Debat Apocalypse Now

Agus Sopian

Mon, 3 February 2003

FILM klasik antiperang Vietnam karya sutradara Francis Ford Coppola pada 1979, Apocalypse Now, baru-baru ini terpilih sebagai film terbaik abad ke-20.

FILM klasik antiperang Vietnam karya sutradara Francis Ford Coppola pada 1979, Apocalypse Now, baru-baru ini terpilih sebagai film terbaik abad ke-20. Polling ini dilakukan British Film Institute dari London yang melibatkan 50 kritisi film.

Martin Scorsese, terpilih sebagai sutradara terbaik dalam pemilihan itu dan mendapatka karyanya, Raging Bull (1980) dan GoodFellas (1990), di posisi kedua dan keempat. Terbaik ketiga diduduki Fanny and Alexander (1982) karya Ingmar Bergman. Peringkat berikutnya Blue Velvet (David Lynch, 1986); Do the Right Thing (Spike Lee, 1989); Blade Runner (Ridley Scott, 1982); Chungking Express (Wong Kar-Wai, 1994); serta Distant Voices, Still Lives (Terence Davies, 1988). Sedangkan Once Upon A Time in America (Sergio Leone, 1983) berbagi kursi di urutan ke-10 dengan Yi yi: A One and a Two (Edward Yang, 1999).

Keberhasilan Apocalypse Now (1979) tak urung meredupkan pamor Citizen Kane (1941) karya Orson Welles. Dalam daftar “100 Film Top Sepanjang Masa”—yang disaring dari sekitar 1.500 kritisi film oleh American Film Institute pada 1998— Citizen Kane berada di nomor wahid. Apocalypse Now di deretan ke-28.

Apocalyse Now berkisah tentang perburuan Kapten Williard (Martin Sheen) atas perwira disertir Kolonel Kurtz (Marlon Brando). Ini tugas susah. Bukan hanya beratnya medan Vietnam, Williard juga berhadapan dengan sebuah mitos ratu adil, sosok mesin perang dengan seribu tanda jasa. Kurtz adalah prajurit brilian. Dia lulusan Universitas Harvard, gemblengan West Point, dan disiapkan untuk jadi jenderal dalam birokrasi militer Amerika Serikat. Nyatanya, ia memilih masuk ke rimba Kamboja dan jadi dewa bagi penduduk setempat.

Selama perburuan, Williard menyaksikan kegilaan demi kegilaan. Dari Letnan Kilgore (Robert Duvall) yang sibuk membahas ombak laut untuk berselancar, di tengah desingan peluru, sampai penggambaran prajurit gagah berani tapi lari terbirit-birit histeris begitu melihat seekor harimau. Kilgore yang eksentrik memberi cetak biru lewat ungkapannya yang terkenal itu, “Aku suka bau napalm di pagi hari.”

Citizen Kane berkisah tentang tokoh Charles Foster Kane, seorang raja media yang mempengaruhi jalan pikiran warga Amerika dan ikut menentukan desain politik Gedung Putih. Ide cerita ini diambil Welles dari kiprah William Randolph Hearst, raja koran Amerika asal California, yang kontroversial dan terkenal karena suratkabar-suratkabarnya sensasional, sering mencampur opini dan berita. Hearst sempat berang dan berusaha menghentikan Citizen Kane di tengah jalan. Citizen Kane beredar dan mendapat sembilan Piala Oscar.

Kenapa Citizen Kane bisa kalah telak di Inggris? Tunggu dulu. Pada polling awal—sebagaimana dirilis pada Agustus 2002 oleh Sight & Sound, majalah film terbitan British Film Institute—Citizen Kane sempat terpilih sebagai film terbaik diikuti Vertigo (Hitchcock, 1958), La Règle du jeu (Renoir, 1939), dan seterusnya. Baru pada November 2002, Citizen Kane menghilang dari deretan 10 terbaik.

Nick James, editor Sight & Sound, mengatakan tak mudah mengumpulkan daftar tontonan top dalam 100 tahun, katakanlah seperti yang dilakukan American Film Institute itu. Kesulitan mulai ketika mereka harus mendata ratusan judul film dari berbagai belahan bumi. Ini berbeda dengan American Film Institute yang hanya memfokuskan pilihannya pada film-film produksi Hollywood belaka. Dari pertimbangan macam inilah, British Film Institute akhirnya sampai pada keputusan untuk memilih “10 Film Terbaik dalam 25 Tahun Terakhir.”

Alasan tadi tak serta-merta meredakan debat publik. Ditilik dari penghargaan Oscar misalnya, Apocalypse Now sebenarnya tak lebih sukses dari karya Coppola lain, trilogi Godfather yang dibuat pada 1972, 1974 dan 1990. Sekuel kedua trilogi ini meraih tujuh Oscar. Apocalypse Now hanya memperoleh dua Oscar.

Di mana sebenarnya letak kunci kemenangan Apocalypse Now? Lain burung lain suara, lain kepala lain pendapat. Sebagian kritisi melihat Apocalypse Now sebagai karya puncak Coppola. “Eksperimen gila pembuatan film perang,” kata Nick James.

Bukan film perang biasa memang. Di sini, Coppola sampai pada kemampuannya untuk mengekspresikan kebingungan, rasa takut, kekerasan dan kegilaan dalam rangkaian visual yang simbolis dan surealis. Saking asyiknya dengan visualisasi, Coppola merekam filmnya dalam durasi enam jam. Dan setelah menjalani proses editing ketat, film masih tetap panjang. Pada versi 1979, durasi Apocalypse Now 2 jam 47 menit. Dalam versi baru, Apocalypse Now Redux (2001), durasi ditambah 49 menit lagi. “Panjang atau pendek, redux atau bukan, Apocalypse Now adalah salah satu dari pusat kehidupan saya sebagai pencinta film,” kata Roger Ebert, kritikus film dari harian Chicago Sun-Times.

Panjang dalam durasi, panjang pula dalam proses produksi. Dimulai dari penuangan gagasan pada 1974, Coppola mengerjakannya dalam kurun waktu 1976–1978. Bujet film yang semula direncanakan US$12 juta, membengkak jadi US$31 juta. Namun, Coppola mengatakan dia hampir frustasi selama berbulan-bulan di pedalaman Filipina di mana pembuatan film dilakukan. Dia menderita kelelahan fisik, malaria, dan kadang-kadang kena terjangan angin topan. Stres juga menenggelamkan kru film ke dalam larutan alkohol dan LSD. Martin Sheen, diduga kebanyakan teler, bahkan nyaris dijemput maut akibat serangan jantung. “Pelan-pelan kami jadi gila,” kata Coppola.*

kembali keatas

by:Agus Sopian