ABI Kusno Nachran kehilangan empat jari kiri dan tangan kanannya lumpuh gara-gara jurnalisme –mungkin lebih tepat jurnalisme yang kurang bermutu. Tebasan mandau di punggung, lengan dan sebagian tangan, meninggalkan jejak 209 jahitan berbentuk kulit menggumpal kecoklatan.

Ini terjadi pada 28 November 2001 ketika ia ditemukan tergeletak dengan 17 tusukan sedalam 4 cm di sekujur tubuh, di Pangkalan Bun, kota ukuran menengah di ujung selatan Pulau Kalimantan. Kulit kepala kiri dan telinga hampir lepas. Darah di mana-mana.

Operasi dilangsungkan tujuh jam lebih. Seorang suster terus-menerus memencet 29 kantong darah agar aliran darah mengalir kencang ke dalam tubuhnya. Saat siuman, sebagian wajah dari 20 penyerang terlintas di benaknya. “Saya mengingatnya dengan jelas,” kata Abi kepada saya.

Namun ketakpercayaan pada polisi, membuat Abi tak berharap banyak kasus ini diusut. Dia juga menyimpan ketaksukaan pada tiga organisasi wartawan: Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia, dan Komite Wartawan Republik Indonesia. “Mereka semua tak punya gigi!” katanya.

Abi Kusno adalah satu dari puluhan wartawan korban kekerasan yang terjadi di Indonesia. Southeast Asia Press Alliance, sebuah organisasi advokasi kebebasan pers dengan markas Bangkok, melaporkan dalam sebuah seminar di Jakarta November lalu, bahwa terjadi peningkatan kekerasan terhadap wartawan dalam enam tahun terakhir terutama sejak Presiden Soeharto jatuh dari kekuasaanya.

Seapa mencatat pada 1996 terjadi 13 kasus kekerasan, pada 1997 ada 43 kasus, 1998 ada 41 kasus, 1999 ada 74 kasus, 2000 ada 122 kasus, 2001 aada 95 kasus, dan hingga November lalu ada 56 kasus untuk tahun 2002. Kriteria kekerasan terdiri dari pembunuhan, hukuman penjara, serangan, penculikan, sensor, pengusiran, pelecehan, ancaman lisan hingga ancaman tuntutan hukum.

Pertanyaanya, mengapa pada zaman pers bebas pasca rezim Orde Baru ini, banyak orang atau kelompok orang, yang memilih kekerasan untuk melampiaskan kemarahannya terhadap media? Mengapa pada zaman Orde Baru, ketika pers kurang bebas, justru kekerasan terhadap wartawan lebih sedikit? Kok makin bebas makin gawat?

Penjelasannya macam-macam. Tapi secara umum, mutu pemberitaan media Indonesia hari ini memang menurun ketimbang zaman Orde Baru. Ada ledakan jumlah suratkabar, televisi, radio, dotcom dan berbagai organisasi media lain. Orang berlomba-lomba menerbitkan suratkabar. Tapi jumlah wartawan maupun redaktur, yang mengerti jurnalisme dengan lumayan baik, tak mampu menandingi peningkatan ini. Jumlah dan mutu sekolah wartawan juga tak berubah. Dampaknya, ada lebih banyak berita yang dibuat dengan prosedur yang kurang baik. Makin banyak orang yang tak puas dengan media.

“Jalur kekerasan lebih mudah dan murah untuk merefleksikan kekecewaan terhadap pemberitaaan media daripada jalur hukum yang berbelit-belit,” kata Solahuddin, sekretaris jenderal AJI Indonesia.

Kasus Abi Kusno Nachran mungkin menarik disimak karena Abi Kusno bukan anak kemarin sore. Di Palangkaraya, Abi dikenal luas karena pernah jadi wartawan harian Banjarmasin Pos selama 13 tahun. Lepas dari dunia media, Abi terpilih jadi anggota parlemen tingkat Kabupaten Kotawaringin Barat (1970–1975) lalu anggota parlemen provinsi Kalimantan Tengah (1975-1982).

Saat lepas dari keanggotaan parlemen, Abi bergabung dengan Cipta Wahana Lingkungan, sebuah lembaga swadaya masyarakat, yang berpusat di Semarang, sekaligus jadi pemimpin redaksi tabloid Lintas Khatulistiwa yang khusus berita lingkungan hidup.

Abi bekerja sebagai wartawan dengan cara yang agak tak lazim. Liputannya kadang dilansir secara utuh di Lintas Khatulistiwa. Dalam situasi tertentu, hasil reportase itu dilaporkannya ke pemerintah atau aparat keamanan. “Kan berita itu basi kalau menunggu tabloid yang terbitnya cuma bulanan,” kata Abi.

Menurut Abi, liputannya beragam. Kadang tentang penyelundupan kayu di Kalimantan Tengah, kadang tentang perakitan kayu tanpa dokumen, hasil penelusuran dokumen penyelundupan kayu, penebangan liar hingga sepak terjang Abdul Rasyid, pengusaha yang dijuluki “raja kayu kedua” di Kalimantan Tengah –orang yang dicurigai Abi berada di balik serangan terhadap dirinya. Walau Rasyid membantah keterlibatannya.

Ada pihak-pihak yang setuju dengan cara kerjanya, misalnya Wahana Cipta Lestari, tapi tidak bagi AJI. Para aktivis AJI khawatir dengan cara kerja Abi karena bisa terjadi banyak perbedaan kepentingan.

Salah satu isu yang jadi bahan pertentangan antara Abi Kusno dan AJI adalah sikap terhadap “amplop” atau uang suap untuk wartawan. AJI organisasi yang peka terhadap masalah amplop. Pada 1998 Abi Kusno terpilih jadi ketua AJI Palangkaraya.

Saat ada pertemuan AJI soal amplop, yang dilangsungkan di Semarang tahun lalu, banyak anggota AJI yang mengeluh betapa sulitnya menolak amplop ketika gaji mereka sangat rendah. Abi tak ikut dalam pertemuan namun sependapat dengan sebagian wartawan yang tak mampu menolak amplop. “Ini bukti kongkrit kok. Di Kalimantan Tengah 90 persen wartawan hidup dari kartunya. Mana ada perusahaan pers yang menggaji wartawan secara layak di sana?” katanya.

Wartawan di Palangkaraya memperoleh “uang goodwill” dengan nilai antara Rp 100 ribu hingga Rp 500. Abi biasa menerima uang itu. “Saya tidak munafik. Tapi biasanya saya tanya dulu, ini ada kaitannya dengan berita atau tidak? Kalau tidak, yah terima. Agama pun melarang menolak rezeki,” katanya.

“Kalau wartawan Jakarta sih enak, gaji mereka cukup. Di Kalimantan Tengah puluhan wartawan antri untuk menerima uang goodwill itu,” kata Abi pada saya.

Menurut Dwi Iswandono, salah seorang aktivis AJI Indonesia, Abi diduga menggunakan nama AJI untuk kepentingan pribadi. Misalnya, minta konsensi lahan hutan untuk penebangan pohon pada pemerintah. “Ini kan enggak bener. Bukan hanya itu, status Abi sebagai wartawan pun tak jelas,” kata Iswandono.

Saat pelantikan AJI Palangkaraya, Iswandono pernah tanya pada Abi. “Kerja di mana? Tapi jawabnya enggak jelas,” kata Iswandono. Abi juga tergeragap saat Iswandono menanyakan berita-berita yang pernah ditulisnya selama jadi wartawan

Kecurigaan itu mendorong AJI mengutus pengurusnya, Willy Pramudya dan Dadang Rahmat HS, berangkat ke Palangkaraya. “Istilahnya kami ini tim klarifikasi yang mencari fakta-fakta lapangan,” kata Willy Pramudya.

Pertemuan Palangkaraya berlangsung panas. Abi menuduh AJI memfitnahnya. “Ia mengancam akan menggugat AJI. Dadang hampir saja hilang kesabaran, dia kan orangnya emosian. Akhirnya, meski dengan gigi gemelutuk menahan marah, saya yang berbicara dengan Abi Kusno,” cerita Pramudya.

Ketegangan itu dibahas di Jakarta. Akhirnya keluar surat keputusan pembekuan AJI Palangkaraya pada 1999.

Pembubaran ini, secara kebetulan, dua tahun berikutnya diikuti dengan penyerangan terhadap Abi Kusno di Pangkalan Bun. “Saat kejadian penyerangan itu, tak satu pun anggota AJI yang memperhatikan saya, wartawan yang saya anggap teman pun begitu,” katanya.

Dalam mailing list AJI ajisaja@yahoogroups.com, kasus Abi cukup menyita perhatian. Willy Pramudya sempat menyatakan keprihatinannya. Sebagian pengurus AJI menolak memberi advokasi. Kesimpulannya, penyerangan terhadap Abi Kusno terjadi bukan karena kewartawannya. Abi dinilai wartawan yang tak benar. Abi dicurigai melakukan sesuatu yang salah dan dibalas oleh orang-orang yang dirugikannya. AJI memilih mendiamkan kasus ini. Kasusnya tak dianggap sebagai kekerasan terhadap wartawan walau tak tertutup kemungkinan ia sedang melakukan kerja jurnalisme atau setidaknya menyalahgunakan jurnalisme.

Lukas Suryanto Ispandriarno, dosen Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, membagi kekerasan terhadap wartawan dalam dua kategori: fisik atau non fisik. Lukas bersama Argo Twikromo menulis buku Tragedi Udin: Bingkai Kebusukan Kekuasaan dan Kekerasan.

Menurut Lukas Ispandriarno, orang sudah jenuh, frustasi, bosan melihat berbagai masalah tak bisa diselesaikan pemerintah. Jalur hukum mampet dan kebebasan luar biasa pasca-Mei 1998 membuat mereka seolah bisa berbuat apa saja.

Faktor besar lain adalah tingkat pendidikan warga yang masih belum banyak berubah maju. Keroyokan massa, milisi partai yang menggerruduk media massa, terdiri dari orang-orang yang tidak paham kerja-kerja pers.

Warga juga kurang mengenal hak jawab. Budaya komunikasi tak berkembang dengan baik antar publik pembaca dan media. Ada krisis kepercayaan di sana. “Namun bila para pelanggar hukum kelas besar bisa diseret ke pengadilan dan mendapat hukuman layak, sedikit demi sedikit masyarakat mulai percaya pada hukum dan lalu berperilaku hukum,” katanya.

Jawaban itu bisa menjawab kasus-kasus kematian yang menimpa sederet wartawan Indonesia. Pada Agustus 1996 Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin, wartawan harian Bernas Yogyakarta, tewas dianiaya oleh orang tak dikenal di rumahnya. Kematiannya menyisakan kemasgulan dan teka teki besar: Siapa pembunuh Udin? Banyak orang mengira Udin dibunuh karena pekerjaanya sebagai wartawan.

Tahun 1997 tercatat 43 kasus. Naimullah, wartawan harian Sinar Pagi Pontianak, tewas pertengahan Juli. Kematiannya, di jok belakang mobilnya, menimbulkan syak wasangka. Sedang Mohamad Sayuti alias Sanrego ditemukan terkapar di samping motornya pada 8 Juni. Ia wartawan mingguan Pos Makassar. Laporan kepolisian sangat singkat: tewas kecelakaan. Tapi tubuh Sanrego yang utuh tanpa luka dan motor yang masih tetap mulus membuahkan pertanyaan hingga kini.

Susahnya tak banyak organisasi yang serius mencari jawaban dari lapangan, baik polisi maupun organisasi lain. Dalam kasus Abi Kusno Nachran misalnya. Ia diserang setelah melaporkan temuannya pada pemerintah tentang tiga kapal asing di Pangkalan Bun, yang dicurigainya memuat kayu tanpa dokumen milik sejumlah pengusaha kayu.

Abi juga melaporkan lewat tabloid Lintas Khatulistiwa bahwa perusahaan Tanjung Lingga, milik anggota MPR utusan daerah, terlibat dalam penyelundupan kayu. Meski tak menyebut nama anggota MPR itu, namun bagi warga Palangkaraya menyebut nama Tanjung Lingga sama dengan menuding Abdul Rasyid.

Tak ada verifikasi dalam tulisan itu. “Tidak perlu, saya kan menemukan fakta-faktanya di lapangan,” ujarnya.

Sepuluh hari setelah laporan itu Abi diserang.

Nasib I Wayan Sumariase tak kalah tragisnya. Mayatnya ditemukan mengapung di aliran Sungai Poso, Sulawesi Tengah 3 Juni 2001. Banyak luka di tubuhnya.

Syamsu Yadi, teman dekat Wayan yang juga wartawan Poso Pos, mengatakan bahwa kekerasan terhadap Wayan sulit masuk akal. Wayan baru tiga bulan masuk Poso Pos. Tulisannya yang muncul baru empat berita dan masuk kategori tak macam-macam. “Misalnya tentang kegiatan umat Hindu yang tergabung dalam komunitas masyarakat Bali, yah seperti itulah tulisan-tulisannya,” cerita Yadi.

Wayan berusia 30 tahun, statusnya juga dosen honorer Universitas Sintu Maroso dan “suka mengalah, jarang ngotot serta tak ingin menulis macam-macam,” kata Yadi.

MASALAHNYA seringkali kasus yang menimpa wartawan tak hanya berasal dari kebencian narasumber karena kepentingannya diganggu, namun juga karena wartawan teledor, terlalu terlibat secara pribadi untuk kepentingan tertentu dan mengabaikan verifikasi.

Dalam beberapa kasus, nara sumber yang kecewa, memilih jalur hukum dibanding hak jawab. Alasannya, mereka tak yakin media tersebut bisa kembali bersikap jujur.

Tirta Qomariah Lamadjido, istri wakil gubernur Sulawesi Tengah adalah contoh warga yang menolak menggunakan hak jawab. Ia merasa nama baiknya tercemarkan dan kehilangan kepercayaan pada harian Nuansa Pos terbitan Palu. Tirta memilih menempuh jalur hukum dan akhirnya memenangkan perkara perdata melawan Bayu Alexander Montang, pemimpin umum Nuansa Pos.

Sengketa perdata itu berawal dari sebuah berita 14 Juni 2001 oleh Nuansa Pos . Inti berita itu: Imelda Plangitan mati karena sengaja dibunuh oleh oknum istri pejabat berinsial RAL. Imelda seorang gadis berusia 18 tahun yang diduga pacaran dengan Ruly Lamadjido, wakil gubernur Sulawesi Tengah periode 1999-2003.

Dua hari kemudian Nuansa Pos kembali menurunkan berita dengan tajuk sama namun meralat beberapa bagian. “Imelda mati bukan karena bunuh diri tapi karena dibunuh dengan sebuah tindakan kekerasan yang dilakukan orang sewaan istri RAL, oknum pejabat penting di Sulawesi Tengah.” Nuansa Pos melansir berita yang sama hingga lima kali.

Untuk kota sekecil Palu, menyebut insial RAL dengan sendirinya merujuk pada Ruly Lamadjido. Nuasa Pos memberitakan bahwa RAL terkait dengan kematian Imelda Plangiten, yang tewas April 1993 di sebuah base camp desa Bahodopi, kabupaten Poso.

Nuansa Pos tak menurunkan wartawannya untuk melakukan reportase yang mereka sebut “investigasi kematian Imelda.”

“Kami hanya menggunakan data –data dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) serta data lengkap dari Komite Anti Korupsi dan Tindak Kekerasan (Kaktik),” kata Montang pada saya.

Kaktik melakukan penelitian yang disebut “investigasi” selama 10 hari. Lalu menyimpulkan bahwa kematian Imelda terkait dengan “romantisme terlarang” dengan Ruly Lamadjido.

Berita yang siap cetak itu sempat tertahan beberapa saat. “Saya agak khawatir. Tapi orangtua Imelda datang terus dan menangis minta berita anaknya diterbitkan. Ketika bertemu Ruly Lamadjido saya nanya gimana nih? Jawabnya ‘yah silahkan saja,” tutur Montang.

Berita itu pun terbit dan menimbulkan kemarahan keluarga Lamadjido. Mereka merasa divonis oleh sebuah harian atas kasus kematian Imelda. “Di daerah kecil ini, siapa yang tak kenal pejabat berinsial RAL? Apalagi dalam pemberitaaan itu ditulis nama Ruly dan Rendy,” kata Muhamad Hidayat, pengacara keluarga Lamadjido pada Gatra.

Tirta merasa tak pernah ditanyai.

“Siapa bilang? Saya sudah mencoba tapi mereka menolak,” kata Montang.

Kasus itu berlanjut ke pengadilan. AJI Palu memilih memandang kasus itu dari jauh. Tidak membela Montang.

“Mereka memang brengsek. Sepertinya ketua AJI, Maxi Wolor sudah mendapat kucuran dana dari pemerintah Sulawesi Tengah, lagian hubungan Maxi dan Ruly cukup dekat,” kata Montang.

Wolor mengatakan, “Kami bahkan mendekati pengacara Karman Karim untuk menggunakan hak jawab di Nuansa Pos. Tapi sepertinya keluarga Tirta bersikeras untuk terus ke pengadilan.”

Tak ada jalan lain. “Lagian ini bukan pertama kalinya Nuansa Pos tersandung kasus. Mereka juga terlibat dalam kasus pencemaran nama baik istri kepala dinas Departeman Kesehatan Palu,” Wolor menjelaskan. Nuansa Pos dalam pandangan Wolor, adalah sebuah media yang kerap melakukan kesalahan dan sangat tendensius dalam melansir berita. “Enggak jelas fakta dan opininya.”

AJI Palu pernah mengeluarkan surat peringatan untuk Nuansa Pos agar lebih berhati-hati dalam menurunkan berita. Tapi berita-berita dengan judul seram misalnya ‘Mengangkangi Proyek’, ‘Intervensi Ny Rosiati Borman pada proyek terlalu serakah’, ‘Gubernur: Nasir Borman jangan main proyek di belanga sendiri,’ masih sering muncul.

“Mereka sepertinya mencoba menyerang lebih dulu dengan masalah lalu menegoisasikannya,” ujar Wolor.

Pengadilan menjatuhkan vonis denda Rp 50 juta pada Montang dan Abdul Haris Daeng Nappa, sekretaris jenderal Kaktik, yang dinilai turut mencemarkan nama baik Tirta.

“Kami tidak membelanya, karena Nuansa Pos melakukan trial by the press melalui character assasination. Malah kami anjurkan agar persoalan ini diteruskan saja ke pengadilan supaya publik tahu kalau mereka pun punya hak untuk menuntut media yang merugikan mereka,” Jafar Galunggung Bua, ketua AJI yang menggantikan Maxi Wolor, pada saya.

Montang membesarkan Nuansa Pos hampir sekitar 20 tahun. Suratkabar 16 halaman itu bergerak perlahan dan kini telah menghidupi sekitar 60 karyawan. Berita-berita yang ditampilkan adalah berita kriminal mirip suratkabar Lampu Merah atau Pos Kota yang terbit di Jakarta.

“Saya sudah berjuang untuk pers daerah ini, tapi AJI menggunakan like and dislike untuk membela wartawan. Saya jadi tidak respek sama AJI,” serang Montang.

AJI memang belum memiliki standar advokasi wartawan. Cara yang digunakan selama ini tergolong unik. “Kalau rekan-rekan wartawan yang tertimpa musibah itu melapor, yah langsung kami tangani. Logikanya kan begini: Hanya wartawan yang baik yang memperoleh dukungan dari teman-temannya.Kalau enggak biasanya dibiarkan saja,” ujar Bayu Wicaksono, ketua bidang advokasi AJI Jakarta.

Cara itu tergolong efektif. Walau kadang dalam perjalanan proses hukum itu ada laporan-laporan yang berbeda tentang pribadi wartawan bersangkutan. Dalam kasus Udin Lamatta misalnya. koresponden suratkabar mingguan Pembela yang bekerja di Toli-toli, Sulawesi Tengah.

Pada 9 Oktober lalu rumah Udin dilalap api. Saat penyisiran oleh aparat keamanan, ditemukan dua jerigen minyak tanah. Polisi memberikan dugaan rumah itu sengaja dibakar.

Udin menduga pelakunya keluarga Bupati Toli-toli Ma’ruf Bantilan. Udin berkesimpulan begitu karena jauh hari sebelumnya ia sudah menerima ancaman dari keluarga Bantilan. Ancaman itu terkait berita yang terbit di tiga edisi terakhir Pembela. Judulnya: ‘Skandal KKN Bupati Toli-toli terbongkar’, ‘Bupati Layak di Impeacment’, ‘Fraksi TNI Polri Minta Digelar Pansus’. Sejumlah media juga menerbitkan berita yang sama.

Namun Udin tak mewawancarai Bantilan. “Dia tidak mau bertemu dengan saya,” kata Udin.

Ma’ruf Bantilan, menurut Udin, juga pernah menghalanginya untuk ikut mendengarkan keterangan pers. Ada wartawan yang bertanya. “Kok dilarang Pak?”

“Dia tidak beretiket,” kata Ma’ruf Bantilan. Ini beredar di kalangan wartawan.

Udin menjadi wartawan sejak 1986. Mula-mula ia bekerja sebagai koresponden Detektif Spionase, lalu gabung di majalah Fakta . Ia berhenti tahun 2000 kemudian kembali bergabung sebagai koresponden Media Palu Press yang terbit mingguan. Usia kerjanya tak pernah panjang.

“Udin agak lemah dari segi jurnalisme, tapi ia adalah wartawan yang cukup bersih, tidak menerima amplop,” kata Jafar Galunggung Bua.

Tapi Andono Wibisono, redaktur harian Radar Sulteng yang terbit Palu, mengenal Udin saat tugas di Toli-toli punya komentar lain. “Orangnya agak terlihat tidak wajar,” katanya. “Dalam beberapa hal ia kelihatan tidak terlalu sopan.”

Wibisono pernah mewawancarai Bupati Ma’ruf Bantilan. Saat Wibisono bertanya tentang pembakaran rumah Udin Lamatta, serta merta Bantilan berkata dengan bibir bergetar, “Itu fitnah … fitnah … fitnah.”

Bayu Wicaksono memegang banyak data kekerasan yang terjadi tahun-tahun terakhir ini. Semua kasus umumnya ditangani, meski pada akhirnya banyak yang mengecewakan. “Misalnya ada media yang mendamaikan wartawannya dengan narasumber yang bertikai secara diam-diam. Kami kok merasa dilangkahi. Padahal awalnya mereka yang meminta AJI ikut membantu mengadvokasi.”

Efeknya kadang negatif. “Karena itu seperti melegalkan kekerasan,” ujarnya.

Sejumlah media yang cukup terkenal di Jakarta kadang memilih menyelesaikan pertikaian itu secara internal. Ada motif bisnis dan keengganan berurusan dengan proses hukum berliku. Contohnya, kasus Edi Haryadi dari Warta Kota, yang diintimidasi Dapot Manihuruk, petugas keamanan pemerintah Jakarta Timur pada Maret 2002.

AJI berharap kasus itu berhenti pada saat palu hakim jatuh. “Kebetulan kasusnya sudah di pengadilan negeri, artinya kalau ini selesai maka ini adalah untuk pertama kalinya Undang-undang Pers digunakan,” kata Bayu.

Ternyata proses sidang melelahkan. Jadwal molor, ruang sidang berpindah-pindah dan masa tunggu yang menjemukan, yang seringkali diakhiri dengan sidang kilat. Hanya sekitar 15 menit. Tak heran banyak media memilih damai, termasuk Warta Kota, sebelum kasus itu sampai vonis. Perjuangan memang belum berhenti. Kekerasan pun tampaknya masih akan jadi pilihan. *

by:Indarwati Aminuddin