Lembaga Sensor Film

M. Said Budairy

Mon, 3 February 2003

SEPERTI halnya penyelenggaraan pers, penyelenggaraan perfilman di negeri ini juga punya aturan. Bedanya dengan pers, aturan ini belum mengalami perubahan kendati zaman telah banyak berubah.

SEPERTI halnya penyelenggaraan pers, penyelenggaraan perfilman di negeri ini juga punya aturan. Bedanya dengan pers, aturan ini belum mengalami perubahan kendati zaman telah banyak berubah. Aturan berupa undang-undang itu menetapkan dasar, arah, tujuan, fungsi dan peranan perfilman. Dasar penyelenggaraannya Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945).

Perfilman diarahkan ke delapan sasaran. Di antaranya, pelestarian dan pengembangan nilai budaya bangsa. Pembangunan watak dan keperibadian bangsa serta peningkatan harkat dan martabat manusia. Pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Peningkatan kecerdasan bangsa. Pengembangan potensi kreatif di bidang perfilman. Terpeliharanya ketertiban umum dan rasa kesusilaan. Penyajian hiburan yang sehat sesuai dengan norma-norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sebagai media komunikasi massa pandang-dengar (audio-visual), film punya fungsi penerangan, pendidikan dan pengembangan budaya bangsa, sebagai hiburan dan usaha perekonomian.

Begitulah, untuk mewujudkan semuanya itu setiap film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, ditayangkan diharuskan untuk disensor. Maka didirikan badan pelaksananya. Dulu bernama Badan Sensor Film (BSF) sekarang bernama Lembaga Sensor Film (LSF)

SEJAK lama ada yang berpendapat LSF tak diperlukan. Tak patut ada lembaga pemasung kreativitas para sineas, pelanggar hak cipta, semaunya main gunting film, mengabaikan hak asasi manusia. Mereka mempersoalkan UU Perfilman.

Sebenarnya UU Perfilman belum terlalu tua, baru sekitar 10 tahun. Tapi dalam dekade terakhir ini banyak terjadi perubahan. Ada pergantian kepala pemerintahan dari Soeharto kepada B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid kemudian Megawati Soekarnoputri. Dampaknya besar pada penyelenggaraan pemerintahanan negara. Peristiwa itu bersamaan dengan perkembangan teknologi komunikasi yang bikin dunia terasa makin sempit. Akibatnya, akulturasi budaya berlangsung sangat cepat. Maka wajar jika ada keinginan terjadinya perubahan atas UU Perfilman.

Bertolak dari amandemen UUD 1945, ada pendapat yang mengatakan film merupakan media pemenuhan hak asasi untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi, yang bebas dan tak boleh dibatasi. Amandemen kedua pasal 28 F menyebutkan, "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia." Tapi ada pasal 28 J ayat (1) menyebutkan, "Setiap orang harus menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara".

PIHAK lain punya pandangan berbeda, menganggap perlu ada filter agar arah dan tujuan diselenggarakannya perfilman dapat tercapai. Kelompok agama.termsuk di dalamnya. Toh kelompok ini kritiknya terhadap Lembaga Sensor Film juga cukup keras. Mereka berpendapat wajah tontonan publik lewat media dengar-pandang tidak berubah: tetap beringas dalam mengobrak-abrik tata nilai dan budaya bangsa; terus saja merangsang birahi para penonton dan pendengarnya serta menyebarkan contoh-contoh sadisme dan tindak kekerasan.

Saya menjadi anggota LSF untuk periode 1999–2002. Saya diangkat berdasar keputusan Presiden Habibie lewat Menteri Penerangan Yunus Yosfiah. Periode sebelumnya, saya diangkat berdasar keputusan Presiden Soeharto lewat Menteri Penerangan Harmoko. Untuk periode 2002–2005, berdasarkan keputusan Presiden Megawati dengan penanganan keputusan itu oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardika.

Belum sebulan saya dilantik menjadi salah satu dari 45 anggota LSF, utusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Imam Tantowi pada 13 Agustus l999 mengatakan, “Selama ini banyak sekali tontonan di televisi dan film yang diputar di bioskop sama sekali tidak memiliki kandungan gizi rohani, bahkan banyak yang mengandung racun moral.” Sutradara ini mengangkat contoh film serial televisi seperti Melrose Place, Friend, Beverly Hills 20210. Film-film itu, menurutnya secara gencar dan enteng mendesakralisasi nilai-nilai pernikahan dan agama lewat kehidupan kumpul kebo dan seks bebas. Mereka mendegradasikan etika moral dan dengan pelan tapi pasti mampu mengubah tata nilai moral generasi muda kita menjadi kian permissive. Walaupun serial itu tanpa bumbu seks, tapi isinya justru merusak akhlak. Tantowi melanjutkan kritiknya dengan mengangkat serial Baywatch. Dia bilang, dengan alasan kewajaran, film itu begitu gencar memamerkan aurat pria maupun perempuan, karena setting cerita berada di pantai. Bagi anak-anak dan remaja terutama, tontonan macam itu cukup membakar libido mereka (Republika 8 September 1999).

Tantowi mempertanyakan, bagaimana mungkin film serial yang berpotensi sangat merusak moral anak bangsa bisa sampai diloloskan? Padahal pedoman dan kriteria penyensoran semuanya bertujuan melindungi moral bangsa. Suatu sinetron, karena tak ada adegan seks dan ciuman diloloskan. Padahal isinya mengajak kumpul kebo di apartemen dan bertahun-tahun ditayangkan, sehingga membawa suatu nilai baru bagi generasi muda bahwa kehidupan kumpul kebo itu wajar. Ia kemudian mengajak mengetuk hati nurani orang yang bertugas di Lembaga Sensor Film ikut prihatin melihat moral generasi muda kita yang semakin lama semakin dekaden.

Tiga tahun kemudian, Desember 2002, ketua umum MUI KH Sahal Mahfudz juga bicara soal televisi. Beliau bilang, televisi yang pesan-pesannya dapat diterima seketika oleh masyarakat luas, selain sebagai media penyampai informasi juga memiliki pesona lain yaitu sebagai media tontonan dan hiburan. Televisi Indonesia telah memainkan peranannya dengan sangat baik, melalui berbagai program acara yang didesain sedemikian rupa sehingga menarik minat pemirsa untuk betah berlama-lama di depan TV. Tapi tak jarang, untuk memikat pemirsanya stasiun TV menampilkan tayangan yang melampaui batas norma agama dan budaya masyarakat. Misalnya dengan lebih menonjolkan sadisme dan pornografi. Bahkan akhir-akhir ini, kata Kiai Sahal, MUI sering menerima keluhan dan protes dari publik tentang tayangan TV, yang sebagian besar porsi tayangannya dipenuhi dengan acara yang merendahkan martabat manusia sebagai makhluk sosial yang beradab.

Kiai Sahal bilang, keadaan itu membikinnya kerap berfikir, apakah manajemen televisi kita tak tahu bahwa tayangan-tayangan TV bisa mempengaruhi perilaku budaya dan akhlak masyarakat. MUI minta para pengelola dan pengarah program-program televisi dapat benar-benar mewujudkan tayangan televisi kita, yang bukan hanya hanya untuk memenuhi keinginan sebagai tontonan, tapi juga sebagai media tuntunan. Hendaknya dapat menjadi pemasok informasi yang bermanfaat bagi pengembangan akal budi bangsa Indonesia, bukan informasi atau tayangan yang justru mengekspresikan aspirasi pornografi, kontroversi, anarki dan wacana-wacana yang menyesatkan dan membingungkan.

KALANGAN Lembaga Sensor Film merasa telah berusaha melakukan tugas sesuai dengan perkembangan nilai budaya masyarakat. Kami merasa telah berusaha melaksanakan ketentuan yang digariskan oleh undang-undang berikut peraturan-peraturan lainnya. Tapi kami juga sadar menghadapi banyak kendala.

Di gedung LSF ada dua ruang penyensoran. Digunakan pada pagi dan sore hari oleh empat kelompok penyensor yang masing-masing terdiri lima orang. Umumnya setiap kelompok bekerja sekitar tiga jam. Memang ditempuh cara penyensoran yang tak mungkin dilakukan seperti orang menonton film di bioskop atau tayangan di televisi. Akibatnya, yang tersensor terutama hanya gambar. Sulit dapat memeriksa kontennya.secara cermat. Konten diperiksa dari sinopsis, yang pembuatannya tak pernah memadai. Suara dan dialog dalam film hampir tak tersentuh. Jika ditempuh cara lain, akan memakan waktu sangat panjang dan tak mungkin dilaksanakan. Ini salah satu contoh kendala yang dihadapi.

Kendala lain, citra LSF pernah tidak bagus karena adanya “permainan” dalam pelaksanaan tugas pada periode semasa zaman Presiden Soeharto. Ada tuduhan untuk “memperlancar” jalannya penyensoran perlu menggunakan “pelicin.”

Mungkin pengalaman saya ini yang paling ringan. Hari pertama saya masuk dalam tim penyensor film besar untuk diputar di gedung bioskop, ada karyawan LSF yang meminjam kunci mobil. Ternyata waktu mau pulang, ada bungkusan buah-buahan diletakkan di jok belakang mobil saya.

Saya mulai menebak-nebak. Ternyata, untuk menyensor film besar, tak semua anggota sempat memperoleh giliran. Karena untuk itu ada tambahan “imbalan” berasal dari pemilik film. Kasus-kasus macam ini sebagian terbukti dan berhasil dihentikan dalam perjalanan kerja LSF periode 1999–2002 pimpinan Tatiek Maliyati WS.

Bu Tatiek dosen Institut Kesenian Jakarta. Dia salah satu orang terkemuka dalam masyarakat perfilman. Dia kini sudah mengakhiri tugasnya dan tak lagi duduk sebagai anggota LSF. Penyimpangan lain lebih susah dibuktikan karena di luar wewenang Bu Tatiek melainkan bagian dari birokrasi yang ditugasi jadi pendukung terselenggaranya tugas-tugas LSF.

Ada juga citra buruk LSF bukan dari kesalahannya. Film yang sudah disensor, dalam penayangannya kembali tampil utuh. Masternya dipegang pemilik film. Sebenarnya LSF bisa minta bantuan polisi karena instansi ini punya wakil di LSF. Namun prakteknya tak efektif.

LSF juga suka disindir. Buat apa kerja serius ketika video porno dan sadistik bertebaran di pasaran dengan bebas? Pernah berulangkali film sinetron sesudah ditayangkan di televisi baru mendapat giliran masuk ruang sensor. Biasanya, kalau bukan setasiun televisinya yang bandel, pelayanan di LSF-nya lambat.

LSF sering juga diperburuk citranya karena masyarakat tak tahu bahwa tayangan langsung televisi seperti acara “gebyar” ini dan itu, bebas sensor. Padahal, tayangan langsung tak sedikit yang urakan dari segi pandang moralitas yang mau dikembangkan aturan soal perfilman.

LSF periode 1999–2002 sudah berakhir tugasnya. Patut dicatat, keanggotaan LSF periode 2002–2005, perubahan komposisinya terkesan tak wajar. Wakil-wakil organisasi Islam dikurangi. Malah ada yang dihabisi. Muhammadiyah tadinya mengutus dua orang. Dalam keputusan Presiden Megawati, tak ada seorangpun lagi wakilnya. Konon organisasi ini juga frustrasi mengamati hasil kerja LSF. Departemen Agama, MUI, dan Nahdlatul Ulama tadinya dua orang, sekarang masing-masing seorang. Perubahan ini nanti berpengaruh besar dalam penyusunan tim penyensoran. Sementara itu, anggota lama Dewi Matindas, seorang psikolog dari Universitas Indonesia, yang tak pernah dihubungi atau menyatakan bersedia, tetap saja diangkat kembali.

Pada masa Soeharto, LSF diisi oleh banyak pensiunan pejabat Departemen Penerangan. Tendensi itu menonjol kembali sekarang. Sejumlah mantan pejabat masuk sebagai anggota baru LSF: Dewabrata Kobarsyih, mantan Direktur Jenderal Radio, Televisi dan Film; Chairul Zen, mantan Direktur Utama TVRI; Suryanto Sastrosuroyo, mantan Direktur Pembinaan Perfilman; Budhi M. Hidayat, mantan pejabat Direktorat Pembinaan Perfilman, yang sekarang mewakili Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Sejumlah mantan pejabat Departemen Penerangan, yang dulu duduk sebagai anggota LSF periode 1999–2002, kini didudukkan kembali untuk periode 2002–2005: Narto Erawan, Djamalul Abidin Ass, R.M. Sudiyanto,.R.M. Simatupang, dan Adrian Sipasulta. Tidak kurang dari sembilan orang mantan pejabat Departemen Penerangan duduk sebagai anggota Lembaga Sensor Film untuk periode 2002–2005 ini.*

kembali keatas

by:M. Said Budairy