusadiyuwono (kepala cabang), Nirwan Ali (manajer operasional), Bambang E. Oetomo (wakil kepala wilayah BNI Jakarta Selatan), dan Edi Santoso.

Mereka dianggap bertanggung jawab memuluskan usaha pembobolan dengan modus kredit ekspor berjaminan Letter of Credit palsu. Letter of Credit, biasa disingkat L/C, adalah perjanjian tertulis yang dikeluarkan sebuah bank devisa atas permintaan importir, yang menyatakan bank tersebut akan melaksanakan pembayaran sebagai salah satu fasilitas perdagangan antarnegara dengan sejumlah syarat dan penyerahan dokumen. L/C ada beberapa jenis. Di antaranya Red Clause dan Usance. Untuk Red Clause, pembayaran dilakukan di muka, sedangkan Usance secara berjangka. Transaksi L/C dalam kasus BNI ini termasuk kategori Usance.

Menurut dokumen-dokumen internal BNI, semua ini berawal dari perkenalan Santoso dengan Maria Pauline Lumowa, pemilik PT Gramarindo Mega Indonesia di Jalan Kemang Raya Selatan 103, suatu hari di bulan Agustus 2002.

Pertemuan tersebut diatur oleh Ollah A. Agam, direktur utama PT Gramarindo Mega Indonesia dan Aprilia Widharta, direktur PT Pan Kifros –anak perusahaan Gramarindo Grup. Saat itu, Gramarindo mengajukan permohonan kredit ke BNI Kebayoran Baru untuk membiayai ekspor pasir kuarsa dan minyak residu ke negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Lumowa meyakinkan Santoso tentang aset perusahaannya yaitu penambangan marmer di Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Untuk mendapatkan kredit itu, Gramarindo mengajukan nama beberapa anak perusahaannya: PT Basomindo, PT Bhinekatama Pacific, PT Magnetique Usaha Esa Indonesia, PT Pan Kifros, PT Triranu Caraka Pacific, PT Metrantara, dan PT Ferry Masterindo.

Permohonan kredit itu diproses Santoso sejak Oktober 2002, dan dikabulkan dua bulan kemudian. Hanya dalam waktu empat bulan sejak perkenalan, uang sudah mengalir ke Gramarindo. Ini agak janggal, sebab ada persyaratan tertulis yang menyebutkan nasabah boleh mendapatkan fasilitas kredit setelah sedikitnya setahun memiliki rekening di BNI.

Itu aturan pertama yang dilanggar.

Kemudian pada Maret 2003, saat masih menangani transaksi L/C itu, Maria Pauline Lumowa memperkenalkan Edi Santoso kepada Adrian Herling Waworuntu di Jalan Kebagusan Raya 37, Jakarta Selatan. Waworuntu diperkenalkan Lumowa sebagai salah satu pemilik Gramarindo Group. Ollah Agam mengatakan kepada Santoso bahwa kepemilikan saham Lumowa dan Waworuntu diatasnamakan orang lain. Tapi mereka berdualah penentu kebijakan dan keputusan Gramarindo.

Perkenalan Santoso dengan Waworuntu menebalkan keyakinannya pada Gramarindo. Waworuntu memang pernah membanggakan relasinya dengan banyak pejabat kepada Santoso. Santoso melihat buktinya sendiri ketika Waworuntu memperkenalkannya kepada Menteri Pertanian Bungaran Saragih di lobi bandar udara Cengkareng.

Akhir Maret 2003, di Jalan Talang Betutu, Jakarta Pusat, Adrian Waworuntu juga memperkenalkan Edi Santoso kepada Jenderal Wiranto, mantan panglima Tentara Nasional Indonesia. Kata Waworuntu, Wiranto temannya di klub motor. Selain itu, Waworontu juga mengatakan kenal dekat dengan Rugaiya Wiranto, istri Wiranto. Kedua kejadian itu boleh jadi hanya sebuah perkenalan biasa, tapi cukup meyakinkan Santoso tentang kekuatan sosok Waworuntu.

Apalagi Lumowa dan Waworuntu telah menandatangani akta pengakuan utang notariil dan penyerahan jaminan pribadi. Intinya, mereka menjamin pelunasan seluruh utang perusahaan jika L/C ditolak pembayarannya oleh pihak importir luar negeri.

Uang pun mengalir ke rekening Gramarindo tiap kali mereka mengajukan wesel ekspor berjangka (WEB) dari pembelinya di luar negeri kepada BNI. WEB adalah perintah tertulis tanpa syarat sebagai pembayaran pada waktu tertentu di kemudian hari. Wesel ini dapat diperjualbelikan, dipindahalihkan, atau diendosir oleh penerima uang kepada orang lain. Masalahnya WEB ini tak berasal dari bank-bank koresponden BNI tapi dari sejumlah bank yang namanya jarang terdengar di Indonesia: Dubai Bank of Kenya, Rosbank Switzerland S.A, Middle East Bank, The Wall Street Banking Corp. Kesemuanya tak pernah punya hubungan dengan BNI.

Pelanggaran kedua terjadi. Transaksi L/C hanya boleh dilakukan dengan bank koresponden BNI.

Tapi hingga Juli 2003 Gramarindo dengan mulus mencairkan 84 lembar L/C senilai US$131,6 juta dan 56,1 juta euro. Transaksi bernilai besar dalam kurs euro ini membangkitkan kecurigaan Divisi Treasury BNI –sebuah divisi yang mengatur arus perputaran uang di BNI. Sejak Juni 2003, atau setahun sejak perkenalan Santoso dan Lumowa, mereka menemukan adanya peningkatan angka kewajiban dalam mata uang euro jauh di atas tingkat rata-rata. Padahal wajarnya transaksi euro hanya mencapai 3-5 juta sebulan.

TIM Audit BNI diturunkan. Sejumlah dokumen yang diberikan Gramarindo diperiksa secara seksama. Penelitian itu bermuara pada dua kesimpulan. Pertama, sejumlah L/C yang telah dicairkan di BNI itu tak pernah dikonfirmasikan ke empat bank yang menerbitkannya.

Kesimpulan kedua, Gramarindo dicurigai tak pernah melakukan ekspor. Dokumen yang diajukannya untuk mencairkan L/C penuh dengan kejanggalan. Berkas dokumen permohonan kredit ekspor ini tak dilengkapi pemberitahuan ekspor barang (PEB) sebagai bukti adanya barang yang diekspor. Selain itu, kegiatan ekspor ini tak diasuransikan.

Dokumen pengapalannya pun janggal. Misalnya, para debitor menyodorkan surat keterangan dari PT Bahtera Bintang Selatan cabang Jakarta dan Tanjung Balai, Kepulauan Karimun di Riau, yang menyatakan barang sudah dikirim. Ternyata kantor cabang Jakarta PT Bahtera Bintang Selatan itu telah ditempati perusahaan lain. Cabang Tanjung Balai malah merupakan taman kanak-kanak Aisyiah milik Muhammadiyah, salah organisasi Islam terbesar di Indonesia. Nomor telepon yang dicantumkan, 0777-323767, ternyata tak bisa dihubungi.

Dokumen pengapalan yang diterbitkan cabang Jakarta maupun Tanjung Balai diteken oleh orang dengan nama yang sama: J.F Albaar. Tanda tangan itu identik dengan tanda tangan Jeffrey Baso, direktur utama PT Triranu Caraka Pasific, salah satu anak perusahaan Gramarindo sendiri, dan mantan suami Lumowa.

Kejanggalan lain, misalnya, tak dijelaskan secara tegas pelabuhan mana yang dituju untuk ekspor. Hanya disebutkan “China Port.” Padahal China, tentu saja, memiliki lebih dari satu pelabuhan. Kuantitas barang yang dikirim juga tak wajar. Misalnya, pengiriman 1,5 juta metrik ton pasir kuarsa dan lain-lain dilakukan hanya dengan satu kali pengapalan, tanpa dijelaskan kapal seperti apa yang mampu mengangkut muatan sebesar itu.

Kejanggalan yang paling mencolok mata adalah L/C yang jatuh tempo ternyata dilunasi oleh uang yang ditransfer atau didebet dari rekening nasabah; bukan dari hasil transfer dari bank penerbit L/C sebagaimana lazimnya. Beberapa pejabat BNI mengatakan, secara sederhana taktik ini dilakukan dengan memanfaatkan selang waktu antara jatuh tempo utang WEB yang terdahulu dan yang berikutnya. Intinya ini adalah trik gali lubang tutup lubang.

Duit Rp 1,6 triliun itu tak pernah dimanfaatkan untuk ekspor tapi dialirkan ke sejumlah perusahaan atau kerabat yang terkait dengan Lumowa dan Waworuntu:

– PT Sagared Team/Grup Industri Marmer Rp 305 miliar

– PT Oenam Marble/Grup Industri Marmer Rp 272 miliar

– PT Adhitia Putra Finance (milik adik Waworuntu) Rp 527 miliar

– Capital Gain Venture’s Rp 52 miliar

– Cadmus Pacific Rp 227 miliar

– PT.Brocolin Rp 170 miliar

– Lumowa Pauline Marta Rp 21 miliar

– PT Estu Rama Rp 47 miliar

– PT Dimas Drilindo Rp 27 miliar

– PT Graha Sali Rp 17,5 miliar

– BPPN Rp 11 miliar

– PT Bukaka/proyek jalan tol Sukabumi –Ciawi Rp 4,5 miliar

– PT Magna Graha Rp 25 miliar

– PT Sumber SBJ Rp 1,5 miliar

– Albert Wilson Rp 1,6 miliar

Selain itu, hasil tim audit BNI menemukan ada grup perusahaan lain yang mendapat aliran dana BNI sebesar Rp 105 milyar. Perusahaan itu adalah Petindo Group milik John Hamenda dari Manado dengan anak perusahaan bernama PT Jaka Saktibuana International dan PT Petindo Perkasa.

Pertanyaannya, apakah aktivitas penyimpangan transaksi L/C yang terjadi di cabang ini tak pernah terendus kantor pusat BNI? Bukankah pengawasan internal BNI terhitung ketat? Selain per sektor, pengawasan juga dilakukan per wilayah. Di tiap wilayah ada penyelia khusus yang memantau kegiatan perbankan mereka.

Santoso menjawab melalui wawancara tertulis dengan Tempo, “Pencairan L/C setiap hari dilaporkan ke Kantor Pusat Divisi Internasional melalui sarana komputer online. Di divisi ini ada unit khusus yang memonitor transaksi ekspor.”

Benarkah BNI kantor pusat tak tahu-menahu?

Menurut Direktur Pengawasan Bank II Bank Indonesia Aris Anwari, direksi BNI sebenarnya mengetahui adanya transaksi L/C fiktif. Mohammad Arsyad, direktur Kepatuhan BNI, kata Aris, sempat menegur cabang Kebayoran Baru. Namun tak ada efek apapun. Tak jelas mengapa teguran itu tak ditanggapi.

Ini berjalan terus hingga majalah Trust, majalah mingguan tempat kami bekerja, memberitakan kasus ini kali pertama pada September 20003. Berita Trust ini tak terlepas dari peran salah seorang kolega kami, Yadi Hendriana, yang belakangan pindah kerja ke Lativi, sebuah stasiun televisi.

Yadi punya jaringan bagus dengan kalangan perbankan. Mula-mula dia mendapat berita pembobolan Bank Mandiri –deposito fiktif senilai Rp 50 milyar. Informasi tersebut didapatkannya dari orang dalam Bank Mandiri. “Trust baru banget waktu itu. Jadi sama media lain (berita tersebut) enggak dianggep. Kita sempat kecewa juga,” ujar Yadi.

Ketika Yadi mendapat bocoran dokumen audit internal BNI, Yani pula yang menghubungi Edi Santoso. Menurut Yadi, ketika dia menghubungi Edi Santoso, dia punya kesan Santoso tenang-tenang saja. Santoso menyatakan BNI telah berhasil memperoleh uang sebesar Rp 500 miliar yang berasal dari jaminan eksportir. “Saya dan beberapa pejabat cabang Kebayoran Baru sudah meminta kepada ketiga eksportir untuk mengganti sisa kredit Rp 1,2 triliun,” jawab Santoso melalui telepon seluler.

Ketika Yadi menanyakan kebenaran informasi yang didengarnya bahwa para debitor sudah kabur ke luar Indonesia, Santoso menjawab, “Tidak benar. Tidak benar kalau dikatakan debitornya sudah kabur. Kami sedang menyelesaikan masalah ini dan potensi mereka untuk membayar besar sekali.” Nada suara Santoso optimis.

Optimisme yang berujung pada jeruji penjara.

JOHN HAMENDA, orang yang disebut laporan BNI sebagai penerima kucuran dana di luar Gramarindo Group, marah ketika namanya disebut-sebut Trust ikut menerima uang panas. “Saya pengusaha clean,” ujarnya.

Hamenda pemilik Petindo Group. Dia juga mendirikan Manado Square dan TV Manado, masing-masing pusat perbelanjaan dan stasiun televisi lokal di Manado.

Hamenda mengatakan kepada media bahwa PT Jaka Saktibuana International, anak perusahaan Petindo Group, yang disebut laporan BNI menerima uang panas, sudah dijual kepada Moonshe Kahsen Mohammed, pengusaha dari Singapura, seharga Rp 33,6 miliar pada 24 Februari 2003. “Moonshe pun kembali membeli PT Petindo Perkasa dengan harga Rp 75,6 miliar,” ujarnya. Menurut Hamenda, Moonshe mencicilnya sejak Maret sampai April 2003.

Padahal menurut catatan BNI, kredit tersebut mengucur sejak Desember 2002. Ini berarti cocok dengan pernyataan Hamenda bahwa saat itu perusahaan justru masih 100 persen miliknya. Tapi Hamenda mengatakan tak tahu-menahu tentang L/C itu. Seingatnya, transaksi L/C di BNI sampai akhir tahun 2002 semuanya sudah dibayar lunas.

Hamenda bahkan menggugat PT Hikmah Makna Aksara (penerbit majalah Trust), Pemimpin Redaksi Trust Bambang Aji Setiady, dan BNI dengan gugatan perdata total senilai Rp 2,22 triliun –terdiri atas kerugian material sebesar 220 milyar dan kerugian immaterial sebesar Rp 2 triliun. Nilai yang bahkan lebih besar dari skandalnya sendiri sebesar Rp 1,7 triliun.

Belakangan tuntutan itu mendingin karena Hamenda ditahan polisi. Hamenda diduga ikut terkait dengan kasus BNI.

ADRIAN WAWORUNTU bukan wajah baru di dunia perbankan Indonesia. Dia pernah bekerja untuk Bank of America. Sepulang dari Amerika, dia berduet dengan Endang Utari Mokodompit – putri Ibnu Sutowo, mantan direktur utama Pertamina di masa rezim Soeharto– untuk membesarkan Bank Pacific. Sukses.

Tahun 1994, Bank Pacific sempat dinobatkan sebagai bank terbaik. Tapi setahun kemudian, karena Mokodompit terlalu sering mengucurkan kredit untuk kelompok perusahaannya sendiri, bank itu terbelit kredit macet sekitar Rp 1 triliun, punya masalah surat utang senilai Rp 800 miliar, dan akhirnya ambruk, diakuisisi BNI, klimaksnya dilikuidasi pemerintah saat krisis ekonomi 1997.

Skandal itu tak menjerat Waworuntu. Pada September 2002, Waworuntu mendapat surat perintah penghentian penyidikan oleh Kejaksaan Agung.

Dalam skandal BNI, nama Waworuntu muncul lagi ke permukaan. Tapi dia membantah keterlibatannya, “Saya tak tahu-menahu soal kredit ekspor yang diterima Gramarindo Group dari BNI,” ujar Waworuntu kepada Trust.

Waworuntu mengatakan bahwa Gramarindo Group bukan miliknya. Dia tak punya saham sedikit pun di sana, “Itu kepunyaan Lumowa dan direktur utamanya adalah Ollah A. Agam.”

Waworuntu mengatakan, dia memang kenal Lumowa sudah lama. Awalnya dia bersahabat dengan Jeffrey Baso, seorang pengusaha yang mantan suami Maria Pauline Lumowa.

Persekutuan Waworuntu dan Lumowa bermula ketika sama-sama berbisnis penambangan pasir melalui PT D’Consortium Indonesia. Konsorsium ini digagas oleh Dicky Iskandar Dinata, mantan wakil direktur utama Bank Duta, yang dulu dihukum 10 tahun penjara dalam kasus permainan valuta asing Rp 780 miliar. Di konsorsium itu Dinata adalah Chief Executive Officer (CEO) dan Waworuntu komisaris.

Awal keterlibatan Waworuntu dalam kasus BNI ini, menurutnya, semata-mata terjadi karena faktor kedekatannya dengan Lumowa. Waworuntu bercerita pernah datang ke PT Sagared Team, pabrik marmer milik Lumowa, di Kupang, pada 1999. Tapi sejak itu dia tak pernah berjumpa lagi dengan Lumowa.

Waworuntu mengatakan pada akhir Januari 2003, Lumowa menghubungi dirinya. “Dia bercerita bahwa dia punya proyek dari Pertamina Oil Terminal di Lampung yang bernilai US$165 juta (Rp1,4 trilyun),” ujar Waworuntu.

Proyek tersebut batal. Lumowa kecewa. Dia lalu minta Waworuntu mencarikan proyek lain plus orang untuk menjalankannya. Waworuntu pun menghubungi kawan-kawannya, termasuk Dicky Iskandar Dinata. Lumowa dan Waworuntu menunjuk Dinata menjadi CEO bagi PT Brocolin, sebuah perusahaan perkebunan. Brocolin tercantum sebagai penerima dana BNI.

“Jadi katakanlah saya hanya semacam jembatan. Saya sebagai person tidak mewakili PT mana pun,” ujar Waroruntu.

Waworuntu mengatakan, Ollah Agam dari PT Gramarindo Mega Indonesia memperkenalkan dirinya dengan Edi Santoso pada Maret 2003. Dua bulan kemudian, Ollah Agam memberi tahu bahwa Santoso adalah kakak Heru Sarjono, seorang kepala kantor wilayah BNI. “Edi yang ingin memperkenalkan saya pada Heru. Saya datang bersama Jeffrey Baso,” kata Waworuntu.

Saat itulah Heru Sarjono mengatakan bahwa beberapa perusahaan mengalami kredit macet di BNI. Heru menawarkan apakah Waworuntu dan Lumowa mau mengambil-alih kredit itu. Heru menawarkan kredit dua perusahaan. Satu perusahaan distributor aspal yang punya kredit Rp 100 miliar. Satu lagi perusahaan genting dengan kredit Rp 50 milliar. “Tapi keduanya enggak ada yang bisa diambil,” ujar Waworuntu. Hubungannya dengan Heru Sarjono pun putus di sini.

Awal September 2003, Waworuntu dan Heru Sarjono kembali bertemu. Tak jelas siapa yang menggagas pertemuan itu. Tapi, menurut Waworuntu, saat itu Heru Sarjono menawarkan kredit untuk proyek jalan tol milik Waworuntu dan marmer milik Lumowa.

Soal transaksi L/C, itu dikatakannya urusan BNI dengan Lumowa. Dia tak tahu-menahu. Dia membantah teori bahwa dirinya adalah otak di balik pembobolan ini. “Mereka yang kenal saya pasti tahu bahwa L/C fiktif ini bukan mainan kelas saya. Ini kan gali lubang tutup lubang,” ujarnya.

Tapi bagaimana Waworuntu menjelaskan masuknya aliran dana ke rekening pribadinya dan beberapa perusahaan yang terkait dengan dirinya?

“Oh itu transaksi jual-beli, Lumowa membeli PT Sara Sumber Bintang Jaya dari kami,” jawab Waworuntu. Kemudian Gramarindo juga membeli tanah Waworuntu di daerah Cakung –Cilincing.

Ketika Tempo mewancarainya awal November 2003, Waworuntu mengatakan dia tak risau dengan kasus BNI ini. Dia bilang bisa cuci tangan dengan mudah karena perannya hanya mencarikan proyek untuk Lumowa. Tapi pada 18 November 2003, polisi menyatakan telah menangkap Waworuntu. Penangkapan Waworuntu berselang 26 hari sejak dikeluarkannya surat perintah penangkapan oleh Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia pada 24 Oktober 2003.

WAJAH Maria Pauline Lumowa berpoles bedak tipis. Alisnya pendek seperti ditato. Di usia 55 tahun ini, dia kelihatan kurang mampu lagi menjaga berat badannya. Dia terbiasa menelan makanan kala sedang tertekan. Sembilan kartu kreditnya diblokir karena dirinya buron kasus BNI. Lumowa memang tersangka utama kasus BNI. “Saya stres berat,” cerita Lumowa.

Lumowa kini tinggal di Singapura. Dia memegang paspor Belanda. Sulit bagi kepolisian Indonesia untuk menangkap Lumowa. Apalagi Indonesia dan Singapura tak punya perjanjian ekstradisi.

“Awalnya saya hanya butuh kredit Rp 40 miliar. Tapi Santoso menawari saya untuk menambal kredit macet milik beberapa debitur lama,” cerita Lumowa.

Menurut dia, nilainya mencapai US$170 juta. Sementara nilai utang debitur lama yang harus ditelan Sagared mencapai US$20 juta sebagai bagian dari perjanjian pencairan utang ke Sagared.

Debitur lama yang dimaksud Lumowa adalah John Hamenda dan Rudy Sutopo, mantan pemegang saham PT Mahesa Karya Muda Mandiri. Hamenda sudah ditahan polisi, sementara Rudy Sutopo masih tak tentu rimbanya. Lumowa pun menuding Sutopo sebagai salah satu pelaku pembobolan BNI.

Tuduhan tentang Sutopo ini didukung manajemen PT Mahesa Karya Muda Mandiri. Menurut Harris Ishartono, direktur utama PT Mahesa, Sutopo menyerahkan delapan lembar L/C yang dikeluarkan sejumlah bank di luar negeri dengan total nominal US$7,450 juta ke BNI Kebayoran Baru. Lembaran wesel tagih ke sejumlah pengusaha di luar negeri ini diterbitkan pada Juni hingga September 2002 yang jatuh tempo antara September dan Desember 2002.

Dengan menyerahkan L/C tersebut, PT Mahesa, yang punya proyek tambang batu bara, mendapat duit dari BNI Kebayoran Baru sekitar US$9 juta. Seluruhnya dicairkan ke rekening Rudy Sutopo. Masalah mulai datang ketika aliran duit BNI ke rekening Sutopo, selaku komisaris PT Mahesa, tak diimbangi dengan kesinambungan pencairan duit dari bank penerbit L/C.

Baru sekitar November 2002, PT Mahesa mengetahui bahwa wesel ekspor yang diberikan Sutopo ternyata palsu. Selama ini Sutopo yang melunasi wesel ekspor tersebut, bukan dari bank koresponden. Ternyata Sutopo baru melunasi US$1,4 juta. Artinya, PT Mahesa masih harus menanggung sisanya sebesar US$7,9 juta. Sebagian tunggakan akhirnya ditutup PT Mahesa dengan uang hasil negosiasi empat slip wesel terakhir yang bernilai sekitar US$2,5 juta. Sisanya US$5,4 juta disiasati oleh Edi Santoso dengan membuat transaksi pengalihan utang ke PT Aditya Putera Finance, milik adik dari Adrian Waworuntu.

Berdasarkan penelusuran polisi, Rudy Sutopo diduga turut menikmati dana BNI. “Pelacakan keberadaan Sutopo kini sedang ditangani pihak Polri,” kata Brigadir Jenderal Samuel Ismoko, salah satu direktur Bidang Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Indonesia.

Lumowa menegaskan bahwa Gramarindo hanya menerima US$43 juta atau sekitar Rp 300 miliar. Selebihnya, perusahaan-perusahaan miliknya hanya dipakai sebagai lalu-lintas. Kepada Media Indonesia Lumowa mengatakan, setiap dana yang cair langsung masuk kembali ke BNI. Tapi dia sendiri tak mengerti mengapa dan untuk apa dana tersebut digunakan BNI. “Saya ini hanya kambing hitam saja. Masak saya harus membayar sebanyak itu? Saya merasa saya hanya ditumpangi BNI untuk melunasi kredit-kredit macet mereka,” kata Lumowa.

Melalui berbagai media, Lumowa menyatakan diri sebagai korban. Dia memang menunjukkan sikap kooperatif terhadap wartawan. Wartawan yang mau mengunjunginya di Singapura maupun meneleponnya ke sana, dengan cukup mudah bisa mendapatkan wawancara dengan Lumowa. “Saya ini ibu rumah tangga, tidak pernah kredit apa-apa sebelumnya,” ujarnya kepada Tempo.

Sebuah pernyataan yang mampu mengundang simpati. Bagaimana pun, posisi seorang ibu rumah tangga memberikan kesan lugu dan apolitis. Hal ini mendukung pernyataannya bahwa dia “tidak sadar” telah menandatangani pernyataan sebagai penjamin transaksi L/C. Dia bilang, dirinya menandatangani dokumen permohonan kredit untuk proyek marmer dan jalan tol. ”Saya tidak membaca isi dokumen itu. Saya percaya saja sama mereka. Saya merasa dijebak oleh BNI,” ujarnya.

Walaupun menyatakan diri hanya ibu rumah tangga, Lumowa tak menyangkal ketika wartawan Tempo bertanya, “Tidak salah kan Anda dijuluki Madame Penguasa Tujuh Gunung?”

“Ha-ha-ha … kalau yang itu memang benar. Saya memang memiliki konsesi penambangan marmer di tujuh gunung,” jawab Lumowa, terbahak. Penambangan marmer itu sendiri terdapat di Nusa Tenggara Timur.

Keterangan ini masih bisa dipertanyakan. Indonesian Corruption Watch (ICW), sebuah organisasi pemantauan korupsi, mengecek langsung keadaan PT Sagared Team di Kupang. Tujuannya, mengetahui bagaimana sesungguhnya aset perusahaan yang dijadikan jaminan untuk mendapatkan kredit BNI itu. Lumowa pernah menyatakan aset perusahaannya bernilai US$700 juta atau sekitar Rp 5,6 triliun.

Menurut ICW, aset PT Sagared, baik bangunan pabrik, mesin-mesin, maupun barang bergerak lainnya, tak mungkin sebesar omongan Lumowa. Aset kongkret hanya satu gedung kantor dan sebuah lapangan kosong di Kupang. Bahkan PT Sagared belum mengantongi surat izin penambangan.

“Faktanya, PT Sagared baru melakukan kegiatan pengambilan sampel untuk mengukur kadar dan kualitas gunung marmer di tujuh gunung tersebut. Belum ada produksi,” kata Teten Masduki, koordinator ICW.

“Kepada polisi saya sudah menawarkan diri untuk diperiksa di Singapura saja,” kata Lumowa. Alasannya tak mau ke Indonesia, kata dia, karena khawatir keselamatan dirinya.

SKANDAL BNI beraroma politis ketika Edi Santoso sempat menyatakan keterlibatan Jenderal Wiranto dalam skandal BNI. Wiranto salah satu kandidat presiden Partai Golkar. Santoso sempat menyampaikan pernyataan tertulis tentang Wiranto melalui Herman Kadir, pengacaranya. Faktor inilah yang dikuatirkan Maria Pauline Lumowa.

Menurut Santoso, di bulan April 2002, Adrian Waworuntu dan Lumowa mengundang Santoso dalam pertemuan mereka dengan Wiranto di daerah Kemang, Jakarta Selatan. Selain bertemu Wiranto, mereka bertemu sejumlah ketua dari partai politik kecil.

Pertemuan tersebut membahas rencana pencalonan Wiranto sebagai presiden. Wiranto menyatakan sanggup jadi calon presiden, tapi dia tak memiliki dana untuk kampanye. Waworuntu dan Lumowa menyatakan sanggup menghimpun dana buat Wiranto.

“Dalam catatan klien kami, tidak disebutkan jumlah dana yang mengalir ke Wiranto atau melalui tim suksesnya. Jadi, saya tak bisa menyebutkan jumlah dan aliran dananya," kata Herman Kadir.

Wiranto sendiri tak bisa menerima pernyataan Santoso itu. Direktur kampanyenya, Tito Sulistyo, langsung angkat bicara. “Itu adalah uang untuk beli rumah saya, tidak ada hubungan dengan Pak Wiranto,” kata Sulistyo tentang uang sebesar Rp 23 miliar yang diterimanya dari Lumowa. Rumah itu terletak di Jalan Jeruk Purut, di kawasan Perumahan Puri Mutiara, Cipete, Jakarta Selatan. Luas tanahnya 10.800 meter persegi dan dengan luas bangunan 2.500 meter persegi.

“Saya menjual rumah melalui Adrian Waworuntu pada Juni 2003. Sementara saya bergabung menjadi tim sukses Wiranto akhir Juli 2003. Jadi tidak ada hubungannya,” kata Sulistyo.

Semahal itukah? Puri Mutiara memang termasuk salah satu perumahan mahal di daerah Cipete. Banyak pihak menyangsikan harga itu. Yang jelas Wiranto menggugat Santoso melalui kuasa hukumnya, Yan Djuanda.

Belakangan Santoso, entah apa alasannya, mencabut kembali pernyataannya tentang keterlibatan Wiranto. Dan Wiranto pun tak melanjutkan gugatannya terhadap Santoso. Tapi ini sempat menimbulkan desas-desus yang tak menguntungkan untuk Wiranto.

SEBELUM kemunculan berita BNI Rp 1,7 trilyun ini, sudah banyak uang di cabang-cabang BNI yang terkuras. Nilai totalnya Rp 1,4 trilyun. Di antaranya Rp 195 milyar di cabang Radio Dalam, Rp 50 milyar di cabang Halim, Rp 150 milyar di cabang Dukuh Bawah. Lalu, Rp 100 milyar di cabang Hotel Indonesia, Rp 40 milyar di cabang Tebet, Rp 20 milyar di cabang Bali, dan Rp 32,5 di cabang Tangerang.

Kasus BNI bisa terungkap karena banyaknya konflik internal di kalangan karyawan BNI. Wartawan yang mau rajin menjalin hubungan dengan sumber-sumbernya, macam Yadi Hendriana, bisa memetik banyak informasi.

Yadi Hendriana mula-mula mendapat informasi ada masalah Rp 195 milyar di BNI cabang Radio Dalam dan Rp 50 milyar di BNI cabang Halim. Yadi segera mengerjakan temuan itu. Seminggu setelah pemuatan laporannya, Yadi malah mendapat dokumen lengkap tentang pembobolan di kedua kantor cabang itu dari seorang pengacara kenalannya. Dokumen itu tak menjelaskan aliran dananya. Seminggu kemudian dia mendapat data yang lebih lengkap. Pemberinya malah salah satu tersangka. “Datanya lengkap sekali. Sampai terlihat dari mana dana itu berasal dan alur dana itu ke mana saja mengalirnya,” ujar Yadi.

Dan seperti bola salju, setelah ditelusuri ada banyak kasus lain. Di cabang Pondok Indah misalnya, ditemukan kredit fiktif Rp 65 milyar. Total selama 2002, Rp 1,4 trilyun dana BNI habis dibobol dengan kerja sama orang dalam BNI.

Manajemen BNI tentu saja membantah berita itu. Tapi konsistensi mengantarkan Yadi pada kasus yang lebih besar lagi: Rp 1,7 trilyun!

Yadi mulanya mendapatkan telepon dari kenalannya di BNI dan belakangan juga mendapatkan dokumen-dokumen. Tapi liputan di lapangan belum terfokus. Minggu berikutnya Yadi kembali menerima telepon dari salah satu sumbernya. “Saya punya buktinya,“ kata si sumber. Ternyata benar: telah terjadi pembobolan sebesar Rp 1,7 trilyun!

Dan begitu polisi menggelar pertemuan pers, kasus ini pun jadi isu nasional. Presiden Megawati Soekarnoputri minta kasus ini diusut tuntas. Ujungnya, nyaris seluruh jajaran direksi BNI diganti, termasuk Saifuddien Hasan yang dicopot dari posisinya selaku direktur utama.

Direksi lainnya juga diganti, kecuali Wakil Direktur Utama Arwin Rasyid dan Direktur Operasional Ignatius Supomo, karena keduanya baru masuk BNI pada rapat umum pemegang saham Juni 2003 –setahun sesudah pertemuan awal Edi Santoso dan Maria Pauline Lumowa. Selain itu, pada 15 Desember 2003, pemerintah selaku pemegang saham utama BNI menambah tiga orang baru dalam jajaran komisaris BNI, yaitu Drajad Wibowo (ekonom), Achar Ilyas (mantan deputi gubernur Bank Indonesia), dan Yap Tjay Soen (komisaris Aneka Tambang).

Bobol BNI ternyata belum berhenti sampai di situ. Januari 2004 muncul berita pembobolan BNI cabang Magelang, Jawa Tengah, sebesar US$3,2 juta. Direktur Utama BNI Sigit Pramono, yang menggantikan Saifuddien Hasan, membenarkannya. Menurut Sigit, pembobolan cabang Magelang itu ada kemiripan dengan pembobolan Rp 1,7 trilyun di Kebayoran Baru: kredit fiktif dengan jaminan L/C palsu. Pelakunya pun diduga sama. Kredit yang mengucur sejak Februari hingga November 2003 mengalir ke rekening PT Gema Usaha Putera Jawa, PT Prasetya Cipta Tulada, PT Maestro Utama Inter, serta PT Pan Kifros.

PT Pan Kifros adalah satu dari delapan anak perusahaan Gramarindo Group.

Sigit Pramono mengungkapkan, awalnya kredit yang dikucurkan BNI sebesar US$7,5 juta atau, bila dirupiahkan dengan kurs Rp 8.400 per dollar, senilai Rp 63 milyar. Belakangan kredit itu sudah dibayar US$4,3 juta. Berarti kredit yang belum dibayar sebesar US$3,2 juta atau sebesar Rp 27 milyar.

Selain kasus cabang Kebayoran Baru dan Magelang, ternyata masih ada lagi kebobolan di cabang Pangkalan Bun (Kalimantan Tengah) sekitar US$3,8 juta, cabang Bandung Rp 3,3 milyar, cabang Tanjung Balai (Riau), cabang Dukuh Bawah (Jakarta), dan cabang Senayan (Jakarta). Total pembobolan sekitar Rp 600 miliar.

Dia mengatakan ada dua kategori pembobolan. Kasus Kebayoran Baru dan Magelang adalah kasus fraud, penyimpangan yang terjadi secara sengaja atas kerja sama dengan orang dalam. Kebanyakan kasus adalah nonfraud karena ketakmampuan nasabah membayar kredit atau ketaksengajaan bankir seperti salah hitung dan sebagainya. “Ini risiko bisnis. Di bank mana pun juga sering terjadi,” jelasnya.

Kredit bermasalah cabang-cabang Bank BNI (dalam miliar)

– Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 1. 748

– Magelang, Jawa Tengah 27

– Pangkalanbun, Kalimantan Tengah 32

– Tanjung Balai, Karimun, Riau 10

– Bandung, Jawa Barat 3,3

– Dukuh bawah, Jakarta 75

– Halim Perdana Kusuma, Jakarta 50

– Radio Dalam, Jakarta 195

– Pondok Indah, Jakarta 65

– Bali 20

– Hotel Indonesia, Jakarta 100

– Tebet, Jakarta 40

Kini proses penyelidikan polisi masih berjalan. Dari sekian banyak versi yang beredar dalam kasus ini belum bisa dinyatakan mana yang paling benar. Babak akhir kasus ini memang sangat tergantung pada kinerja kepolisian dan kejaksaan dalam mengusut tuntas dan menggiring para pelaku sampai ke pengadilan.

Tapi pelajarannya, bank-bank Indonesia tampaknya mesti punya mekanisme memperbaiki diri jika tak ingin kasus pembobolan berulang. Di Indonesia, sejarah pembobolan bank sudah cukup panjang. Pada 1994 Indonesia diramaikan dengan kasus pembobolan Bapindo oleh Grup Golden Key milik Edi Tansil sebesar Rp 1,3 trilyun. Setahun kemudian Bank Pacific ambruk karena terbelit kredit Rp 1 trilyun dan tersandung surat utang Rp 800 miliar. Tahun 1998 Bank Exim pernah merugi US$ 2,23 miliar akibat permainan valas. Bank Duta merugi Rp 780 milliar, juga akibat permainan valas yang dilakukan Dicky Iskandar Dinata.

Mungkin benar argumentasi Sam Vaknin, penulis buku Malignant Self Love dan After the Rain, “Bank adalah institusi yang paling tidak aman di dunia.” *

by:Feby Indriani