Fatwa Mati atau “Fatwa Mati”

Novriyanto Kahar

Mon, 3 February 2003

PADA 13 Januari lalu Ulil Abshar-Abdalla beserta tiga orang dari Komunitas Utan Kayu ke kota Bandung. Saya termasuk dalam rombongan kecil ini.

PADA 13 Januari lalu Ulil Abshar-Abdalla beserta tiga orang dari Komunitas Utan Kayu ke kota Bandung. Saya termasuk dalam rombongan kecil ini. “Mas Ulil” –panggilan akrab saya untuknya—mengajak saya ikut karena keterlibatan saya dalam Jaringan Islam Liberal yang dipimpinnya. Kami berangkat pukul 6.30 dari Utan Kayu menuju Bandung dengan mobil Kijang milik Ulil. Hari itu Ulil diundang untuk ikut diskusi berjudul, “Mempersoalkan Perbedaan Pendapat dalam Islam: Menimbang Islam Liberal dan Pemikiran Ulil” yang diselenggarakan Yayasan Nuansa Cendikia Bandung. Acara ini sebenarnya sempat tertunda karena kendala-kendala teknis tapi akhirnya jadi juga digelar hari itu.

Gedung Kesenian Rumentangsiang, sejak pagi sudah ramai didatangi pengunjung. Menurut takaran panitia, tak kurang dari 400 pengunjung sudah memadati ruang pengap tak ber-AC itu. Keinginan mereka praktis sama: ingin menyaksikan Ulil mempertanggungjawabkan gagasan-gagasan kontroversial yang dituangkannya dalam kolom “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” di harian Kompas edisi 18 November 2002. Ini mungkin salah satu kolom yang paling mendapat banyak tanggapan dalam sejarah jurnalisme Indonesia. Tentu juga, mereka juga sangat berhasrat menyaksikan Ulil beradu pendapat dengan Ustaz KH Athian Ali, ketua Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI), yang mengeluarkan fatwa mati untuk Ulil karena beberapa gagasan dalam kolom itu.

Diskusi dan debat ilmiah, bagi Ulil, tentu bagian dari kebiasaannya. Tradisi debat dalam pemikiran keagamaan, juga tak asing di kalangan ulama klasik Islam. Imam Al-Ghazali misalnya, mendebat –(sayangnya) sampai mengafirkan– Ibnu Sina dalam tiga pokok soal (dari 20 pokok soal) dalam pemikiran filsafat. Perdebatan Al-Ghazali itu, sampai kini masih dapat dibaca dalam buku Tahâfut Al-Falâsifah (Kerancuan Para Filsuf. Tapi, kini debat Ulil agak beda. Dia akan beradu argumen dengan, bukan lagi orang yang mengafirkan dan membantah pikiran-pikirannya secara ilmiah, tapi dengan orang yang telah memfatwa dia mati. Itu sama dengan, dia mendebat orang yang ingin, tak hanya mengakhiri pikirannya, tapi juga peluang hidupnya.

Buah pikiran selalu bersayap (al-afkâr lahâ ajnihah), kata Yoessef Shahin, sutradara film Destiny yang mengisahkan Ibn Rusy. Pikiran tak akan pernah mati. Tapi bagaimana dengan jasad Ulil? Agaknya, nuansa ini juga yang membedakan debat yang diperkirakan berlangsung seru dan panas ini. Jauh hari sebelum itu, Ulil pernah berdebat dengan Kiai Athian Ali di Metro TV dalam acara Indonesian Recovery yang dipandu Rizal Malarangeng. Tapi debat Metro TV tak langsung berhadapan dengan publik. Di Rumentangsiang, publik bisa mengintai mereka secara langsung.

Di ruang diskusi, peserta sudah menduyun. Sekitar pukul 10, Ulil datang disambut suasana agak tegang dan waswas. Di atas panggung, Hedi Muhammad, perwakilan Ustaz Athian sekaligus sekretaris FUUI, sedang menyampaikan kemarahannya terhadap panitia. Pasalnya, FUUI merasa di-fait accompli. Undangan untuk FUUI disampaikan setelah informasi kegiatan itu diedarkan. Panitia dinilai tak profesional. “Etika sekuler saja tidak berlaku begini,” kata Hedi. Setelah bicara Hedi turun panggung.

Tapi evaluasi belum tuntas. Herman Ibrahim, seorang pensiunan kolonel yang juga bergabung dengan FUUI, menyambut mikrofon, menyampaikan evaluasi lanjutan. Dengan ringkas, Herman menyampaikan beberapa pokok soal dengan nada agak tinggi. Pertama, dia menegur agar “Ulil jangan merasa tidak aman di Bandung.”Kedua, media massa agar tak memelintir berita kasus Ulil versus FUUI. Ketiga, FUUI merasa tak pantas lagi melakukan dialog. “Tatarannya bukan lagi wacana, masalah itu tidak relevan lagi dibahas,” kata Herman. Hedi, Herman dan belasan massa FUUI dengan pakaian jubah, jalabiah dan celana agak tinggi, walk-out meninggalkan ruang diskusi.

Rupanya, panitia tak sepakat dengan protes FUUI. Faiz Manshur menampik tuduhan FUUI. “Itu adalah sebuah apologi yang berlebihan, sekedar untuk menyembunyikan kebebalan pikiran FUUI,” kata Faiz.

Menurut cerita Faiz, panitia sudah menyurati Athian Ali dua kali. Beberapa hari menjelang acara, banyak alasan yang dipakai Athian untuk tak hadir. Alasan itu misalnya, “moderatornya syiah,” “Ulil bukan tandingan saya,” “temanya tidak pas,” “ada kecenderungan saya akan di-Metro-kan lagi,” dan sebagainya. “Pembicara lain, semisal Kang Jalal, mau hadir meski undangan baru disampaikan lima hari sebelum acara,” kata Faiz. Sementara Kiai Athian, telah diberi undangan seminggu sebelum acara.

GAIBNYA FUUI, rupanya tak membuat diskusi mati. Di panggung, kini telah duduk Kang Jalal (sapaan akrab Jalaluddin Rakhmat), Fauzan Al-Anshari dari Majelis Mujahidin Indonesia), pengacara Eggi Sudjana, dan Ulil sendiri. Moderator memersilahkan Ulil untuk “mempertanggungjawabkan” beberapa pasal kontroversial dalam kolomnya.

Ada tiga soal yang dibicarakan Ulil. Soal-soal itulah yang memicu kemarahan FUUI dan mengembang sebagai opini media. Satu, pernyataannya (sebagian orang menyebutnya “manifesto”) bahwa tidak ada “hukum Tuhan.” Ulil menulis, “Menurut saya, tidak ada yang disebut ‘hukum Tuhan’ dalam pengertian seperti dipahami kebanyakan orang Islam.” Teks asli ini penting dikutipkan untuk membedakan maksud Ulil dalam gagasannya dengan maksud-maksud orang lain yang berkembang sebagai opini. Dua, nabi sebagai tokoh historis harus dikaji dengan kritis. Lebih lengkapnya, Ulil menulis begini, “Menurut saya, Rasul Muhammad SAW adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).” Tiga, soal membedakan nilai-nilai fundamental Islam dengan aturan-aturan partikular-situasional-lokal budaya Arab secara konseptual. (Masalah ini memang agak sulit dijabarkan karena mempunyai spektrum yang lebar dan menjadi wilayah perdebatan intelektual yang luas pula).

Dalam gejolak keingintahuan peserta, Ulil menjelaskan soal tidak adanya “hukum Tuhan.” Isu ini sebenarnya sudah pernah didiskusikan Ulil dalam kesempatan lain. Misalnya, dalam diskusi di Teater Utan Kayu bersama cendekiawan Sudan, Abdullahi Ahmed An-Na’im (7 Januari), juga dalam sanggar kerja Jaringan Islam Liberal bertema Sharia: Comparative Perspective di Wisma Tempo Sirnagalih (10-11 Januari). Ulil kembali mengulang apa maksud statemennya itu.

Menurut Ulil, kini di beberapa kelompok umat Islam kuat kecenderungan untuk menyodorkan apa yang mereka sebut dengan “hukum Tuhan” sebagai solusi banyak persoalan duniawi yang sedang menghadang. “Kecenderungan itu, seolah-olah mengabaikan kompleksitas permasalahan yang sedang kita hadapi,” ungkap Ulil menyayangkan. Kecenderungan semacam inilah yang kemudian ditantang Ulil dengan mengajukan antitesisnya.

Dalam pandangan Ulil, umat Islam perlu membedakan antara nilai-nilai fundamental Islam dengan nilai-nilai partikular-lokal-situasional. Dalam hal ritual ibadah semacam salat, Ulil mengatakan sudah ada manual yang baku. “Maka dari itu Rasulullah mengatakan, shallû kamâ ra’aitumûni ushallî (salatlah sesuai teknis salatku),” kata Ulil. Tapi ada banyak hal dalam kategori pergaulan sosial antara manusia (al-mu‘âmalah), di mana umat Islam tidak diperintah untuk mengikuti manual Rasul secara harfiah. “Masak manual Honda tahun 70-an digunakan untuk Honda keluaran tahun 2003!” kata Ulil.

Ulil mengatakan dia tak terlalu percaya akan cetak biru hukum Tuhan yang baku dalam banyak soal yang masuk kategori al-muâmalah, “Mana ada nabi menyuruh kita mengatur negara sebagaimana dia mengatur negara dulunya!” Dalam urusan mu’âmalah dan dalam konteks negara demokrasi, Ulil lebih percaya mekanisme deliberasi publik. Islam memberikan rambu-rambu atau nilai-nilai fundamental yang disebutnya –dengan mengutip rumusan Al-Syatibi— sebagai maqâshid al-syariah atau tujuan-tujuan pokok syariah.

Ada lima tujuan pokok syariah: perlindungan terhadap akal (hifz al-‘aql), terhadap kebebasan beragama (hifz al-din), terhadap nyawa (hifz al-nafs), terhadap keturunan dan atau kehormatan (hifz al-nasab/al-‘irdl), dan terhadap harta benda (hifz al-mâl). “Bagaimana nilai-nilai itu diterjemahkan dalam konteks sejarah dan sosial tertentu, itu adalah urusan manusia muslim sendiri,” kata Ulil.

Ulil berkali-kali mengajak siapa saja untuk mengerahkan segenap kemampuan guna mengaktualisasikan dan mewujudkan kelima tujuan pokok itu. “Kuncinya ijtihad,” kata Ulil. Ijtihad inilah yang oleh pemikir Iqbal asal Pakistan disebut prinsip gerak Islam.

Dalam soal kedudukan Rasul, Kang Jalal tampak lebih elaboratif dalam memberi argumen-argumen teologis dan historis dari sîrah nabi sendiri (sejarah nabi). Kang Jalal membekali peserta diskusi dengan beberapa pengetahuan dasar tentang sejarah legislasi hukum Islam (târikh al-tasyrî’ al-Islâmy). “Banyak contoh di mana Rasul dan para sahabat, bernegosiasi dalam persoalan al-mu’âmalah,” kata Kang Jalal.

Umar bin Khattab adalah orang yang gagasannya banyak berseberangan dengan nabi dalam soal ini. “Setelah turun wahyu, ternyata isinya lebih berpihak pada pendapat Umar ketimbang Nabi,” kata Kang Jalal. Kisah-kisah itu, menurut Kang Jalal, dapat dirujuk dari buku-buku târikh al-tasyrî’ al-Islâmy yang tak asing bagi ulama klasik dan ulama kontemporer yang berwawasan luas.

“Kalau Mas Ulil difatwa mati karena berpikir begitu, seharusnya ulama-ulama klasik yang menulis itu, juga harus difatwa mati,” ungkap Kang Jalal berkelakar.

Dalam forum itu, Ulil juga dihadapkan persoalan “tetek bengek” yang rawan memojokkan posisinya. Beberapa perbedaan perspektif mencuat ke permukaan ketika perdebatan mengarah ke hal-hal yang furuiyyah (sekunder) ini. Tak jarang, hal yang furuiyyah menurut Ulil, bagi sebagian kelompok dianggap ushuliyyah (elementer), asasi, fundamental dan merupakan inti keberagamaan.

Misalnya, Eggy Sudjana menganggap polemik dalam pemikiran keagamaan tak ada gunanya. “Apa pentingnya pemikiran seperti Ulil ini. Tidak ada manfaatnya bagi kemakmuran umat!” sergah Eggi berapi-api.

Eggi menunjukkan kejengkelannya karena dia seharusnya memimpin demonstrasi sekitar 10.000 orang di Bogor hari itu. Agaknya, “penyesalan” Eggi sesuai dengan kelakar Ulil pada saat berbasa-basi menyambut Eggi di panggung. “Selamat datang Mas Eggi! ini adalah orang yang terkenal menganggap demo sebagai ibadah,” canda Ulil disambut tawa hadirin.

Eggi tampil bak pakar tafsir. Dia bicara banyak hal dengan landasan surat Al-Ikhlas yang dia tafsirkan sendiri. Pembicara lain, Fauzan Al-Anshari, masih mengulang-ulang beberapa perdebatannya lamanya dengan Ulil. Diskusi berjalan hangat, semarak, berbobot dan sekali-kali jenaka, meski FUUI tidak turut serta.

Sekitar pukul 13.30 diskusi berakhir. Ulil tampak bagai bintang –meski bukan kali itu saja dia jadi bintang. Banyak peserta diskusi mengerubuti Ulil. Meski tak semua orang puas –Ulil mengaku tidak berpretensi untuk memuaskan semua orang, sebab itu mustahil— tapi banyak peserta menghampiri Ulil sekedar minta tanda tangan, bersalaman, atau tanya beberapa hal. Ada satu pemandangan yang menarik. Banyak dari peserta diskusi malah menyium tangan Ulil, laiknya santri mencium tangan kiainya. Saya mengingatkan Ulil akan pemandangan itu. Ulil berkata: “Iya ya, tadi banyak yang cium tangan. Jadi nggak enak, nih!”. Hari itu, Ulil seolah kembali terlahir sebagai “Gus.”

SEPUCUK surat melayang ke Ulil usai diskusi. “Mas Ulil, saya mohon maaf kalau selama ini ber-suudzon (buruk sangka) dan menyimpan dendam pada Mas Ulil,” begitu isi surat itu. Surat itu dibacakannya kepada saya.

“Saya terenyuh dengan isi surat itu,” kata Ulil tentang kertas kecil itu.

Selama ini, Ulil sudah didaulat mati dan dituduh sebagai “bukan muslim lagi,” “Yahudi,” “zionis,” dan cap-cap lainnya.

Dalam beberapa mailing list, Ulil divonis tak layak hidup lagi. Dalam komentar pembaca harian Media Indonesia, tentang kasus Ulil dan FUUI, sebagian malah menyemangati penghalalan darah Ulil.

“Gue akan kasih uang lelah untuk orang yang bisa memenggal kepala Ulil,” tulis salah satu komentator.

Herman Ibrahim dalam kolomya berjudul “Islam Substantif adalah Tegaknya Syariat Islam” (Kompas, 13/12/2002) bahkan menuduh Ulil telah melakukan “sebuah penghinaan yang nyaris sempurna terhadap Islam”.

Tapi persoalan yang lebih penting: betulkan FUUI memfatwa mati Ulil? Dalam siaran pers-nya di Markas Besar Kepolisian Indonesia di Jakarta, FUUI membantah telah memfatwa mati Ulil. “Tak ada fatwa mati yang mengacu pada pertemuan ulama Jabar, Jateng, Jatim tanggal 30 November 2002,” kata mereka (Detikcom, 18/12/2002).

Tapi tersiarnya fatwa mati FUUI ini sulit ditampik pihak FUUI karena dalam pernyataan bersama “ulama dan ummat Islam Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur,” ada kalimat semacam fatwa mati itu. Butir ketiga pernyataan itu berbunyi, “Menurut syariat Islam, oknum yang menghina dan memutarbalikkan kebenaran agama, dapat diancam dengan hukuman mati.” Kalimat “dalam syariat Islam” dan “oknum yang menghina dan memutarbalikkan kebenaran agama” bila dihubungkan dengan kalimat “dapat diancam dengan hukuman mati,” bisa dengan mudah dipahami sebagai fatwa mati. Fatwa mati semakin berbobot dan populer di kalangan wartawan, karena yang mengeluarkan pernyataan adalah segolongan ulama yang biasanya bekerja mengeluarkan fatwa. Tanpa tedeng aling-aling, media menamakan pernyataan FUUI sebagai fatwa mati untuk Ulil –meski sekali-sekali ditulis antara tanda kutip.

Untuk apa mengeluarkan fatwa mati, tentu FUUI lebih tahu. Yang jelas, FUUI agaknya sadar kalau perangkat hukum Indonesia tak bisa banyak diharap mampu menangani kasus-kasus semacam ini. Makanya, mereka mengusulkan “harus ada sanksi hukum yang jelas bagi pelanggaran hukum yang berkualifikasi delik penghinaan agama.” Pernyataan FUUI “dalam syariat Islam …,” bisa diartikan sebagai usulan sanksi untuk perangkat hukum yang ada. Hanya saja, soal yang kemudian memicu keheranan banyak pihak: mengapa FUUI membawa-bawa kalimat “dalam syariat Islam”? Mengapa memberikan opsi sanksi paling maksimal: “dapat diancam dengan hukuman mati”?

Walhasil, Ulil menilai fatwa itu lemah dan tak mengikat, khususnya di kalangan Sunni, walau ada kecemasan dan rasa khawatir dalam ungkapannya kepada majalah Tempo, “Fatwa itu lemah, tapi cukup mengkhawatirkan.”

MUNGKIN karena kasus ini perdana dalam era demokratisasi Indonesia, banyak orang terkaget-kaget. Abdurrahman Wahid justeru berpandangan “yang menuntut hukum mati itulah yang harus dituntut.” Gus Dur tak menyembunyikan keraguannya terhadap kredibilitas Athian Ali dan kawan-kawan. “Nggak ngerti hukum Islam, kok berani-berani ngomong!" kata Gus Dur (Detikcom, 20/12/2002).

Gus Dur memang membela hak hidup Ulil, tapi itu tak berarti dia sepakat dengan gagasan-gagasan Ulil. Dalam diskusi Institute for Inter-Faiths Dialogue in Indonesia 20 Desember lalu, Gus Dur mengatakan merasa tidak aneh dengan pemikiran Ulil tapi dia menyebut Ulil salah. “Wong Ulil kok tidak salah. Itu kan, ya aneh! Mertuanya saja juga menyalahkan,” kata Gus Dur.

Pernyataan Gus Dur ini mengacu teguran KH Mustofa Bisri atau Gus Dus, mertua Ulil sendiri, terhadap Ulil dalam kolomnya yang berjudul “Menyegarkan Kembali Sikap Islam: Beberapa Kesalahan Ulil Abshar-Abdalla” (Kompas, 5 Desember 2002).

Selain tanggapan dan kritik, Ulil juga banyak mendapat ungkapan simpatik. Sebagian wujud simpati datang dalam bentuk surat. Seorang yang mengaku “outsider” beragama Katolik, memuji Ulil, “Suatu terobosan jauh ke depan. Saya yakin, sekian puluh tahun ke depan, atau bahkan dalam hitungan abad ke depan, saudara akan dikenang, dicatat sebagai salah satu pemikir besar dalam proses perkembangan Islam.” Di penutup suratnya, “Leo” tak lupa mendoakan Ulil agar pemikirannya selalu mendapat bimbingan Allah SWT.

Ungkapan simpatik juga muncul dalam acara wicara bertajuk “Agama dan Toleransi” dalam radio 68H 17 Desember lalu. Penelepon yang mengaku baru masuk Islam alias muallaf bernama “Hendri,” mengaku semakin mantap keislamannya setelah membaca kolom Ulil. “Saya sempat goyah lagi (keislamannya) setelah melihat fenomena keberagamaan di tanah air belakangan ini. Tapi setelah membaca kolom Mas Ulil, saya menjadi mantap,” kata Hendri.

Kang Jalal dalam diskusi di Bandung juga bercerita mirip dengan kisah Hendri. Seorang muallaf juga datang pada Kang Jalal untuk menunjukkan apresiasinya atas tulisan Ulil. “Ya, terang saja, kamu kan masih muallaf!” komentar Kang Jalal.

Respon, komentar, kritik dan tanggapan atas Ulil memang beragam dan warna warni. Ulil sendiri mengatakan pada banyak kawannya bahwa dia siap melayani orang yang berniat berdiskusi tentang masalah ini. Menurut Ade Juniarti, sekretaris di Utan Kayu yang mengatur jadwal Ulil, dari dulu “Mas Ulil” sudah sibuk. Tapi setelah difatwa mati, kesibukannya menjadi lebih spesifik. “Sekarang, banyak undangan yang spesifik meminta diskusi tentang itu,” kata Ade.

Di antara undangan yang menuntut kehadiran Ulil, bertempat di Universitas Negeri Jakarta pada 25 Februari nanti. Tema diskusinya, “Mempertanggungjawabkan Islam Liberal Secara Ilmiah.” Orang-orang menyebut Ulil berhutang karena gagasan-gagasannya tentang ihwal pemikiran keagamaan. Tapi apakah hutang itu semata harus ditanggung Ulil?

Itulah soal yang harus dijawab oleh aktor-aktor diskursus pemikiran keagamaan yang lagi marak di tanah air. Fatwa mati dilawan dengan fatwa hidup. FUUI masih memroses Ulil ke pengadilan. Jalan kasus ini nampak masih panjang, berliku, berbelok, dan butuh stamina dan bekal cukup.*

kembali keatas

by:Novriyanto Kahar