SELASA 5 November lalu, ketika belum lepas kain sarung saya setelah sholat tarawih hari pertama Ramadhan, telepon di rumah berdering. Redaktur saya, Febby Mahendra dari harian Surya Surabaya, menelepon dan mengatakan ada penangkapan tersangka peledakan bom Bali di Paciran, Lamongan. “Kutunggu beritanya malam ini,” katanya.

Ini perintah. Jarum jam menunjukkan 21:15. Saya naik motor meluncur ke Paciran, sekitar 55 km dari rumah saya di Tuban. Tujuan pertama adalah kantor polisi Paciran. Ternyata polisi Paciran menolak memberi informasi dan mengatakan wewenang langsung ada pada kepolisian Jawa Timur dan markas besar polisi di Jakarta.

Saya kecewa dan mendatangi warung kopi dekat kantor polisi. Obrolan di sana menunjukkan bahwa tadi siang ada rombongan polisi melakukan penggerebekan. “Saya tak jelas siapa yang ditangkap. Desanya kalau tidak salah Tenggulun,” kata seorang nelayan.

Hembusan angin malam begitu dingin ketika saya melaju menuju Tengulun, sebuah desa kecil di kecamatan Solokuro, 13 km selatan Paciran. Saya melewati hutan jati meranggas dan kawasan pertanian lahan kering.

Di mulut desa Tenggulun saya bertemu beberapa warga. Mereka mengatakan tadi sore banyak sekali polisi mendatangi Tenggulun. Para warga itu membawa kayu pentungan yang biasa dipakai ronda.

Buat saya tak sulit mencari informasi di Tenggulun karena beberapa kali saya pernah datang ke desa ini meski bukan untuk keperluan reportase. Tujuan pertama adalah rumah Wibisono, kolega saya dalam jual beli palawija dan kendaraan bekas –pekerjaan sampingan saya untuk menambah penghasilan. Wibisono menggunakan sarung dan menyilahkan saya masuk. Dia terkejut ketika saya tanya soal penangkapan.

“Padahal, baru besok pagi saya akan telepon sampeyan,” katanya.

Saya tanya siapa yang ditangkap polisi?

“Amrozi.”

Saya terkejut. Saya kenal Amrozi karena beberapa kali berurusan makelaran sepeda motor.

“Saya juga tak tahu apa kesalahan Amrozi,” kata Wibisono.

Wibisono memperkenalkan saya dengan Amrozi sekitar dua tahun lalu ketika saya mencari mobil Isuzu Panther untuk seorang calon pembeli. Wibisono, yang tergolong sepupu Amrozi, mengajak saya ke bengkel sepeda motor milik Amrozi.

Saya ingat Amrozi tersenyum lebar menyambut kedatangan Wibisono dan saya. "Janur gunung Gus No (Wibisono) datang ke tempat saya. Siapa Gus nama kawannya ini?” kata Amrozi.

Amrozi membersihkan tangannya dengan sehelai kain lap dan menyalami saya. Amrozi gampang bersahabat. Pembawaannya ringan dan cepat akrab dengan orang yang baru dijumpainya. Perkenalan itu membuat saya lebih sering berhubungan dengan Amrozi untuk urusan jual beli sepeda motor.

Amrozi warga Tenggulun kelahiran 1962 dan anak ke enam dari delapan bersaudara. Ayahnya mantan sekretaris desa Tenggulun bernama Haji Nur Hasyim. Dia tiga kali menikah. Istrinya yang sekarang bernama Khoiriyanah Khususiati. Istri ketiga ini berumur 35 tahun dan berasal dari Madiun. Pasangan Amrozi-Khoiriyanah dikarunia anak bernama Khaula, kini berumur 5,5 tahun.

Amrozi suka mengunjungi rumah-rumah kenalannya. Istilahnya di Jawa Timur dolanan. Dia juga ringan tangan untuk kegiatan sosial, dari yang bersifat keagamaan hingga yang paling hura-hura. “Bagi Amrozi, malam ini menjadi panitia pengajian besoknya menjadi panitia karaoke itu hal biasa,” kata Wibisono.

Makelar merangkap montir sepeda motor inilah yang ditangkap polisi Selasa pukul 8:30 di rumahnya di Tenggulun. Amrozi dicurigai polisi terlibat pengeboman Sari Club dan Paddy’s Café di kawasan Kuta, Bali, yang membunuh setidaknya 185 orang.

Wibisono cerita sambil menghidangkan wedang jahe untuk saya. Cerita ini mengantar saya untuk mewawancarai beberapa warga Tenggulun. Mereka kebanyakan mengatakan tak menduga Amrozi terlibat kejahatan sedahsyat itu dan lebih tak menduga desanya bakal didatangi lebih dari 100 orang polisi dengan 10 mobil dan dua truk.

Rombongan besar polisi ini datang sekitar pukul 15:00 –beberapa jam sesudah penangkapan Amrozi. Sasarannya pondok pesantren al Islam, yang terletak di pinggir desa Tenggulun. Pesantren ini didirikan 1992 oleh dua kakak Amrozi: Ja`far Shodiq (alumnus pondok pesantren Karangasem, Paciran, Lamongan) dan M. Khozien (alumnus pondok pesantren al Ma`hadul Islami, Tuban). Dua saudara Amrozi yang lain, Ali Imron dan Ali Fauzi, jadi pengajar di pondok tersebut. Pondok itu sendiri berjarak sekitar 1 km dari rumah Amrozi.

Pondok pesantren punya lahan seluas 3,25 hektar. Bangunannya relatif sederhana dibanding pondok pesantren lain di kawasan Solokuro dan Paciran. Namun pondok ini telah jadi pondok alternatif. Ia tak masuk kategori salafiyah, namun sistem pengajarannya dengan teknik klasik. Santrinya berasal bukan saja dari Lamongan, tapi juga Aceh, Solo, Nusa Tenggara Timur, hingga Kalimantan.

Warga desa mengatakan polisi berseragam lengkap dengan senjata laras panjang, mengepung pesantren sore itu. Mereka gabungan petugas dari kepolisian Jawa Timur, Tim Investigasi Bom Bali, serta kepolisian Lamongan.

Empat polisi mengawal seorang perwira, memasuki pintu kompleks pondok. Si perwira berbincang tak sampai 10 menit dengan ustadz Muhammad Zakaria, kepala pondok pesantren, dan para polisi tersebut langsung memasuki pelataran pondok. Mereka menyebar di empat bangunan pondok. Sebagian petugas menyebar di tiap sudut desa. Kehadiran ini membuat sekitar 150 santri putra, langsung semburat ke luar ruangan mereka.

Di bagian utara masjid, yang disekat tembok, terdapat tiga bangunan berkapasitas masing-masing 20 orang tempat santri putri bermukim. Di sana juga gaduh. Sebanyak 65 santri putri histeris berkumpul di sekitar ruang ustadzah (guru wanita). Santri putri, yang rata-rata berusia 15 tahun itu, ketakutan mengerumuni para ustadzah.

“Apa ada Burhan atau Burhanudin di pondok ini?” kata seorang polisi kepada Zakaria.

“Tidak ada nama Burhan maupun Burhanudin di pesantren ini,” jawab Zakaria.

Muhammad Zakaria seorang pria berkulit gelap dan berbadan tegap. Dia berasal dari desa Tiwu Kondo, kabupaten Manggarai, Pulau Flores. Orangnya berjenggot lebat dan senantiasa memakai ghamis putih dan bersorban. Dia alumnus pondok pesantren al Mukmin, Ngruki, Solo, yang kini banyak di seluruh dunia karena beberapa alumninya dituduh terlibat terorisme di Asia Tenggara.

Zakaria tampaknya bingung. Dia terlihat sering mengusap dahinya sembari menyaksikan polisi menggeledah pesantren. Hasilnya, polisi membawa sebundel berkas pondok. Menurut ustadz Zakaria, barang-barang yang dibawa termasuk sebilah golok (biasanya untuk menyembelih hewan kurban), satu unit teleskop, empat kaset video VHS, empat kaset pengajian, sembilan buah petasan ukuran dua jari tangan, 10 lembar foto kegiatan pondok, dan 14 buletin terbitan Komite Penanggulangan Krisis. Penggerebekan dilakukan polisi untuk mencari barang-barang bukti serta tersangka lain bom Bali.

Malam itu saya melaporkan reportase awal saya kepada Febby Mahendra di Surabaya. Ini awal kerja reportase saya tapi juga awal ketegangan warga desa Tenggulun.

IHWAL penangkapan Amrozi, menurut pihak kepolisian Jawa Timur, diawali karena mobil Mitsubishi L-300, yang meledak dekat Sari Club dan Paddy’s Café, adalah milik Amrozi. Polisi melacak nomor kerangka mobil maupun nomor kir mobil. Hasilnya, menunjuk pada Mitsubishi L-300 milik Amrozi. Mobil warna putih tersebut memang sempat berada di rumah Amrozi sesudah dibeli Amrozi dari M. Anas, seorang warga Paciran.

“Saya ini makelar. Asal ada kendaraan harga murah dan bisa dicarikan untung akan saya beli, yang penting halal,” kata Amrozi kepada saya, beberapa bulan sebelum dia ditangkap polisi.

Istri Amrozi, Khoiriyanah Khususiati serta anaknya, juga menghilang dari Tenggulun hari itu sesudah penangkapan Amrozi. Polisi tampaknya juga mencari dua adik Amrozi, Ali Imron dan Ali Fauzi.

Saya sempat beberapa kali bertemu dengan Ali Imron, akrab disapa Alik, maupun Ali Fauzi, biasa dipanggil Baunji. Ali Imron merupakan adik kandung Amrozi. Kalau Amrozi anak keenam, maka Ali Imron anak kedelapan (bungsu) pasangan Haji Nur Hasyim dengan istri pertamanya, Nyonya Tariyem. Ali Fauzi adik tiri Amrozi. Ali Fauzi anak keempat (bungsu) Nur Hasyim dengan istri keduanya, Nyonya Tarmiah.

Pertemuan terakhir saya dengan Ali Imron dan Ali Fauzi terjadi Agustus lalu di rumah Wibisono ketika saya menjenguk Haji Ibrahim, ayah Wibisono, yang terbaring sakit.

Ada yang menarik perhatian saya dari kedua saudara Amrozi tersebut. Mereka selalu mengaitkan setiap isi pembicaraan mereka dengan syariat Islam. Saya merasa sedikit janggal. Tapi Ja`far Sodiq, kakak Amrozi yang mendirikan al Islam, menjelaskan tak ada yang janggal mengingat keduanya sama-sama berbasis pesantren. Keduanya juga ustadz al Islam.

Ali Imron, tingginya sekitar 163 cm dan kulitnya sawo matang. Dia jarang tertawa. Kalau pun tersenyum, tak sampai terlihat giginya. Warga Tenggulun menilai Ali Imron sebagai sosok tegas tapi cenderung pendiam. Ali Imron alumnus pondok pesantren Kertosono, Nganjuk. Dia juga dinilai kaku dalam memahami kaidah keislaman.

Beda dengan Amrozi, Ali Imron jarang membuka diri terhadap orang baru, termasuk saya, yang dia kenal sejak awal sebagai wartawan. Meski suka berargumentasi tentang syariat Islam, Ali Imron terkesan berhati-hati ketika bicara soal pergerakan Islam dengan saya. Pembicaraan sebatas masalah pesantren yang diasuhnya. “Tapi kalau sudah di mimbar saat khutbah, orang akan terkagum,” kata seorang santri al Islam.

Saat berdebat soal Islam, sorot matanya sangat tajam dan sesekali mengelus jenggotnya. Ali Imron suka menaburkan ayat-ayat al Quran saat berargumentasi. Orangnya tertutup. "Apa yang dikerjakan tidak pernah diketahui orang lain, meski oleh saudaranya sendiri,” kata Wibisono.

Menurut Wibisono, gaya bicara dan pemikiran Ali Imron ini mirip dengan kakaknya Ali Ghufron, orang yang dituduh polisi Indonesia, sebagai salah satu tokoh Jamaah Islamiyah, organisasi yang dikategorikan Perserikatan Bangsa Bangsa sebagai organisasi teroris di Asia Tenggara.

Ali Fauzi lebih terbuka walau tak sepopuler Amrozi. Tinggi Ali Fauzi sekitar 172 cm dan kulitnya kuning langsat. Ali Fauzi lebih disukai santri-santri al Islam ketimbang Ali Imron.

Kedua orang ini, menurut beberapa warga Tenggulun, sering pergi ke luar desa untuk waktu lama. “Saat terjadi ramai-ramai peristiwa Ambon dan Poso sempat menghilang,” kata Pak Ahmad, seorang warga sepuh Tenggulun. Namun, begitu situasi tenang, tiba-tiba mereka muncul lagi di desanya.

Apakah mereka terlibat kegiatan milisi di Ambon dan Poso tak diketahui pasti. “Siapa yang tahu kemana mereka pergi? Wong kalau pergi dan datang tak pernah cerita,” kata Haji Ibrahim, mantan kepala desa Tenggulun, ayah Wibisono, yang terhitung paman mereka.

Tapi paling mengagetkan dari 12 anak Haji Nur Hasyim ini adalah Ali Ghufron. Dia kakak kandung Amrozi. Dia anak ke lima Nur Hasyim dengan Tariyem. Ketika polisi menangkap Amrozi, Ghufron diperkirakan bermukim di Malaysia.

Ghufron juga dikenal sebagai Muklas. Sama dengan Muhammad Zakaria, Ghufron alumnus pondok pesantren al Mukmin. Ghufron dikabarkan hijrah ke Malaysia bersamaan dengan kepergian duet pendiri pondok pesantren al Mukmin, Abubakar Ba`asyir dan Abdullah Sungkar, pada 1985.

Ba’asyir dan Sungkar meninggalkan Indonesia untuk menghindari represi rezim Orde Baru. Mereka berdua menentang azas tunggal Pancasila. Pada 1978 mereka ditangkap militer Solo dan ditahan selama hampir empat tahun. Mereka lantas diadili dan dijatuhi hukuman penjara 12 tahun karena dianggap bersalah menentang azas tunggal Pancasila dan hendak mendirikan Negara Islam Indonesia. Ketika menunggu proses banding,, mereka melarikan diri ke Malaysia.

Pemerintah Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia, menuduh Sungkar dan Ba’asyir mengembangkan Jamaah Islamiyah di Malaysia. Sungkar dalam wawancara dengan majalah Nida’ul Islam terbitan sebuah organisasi pemuda Muslim di Sydney, Australia, edisi Juli-Agustus 1998, mengatakan Jamaah Islamiyah, “bertujuan menegakkan Daulah Islamiyah dengan strategi iman hijrah dan jihad.”

“Embryo Jamaah ini, yang lebih dikenal dengan Darul Islam (DI/TII), telah menyatakan proklamasinya sebagai Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus tahun 1949 bertempat di Malangbong, Jawa Barat,” kata Sungkar.

“Selanjutnya pada masa yang sama berlangsunglah Jihad Musallah untuk mempertahankan eksistensinya melawan pemerintahan kafir Belanda dan rezim sekuler Republik Indonesia (yang terkenal dengan perang segitiga) hingga tahun 1962.

“Sekalipun sempat terjadi perubahan unsur dan auto kritik pada Jamaah tersebut, pada selanjutnya Jamaah ini mencoba menggugat dan menumbuhkan kembali kesadaran tentang wajibnya mendirikan Daulah Islamiyah dengan menempuh jalan jihad. Mereka kini sedang bergerak melaksanakan move-move dan approach-approach da’wah sekaligus pembinaan kepada berbagai lapisan masyarakat Islam agar mereka membantu, atau sekurang-kurangnya mendukung, perjuangan Jama’ah Islamiyah ini.”

Ba’asyir dan Sungkar kembali ke Indonesia sesudah Presiden Soeharto mundur pada Mei 1998. Sungkar meninggal pada 1999 (karena sakit) dan Ba’asyir meneruskan perjuangan sobatnya itu. Pada 1999 Ba’asyir mendirikan dan menjadi amir Majelis Mujahidin Indonesia, yang tujuan dan pemikiran politiknya, menurut polisi, kurang lebih sama dengan Jamaah Islamiyah.

Ba’asyir membantah keberadaan organisasi bernama Jamaah Islamiyah. Dia mengatakan itu hanya nama biasa untuk jamaah pengajian.

International Crisis Group –sebuah think tank bermarkas di Brussels dan mempunyai cabang di Jakarta—mengatakan dalam sebuah laporan Desember lalu bahwa ada kemungkinan terjadi perpecahan antara Ba’asyir dan para pemimpin Jamaah Islamiyah lainnya di Malaysia. Ba’asyir ingin kekerasan tak digunakan lagi karena khawatir mereka bakal ditekan oleh para pemerintah Asia Tenggara.

Ba’asyir kini ditahan polisi di sebuah rumah sakit Jakarta (karena alasan kesehatan) dengan tuduhan terlibat pengeboman gereja-gereja Indonesia pada malam Natal 2000 serta rencana pembunuhan (waktu itu) Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri pada pertengahan 2001 karena tak setuju seorang perempuan jadi kepala negara –Megawati diperkirakan bakal jadi presiden menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid.

Ali Ghufron adalah salah satu murid dan orang kepercayaan duet Sungkar-Ba’asyir. Menurut Wibisono, Ghufron punya istri orang Malaysia keturunan Pakistan. Ghufron sesekali pulang dari Malaysia menengok orang tuanya di Tenggulun. Tapi menurut beberapa kerabatnya, Ghufron sempat terlihat muncul di layar televisi ketika mendampingi Abubakar Ba`asyir saat Ba’asyir akan dipindahkan paksa oleh polisi dari rumah sakit Muhammadiyah Solo ke tahanan polisi di Jakarta.

Belakangan diketahui Ghufron tak ada di Malaysia. Pada 3 Desember 2002 dia tertangkap di Klaten. Menurut polisi, Ghufron ditahan bersama delapan orang lain, termasuk istrinya, dan dibawa ke Bali. Polisi mengatakan Ghufron masih diselidiki kemungkinan keterlibatannya dengan terorisme di Indonesia.

DI TENGGULUN penggeledahan polisi terhadap pondok pesantren al Islam merupakan titik awal dari serangkaian ketegangan warga desa. Polisi menciduk beberapa warga lain yang dicurigai tahu kegiatan Amrozi. Di Tenggulun orang antara percaya dan tidak kalau Amrozi terlibat pengeboman Bali.

“Saya masih ingat saat bom meledak di Bali hari Sabtu tanggal 12 Oktober malam, ia menonton tinju di TV dengan saya dan Riban di rumah Riban,” kata Khamar, seorang warga Tenggulun.

Pada Minggu 13 Oktober, menurut Ja`far Shodiq, Amrozi dan istrinya nonton televisi di rumah kakak perempuannya Hajjah Afiyah. Bagaimana Amrozi terlibat pengeboman Bali ketika dia sendiri ada di Tenggulun?

Nyonya Tariyem, ibu Amrozi, juga bingung jika ditanya soal Amrozi. Ia hanya menangis di samping suaminya, Nur Hasyim, yang tergolek di lantai beralas kasur karena stroke.

“Pancen Amrozi jaman nome biyen ugal-ugalan (memang Amrozi saat muda dulu nakal). Tapi saiki wis apik ora ngebut-ngebutan (tapi sekarang sudah baik tidak suka kebut-kebutan sepeda motor),” kata Mak Yem, sapaan akrab Tariyem, kepada saya dua hari setelah Amrozi ditangkap.

Menurut Mak Yem, suaminya dulu orang gagah dan disegani warga setempat. Kala itu Nur Hasyim termasuk orang kaya di Tenggulun. Ketika muda, menurut Mak Yem, Amrozi termasuk anak yang paling malas. Di samping tak mau mengikuti jejak saudara-saudaranya untuk sekolah di pesantren, Amrozi juga tak tamat sekolah lanjutan pertama. Amrozi hanya mengambil kursus montir.

Pendidikan Amrozi yang terbatas juga membuat warga bertanya-tanya apa Amrozi mampu membuat bom Bali? Kakak-kakak Amrozi, dari Ja`far Shodiq hingga M. Khozien, maupun Muhammad Zakaria, meragukan pernyataan polisi bahwa Amrozi dan Mitsubishi L-300 terlibat peledakan bom Bali.

Tapi di Surabaya, sesuai hasil penyidikan polisi, Amrozi mengakui dia tak terlibat langsung pengeboman, tapi terlibat dalam pembelian dan pengantaran materi bom dari Surabaya ke Bali. Bahkan dalam pemeriksaan polisi, menurut kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian, Inspektur Jenderal Basyir A. Barmawi, Amrozi mengaku terlibat serangkaian peledakan bom malam Natal tahun 2000.

Harian Surya mengutip Basyir A. Barmawi mengatakan bahwa Amrozi mengaku pernah berada di Thailand dan Malaysia serta memiliki kedekatan dengan Abubakar Ba`asyir. Selama di Malaysia, Amrozi juga bertemu dengan Ghufron dan mengikuti kegiatan dakwah Ghufron.

Ja’far Shodiq kepada saya mengatakan, “Memang Amrozi pernah ke Malaysia menjadi TKI (tenaga kerja Indonesia). Soal para TKI main-main ke Thailand itu biasa.” Ja’far mengatakan adiknya pergi ke Malaysia untuk bekerja, bukan jadi teroris seperti tudingan polisi. Ja`far sendiri bekerja sebagai pengerah tenaga kerja Indonesia ke Malaysia sejak 1982.

Kepala Polisi Indonesia Jenderal Da`i Bahtiar mengatakan Amrozi adalah anggota pelaku peledakan bom Bali. Amrozi bertugas membeli bahan kimia, Mitsubishi L-300, dan mengamankan kondisi lapangan sebelum dilakukan peledakan. “Mereka itu beranggotakan sekian orang. Ada pembagian tugasnya, di antaranya Amrozi ini. Dia mengakui datang ke sana dan tugasnya adalah mengamankan (lokasi peledakan). Dia bertanggungjawab di lapangan.”

Rabu malam 6 November, sehari setelah penangkapan Amrozi, kepala desa Tenggulun M. Maskun, ketua Rukun Tetangga Abdul Kahar, kepala urusan pemerintahan Achwan dan Tafsir, saudara tiri Amrozi, dijemput polisi dari rumah masing-masing. Mereka diperiksa di kantor polisi Lamongan tapi dipulangkan pukul 03.00 dini hari. Mereka ditanyai soal kegiatan Amrozi.

Media massa mulai ramai memberitakan Amrozi. Pada Jumat 8 November, seusai memberikan khutbah di masjid al Azhar Surabaya, ustadz Zakaria punya ide menemui kepala kepolisian Jawa Timur Inspektur Jenderal Heru Susanto. Tujuannya, minta penjelasan apakah benar Amrozi terlibat pengeboman.

Zakaria tak bisa bertemu Heru Susanto. Tapi sore itu juga Zakaria diterbangkan polisi ke Bali untuk dipertemukan dengan Amrozi. “Saya ingin mendengar sendiri dari Amrozi, soal pengakuannya sebagai pelaku peledakan bom di Bali,” kata Zakaria sesaat sebelum berangkat ke Surabaya kepada saya.

Kenyataannya, ustadz Zakaria, ditahan di kantor polisi Bali hingga Selasa 12 November. Dia diperiksa sebagai saksi dan tak bisa bertemu langsung dengan Amrozi. Tapi di kantor polisi itu pula, Zakaria mendengar Amrozi mengaku sebagai salah seorang pelaku pengeboman Bali. “Dia memang gentle. Saya senang dia mau terus-terang begitu,” kata Zakaria kepada wartawan di Denpasar sebelum kembali ke Lamongan.

HARI Sabtu 9 November, ketika Zakaria berada di Bali, pondok pesantren al Islam digerebek polisi untuk kedua kali. Mereka datang mencari barang-barang lain. Para santri lagi-lagi kaget dan menghentikan kegiatannya ketika polisi berpakaian biasa dari Bali, yang dikawal 10 polisi Lamongan, memasuki pelataran pondok.

Kali ini suasana Tenggulun sudah berbeda dengan penggeledahan pertama. Puluhan wartawan dalam dan luar negeri mondar-mandir sekitar kompleks pondok. Warga dan wartawan berebut melihat polisi datang. Para polisi memasuki ruang ustadz (ruang istirahat guru) dan bicara dengan ustadz Suhadak, salah satu pengurus pondok pesantren, sebelum melakukan penggeledahan.

Polisi melakukan penggeledahan di sejumlah ruang. Langkah ini mengundang para santri untuk melihat dari dekat. “Kami sebenarnya tak terima pondok kami diobok-obok,” kata seorang santri kepada saya. Polisi mendobrak ruang pribadi ustadz Zakaria. Di sana mereka bertemu dengan Nyonya Kurniawati, istri ustadz Zakaria, dan melakukan penggeledahan namun tak menemukan apa yang dicari.

Dari sejumlah ruang yang digeledah, polisi menyita sejumlah barang, termasuk satu unit album foto kegiatan camping para santri tanggal 16-19 Juni 1997 di Pacet, Mojokerto, sembilan unit kaset VHS, disket baru, dan sejumlah dokumen selebaran brosur penerimaan santri baru.

Sehari berikutnya, Minggu 10 November, sekitar pukul 21.00, saudara tiri Amrozi, Tafsir, kembali ditangkap polisi. Tafsir diduga jadi pengemudi mobil Mitsubishi L-300 yang membaca bahan-bahan kimia calon bom Bali, dari Lamongan ke Denpasar.

Tafsir ditahan dan diperiksa polisi di markas polisi Bali selama enam hari. Tapi dari pemeriksaan itu, polisi menyimpulkan Taffsir tak terlibat dan dilepas. Tafsir tiba kembali di Tenggulun hari Sabtu 16 November.

Dia mengatakan kepada saya, selama diperiksa ia banyak ditanya tentang keberadaan mobil L-300. Tafsir mengatakan pada polisi bahwa Mitsubishi L-300 itu sempat ditukar velk bannya dengan kendaraan serupa milik Tafsir.

“Untuk tukar tambah velk ban saya tambah uang Rp 300 ribu pada Amrozi,” katanya.

Senin pagi 11 November Khamar, seorang warga Tenggulun, pensiunan polisi hutan jati Dadapan, diperiksa sebagai saksi di kepolisian Lamongan. Sorenya sekitar pukul 14.00, satu peleton pasukan dari kepolisian Jawa Timur, beranggota 40 orang, mendatangi hutan Dadapan, yang terletak sekitar 7 km dari Tenggulun. Pemeriksaan ini dipimpin langsung Brigadir Jendral Gories Mere dari markas besar polisi Jakarta.

Dari keterangan Khamar, polisi menggali salah satu saluran irigasi hutan Dadapan. Di sana polisi menemukan enam pipa PVC ukuran panjang 1 meter dengan diameter 30 cm yang kedua ujungnya tertutup. Enam pipa itu dibongkar dan isinya dua pucuk senjata otomatis buatan Amerika Serikat M-16, peluru M-16, magazin M-16, amunisi pistol FN-45, amunisi pistol Colt-38, dan ratusan butir peluru lainnya.

Menurut polisi, berdasarkan pengakuan Khamar, Amrozi sempat cerita kepada Khamar adanya simpanan senjata di kawasan itu. Amrozi mengatakan senjata-senjata tersebut milik Ali Imron.

Maka perburuan dilanjutkan kepada Ali Imron. Senin 11 November tengah malam, saat kebanyakan santri sudah tidur, pondok pesantren al Islam kembali digeledah polisi. Penggeledahan kali ketiga ini dilakukan 20 polisi berpakaian biasa selama hampir satu jam. Mereka mencari Ali Imron. Kemungkinan para polisi itu tak tahu persis wajah dan penampilan Ali Imron.

Para santri yang kelelahan setelah mengikuti tadarus (membaca al Quran) dan kecapekan karena siang dan malam menjaga kompleks pondok, dibangunkan oleh polisi dan diminta berbaris di pelataran pondok.

Polisi mencari Ali Imron dengan memasuki sejumlah ruang tidur santri. Beberapa polisi juga memeriksa rumah kediaman Ali Imron dan ustadz Baroq (polisi menyebutnya Mubaroq). Sama dengan Ali Ghufron dan Muhammad Zakaria, Baroq alumnus dari pondok pesantren al Mukmin.

Penggeledahan ini nihil. Polisi tak menemukan Ali Imron dan Baroq. Polisi bahkan salah sangka. Mereka menggeledah tempat tinggal ustadz Tholkah yang dikira tempat Ali Imron. Tapi mereka membaca satu buah tas dan sejumlah pakaian ustadz Baroq.

Dinihari itu polisi juga membawa sedan Ford yang diparkir depan masjid pondok. Mobil itu milik HM Yunus dari Surabaya, kawan ustadz Zakaria. Mobil itu dibeli Zakaria seharga Rp 20 juta namun baru dibayar Rp 8 juta. “Seingat saya mobil itu belum lunas dan BPKB-nya masih di tangan Haji Yunus,” kata Ja`far Shodiq.

Selasa 12 November warga Tenggulun kembali melihat penangkapan dan penggeledahan. Nur Minda, adiknya Khamar. Nur Minda ditangkap karena diduga ikut menyimpan enam pipa PVC di hutan Dadapan. Polisi juga menangkap Kaspandi, Hariyanto, dan Yadi, untuk alasan serupa. Mereka diduga terkait upaya penyimpanan senjata di hutan Dadapan.

Siangnya sekitar pukul 14:00, polisi sekali lagi menggeledah al Islam. Kali ini agak berbeda karena penggeledahan dilakukan polisi wanita karena polisi curiga Ali Imron dan Ali Fauzi sembunyi di antara santri putri. Ini bisa dimaklumi karena para santri al Islam diwajibkan memakai cadar. Hanya mata dan tangan mereka yang kelihatan.

Polisi menduga Ali Imron dan Ali Fauzi terkait kepemilikan senjata otomatis M-16 yang ditemukan di hutan Dadapan. Keduanya bahkan diduga terlibat jaringan teroris Jamaah Islamiyah. Namun setelah tiga pondok putri digeledah, polisi tak menemukan keduanya.

Tapi polisi menemukan satu pipa PVC dengan ukuran sama dengan yang ditemukan dalam hutan. Bedanya, pipa paralon yang ditemukan di bagian belakang pondok itu, kosong tak ada isinya.

M. Khozien mengatakan bisa saja pipa tersebut sisa pembangunan masjid. “Yang namanya paralon kan bisa saja sama,” kata Khozien, yang kala itu dikerumuni wartawan dalam dan luar negeri, termasuk saya, sembari mengawasi pekerjaan polisi.

Khozien dan Zakaria berusaha agar masalah Amrozi dipisahkan dengan pondok pesantren. Alasannya, sejak pondok berdiri 1992, nama Amrozi tak masuk dalam struktur pondok. Mereka khawatir kasus Amrozi bisa mempengaruhi proses belajar-mengajar. Bagaimana pun orang tua mana yang tak khawatir mengirim anak-anaknya ke pondok pesantren yang terkait terorisme?

Tapi beda dengan kepala desan Tenggulun M. Maskun. Dia melihat bahwa al Islam tak bisa dipisahkan dengan Amrozi. Zakaria dan Amrozi sering terlihat warga desa pergi bersama-sama. Ini bisa jadi sebuah kebetulan karena dia tak tahu kemana mereka pergi.

Maskun menyatakan dalam beberapa wawancara dengan media, termasuk Liputan 6 SCTV maupun Detikcom, bahwa sejak lama ajaran Islam yang dipakai al Islam meresahkan warga. Pada malam-malam tertentu, sekitar pukul 02.00 dini hari, para santri berlatih lari-lari di sekeliling pondok pesantren. “Kalau larinya pagi hari sih wajar. Ini kok dini hari,” kata Maskun.

Penafsiran Maskun bisa jadi diwarnai politik lokal Tenggulun. Fatihudin, seorang warga Lamongan, mengatakan kemelut Tenggulun tak lepas dari perselisihan pribadi kepala desa Maskun dengan sekretaris desa Ja`far Shodiq. Perselisihan pribadi tersebut menular ke lembaga hingga masalah pondok.

Maskun lebih berafiliasi ke Nahdlatul Ulama. Ja`far lebih condong ke Muhammadiyah. “Masalah ini juga ikut mewarnai kemelut di desa Tenggulun,” kata Fatih, dalam sebuah diskusi di kantor Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, 15 November lalu.

Lepas dari politik lokal dan rivalitas Ja’far dan Maskun, polisi menduga ada keterkaitan antara pondok pesantren al Islam dengan al Mukmin. Al Islam dianggap turunan dari pondok pesantren al Mukmin yang memberikan dasar-dasar theologis terhadap pemakaian kekerasan dalam kegiatan politik mereka dengan bendera Islam.

Amrozi ditangkap karena peledakan Bali ketika Abubakar Ba’asyir juga ditangkap karena didakwa terlibat serangkaian kegiatan terorisme. Kecurigaan bahwa al Mukmin punya rahasia-rahasia tertentu yang belum diketahui publik, yang terkait dengan kegiatan terorisme, membuat posisi ustadz Zakaria dan Baroq, selaku pengasuh pondok al Islam dan alumni al Mukmin, jadi kurang nyaman.

Maskun juga mengatakan Abubakar Ba`asyir kerab, sluman-slumun (sering datang) ke pondok pesantren al Islam. “Apa yang dilakukan saya tak tahu, sebab lokasi pondok pesantren berada di pinggir utara desa,” kata Maskun. Dia curiga ada hubungan istimewa antara ustadz Zakaria dan ustadz Ba’asyir.

Zakaria sendiri mengatakan ustadz Ba`asyir memang pernah dua kali datang ke pondok pesantrennya. Amrozi menjemput Ba’asyir naik mobil dari Solo menuju Tenggulun. “Ustadz Abubakar Ba`asyir memang saya undang, untuk qudbatul wada` (pelepasan lulusan santri),” kata Zakaria kepada saya. Pertama datang pada tahun 2001 dan kedua pada 16 Juni 2002.

Santrinya dilatih perang-perangan? Zakaria mengatakan dia tak melatih santri perang. Kegiatan itu adalah kegiatan olah raga bela diri kungfu. “Sama dengan pondok lain yang mengajarkan seni bela diri silat,” kata Zakaria.

JUMAT 15 November atau 10 hari sesudah penangkapan Amrozi, sekitar pukul 19.00 giliran Ja`far Shodiq diciduk polisi. Dia diperiksa di kantor kepolisian Lamongan. Esoknya pukul 12.00 ia dipulangkan kembali ke Tenggulun.

Nasib tragis menimpa Sumarno, keponakan Amrozi, anak dari kakak tertua Amrozi yang bernama Alimah, yang sehari-hari mengatur keperluan logistik pondok pesantren al Islam. Sumarno bermaksud datang ke polisi untuk mencari tahu tentang penggeledahan rumahnya pada Rabu 13 November. Sumarno justru ditangkap polisi pada Senin 18 November.

Soal Ja’far dan Sumarno ini punya cerita khusus dengan diri saya. Delapan hari sebelum penangkapan Sumarno, pada Minggu 10 November, Ja’far dan Sumarno sempat menumpang mobil saya dari Tenggulun menuju Tuban. Selama perjalanan, Ja`far dan Sumarno membicarakan masalah Amrozi, Ali Imron, dan Ali Fauzi. Mereka tak tahu-menahu perginya Ali Imron dan Ali Fauzi. “Saya sendiri bingung, kemana perginya dua saudara saya itu,” kata Ja`far.

Di pertigaan Manunggal Tuban, keduanya turun untuk pindah bus. Mereka tak mengatakan ke mana mereka pergi. Mereka hanya membawa satu tas punggung warna hitam. “Saya hanya pergi sebentar karena ada urusan bisnis,” kata Ja`far.

Empat hari kemudian, saya mampir ke rumah Wibisono, sebelum masuk ke Tenggulun. Ja`far dan Sumarno sudah ada di sana. Nampaknya mereka baru tiba dari luar kota. Kami bertiga berangkat ke Tenggulun.

Selama perjalanan, mereka tak cerita dari mana mereka tiba. Wajah mereka terlihat kelelahan.

“Apa sudah bertemu dengan Ali Imron dan Ali Fauzi?” tanya saya.

“Tidak Mas, kami tidak mencari mereka,” jawab Ja`far.

Ketika memasuki desa Sedayu, kecamatan Paciran, tiba-tiba Sumarno minta turun.

“Saya akan mengambil sepeda motor di rumah teman,” kata Sumarno.

Sumarno tak kunjung sampai di Tenggulun. Nampaknya, ia sudah punya naluri bahwa di rumahnya ada masalah, hingga dia memutuskan menyerahkan diri ke kepolisian Ngawi.

Senin 18 November itu Sumarno didampingi seorang pengacara mendatangi kantor polisi Ngawi. Namun, polisi menduga Sumarno terlibat dalam penyimpanan senjata hutan Dadapan. Dia dijadikan tersangka. Sejak saat itu Sumarno ditahan di kantor kepolisian Jawa Timur di Surabaya.

Amrozi sendiri, yang diperiksa di Bali mengatakan pada polisi hanya Ali Imron yang terlibat pengeboman Bali. Saudara-saudaranya yang lain sama sekali tak tahu-menahu kegiatan ini. Amrozi sempat mengeluarkan imbauan kepada keluarganya agar tak perlu takut dengan kondisi yang terjadi.

“Bismillahirrohmanirrohim. Saya maaf kepada keluarga, istri saya, adik saya, orang tua saya. Bahwa yang terlibat hanya saya, Amrozi dan Ali Imron. Keluarga yang lain di rumah tidak perlu takut karena tidak berkaitan. Pulang saja, Insya Allah polisi tidak akan menangkap," demikian imbauan Amrozi sebagaimana dilansir Jawa Pos pada 14 November.

Mungkin menarik untuk tahu mengapa Amrozi tak menyebut nama Ali Ghufron –kakaknya yang justru dituduh salah satu pemimpin Jamaah Islamiyah dan pengganti Encep Nurjaman alias Hambali, orang yang dianggap sebagai kontak penting antara Jamaah Islamiyah dan al Qaeda?

KEGIATAN polisi mencari Ali Imron dan Ali Fauzi makin gencar dilakukan di rumah-rumah warga Tenggulun. Warga desa, yang merasa kenal dekat dengan Amrozi, mulai dirundung ketakutan. Keresahan makin menjadi setelah sejumlah warga dimintai keterangan atau dan digeledah rumahnya oleh polisi.

Salah seorang di antaranya warga desa bernama Maryono, akrab disapa Godhek, yang sehari-hari bekerja sebagai tukang cukur. Amrozi termasuk langganan Godhek. “Masak hanya karena mencukur rambut Manji (panggilan Amrozi) Godhek ditangkap polisi,” kata seorang warga.

Menurut catatan saya, selama bolak-balik ke Tenggulun, sejak ditangkapnya Amrozi pada 5 November lalu, tak kurang 14 rumah warga digeledah polisi. Ada yang digeledah lebih dari sekali. Rumah-rumah itu milik rumah Amrozi, bengkel Amrozi, pondok pesantren al Islam, M. Khozien, rumah Mubaroq, rumah Khamar, rumah Ali Fauzi, Daeri (paman Amrozi), Afiyah (saudara Amrozi), Sumarno (keponakan Amrozi), Badri (paman Amrozi), Haji Khasan (paman Amrozi), Tasma (anak Kamar), dan rumah Yatemi (sepupu Ali Imron).

Ini semua membuat warga menutup diri terhadap orang asing yang belum mereka kenal. Mereka juga tertutup terhadap para wartawan yang saban hari mendatangi desa itu. Suatu saat saya pernah mengetuk pintu. “Maaf, saya tak tahu apa-apa,” kata seorang pria tengah baya seraya menutup pintu rumahnya.

Pondok pesantren al Islam meliburkan santrinya sejak Selasa 12 November. Mereka baru masuk kembali 10 hari setelah Lebaran. “Tidak semua santri pulang, masih ada sekitar 30 santri yang jaga-jaga di pondok,” kata Ja`far.

Santri boleh saja libur tapi warga Tenggulun mau ke mana? Bupati Lamongan Haji Masfuk mencoba mengatasi kesulitan warganya dengan minta camat Solokuro Soewandi dan kepala desa Tenggulun M. Maskun siaga 24 jam.

Bupati Masfuk berpesan agar warga Tenggulun, yang terdiri dari 520 keluarga, tak perlu khawatir dengan polisi yang berdatangan untuk melakukan proses hukum. “Polisi tidak akan asal tangkap. Pokoknya kalau ada apa-apa hubungi camat atau kades,” kata Bupati Masfuk.

Tak ada warga Lamongan yang pernah mengira bahwa peristiwa sebesar Bali itu bisa mengenai desa kecil Tenggulun. Warga desa trauma. Ramadhan lalu desa itu ibarat desa mati. Jika malam hari selepas sholat Tarawih, warga mulai menutup pintu.

“Mungkin sudah nasib desa ini, harus diubek-ubek polisi,” kata Haji Ibrahim, mantan kepala desan Tenggulun, ketika melepas saya di pintu rumahnya.*

by:Teguh Budi Utomo