Campursari

Bill Aribowo

Mon, 3 February 2003

PERGULATAN panjang terjadi dalam tubuh musik keroncong. Kaidah-kaidah musik keroncong dinilai tidak luwes menghadapi perkembangan zaman.

PERGULATAN panjang terjadi dalam tubuh musik keroncong. Kaidah-kaidah musik keroncong dinilai tidak luwes menghadapi perkembangan zaman. Ujung-ujungnya musik keroncong mengalami kemerosotan. Karya-karya baru lagu keroncong sulit ditemukan. Dari ajang pergulatan itu tampillah irama campur sari sebagai ‘pemenang’.

Dalam sepuluh tahun terakhir ini irama campur sari telah berkembang pesat sampai ke manca negara. Anton Issoedibyo berani mengatakan, “Tanpa campur sari grup musik kita tidak diminati di Hongkong.” Issoedibyo bukan pengibar jenis musik ini. Ia adalah haji-cum-dokter penganut pop manis yang sering masuk-keluar arena festival lagu pop di dalam dan luar negeri. Artinya pengamatannya itu jujur. Para peminat campur sari itu adalah para pekerja Indonesia asal Jawa yang merasa terobati rindunya kepada kampung halaman setelah mendengar musik campur sari di luar negeri.

Pergulatan itu konon dimulai oleh mendiang S. Dharmanto. Pada 1972. ia sudah menggubah lagu-lagu langgam Jawa dengan memasukkan instrumen saron (dari unsur kerawitan). Gubahan itu terdapat dalam lagu-lagu Wanito Utomo, Sekar Mawar dan Potretmu. Ketiga lagu itu terekam dalam album Potretmu produksi Lokananta tahun 1973. Dalam album ini Gesang juga ikut menyumbang dua lagu masing-masing Ngelam-lami dan Andum Basuki dan Andjar Any menyumbang lagu Yen ing Tawang, Nyidam Sari dan Eling-eling yang dibuat jauh sebelum itu.

Penjelasan ini diberikan Andjar Any (65) kepada saya di rumahnya di Solo akhir September lalu. Diperlihatkannya sebuah piringan hitam long play yang berisi rekaman itu.

Any telah membuat lagu langgam Jawa sejak Presiden Soekarno menolak lagu-lagu barat yang diistilahkan sebagai ngak-ngik-ngok. Namun niat itu baru terlaksana pada awal 1970-an lewat lagu karangannya yang berjudul Entit. Di luar ternyata banyak pengarang melakukan hal yang sama. Setelah itu ia menggubah lagu Jangkrik Genggong. “Di sinilah lagu-lagu langgam jawa mulai terangkat meski belum bisa menyamai – apalagi menyaingi – popularitas lagu-lagu barat,” katanya.

Meski terlambat jauh, beberapa komponis lain melanjutkan jejak Dharmanto. Pada 1976 – 1978. Radio Orkes Semarang, dan Orkes Bintang Surakarta mulai membuat aransemen lagu langgam jawa yang dicampur dengan peralatan gamelan. Lagu-lagu yang mereka hasilkan pun telah direkam antara lain oleh perusahaan rekaman IRA Record di Semarang. Namun istilah campur sari pada waktu itu belum dipergunakan.

“Pada 1989 Manthous membuat rekaman lagu-lagu jawa yang disebut sebagai Campur Sari Gunung Kidul (CSGK). Di situ ia memasukkan instrumen organ atau kibor, saron, dan kendang sebagai ciri khasnya. Ternyata masyarakat menyukai,” kata Andjar Any yang berjuluk Begawan Langgam Jawa. “Ia mempunyai ciri tertentu dan tekun menggarapnya,” ujarnya mengenai kunci sukses Manthous. Julukan itu diberikan oleh teman-temannya sekomunitas, antara lain dalang Joko Edan dan penyair N. Sakdani Darmopamujo setahun lalu.

Pada gilirannya julukan itu dia gunakan sebagai judul buku keduanya setebal seratus halaman yang bulan depan direncanakan sudah dapat beredar. Setahun yang lalu buku pertamanya telah beredar dengan judul ‘Cara Mencipta Lagu Merdu’. Lelaki kelahiran Ponorogo 3 Maret 1936 ini mulai mencipta lagu pada 1960 berjudul Wong nDeso. Lagunya yang paling populer, Yen Ing Tawang dibuat tahun 1964. Lagu ini telah direkam berkali-kali sampai ia lupa. “Pokoknya dapat duit,” katanya renyah. Sepanjang hidupnya ia mengaku telah membuat 2.000-an lagu, namun yang ngetop ada sekitar seratus lagu., antara lain Wedang Ronde, E Jamune, Jangkrik Genggong, Iki Weke Sopo, Nyidam Sari, Nonong, dan lain-lain.

“Saya sangat antusias dengan irama campur sari,” katanya. Sebagai pengarang lagu dan konduktor musik rekaman ia memberikan batasan bahwa yang disebut irama campur sari adalah langgam jawa tapi notasinya campur sari, bisa pelog bisa slendro. Sedangkan keroncong iramanya diatonis, notasinya sesuai dengan pakem yang ada, dan dengan bar sebanyak 32.

Campur sari menurut Any merupakan hasil perjalanan langgam Jawa. “Seperti air mengalir kadang ia bercampur dengan bermacam-macam kotoran. Tetapi setelah mengendap ia menghasilkan sesuatu yang baru,” ujarnya mengenai proses kelahiran campur sari. “Oleh karena itu biarkan dia mengalir dan jangan coba-coba menghalangi.”

“Kehadiran campur sari adalah merupakan kerinduan para pemusik keroncong terhadap sesuatu yang baru,” kata Andjar Any. Tak ada seorang (pemusik) pun yang mengharapkan adanya campuran semacam campur sari karena mereka punya selera sendiri-sendiri. Bahwa kemudian muncul campur sari, “Itulah hikmah kehidupan sehingga patut disyukuri.” Meski banyak lagu-lagu karangannya dibawakan dengan irama campur sari namun Any mengaku tidak ikut dalam arus campur sari, “Saya hanya tut wuri.”

MANTHOUS datang pada waktu yang tepat sehingga campur sari identik dengan dirinya. "Dialah dalang dan aktor campur sari,” kata Is Haryanto yang saya temui di rumahnya. Is Haryanto adalah penyanyi-cum-pencipta lagu Favourite Group pimpinan mendiang Aloysius Riyanto. Ia juga banyak membuat lagu-lagu pop berbahasa jawa, antara lain Kasmaran yang dinyanyikan Didi Kempot.

Menurut kakek dua orang cucu ini campur sari sebenarnya telah dikenal sejak lama, namun waktu itu belum mendapat label campur sari. Sepengetahuannya, “Orang-orang keroncong sudah banyak melakukan eksperimen atau percobaan memasukkan unsur gamelan kedalam keroncong. Tetapi percobaan demi percobaan itu sifatnya hanya sambil lalu dan iseng-iseng sehingga ya hilang begitu saja dan tidak ada bekasnya.”

Manthous menurut Haryanto adalah pemain cello pada Orkes Keroncong Bintang Jakarta pimpinan almarhum BJ Soepardi. “Cukup lama ia bergabung di situ sehingga amat berpengalaman memainkan alat tersebut,” tuturnya. Pengalaman itu memberinya peluang untuk memadukan instrumen kendang kedalam irama langgam keroncong. “Rupanya dia tidak puas dengan fungsi cello dan menggantinya dengan kendang,” tambahnya.

Ketika bekerja sebagai juru rekam di Musica Studio, Jakarta, pada penghujung 1970-an Manthous berkenalan dengan A. Riyanto yang waktu itu sering rekaman di studio itu. Perkenalan itu pada gilirannya membawa Manthous masuk ke studio milik Riyanto di kawasan Cipete, pada awal 1990-an. “Waktu itu saya pernah melihat Manthous menggotong kendang dan bonang ke rumah Keliek,” tutur Haryanto lagi. Keliek adalah panggilan akrab Riyanto. Kendang dan bonang adalah instrumen gamelan yang berfunsgi sebagai tetabuhan. “Rupanya itulah saat-saat pertama kali Manthous memulai eksperimen – yang kemudian dikenal sebagai — campur sari,” kenang Haryanto.

Percobaan itu dilakukan berulang-ulang dan makan waktu lama. “Setelah itu ia agaknya pulang ke Wonosari, Gunung Kidul dan saya tidak punya kontak lagi dengan dia,” tambah Haryanto. “Tak lama kemudian album-albumnya mengalir dari Jawa Tengah.”

Baik Keliek maupun Is Haryanto tak pernah ikut campur dalam usaha Manthous meski dilakukan di rumah Keliek. Dua tahun kemudian Keliek meninggal pada 1992. Belakangan Manthous menganggap Keliek sebagai gurunya dalam hal memenuhi selera penggemar. Guru lainnya adalah BJ Budiman terutama dalam membuat aransemen lagu dan menggarap ilustrasi musik untuk film. Bing Slamet juga dianggapnya sebagai guru dalam hal kejujuran dan kedisiplinan dalam berkarya.

“Saya cenderung menganggap campur sari sebagai sempalan,” kata Is Haryanto lagi. Sebagai sempalan ia hanya mempunyai dua kemungkinan, jadi atau hancur. “Manthous berhasil mengangkat semapalannya itu sehingga dikenal masyarakat Jawa,” imbuhnya.

Tak jauh berbeda dengan itu, Endang Sulastri menyebutkan, bahwa sifat sempalan adalah harus mampu menyuguhkan format baru yang menarik minat orang banyak. Format itu adalah campuran suara gamelan dengan suara-suara gitar, drum, dan kibor, sehingga terjelma musik campur sari yang dinamis.

Sulastri (35) adalah pimpinan grup campur sari paling top di Jawa Timur, Mboyak namanya. Mantan waranggono wayang kulit ini telah tujuh tahun memimpin grupnya dan memiliki penggemar setia, yaitu kaum bapak ibu yang gandrung gending-gending Jawa Tengahan. Sedemikan populernya grup ini sehingga baru bisa istirahat hanya pada bulan Puasa dan bulan Suro (bulan pertama kalender Jawa). Ia pernah bergabung dengan Manthous dan memisahkan diri pada 1995. Sejak itu ia mengibarkan bendera Mboyak dari tanah kelahirannya, Ngawi.

“Garapan musik dan lagunya tidak monoton, ya pop, dangdut, dan kalau perlu jaipongan,” tutur Sulastri lagi. Hal ini diamini oleh Juhartono (43) asal Semarang. “Campur sari identik dengan irama pentatonik yang mampu mengolah lagu-lagu dengan cengkok Jawa dengan menggunakan instrumen gamelan,” tuturnya.

Jujuk Eksa adalah panggilan akrab putra dalang Ki Rajak Pramono asal Boyolali. Ia dikenal sebagai pemusik/komposer/arranger irama keroncong-dangdut (congdut). Di tangannya nama Didi Kempot, mantan pengamen di jalan Slipi (Jakarta) meroket ke papan atas lewat lagu-lagu Setasiun Balapan, Terminal Tirtonadi, Nunut Ngeyup, Plong, Dudu Rojo, Manis Madu, Lingsir Wengi dan lain-lain.

“Campur sari sebenarnya telah muncul sejak 1960-an. Tapi herannya kok baru dikenal luas pada 1995,” tutur Jujuk Eksa. Pada tahun itulah Manthous mengibarkan bendera CSGK (Campur Sari Gunung Kidul) lewat album Konco Tani. Ternyata sukses besar menantinya. Sejak itu namanya identik dengan irama campur sari.

Secara tak langsung Mus Mulyadi membenarkan hal tersebut. “Tahun 1976 saya sudah rekaman campur sari, tetapi pakai nama pop Jawa,” katanya. Judulnya Kidang Talon dan Gambang Suling. Ia pun pernah diiringi Manthous pada 1995-an tatkala merekam lagu Kembang Aren dan Kempling. Untuk lagu yang terakhir itu ia berduet dengan penyanyi senior asal Solo, Waljinah.

Pertengahan tahun lalu ketika meluncurkan album Yo Embuh Yo Mulyadi baru merasa puas terhadap irama campur sari yang mengiringinya. “Yang dulu asal kedengaran gendang dan sulingnya saja, yang sekarang benar-benar suara campur sari,” tukasnya. Oleh karena itu ia menolak dianggap ikut-ikutan nyanyi campur sari

Ketepatan kehadiran Manthous dengan campur sarinya itu juga diamini oleh Rahayu Supanggah, dosen Sekolah Ttinggi Seni Indonesia (STSI) Solo. Dalam sebuah sarasehan campur sari di Bantul, Yogyakarta ia mengaku mengamati kehadiran campur sari yang awalnya dicemooh tapi akhirnya digemari masyarakat luas. Ini pertanda bahwa campur sari dapat menangkap aspirasi kawula muda dan orang tua sebagai musik yang tetap berpijak pada tradisi dan mudah dipahami masyarakat. “Campur sari bisa memaknai konsep seni adiluhung yang perlu dilestarikan secara dinamis,” kata doktor yang satu ini.

“Campur sari adalah langgam jawa yang awalnya ditambahi kendang.” Ini pendapat S. Maryo (65) seorang pengamat musik keroncong asal Solo yang saya temui di rumah anak sulungnya di Bekasi awal Agustus lalu. “Manthous kemudian mengembangkannya dengan menambah drum, kibor, dan gitar elektrik agar semua lagu bisa masuk. Tapi dia membatasi hanya pada lagu pentatonis karena lagu diatonis harmonisasinya kurang pas,” katanya.

Penggantian cello dengan kendang itu pada gilirannya diikuti dengan penggantian bas dengan gong. Dengan demikian Maryo cenderung menganggap campur sari sebagai pengembangan, bukan sempalan, apalagi pemberontakan.

Maryo pada tahun 1960-an dikenal masyarakat Solo sebagai pemain bas dan drum band Ganesha. Ini merupakan band paling top masa itu di kota Bengawan meski sifatnya amatiran. Dua band lainnya adalah Band Boys dan band anak sekolahan, Double Six. Ia pernah menghasilkan sebuah lagu hit, Ulasan Kasih di Senja Biru yang direkam Brury Pesulima puluhan tahun kemudian.

Menurut Maryo pengembangan langgan jawa sebenarnya sudah berlangsung lama, “Tetapi Manthous datang pada saat yang tepat untuk memproklamasikan campur sari sehingga identik dengan dirinya.” Dengan demikian Maryo yakin pada masa depan akan hadir Manthous-Manthous berikutnya yang mampu mengembangkan langgam Jawa yang sesuai dengan kondisi jamannya.

Seorang sinden asal Sragen yang menjadi waranggono dalang Ki Anom Suroto kemudian menjelma menjadi pelantun campur sari. Sunyahni (35) nama sinden itu, meraih popularitas sebagai penyanyi lewat kancahnya campur sari. Lewat penanganan Manthous namanya menanjak cukup terjal. Album Ojo Sembrono yang diluncurkan pada 1995 konon terjual cukup signifikan sehingga ia mendapat bonus mobil Panther dan Lancer untuk Manthous.

Koko Thole adalah nama lain yang cukup berhasil mengarungi irama campur sari. Lewat album Jaman Edan namanya juga menjadi terkenal. Ia ikut merasakan nikmatnya musik campur sari. “Setiap bulan pasti hadir dua-tiga album baru campur sari,” katanya. Akibatnya kehadiran campur sari juga menggugah pertumbuhan industri rekaman lokal. Selain di Solo, Yogya, dan Semarang album campursari itu juga dihasilkan dari kota-kota yang lebih kecil lagi seperti Klaten.

Pada gilirannya Sunyahni juga membuka usaha rekaman sendiri di Yogyakarta. Namanya Sunyah Record. Namun ia merujuk nama Jamus (Jawa Musik) untuk produk yang dihasilkannya, bukan campur sari. Alasannya? Karena ia sudah tidak bersama lagi dengan Manthous.

SUATU siang di bilangan kompleks perumahan Bukit Pamulang Indah, Tangerang, Banten. Bersama istri, dua anak, dan empat orang cucu. Manthous menghuni salah satu rumah sederhana untuk kategori indah itu. Bulan lalu ia menikahkan anaknya yang nomor tiga. Anaknya yang sulung tinggal di Wonosari dan yang bungsu bersekolah musik di Yogya. Dinding ruang tamunya dihiasi dengan foto-foto kebanggaan Manthous sebagai orang keroncong.

“Bapak tinggal di sini sejak 1985,” kata Dian, putri kedua Manthous mewakili bapaknya. Istrinya, Asih, tengah bersiap-siap menuju ke TVRI untuk tampil dalam acara Gelatak-gelitik Campur sari. Ia menjadi vokalis grup campur sari Dian Irama dan Cinde Laras yang sering mengisi acara di situ. Utasih Kusumowati dara kelahiran Cimahi yang umurnya dua tahun lebih muda dari suaminya ini dulunya memang penyanyi keroncong, “Karena diajak bapak,” tutur Dian lagi. Ia adalah putri salah seorang personil grup keroncong tempat Manthous mencari pengalaman. Mereka menikah pada 1972 dikaruniai empat anak. Ia pernah mengalahkan Sundari Sukoco dan penyanyi keroncong papan atas lainnya pada final Pemilihan Bintang Radio dan TVRI sekian tahun lalu.

Kondisi Manthous (52) cukup memprihatinkan. Dia tidak bisa bicara. “Bulan Pebruari lalu di Yogya bapak mendapat serangan stroke ringan,” tutur Dian lagi kepada saya. Ia kemudian dirawat di rumah sakit Bethesda, Yogya, selama satu bulan. Atas usul istri dan anak-anaknya ia dibawa pulang ke Jakarta dan kembali ke Pamulang.

Sejak pulang kampung pada 1990 ia lebih sering meninggalkan Jakarta karena kesibukannya berkesenian dilakukan dari Wonosari. Dari situlah ia mengembangkan karir musiknya sebagai ‘pengembang’ irama campur sari. Untuk menyalurkan ide-idenya dia membangun studio musik yang terletak di pinggir jalan raya Playen. Studio rekaman itu berdiri di atas tanah seluas dua ribu meter persegi. Di pintu gerbang masuk diberi tulisan CSGK dan merupakan stuio rekaman paling modern di Yogya dan Jawa Tengah. Kemampuan rekamnya 24 track, kini diurus Tatut, anak sulungnya.

“Tiap dua hari bapak berobat alternatif di daerah Kalimalang,” tambah Dian lagi. Itu atas saran Delly Rollies setelah menjenguknya beberapa saat setelah Manthous kembali ke Pamulang. “Banyak teman-teman artis sudah menengok bapak, termasuk orang-orang Harco,” lanjut Dian. Saya sendiri mengunjungi Manthous setelah mendapat informasi dari Is Haryanto dan Tommy WS. “Tapi kamu harus siap kecewa karena dia tidak bisa bicara,” pesan Haryanto kepada saya.

Kondisi pisiknya sih lumayan bagus. Mengenakan T-shirt dan celana pendek ia menemui saya duduk di ruang tamu. Tiap sebentar ia berdiri dan berjalan ke ruang dalam, entah untuk apa. Di tangannya tergenggam rosario alias tasbih. Mulutnya komat kamit namun tidak terdengar suara apapun. Ia tidak bisa bicara. Semua pertanyaan saya diteruskan oleh Dian tapi tidak ada reaksi, begitu pula ketika saya ajukan pertanyaan tertulis. Air matanya meleleh bila pertanyaan mengarah kepada teman-teman atau lagu-lagunya. Dengan anggukan kepala ia membenarkan pertanyaan saya apakah lagu-lagu campur sari yang dibuatnya berdasar langgam.

“Bapak pernah diberitakan meninggal dunia,” tutur Dian.

“Keluarga tidak marah?,” saya bertanya.

“Tidak, malah ada berkahnya, sampai sekarang bapak masih hidup, mudah-mudahan panjang umurnya,” jawab Dian sambil senyum.

“Tahun 1994 bapak membentuk grup campur sari dengan nama CSGK singkatan dari Campur Sari Gunung Kidul,” kisah Dian. Personilnya terdiri dari Yunianto (kibor I), Prabowo Pringgosangkoyo (kibor II), Heru Krisnanto (cuk), Minul (vokal), Yatno Ogo (gong), Sarekan (tamburin), Harno (gendang), Tatun (saron I), Geter (saron II), Dandum (gender), Warsono (siter), Totok (demung) dan Astuti (vokalis). Mereka campuran pemusik otodidak dan mahasiswa Institut Seni Indonesia, Yogya.

Masih menurut Dian: “Album pertama campur sari adalah Konco Tani antara laina berisi lagu Gethuk dan Kangen.. Setahu saya rekaman album ini dilakukan di Jakarta. Bapak kemudian menjual masternya ke studio Dasa Record di Semarang. Lagu ini dirilis bersama lagu-lagu keroncong lainnya.” Ketika lagu itu menjadi terkenal Manthous terpicu semangatnya dan berhamburanlah lagu-lagu berikutnya dari tangannya. Salah satunya lagu Jeruk Garut yang pada gilirannya menghadirkan hadiah suling mas dari ajang Anugerah Dangdut TPI tahun lalu.

Sekitar 50 judul lagu campur sari telah dihasilkan Manthous. Semua berbahasa Jawa antara lain Mbah Dukun, Tahu Opo Tempe, Sido Opo Ora, Nginang Karo Ngilo, Lego, dan Gelo. Ia juga mengaransir lagu Ini Rindu (Farid Hardja) dan Jamilah karangannya sendiri kedalam irama campur sari.

DI TENGAH teriknya mentari Yogyakarta saya meluncur ke Wonosari akhir September lalu. Meski kota ini berlokasi di perbukitan kapur yang cukup terjal namun tidak menawarkan udara sejuk. Jalan menuju ke sana sepanjang 40 kilometer ke arah selatan cukup mulus dan ramai. Selepas dari kota Yogya, pemandangan yang disajikan di sepanjang jalan adalah tanah kering bergumpal-gumpal. Hamparan sawah yang tergelar berisi tumbuhan makanan ternak. “Anak-anak muda di sini umumnya bekerja di kota,” tutur supir bis yang mengantar saya ke sana.

Sengatan sinar matahari ternyata tidak memudarkan semangat juang Manthous yang bertekad mengembangkan campur sari yang pernah dikenalnya pada 1970-an lewat kreasi S. Dharmanto Dharmanto adalah pimpinan Orkes Keroncong Puspa Jelita di Semarang, pencipta lagu dan penyanyi. Yang disebut terakhir ini telah memberikan gelar juara Bintang Radio, sebuah event prestisius berskala nasional yang pernah menjadi kebanggaan RRI . Dharmanto waktu itu menggabungkan peralatan keroncong tradisional dengan gamelan, yaitu bas betot, celo, flute, biola ditambah siter. Lagu yang dibawakan antara lain Yen Ing Tawang milik Andjar Any. Ternyata tidak diminati masyarakat pendengarnya.

Manthous 20 tahun kemudian, yaitu pada pertengahan 1990-an, merombak susunan instrumen itu sesuai dengan keinginannya, yaitu mengganti bas betot dengan bas gitar dan cello diganti kendang. Tekad itu muncul sesudah ia berhasil meraih prestasi luar biasa di Jakarta pada akhir dekade 1990-an. Nama Manthous telah menjadi jaminan sukses ditingkat nasional. Lagu-lagu berikut ini telah menobatkan namanya sebagai pengarang lagu yang andal: Sorga Neraka (dibawakan Hetty Koes Endang), Jamilah (Leo Waldy dan kemudian Jamal Mirdad), Gethuk dan Nginang Karo Ngilo (Nur Afni Oktavia), Setu Legi (Arie Wibowo) dan Kangen (Evie Tamala). Berbagai penghargaan telah diraihnya, seperti HDX Award dan Golden Record karena album yang berisi lagu-lagu itu terjual di atas 500 ribu keping. Dia juga berhasil menguasai keterampilan sebagai operator rekaman.

Dalam perjalanan eksperimennya itu Manthous kemudian menambah saron, siter, gender, demung, gong, kibor, dan tamburin. Ia lantas mengumpulkan adik-adiknya yang telah memiliki grup siteran di desanya. Bersama mereka ini Manthous — yang terampil di bidang karawitan dan tembang jawa sejak kecil — mengadakan serangkaian percobaan memadukan irama gamelan dan musik modern. Laras nada gamelan disesuaikan dengan laras nada musik barat. Ini ternyata pekerjaan yang tidak gampang karena ia tidak ingin merusak pakem tapi juga tidak ingin campur sari jatuh menjadi semacam uyon-uyon karena dominannya unsur gamelan. Untuk itu diperlukan adanya keseragaman nada dasar (laras) gamelan agar tinggi-rendahnya suara penyanyi dapat dikontrol.

Meski dengan penuh keraguan, campur sari garapannya akhirnya mendapat sambutan meriah dari masyarakat. Album Konco Tani meraih sukses besar sehingga nama Manthous identik dengan campur sari. Keraguan itu berasal dari dirinya sendiri. Dia tidak yakin apakah kreasinya akan dapat diterima masyarakat, padahal ia telah menguras kocek ketika rekaman dengan memboyong kru-nya ke Jakarta yang makan tempo sekitar satu bulan. Itu sebabnya ia tidak berani segera menggandakan rekamannya meski masih mengandalkan lagu lama seperti Gethuk dan Kangen, termasuk vokal Waljinah sebagai pemanis. Album ini akhirnya dilempar ke pasar lewat Semarang, berkat bantuan seorang temannya yang berani mengadu nasib. Alasannya karena semua lagunya berbahasa jawa. Agaknya dibutuhkan kiat pula dalam hal pemasaran.

Album kedua, Nyidam Sari ternyata lebih hebat lagi hasilnya. Konon sejuta keping terjual dalam tempo singkat. Untung besar pun diraih sang teman sehingga ia mampu membangun sebuah studio rekaman: Dasa Record. Pada gilirannya Manthous – lewat penjualan lima album berikutnya — juga berhasil membangun studio rekaman di Playen yang digunakan pula untuk latihan kesenian jawa masyarakat sekitarnya. Di situ tersimpan peralatan musik gamelan dan band.

Tentu saja Manthous mengalami keterbatasan dalam pengadaan lagu-lagu campur sari. Untuk mengatasinya ia pernah menyelenggarakan festival campur sari. Dari ajang ini ia mendapat bibit berkualitas seperti Yadi S dari Wonosobo, Sukisno dari Yogya, dan dari adik-adiknya sendiri. Masalahnya sejak ia sakit hampir setahun ini, menurut putri sulungnya, tidak ada rekaman musik campur sari. Selama itu, “Sebagian besar lagu campur sari adalah karangan bapak saya,” kata Tatut Ambarwati

Berkat inovasinya itu Manthous yang nama aslinya Anto Sugiartono mendapat penghargaan dari Persatuan Wartawan Indonesia cabang Yogyakarta tahun 2000

AWAL 2002 boleh jadi merupakan puncak kekhawatiran para pemusik keroncong melihat perkembangan campur sari yang demikian pesat. Mereka meradang. Campur sari dianggap sebagai pesaing dalam melestarikan nila-nilai musik keroncong asli, tepatnya musuh dalam selimut. Awalnya mereka menganggap campur sari sebagai musik kreasi baru yang berpangkal dari irama keroncong sehingga masa depan keroncong tidak terganggu.

Solo, Sabtu 26 Januari 2002. Kalangan pemusik dan penggemar keroncong di kota itu berkumpul membahas perkembangan musik keroncong asli yang dirasa sangat kendur. Mereka terdiri dari artis dan para pencintanya yang tergabung dalam HAMKRI (Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia) dan PPMKI (Paguyuban Pencinta Musik Keroncong Indonesia) Hapsari.

“Saya merasa sangat, sangat, sangat prihatin,” ucap Gesang kepada wartawan awal tahun ini. Bukan tidak mungkin pernyataan mbah Gesang ini memicu pertemuan tersebut. Suara ini mewakili masyarakat pencinta keroncong yang merasa keberadaannya di masyarakat telah terdesak oleh kehadiran musik campur sari. Kondisi semacam itu sangat dirasakan oleh para seniman dan praktisi musik keroncong dan langgam.

“Saya tidak berani diiringi musik campur sari,” kata Gesang kepada saya di rumahnya di Solo akhir bulan lalu. “karena suara saya tidak sampai.” Nada campur sari, tambahnya, tidak dapat diturunkan karena terpaku pada nada gamelan. Akibatnya tidak semua penyanyi bisa membawakan lagu-lagu campur sari. Buat Gesang campur sari musiknya keras sehingga ia tidak dapat menikmatinya. Tetapi sebaliknya masyarakat amat menyukainya karena meriah dan komplit. “Lagu-lagunya model sekarang,” kata sesepuh keroncong ini.

Sutadi adalah nama asli Gesang Martohartono yang lahir pada 1917 di kampung Kemlayan, Solo. Pergantian nama itu karena sakit yang berkepanjangan di masa kecilnya. Di tempat kelahirannya inilah Gesang kembali bermukim setelah berpindah-pindah dari kampung Munggung (1940) dan kompleks perumnas Palur (1980). Pada 2001 adiknya minta ia kembali ke Kemlayan setelah menjalani operasi kencing batu tahun sebelumnya. Di sini ia ditemani adiknya, Dahlan dan Rohaya. Keduanya juga diganti namanya karena sakit-sakitan, dari Toyib dan Kayati.

Di mata Gesang, campur sari tidak akan merusak atau menyingkirkan keberadaan langgam keroncong. “Ini masalah selera kok, terserah masing-masing orang,” katanya tegas. “Yang pengin campur sari ya monggo, ning sing tuwo-tuwo seneng sing laras.”

Langgam jawa yang dikembangkan Manthous menurut Gesang adalah langgam keroncong yang syairnya berbahasa jawa. Ia juga merupakan pengembangan dari keroncong asli. Disamping itu masih ada jenis musik lain yang disebut ‘stambul dua’. Dengan demikian pasti ada ‘stambul satu’. Keroncong asli, sepengetahuan Gesang, merupakan sinonimnya ‘stambul tiga’. Ini terkait dengan jumlah bar yang dimiliki masing-masing stambul, yaitu 4 bar, 16 bar, dan 28 bar. Sedangkan langgam keroncong itu bebas. Dengan demikian irama campur sari adalah langgam jawa yang ditambah gamelan. Contoh masing-masing jenis itu adalah Yatim Piatu (Keroncong Asli), Bengawan Solo, Tirtonadi, Saputangan, dan Jembatan Merah (Langgam Keroncong), Yen Ing Tawang, Caping Gunung, Nawala (Langgam Jawa), Si Baju Biru (Stambul Dua).

Selama 65 tahun berkarir di musik Gesang mengaku hanya melahirkan 25 lagu. Lagu pertamanya, Keroncong Si Piatu (1938) disusul lagu kedua Roda Dunia pada tahun berikutnya ketika pecah perang dunia kedua. Setelah itu muncullah lagu Bengawan Solo (1940), Tirtonadi (1942), Saputangan (1941), Tirtonadi (1942), Jembatan Merah (1943), Dongengan (1950), Nawala (1955), Caping Gunung (1975), Pamit (1980), dan yang terakhir Urung (1990). “Semua lagu saya berdasar kenyataan, bukan karangan kosong,” katanya.

Kesibukan Gesang di usia ke-85 ini adalah namung tenguk-tenguk nganten meniko (duduk-duduk seperti ini) disamping memelihara burung kacer abang (3 ekor) yang telah dilakoninya sejak 1935 (30 ekor).

Kumpul-kumpul itu tampaknya merupakan ‘reaksi’ atas terjadinya ekses negatif yang menimpa musik campur sari. “Pentas campur sari di hajatan hampir selalu berakhir jam tiga atau empat pagi, dan selalu terjadi gegeran,” kata Ary Mulyono, wakil ketua HAMKRI. “Para penonton itu membawa miras sehingga cepat panas,” ungkapnya. Penonton macam inilah yang sering melakukan keonaran di masyarakat. Ini dianggap sebagai menodai kehadiran musik campur sari yang umumnya eksis di pentas hajatan masyarakat pedesaan.

Pimpinan Orkes Keroncong Bintang Surakarta ini mengaku memiliki data-data terjadinya kerusuhan di sejumlah kampung yang selalu mengiringi pentas campur sari di sekitar kota bengawan itu.

Ia menunjuk unsur dangdut sebagai penyebab terjadinya ‘penyimpangan’ pada irama campur sari terutama sejak 1990.

Reaksi positif dari kumpul-kumpul hari itu adalah tampilnya ide penyelenggaraan Lomba Orkes Keroncong pada Februari 2002. Maksudnya untuk menggugah minat masyarakat dan para seniman keroncong terhadap musik keroncong. Pelaksanaannya dipegang langsung oleh PPMKI didukung HAMKRI.

Hasilnya? “Ada peningkatan kualitas yang cukup mengesankan,” kata Andjar Any. Itu terlihat jelas dalam aransemen dan improvisasi sejumlah peserta lomba. Orkes Keroncong Asmat dinilainya memiliki kemampuan anak muda. “Aransemennya amat dinamis,” kesannya.

Andjar Any yang dianggap sebagai pentolan langgam keroncong mengajak rekan-rekannya sekomunitas untuk mawas diri. “Segala perubahan yang menyangkut musik keroncong harus kita sikapi sebagai air yang mengalir,” katanya. “Apapun yang terjadi anggap saja itu sebagai bagian dari proses perjalanan atau proses perkembangan musik secara umum.”

Menurut Any lahirnya campur sari adalah fitrah dari kreativitas dan kebebasan seni untuk senantiasa melakukan pengembangan. Ia mengingatkan, bahwa campur sari tetap menggunakan dasar-dasar langgam keroncong. “Bukankah yang kita kenal sebagai musik keroncong asli itu dulunya tidak seperti itu.” Dia menilai apa-apa yang terjadi belakangan ini, sebagai keroncong yang lebih dikembangkan.

Apabila sebagian orang berharap ada pengembangan musik keroncong, maka pakem atau kaidah dasar musik keroncong itulah yang harus dicairkan agar lebih luwes. “Kita harus bersikap nut jaman kelakone. Biarlah musik berkembang sesuai kehendak zaman.”

DALAM pergumulan ini muncul suara yang lebih ekstrim. Mereka ini menyebut campur sari sebagai bentuk ‘pemberontakan’ terhadap kesenian tradisonal jawa yang konon mengalami stagnasi sehingga tidak mampu menghadapi perubahan jaman. Padahal kesenian itu perlu dilestarikan secara dinamis. Itu sebabnya kehadiran campur sari di blantika musik Indonesia dianggap sebagai laksana sebuah fenomena.

“Pemberontakan” ini dilakukan secara sadar antara lain oleh dalang wayang orang Ki Joko Edan alias Joko Hadi Widjojo (54). Julukan ‘edan’ konon berdasar kebiasaannya yang selalu melawan kemapanan pakem-pakem pewayangan yang sudah mentradisi. Persentuhannya dengan irama campur sari terutama setelah ia mempersunting Nurhana (23) penyanyi campur sari yang telah menghasilkan 25 album rekaman. Ia boleh dibilang primadonanya irama campur sari.

Di sini naluri keedanan Joko mendapat saluran juga. Bertahun-tahun ia menjadi penikmat dan penganjur campur sari. Ia telah meluncurkan album campur sari berjudul Megat Tresno. Lagu-lagu karangannya terdengar aneh untuk kuping wong Jowo seperti Kawin Benjang Menopo, Mendung Sore, Burisrowo Loro Jiwo; Nglali dan Tong Kosong (dari Jujuk Eksa), Mister Mendem dan Genjer-genjer (dari Dikin). Album ini ternyata cukup laris. “Setiap harinya laku seratus keping,” ujar Joko kepada saya di rumahnya di Semarang akhir September lalu.

Menurut Joko campur sari telah menenggelamkan musik-musik Jawa tanpa vokal (instrumentalia) seperti klenengan dan karawitan dan menghidupkan kembali irama langgam Jawa lawas seperti Kutut Manggung, Caping Gunung, Pangkur, Sinom, dan Uler Kambang.

Di rumahnya di perbukitan Pudak Payung, Semarang, berbaris empat mobil yang diperolehnya dari hasil bermain musik dan dalang: sebuah jip hardtop, dua unit VW Combi dan sebuah BMW nopol B 612 DX. Yang terakhir itu dibelinya dari Dewi Yull, bahkan nama kepemilikannya masih atas nama Dewi.

Ketika Minggu siang itu saya datangi ia tengah bersiap-siap menuju studio TVRI Semarang mengisi acara bertajuk campur sari. “Tiap hari Minggu sore saya dikontrak untuk manggung di situ,” ujar Joko. Kontrak itu telah berjalan tiga bulan dan akan diperpanjang tiga bulan lagi. “Saya sengaja mengikuti arus dolar,” ia berkelakar. Ternyata sikap itu merupakan dasar penolakannya ketika akan diperpanjang kontraknya selama setahun penuh. Dengan modal tujuh lagu ia mengisi acara selama satu jam, dari jam 17.00 sampai 18.00 disiarkan secara langsung. Ia dibayar Rp 8 juta.

“Tiga juta rupiah untuk saya sebagai presenter dan selebihnya untuk tim saya.” Di luar TV ia minta bayaran 12 juta rupiah.

Pada 1980-an, menurut Joko, orang punya hajat masih rame nanggap klenengan dan keroncong. Tapi pada 1995-an situasi ini berubah total. Munculnya campur sari telah merubah selera masyarakat dari yang serba kalem menjadi riuh. Ini maknanya apa? Masyarakat dapat menerima kehadiran campur sari. Unsur klenengan dan keroncong telah terserap kedalam campur sari karena lebih dinamis, mantap tapi tidak meninggalkan gamelan. Ia multi kompleks karena mampu mempertemukan musik diatonis dan pentatonis dengan sangat harmonis.

Ia sendiri juga praktisi campur sari, bahkan telah melakukan serangkaian percobaan sehingga sampai pada kesimpulan bahwa semua jenis irama mulai dari pop, jazz, rock, dangdut, keroncong, klenengan, sampai tayuban dapat dimainkan dengan campur sari. “Yang nanggap dangdut sudah jarang, sekarang,” katanya tegas.

Campursari juga menyentuh dunia wayang. Banyak dalang yang dulu merajalela dan bertahan pada pakem jatuh pasarannya. “Campur sari siap menampung semua aliran musik di tanah air,” katanya. “Poco-poco saya garap dengan campur sari jadi kedengaran lebih megah, begitu pula dengan jaipongan.” Maka ia sampai pada keyakinan bahwa campur sari bakal awet sampai cucu dan canggah.

Sebagai dalang ia merupakan pendiri Persatuan Dalang Reformasi ‘Suryo Dadari’. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Amien Rais, katanya, tiap tiga bulan selalu nanggap dia dan sudah dikontrak sampai 2004. Pamornya sebagai dalang begitu tinggi sehingga setiap kali manggung selalu dipenuhi penonton yang diperkirakan sebanyak 20.000 orang. Ini tak lepas dari kreatifitasnya sebagai dalang dan campur sari sehingga ia dijuluki sebagai dalang non-klasik. Dalang klasiknya adalah Ki Manteb Sudarsono.

Penampilannya sebagai dalang telah sampai ke Sumatera dan Kalimantan. Maka iapun menyatakan niatnya ‘go national’.*

kembali keatas

by:Bill Aribowo