Penyair Itu Telah Pergi

Z. Afif

Mon, 3 February 2003

JARUM jam menunjukkan pukul. satu – 1 Januari 2003. Telefon berdering dari Holland membawa sepotong berita duka. Penyair Agam Wispi yang hidup dengan puisinya, telah pergi untuk selamanya.

JARUM jam menunjukkan pukul. satu – 1 Januari 2003. Telefon berdering dari Holland membawa sepotong berita duka. Penyair Agam Wispi yang hidup dengan puisinya, telah pergi untuk selamanya. Dia meninggal di sebuah rumah untuk orang jompo (Verpleeghuis), di Amsterdam. Wispi korban dari terlalu kuat mencangklong, dikarati nikotin, tidak mampu menghindari alkohol – walau tidak mabukan – dan cara hidup yang tidak mengindahkan higienis. Dia menghadiahkan kepada Rondang Erlina Marpaung buku tentang pengaturan makanan sehat, namun dirinya sendiri tidak diperdulikannya, padahal jantungnya sudah dioperasi.

Kepergiannya memang sebagai keharusan akhir setiap manusia. Hanya, kepergian itu mempunyai maknanya masing-masing, yang ditinggalkannya kepada yang hidup. Puisi kerakyatan, kehilangan salah seorang penggaung hak-hak kemanusiaan yang dibelanya, terutama manusia yang tertindas, yang dilanggar hak asasinya. Nafasnya memang terhenti, tinggal di jasadnya. Diam abadi. Namun, sebagai penyair, degup jiwa puisinya, akan tetap mengaliri alur nadi kesusasteraan se-Nusantara.

Menyelami puisinya, akan terasa bahwa dia bukan hanya hidup untuk puisi, melainkan juga merasakan dihidupkan oleh puisi. Dia pernah bilang, merasa hidup kalau kreatif. Memang, dia penyair kreatif, bukan hanya dalam arti banyak menulis puisi, tetapi juga dalam mencari dan menggali bentuk-bentuk pengucapan yang harmonis antara isi dan bentuknya. Dia bukan orang berfikir pada "mulanya adalah kata", melainkan bagaimana menggunakan, memanfaatkan dan menghidupkan kata, sehingga ia kait-mengait mengentalkan makna. Puisi-puisinya kaya dengan metafora. Efek-efek bunyi dan perlambangan digunakannya secara cermat. Perkembangan setelah pulang dari Indonesia atas undangan Goenawan Mohamad, puisi Wispi sudah mulai mengikis ledakan "bombasme" sebelumnya. Sebaliknya, daya erotisme yang berbalut perlambangan mengalami lebih membiak.

Sebagai penyair berdarah Aceh, dalam beberapa puisinya, kita temukan ekspresi budaya tanah kelahirannya. Wispi menyikapi situasi Aceh tidak sembarangan. Saya katakan bahwa saya bersimpati kepada tuntutan referendum untuk Aceh dari ulama, mahasiswa, santri, dan lain-lain. Dia tidak spontan menyatakan penolakannya. Terhadap sajak saya yang bernafas seperti itu, tidak dikritik isinya, melainkan ditunjukkannya kekurangan saya dari segi ungkapan, metafora dan perlambangan, tidak dipersoalkannya segi isi. Dia malah menciptakan sajak Aceh, yang larik penutupnya berbunyi: "Aceh merdeka serambi depan Indonesia." Sajak itu diserahkannya kepada saya dan dimintanya jangan saya siarkan sebelum April 2002. Sampai sekarang belum saya siarkan, karena belum saya temukan tempat yang pantas. Perbedaan di antara kami tidak menjadikan rasa kekawanan kami mengendor.

Wispi resmi berpisah dengan isterinya ketika jalan-jalan yang terakhir ke Indonesia. Meninggalkan 3 puteri dan 2 putera, serta cucu-cucu. Hidup menyendiri sebagai suakawan (eksilan). Tetapi tidak pernah sepi sendiri dan tidak juga menyendiri. Teman-teman akrab mendatanginya atau dia kunjungi. Teman perempuannya yang akrab selalu ada untuk saling memberi.

Sekali diajaknya saya menginap di tempat tinggalnya, di Daltonstraat, Amsterdam. Rumahnya yang bagai "kandang", tetapi juga sebuah gudang kecil untuk menangguk ilmu dari berbagai macam khasanah sastera dan seni internasional. Saya ragu. Di mana harus tidur? Dinding kamarnya dikelilingi rak yang penuh dengan buku dan souvenir yang bertumpang tindih tak keruan. Di lantai dan meja yang berdebu tebal, berserakan buku, majalah, koran dan barang-barang. Keadaan serba berantakan, hingga ke ruang dapur, jamban dan bilik mandi yang sempit. Bau asap tembakau minta ampun. Saya antirokok dan antibaunya. Orang yang tidak biasa hidup bersama sasterawan dan seniman Bohemian seperti itu, akan enggan untuk makan minum di rumahnya. Bayangkan, cangkir dan alat-alat makan yang dipakai ganti-berganti, tanpa dicuci dan penuh karat kopi, teh dan rekatan makanan sisa. Literatur dan barang-barang pakai sehari-hari, sepeda motor, TV, telefon, fax, dan komputer juga centang perenang. Bersikat gigi di celah-celah alat-alat makan. Permadani di lantai sudah berlapis debu bercampur tanah dan pasir, juga bekas batang geretan korek api dan puntung rokok berserakan. Suasana hidup Bohemian, yang bukan saja bebas, melainkan jorok. Di dinding bergantungan foto, di antaranya foto panjang delegasi Indonesia dengan pemimpin-pemimpin Tiongkok Di atas meja cangkir, piring, asbak, sendok jarang terjamah air cucian. Memang macam gudang. Tak terurus. Sifat Bohemian disandangnya.

Teman-teman secara berbisik bertanya pada saya, apakah saya tahan tidur di tempat seperti itu? Saya fikir, akan sangat banyak hasil positifnya. Kenyataannya memang begitu. Kami kekurangan waktu untuk bertukar fikiran dan saling mendengar pengalaman masing-masing, termasuk tentang Lekra.

NAMANYA Wispi Agam. Panggilannya beragam: Wis, Wispi, Gam, Agam. Dia sendiri menuliskan singkatannya: Wis. Lahir 31 Desember 1930 di Pangkalan Susu, Sumut. Ayahnya, Agam Puteh, asal Idi, Aceh Timur, buruh perminyakan. Wispi punya seorang abang kandung, Mardi Agam, anggota TNI-AD. Ibunya berdarah Mandailing. Darah pejuang gerakan kemerdekaan berhaluan kiri dari ayahnya, mengalir ke dalam tubuhnya. Ini mewarnai puisinya. Ia bergabung dalam organisasi kebudayaan revolusioner, Lekra di Medan, sejak awal berdirinya di sana 1951. Kongres I Lekra di Solo, 1959, memilihnya sebagai anggota Pleno Pusat (PP) dan anggota Sekretariatnya, juga sebagai penanggungjawab Bagian Penerbitan.

Karirnya dalam kesenian dimulai sejak masa revolusi, selagi masih siswa SMP (SLP) di Langsa, Aceh Timur, 1945-1949. Ayahnya membawanya bergabung ke dalam grup sandiwara keliling di daerah itu. Namanya mencuat sebagai pemain cilik dalam lakon patriotik. Lakon itu mengisahkan seorang ayah berperan sebagai pengkhianat, mata-mata Belanda dan anaknya seorang pencinta tanah air. Cerita berakhir dengan si pemain cilik yang diperankan Wispi, membunuh ayahnya yang diperankan oleh Agam Puteh..

Setelah ayahnya meninggal, keluarga yang ditinggalkan hidup morat-marit. Wispi bergelandangan, bahkan mencuri untuk makan. Langkahnya mengantarkannya ke Medan. Seorang kenalan ayahnya dari Serikat Buruh membawanya ke jalan yang benar. Tahun 1950 dia tinggal di perkebunan teh di Pematang Siantar. Dari kota ini hatinya tersentuh kepada kehidupan tani dan lahirlah sajaknya Gadis Tani, yang dikunci dengan: pernah rumputrumput bermusimbunga/di hijau padang mekar tak berbau/dan di pagi segar gadis tani tak berdandan/karena cinta hidup dan tanah hitam

Kemudian dia pindah ke Medan, meneruskan pendidikan ke SMA sambil bekerja di surat kabar Kerakyatan. Koran yang berperanan untuk membangun PKI di Sumatra Utara itu digantikan oleh Pendorong. Pada 1951 sasterawan Bakri Siregar, guru SMA di Kutaraja (Banda Aceh sekarang) pindah ke Medan dan bersama penyair Hr. Bandaharo menjadi redaktur kebudayaan kedua penerbitan tersebut. Keduanya berpengaruh terhadap perkembangan Wispi pada masa awal karirnya.

Selama di Medan hingga Februari 1957, di samping menulis puisi, Wispi juga menciptakan cerita pendek, esai dan sebuah naskah sandiwara Gerbong. Tetapi yang pokok menulis sajak. Sandiwara yang bertemakan revolusi itu, dipentaskan oleh Lekra Medan dan Tanjung Balai. Dalam Festival Drama I Sumatra Utara, 1957, Lekra Medan mementaskan Gerbong dan menggondol hadiah pertama. Wispi juga menterjemahkan sastera asing, dimuat di Harian Rakyat. Goenawan Mohamad berhasil mendorongnya untuk menterjemahkan Faust karya Goethe, dan diterbitkan atas bantuan Goen juga.

Ketika masih di Medan, Wispi menulis sajak Matinya Seorang Petani (1955) yang sangat menggemparkan. Dia menyingkap dan menggugat kejahatan pemerintah yang dengan traktor melindas tanaman petani dan mengusirnya dari tanah garapan. Petani dengan gagah berani mempertahankan haknya, sehingga timbul korban penembakan oleh aparat negara RI. Penyair dengan kuat secara perlambangan mengungkap arti penting tanah bagi petani. Dia menemukan makna tanah sangat dalam. Tanah memutar sejarah manusia dan kemanusiaan, seperti terlukis dalam sebuah kuplet ini: tanah dan darah/memutar sejarah/dari sini nyala api/dari sini damai abadi

Wispi ditarik ke Harian Rakyat (HR), Jakarta, 1957. Bersama Nyoto, Wakil Ketua CC PKI mengasuh halaman Kebudayaan dalam HR. Wispi pengagum DN Aidit dan Nyoto selaku pemimpin muda politik masa itu. Keduanya menghasilkan puisi yang bagus. Nyoto peramah, berpengetahuan luas tentang seluk-beluk kebudayaan, masalah sastera dan seni, pemain piano dan biola, sangat dibanggakannya. Sebagai wartawan, Wispi dikirim belajar jurnalistik ke Berlin 1958-1959. Ketika ada perekrutan wartawan untuk ALRI pada 1962, dia turut terpilih dan mendapat pangkat Letnan. Dia memperoleh kesempatan ikut dalam pelayaran armada ALRI menjelajah kepulauan Nusantara. Hal itu banyak memberikan inspirasi bagi penciptaan puisinya. 7 Mei 1965, dia dilepas berangkat ke Vietnam oleh Kepala Staf ALRI Laksamana Martadinata untuk meliput perang melawan agresi imperialis AS. Dia wartawan Indonesia pertama yang mendapat kehormatan mengunjungi Dien Bien Phu, benteng terakhir kolonialis Perancis di Vietnam. Beberapa puisinya tentang perang Vietnam pernah disiarkan dalam HR. Di negeri itu dia diterima oleh Presiden Ho Chi Minh untuk berwawancara pada September 1965. Pertemuan itu sangat mengesankannya. Pada tiga kuplet bagian awal In Memoriam Ho Chi Minh dicurahkannya perasaannya:

di kaki gunung thai

kudekam berita sedih

ho chi minh mati

betapa cepat berlalu hari

dia bicara dalam puisi

penjara waktu jadi tak berarti

kenanganku melayang ke hari kami bertemu

datang bersandal banmobil, buku terbuka, dijabatnya tanganku

obrolannya menggelitik gelak: koran dari batu-kuburan!

Menghadapi kudeta militer 1 Oktober 1965, Wispi, pelukis Basuki Resobowo (anggota Sekretariat PP Lekra) dan penyair FL Risakota (anggota PP Lekra) membentuk lingkaran sasterawan dan seniman Indonesia yang tersangkut di Tiongkok. Wispi menghimpun karya mereka guna membentuk opini umum melawan kudeta dan teror militer fasis Suharto. Para wartawan menerbitkan Sari Berita (SB) yang isinya tentang situasi di Indonesia dan pernyataan-pernyataan sikap dunia menentang atau mengutuk teror berdarah oleh militer. Puisi menambah marak isi SB. Biro Konferensi Pengarang Asia-Afrika (KPAA) yang berpusat di Kolombo mengusulkan penyelenggaraan Sidang Darurat KPAA di Beijing, Tiongkok, Juli 1966. Para sasterawan dan seniman Indonesia menunjuk Wispi sebagai Ketua Delegasinya ke Sidang itu. Pidatonya menjadi landasan resolusi yang mengutuk kudeta dan teror oleh militer di Indonesia dan menyerukan Solidaritas Internasional.

SETELAH 1970 Wispi tinggal di Jerman Timur. 1973-1978 di Leipzig, belajar di Institut fur Literatur, dan bekerja sebagai pustakawan di Deutsche Bucheret. 1988 mulai menentap di Amsterdam dan aktif dalam kegiatan kesusasteraan. Mengasuh lembaran sastera Arah dan Kreasi. Berdua Sejalan kumpulan puisinya bersama dengan Asahan Aidit, hasil selama di Belanda diserahkannya kepada saya. Di dalam Kepada Penyair Asahan dibuatnya penegasan beda penyair dan politikus: penyair adalah pendahulu semangat zaman/ tak ada tokoh politik berani minta maaf kepada mendelstam/ karena serangkum sajaknya mati disiksa di siberia buangan.

Ada satu kisah tentang Wispi kala di Tiongkok. Di sebuah ruang Hotel Perdamaian, para jurnalist rombongan PWI sedang mendengarkan pelajaran bahasa Mandarin. Wispi adalah Ban Zang (Ketua)nya. Waktu itu musim dingin, langit menggeraikan salju. Kepingan-kepingan putih terbang melekat di pepohonan, menempel di jendela. Guru asyik menerangkan di depan papan tulis. Dan Wispi larut mengikuti dewi salju turun. Ketika guru mempersilakannya maju ke depan , dia tergugup-gugup dan cepat-cepat menutup buku tulis dan maju ke depan. Salah seorang teman yang suka mengganggunya, mencuri lihat catatan apa tadi dibuat Agam. Dibaliknya satu halaman. Segera matanya menangkap deretan aksara: Jejak-jejak di atas salju ………. . Ah, agaknya sang penyair sedang menyiapkan sebuah puisi, kapanpun dimanapun dia berada…..

Bilakah Wispi mulai muncul sebagai penulis sastera? Belum ada sumber untuk pegangan. Yang jelas, puisinya yang sudah terbit, yang paling awal Gadis Tani, Pematang Siantar, 1951.

Sajak-sajaknya selain bertebar di berbagai surat kabar dan majalah di Indonesia dan di luar negeri, juga di dalam kumpulan-kumpulan puisi dan buku-buku khusus yang membicarakan masalah sastera modern Indonesia atau tentang Lekra. Buku puisi yang khusus kumpulan karya Wispi sendiri adalah Yang Tak Terbungkamkan (45 sajak, 1960), didominasi lagu kehidupan desa, perkebunan, wilayah kumuh kota, orang kecil, tani, buruh, yang menderita ketidakadilan dan Kronologi In Memoriam (12 sajak,1953-1994). memuliakan pemimpin dan orang biasa yang patut diteladani. Kumpulan bersama: Nasi dan Melati (1956); Matinya Seorang Petani (1961); Dinasti 650 Juta (puisi tentang Tiongkok1961); Partai dalam Puisi (1962); Contemporary Progressive Indonesian Poetry (1962) ; Viva Kuba (1963) ; Sahabat ; Kepada Partai (1965) ; Di Negeri Orang (2002).

Puisi-puisi Wispi sangat menonjol sebagai senandung pembela rakyat pekerja, mereka yang tertindas dan terperas, tani, buruh, kaum miskin termasuk pelacur. Dia menjelajahi perkebunan sawit dan teh. Dia menyusup ke pedesaan di Kediri, berkelit dari intaian intel untuk merekam langsung penindasan atas kaum tani dan perlawanan mereka membela haknya. Dari sana lahir sajak Latini:

latini, ah latini

gugur sebagai ibu

anak kecil dalam gendongan

latini, ah latini

gugur diberondong peluru

bayi mungil dalam kandungan

tanah dirampas

suami di penjara

tengkulak mana akan beruntung?

desa ditumpas

traktor meremuk palawija

pembesar mana akan berkabung?

gugur latini sedang masyumi berganti baju

gugur pak tani dan dadanya dibenrondong peluru

gugur jenderal, mulutnya manis hatinya palsu

beri aku air, aku haus

dengan lapar tubuh lemas

aku datang pada mereka

aku pulang padamu

sedang tanah kering di kulit

kita makan samasama

kudian muram

latini, ah latini

tapi, ah, kaum tani

kita yang berkabung akan membayarnya suatu hari

(Antologi "Matinya Seorang Petani", 1961)

Dia pun merindukan kelestarian alam lingkungan. Dibencinya perusakan dan pencemaran. Kegundahannya diungkap dalam Pulang: di mana kau/ pohonku hijau?/ dalam puisimu, wahai perantau/ dalam cintamu jauh di pulau.

Para deklamator/deklamatris di pelbagai kota seluruh Indonesia pada tahun 1950-an dan 1960-an (sebelum Oktober 1965) paling suka mendeklamasikan sajak-sajak Hr. Bandaharo dan Agam Wispi. Ada yang memilih sajak-sajak panjang Wispi seperti Gugurnya Seorang Komponis (1956), Sajak Putih Danau Putih (1957) dan Jakarta Oi Jakarta (1958)

Gugurnya Seorang Komponis ditulis sebagai In Memoriam Cornel Simanjuntak. Dibuka dan ditutup dengan larik yang perkasa: – disini terbaring anak merdeka/ yang tewas menggenggam nyala.

Sajak Putih Danau Putih diinspirasi oleh tamasya berombongan ke Danau Toba. Tetapi penyair tidak tinggal cuma menikmati keindahan alam atau terpesona pada tubuh perempuan dengan “bola gading berbalutkan tipis kaus hitam/ yang melonggar lepas meluncuri dataran beledru hijau” atau “enaknya makan rujak” di dingin hembusan angin yang mendaratkan uap sejuk dari danau. Melainkan dia menukik ke rongga kehidupan masyarakat, petani, anak perahu, ibu tua dengan “kendi dan anak didukungannya”. Puisinya merupakan: pergolakan dada seniman tiada henti oleh mengerti/ tentukan sendiri di mana mau berdiri.

Jakarta Oi Jakarta menelan masa penciptaan hampir 4 bulan, 29 Juni-21 Oktober 1958. Diarunginya jalan raya mulus hingga ke gang-gang sempit becek. Diintainya rumah gedung si kaya dan pejabat negara yang lupa diri. Menyuruk ke gubuk-gubuk hunian si papa, korban sistem masyarakat yang tak berkeadilan. Diamatinya kehidupan tragis penduduk yang menyelamatkan diri dari pergolakan karena pemberontakan Darul Islam. Wajah Jakarta dan masyarakatnya masa itu, bagi yang pernah hadir kembali di sana, dapat membuat perbandingan antara persamaan dan perbedaannya secara gejala dan hakiki masa kini. Ia puisi yang mengalir dari “hati yang hangus oleh benci sayang oleh cinta”.

Pada 1959 lahir sajaknya Demokrasi yang menggugat kekuasaan militer dalam masa SOB. Sajak ini paling populer dan dideklamasikan secara luas masa itu, juga masa Orde Baru. Isinya langsung tuntutan rakyat atas haknya. Sajak ini dan Yang Tak Terbungkamkan (19-7-1960) menjadi musuh penguasa perang, TNI.

Sebagai penyair modern, Wispi seperti juga Chairil Anwar, tidak membelakangi khasanah puisi lama. Bentuk pantun di mana perlu dan mungkin dimanfaatkannya:

kupancing kau masuk hutan

kau ikuti aku seperti bayangan

tinggal pantai hilang lautan

bertimbun bangkai di kota rebutan

pita merah dan matahari

cinta berdarah sampai mati.

(Revolusi, 1957)

Sang Penyair sudah pergi untuk selamanya. Kepada kita ditinggalkan makna batinnya dan pemikirannya:

puisi, hanya kaulah lagi tempatku pulang

puisi, hanya kaulah lagi pacarku terbang

puisi generasi baru bijak bestari menerjang

keras bagai granit cintanya laut menggelombang.

(Dua bait terakhir dari Pulang ; Di Negeri Orang – kumpulan puisi penyair Indonesia eksil, Amanah – Lontar, April 2002).

Wispi menyimpan harapan kepada generasi muda, seperti pada larik puisi di atas. Juga harapan Wispi, puisi-puisinya merupakan sumbangan bagi sastera Indonesia pada masa yang akan datang.

Terserah kepada hati lapang, fikiran cerlang!*

kembali keatas

by:Z. Afif